#Faidah_Tafsir (10)
📚Hukum Mengirim Al-Fatihah untuk Orang Mati Menurut Imam Mazhab Syafi'i dan Nasihat dalam Menyikapi Perbedaan Pendapat📖
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
➡ Allah ta'ala berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
🍃 “Dan seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” [An-Najm: 39]
➡ Ulama Besar Ahli Tafsir Mazhab Syafi’i, Al-Imam Ibnu Katsir Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
ومن وهذه الآية الكريمة استنبط الشافعي رحمه الله، ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى؛ لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم؛ ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه، ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماء، ولم ينقل ذلك عن أحد من الصحابة رضي الله عنهم، ولو كان خيرا لسبقونا إليه، وباب القربات يقتصر فيه على النصوص، ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والآراء، فأما الدعاء والصدقة فذاك مجمع على وصولهما، ومنصوص من الشارع عليهما
🍃 "Dari ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i rahimahullah dan ulama yang mengikuti beliau mengambil kesimpulan hukum bahwa bacaan Al-Qur’an tidak sampai kepada orang-orang mati, karena bacaan tersebut bukan amalan mereka, bukan pula usaha mereka. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak mensunnahkannya bagi umatnya, tidak mendorong mereka untuk melakukannya, tidak membimbing mereka dengan sebuah nash, tidak pula dengan isyarat. Dan juga, tidak dinukil hal itu dari seorang sahabat radhiyallahu’anhum, andaikan itu baik, tentunya sahabat telah mendahului kita melakukannya.
🍂 Dan ibadah-ibadah khusus untuk taqarrub kepada Allah ta’ala haruslah berdasarkan nash-nash, tidak boleh berdasarkan kias-kias dan akal-akal. Adapun doa dan sedekah, telah disepakati (ulama) akan sampainya kedua amalan tersebut (kepada orang mati), karena terdapat nashnya dari Penetap syari’at.” [Tafsir Ibnu Katsir, 7/465]
📜#Beberapa_Pelajaran:
1) Ulama berbeda pendapat tentang hukum mengirim pahala bacaan Al-Qur'an untuk mayyit:
📝Pendapat Pertama: Dianjurkan dan akan sampai kepada mayyit. Ini pendapat Hanafiyyah, sebagian Maalikiyyah, sebagian Syafi'iyyah dan yang masyhur dari Al-Imam Ahmad, dan dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnul 'Utsaimin rahimahumullah.
📝Pendapat Kedua: Tidak dianjurkan dan tidak akan sampai kepada mayyit. Ini pendapat Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi'i, dan dikuatkan oleh Al-Imam Ibnu Katsir rahimahumallah sebagaimana nukilan di atas. Ini juga pendapat sebagian Hanabilah, dan dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dan Al-Lajnah Ad-Daimah sebagaimana dalam fatwanya,
فكانت القراءة لهم بدعة محدثة
"Membaca (Al-Qur'an) untuk mereka (orang-orang mati) adalah bid'ah, yang diada-adakan." [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 9/45]
➡ Pendapat yang kuat insya Allah adalah pendapat yang kedua, berdasarkan ayat di atas dan karena tidak ada dalil shahih lagi sharih (tegas) yang menganjurkannya.
2) Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, namun demikian ulama tidak saling mencela dan menyesatkan antara satu dengan yang lainnya karena perbedaan pendapat dalam masalah ini. Maka sepatutnya kita lapang dada dalam menyikapi perbedaan pendapat seperti ini, karena tidak termasuk dalam perkara prinsip pokok agama dan masih tercakup dalam perbedaan antara sesama Ahlus Sunnah.
🚧 Akan tetapi berbeda dengan perbedaan pendapat dalam masalah prinsip pokok agama, seperti perbedaan antara Ahlus Sunnah dan Khawarij dalam masalah ketaatan dalam perkara ma'ruf terhadap pemerintah muslim yang zalim. Maka ulama Ahlus Sunnah mencela dan menyesatkan kaum Khawarij yang berpendapat boleh membangkang dan memberontak, baik memberontak dengan senjata maupun dengan kata-kata.
3) Harus dibedakan antara mendoakan dan mengirim bacaan Al-Qur'an untuk mayyit, mendoakan disyari'atkan, bahkan hal itu disepakati para ulama, tidak ada perbedaan pendapat. Adapun mengirim bacaan Al-Qur'an tidak disyari'atkan menurut pendapat yang terkuat insya Allah. Mari kita doakan kepada Allah untuk saudara muslim kita yang wafat agar diampuni dan dirahmati.
4) Pengkhususan bacaan Al-Fatihah yang berdasar dalil diantaranya adalah ketika meruqyah dan sholat.
📚Hukum Mengirim Al-Fatihah untuk Orang Mati Menurut Imam Mazhab Syafi'i dan Nasihat dalam Menyikapi Perbedaan Pendapat📖
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
➡ Allah ta'ala berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
🍃 “Dan seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” [An-Najm: 39]
➡ Ulama Besar Ahli Tafsir Mazhab Syafi’i, Al-Imam Ibnu Katsir Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
ومن وهذه الآية الكريمة استنبط الشافعي رحمه الله، ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى؛ لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم؛ ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه، ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماء، ولم ينقل ذلك عن أحد من الصحابة رضي الله عنهم، ولو كان خيرا لسبقونا إليه، وباب القربات يقتصر فيه على النصوص، ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والآراء، فأما الدعاء والصدقة فذاك مجمع على وصولهما، ومنصوص من الشارع عليهما
🍃 "Dari ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i rahimahullah dan ulama yang mengikuti beliau mengambil kesimpulan hukum bahwa bacaan Al-Qur’an tidak sampai kepada orang-orang mati, karena bacaan tersebut bukan amalan mereka, bukan pula usaha mereka. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak mensunnahkannya bagi umatnya, tidak mendorong mereka untuk melakukannya, tidak membimbing mereka dengan sebuah nash, tidak pula dengan isyarat. Dan juga, tidak dinukil hal itu dari seorang sahabat radhiyallahu’anhum, andaikan itu baik, tentunya sahabat telah mendahului kita melakukannya.
🍂 Dan ibadah-ibadah khusus untuk taqarrub kepada Allah ta’ala haruslah berdasarkan nash-nash, tidak boleh berdasarkan kias-kias dan akal-akal. Adapun doa dan sedekah, telah disepakati (ulama) akan sampainya kedua amalan tersebut (kepada orang mati), karena terdapat nashnya dari Penetap syari’at.” [Tafsir Ibnu Katsir, 7/465]
📜#Beberapa_Pelajaran:
1) Ulama berbeda pendapat tentang hukum mengirim pahala bacaan Al-Qur'an untuk mayyit:
📝Pendapat Pertama: Dianjurkan dan akan sampai kepada mayyit. Ini pendapat Hanafiyyah, sebagian Maalikiyyah, sebagian Syafi'iyyah dan yang masyhur dari Al-Imam Ahmad, dan dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnul 'Utsaimin rahimahumullah.
📝Pendapat Kedua: Tidak dianjurkan dan tidak akan sampai kepada mayyit. Ini pendapat Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi'i, dan dikuatkan oleh Al-Imam Ibnu Katsir rahimahumallah sebagaimana nukilan di atas. Ini juga pendapat sebagian Hanabilah, dan dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dan Al-Lajnah Ad-Daimah sebagaimana dalam fatwanya,
فكانت القراءة لهم بدعة محدثة
"Membaca (Al-Qur'an) untuk mereka (orang-orang mati) adalah bid'ah, yang diada-adakan." [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 9/45]
➡ Pendapat yang kuat insya Allah adalah pendapat yang kedua, berdasarkan ayat di atas dan karena tidak ada dalil shahih lagi sharih (tegas) yang menganjurkannya.
2) Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, namun demikian ulama tidak saling mencela dan menyesatkan antara satu dengan yang lainnya karena perbedaan pendapat dalam masalah ini. Maka sepatutnya kita lapang dada dalam menyikapi perbedaan pendapat seperti ini, karena tidak termasuk dalam perkara prinsip pokok agama dan masih tercakup dalam perbedaan antara sesama Ahlus Sunnah.
🚧 Akan tetapi berbeda dengan perbedaan pendapat dalam masalah prinsip pokok agama, seperti perbedaan antara Ahlus Sunnah dan Khawarij dalam masalah ketaatan dalam perkara ma'ruf terhadap pemerintah muslim yang zalim. Maka ulama Ahlus Sunnah mencela dan menyesatkan kaum Khawarij yang berpendapat boleh membangkang dan memberontak, baik memberontak dengan senjata maupun dengan kata-kata.
3) Harus dibedakan antara mendoakan dan mengirim bacaan Al-Qur'an untuk mayyit, mendoakan disyari'atkan, bahkan hal itu disepakati para ulama, tidak ada perbedaan pendapat. Adapun mengirim bacaan Al-Qur'an tidak disyari'atkan menurut pendapat yang terkuat insya Allah. Mari kita doakan kepada Allah untuk saudara muslim kita yang wafat agar diampuni dan dirahmati.
4) Pengkhususan bacaan Al-Fatihah yang berdasar dalil diantaranya adalah ketika meruqyah dan sholat.
🔥 IPAR (ISTRI SAUDARA, ISTRI PAMAN, ISTRI PONAKAN) ADALAH KEMATIAN
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
✅ Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إيَّاكُمْ والدخول على النساءِ فقالَ رجلٌ منَ الأنصار يا رسولَ الله أفرأيتَ الْحَمُو قالَ الْحَمُو الموت
⛔ “Janganlah kalian memasuki tempat para wanita. Maka berkata seorang lelaki dari kaum Anshar: Wahai Rasulullah, bagaimana dengan ipar? Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berkata: Ipar adalah kematian.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu]
📋 MAKNA “IPAR ADALAH KEMATIAN”
➡ Al-Imam Ath-Thobari rahimahullah berkata,
“Maknanya adalah seorang laki-laki yang berdua-duaan dengan istri saudaranya atau istri ponakannya sama seperti kematian (yang tidak disukai), dan kebiasaan orang Arab mensifatkan sesuatu yang tidak disukai dengan kematian.” [Fathul Baari, 9/332]
➡ Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,
“Maknanya adalah berdua-duaan dengan kerabat suami lebih berbahaya dibanding dengan selainnya, demikian pula kejelekan dan fitnah (godaan yang menjerumuskan kepada zina) dengan ipar lebih besar, karena (umumnya) sangat memungkinkan untuk berhubungan dan berdua-duaan dengannya tanpa mendapat teguran, berbeda dengan wanita lain (yang umumnya mendapat teguran orang).” [Fathul Baari, 9/332]
➡ Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
“Dikatakan bahwa berdua-duaan bersama ipar (adalah maut) maksudnya dapat mengantarkan kepada kebinasaan agama seseorang apabila terjadi kemaksiatan, atau mengantarkan kepada kematian apabila terjadi kemaksiatan (zina) dan wajib untuk dirajam (dilempari batu sampai mati dengan perintah penguasa), atau mengantarkan kepada kehancuran wanita tersebut karena bercerai dengan suaminya apabila suaminya cemburu sehingga menceraikan istrinya itu, semua makna ini diisyaratkan oleh Al-Qurthubi.” [Fathul Baari, 9/332]
➡ Al-Imam Al-Qusyairi rahimahullah berkata,
“Seakan dikatakan: Barangsiapa yang sengaja melakukan hal itu maka lebih baik mati daripada berdua-duaan dengan ipar. Bisa juga maknanya adalah diserupakannya ipar dengan kematian, dari sisi tidak disukainya berdua-duaan dengannya, maka sebagaimana kematian itu tidak disukai demikian pula berdua-duaan dengan ipar tidak dibolehkan.” [Ihkaamul Ahkaam, hal. 398]
📝 #BEBERAPA_PELAJARAN:
1) Al-Hamwu ‘ipar’ yang dimaksud di sini adalah kerabat suami yang tidak termasuk mahram bagi istri, tidak terbatas saudara (adik atau kakak laki-laki suami) tapi seluruh kerabatnya yang bukan mahram seperti pamannya, sepupunya dan lain-lain. Adapun mahram istri dari kerabat suami adalah seperti bapak mertua dan seterusnya ke atas, anak suami (anak tiri) dan seterusnya ke bawah (lihat Fathul Baari, 9/331).
2) Larangan keras memasuki ruangan atau tempat para wanita, dan keharusan adanya hijab antara ruangan laki-laki dan wanita yang bukan mahram, apakah di rumah, sekolah, tempat kerja dan lain-lain.
3) Dalam hadits yang mulia ini disebutkan larangan memasuki ruangan atau tempat wanita, dan apabila disertai khalwat (berdua-duaan) tentu lebih terlarang lagi (lihat Fathul Baari, 9/331).
4) Peringatan keras untuk menjauhi perbuatan maksiat terutama dosa-dosa besar seperti zina karena akibatnya yang sangat berbahaya sehingga diserupakan dengan bahaya kematian.
5) Dosa zina orang yang sudah pernah menikah lebih besar daripada yang belum pernah menikah, makanya hukuman untuk pelakunya di dunia dibedakan.
💻 Baca Selengkapnya:
https://www.facebook.com/sofyanruray.info/posts/787337934749024:0
http://sofyanruray.info/ipar-adalah-kematian/
════ ❁✿❁ ════
➡ Bergabunglah di Channel Telegram Ustadz Sofyan Chalid Ruray hafizhahullah ⤵
📮 Join Telegram: http://bit.ly/1TwCsBr
📲 Gabung Group WA: 08111377787
🌍 Fb: www.fb.com/sofyanruray.info
🌐 Website: www.sofyanruray.info
📱 Android: http://bit.ly/1FDlcQo
🎬 Youtube: Ta’awun Dakwah
📒 #Muslimah_Shalihah
📙 #Mutiara_Sunnah
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
✅ Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إيَّاكُمْ والدخول على النساءِ فقالَ رجلٌ منَ الأنصار يا رسولَ الله أفرأيتَ الْحَمُو قالَ الْحَمُو الموت
⛔ “Janganlah kalian memasuki tempat para wanita. Maka berkata seorang lelaki dari kaum Anshar: Wahai Rasulullah, bagaimana dengan ipar? Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berkata: Ipar adalah kematian.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu]
📋 MAKNA “IPAR ADALAH KEMATIAN”
➡ Al-Imam Ath-Thobari rahimahullah berkata,
“Maknanya adalah seorang laki-laki yang berdua-duaan dengan istri saudaranya atau istri ponakannya sama seperti kematian (yang tidak disukai), dan kebiasaan orang Arab mensifatkan sesuatu yang tidak disukai dengan kematian.” [Fathul Baari, 9/332]
➡ Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,
“Maknanya adalah berdua-duaan dengan kerabat suami lebih berbahaya dibanding dengan selainnya, demikian pula kejelekan dan fitnah (godaan yang menjerumuskan kepada zina) dengan ipar lebih besar, karena (umumnya) sangat memungkinkan untuk berhubungan dan berdua-duaan dengannya tanpa mendapat teguran, berbeda dengan wanita lain (yang umumnya mendapat teguran orang).” [Fathul Baari, 9/332]
➡ Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
“Dikatakan bahwa berdua-duaan bersama ipar (adalah maut) maksudnya dapat mengantarkan kepada kebinasaan agama seseorang apabila terjadi kemaksiatan, atau mengantarkan kepada kematian apabila terjadi kemaksiatan (zina) dan wajib untuk dirajam (dilempari batu sampai mati dengan perintah penguasa), atau mengantarkan kepada kehancuran wanita tersebut karena bercerai dengan suaminya apabila suaminya cemburu sehingga menceraikan istrinya itu, semua makna ini diisyaratkan oleh Al-Qurthubi.” [Fathul Baari, 9/332]
➡ Al-Imam Al-Qusyairi rahimahullah berkata,
“Seakan dikatakan: Barangsiapa yang sengaja melakukan hal itu maka lebih baik mati daripada berdua-duaan dengan ipar. Bisa juga maknanya adalah diserupakannya ipar dengan kematian, dari sisi tidak disukainya berdua-duaan dengannya, maka sebagaimana kematian itu tidak disukai demikian pula berdua-duaan dengan ipar tidak dibolehkan.” [Ihkaamul Ahkaam, hal. 398]
📝 #BEBERAPA_PELAJARAN:
1) Al-Hamwu ‘ipar’ yang dimaksud di sini adalah kerabat suami yang tidak termasuk mahram bagi istri, tidak terbatas saudara (adik atau kakak laki-laki suami) tapi seluruh kerabatnya yang bukan mahram seperti pamannya, sepupunya dan lain-lain. Adapun mahram istri dari kerabat suami adalah seperti bapak mertua dan seterusnya ke atas, anak suami (anak tiri) dan seterusnya ke bawah (lihat Fathul Baari, 9/331).
2) Larangan keras memasuki ruangan atau tempat para wanita, dan keharusan adanya hijab antara ruangan laki-laki dan wanita yang bukan mahram, apakah di rumah, sekolah, tempat kerja dan lain-lain.
3) Dalam hadits yang mulia ini disebutkan larangan memasuki ruangan atau tempat wanita, dan apabila disertai khalwat (berdua-duaan) tentu lebih terlarang lagi (lihat Fathul Baari, 9/331).
4) Peringatan keras untuk menjauhi perbuatan maksiat terutama dosa-dosa besar seperti zina karena akibatnya yang sangat berbahaya sehingga diserupakan dengan bahaya kematian.
5) Dosa zina orang yang sudah pernah menikah lebih besar daripada yang belum pernah menikah, makanya hukuman untuk pelakunya di dunia dibedakan.
💻 Baca Selengkapnya:
https://www.facebook.com/sofyanruray.info/posts/787337934749024:0
http://sofyanruray.info/ipar-adalah-kematian/
════ ❁✿❁ ════
➡ Bergabunglah di Channel Telegram Ustadz Sofyan Chalid Ruray hafizhahullah ⤵
📮 Join Telegram: http://bit.ly/1TwCsBr
📲 Gabung Group WA: 08111377787
🌍 Fb: www.fb.com/sofyanruray.info
🌐 Website: www.sofyanruray.info
📱 Android: http://bit.ly/1FDlcQo
🎬 Youtube: Ta’awun Dakwah
📒 #Muslimah_Shalihah
📙 #Mutiara_Sunnah
🌻 PERAYAAN TAHUN BARU DI BULAN MUHARRAM BUKAN AJARAN ISLAM
➡ Sahabat yang Mulia Anas bin Malik radhiyallahu’anhu berkata,
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
🍂 “Ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mendatangi kota Madinah, para sahabat memiliki dua hari raya yang padanya mereka bersenang-senang. Maka beliau bersabda: Dua hari apa ini? Mereka menjawab: Dua hari yang sudah biasa kami bersenang-senang padanya di masa Jahiliyah. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah telah mengganti kedua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu idul adha dan idul fitri.” [HR. Abu Daud, Shahih Abi Daud: 1039]
➡ Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
🍂 “Sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha]
➡ Asy-Syaikhul ‘Allamah Ibnu Baz rahimahullah berkata,
🍂 “Demikian pula perayaan malam isra’ mi’raj, malam nisfu Sya’ban, perayaan tahun baru hijriyyah (peringatan hijrah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam), atau fathu Makkah dan perang Badar, semua itu termasuk bid’ah (mengada-ada dalam agama), karena perkara-perkara ini terjadi di masa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam namun beliau tidak merayakannya.
Andaikan perayaan itu termasuk pendekatan diri kepada Allah ta’ala tentunya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah merayakannya, atau memerintahkan para sahabat untuk merayakannya atau para sahabat sendiri yang merayakannya sepeninggal beliau, maka tatkala Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan sahabat tidak merayakannya kita pun mengetahui bahwa itu adalah bid’ah atau tidak disyari’atkan.” [Nuur ‘alad Darb, 3/101]
📝 #Beberapa_Pelajaran:
1) Hari raya, yaitu hari yang selalu dirayakan berulang-ulang, dalam Islam telah ditentukan oleh syari’at, tidak boleh ditambah dan dikurangi, bahkan semua tradisi hari raya sebelum Islam tidak boleh dilestarikan.
2) Barangsiapa menambah-nambah atau mengada-adakan hari raya atau hari peringatan selain yang ditentukan oleh syari’at maka ia telah melampaui batas dalam agama.
3) Hari-hari peringatan yang selalu dirayakan berulang-ulang seperti perayaan maulid, muharram, isra’ mi’raj, ulang tahun, hari kemerdekaan dan lain-lain termasuk menambah-nambah dalam syari’at karena syari’at telah menentukan hari raya khusus yaitu idul fitri dan idul adha, maka tidak boleh ditambah apa pun selainnya.
4) Mengada-adakan hari-hari raya lain atau hari peringatan juga termasuk bentuk tasyabbuh (ikut-ikutan) kepada orang-orang kafir.
5) Keteladanan para sahabat dalam mengikuti bimbingan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, karena setelah larangan tersebut para sahabat tidak memiliki hari perayaan dan peringatan lagi selain idul adha dan idul fitri.
➡ Para sahabat tidak pernah merayakan maulid padahal mereka yang paling cinta terhadap Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, karena mereka memahami arti cinta yang sebenarnya adalah meneladani beliau, bukan malah melakukan yang beliau benci yaitu berbuat bid'ah dalam agama tanpa petunjuk beliau.
➡ Para sahabat tidak pernah merayakan tahun baru Islam, padahal mereka orang yang paling cinta terhadap Islam dan paling kuat dan besar perjuangan mereka untuk Islam, karena mereka lebih memahami arti mencintai Islam daripada kita.
💻 Sumber:
🔸
https://t.me/sofyanruray/818
🔸 https://www.facebook.com/sofyanruray.info/posts/677633769052775:0
🔸 http://sofyanruray.info/mengapa-perayaan-hari-besar-selain-idul-adha-dan-idul-fitri-termasuk-bidah/
══════ ❁✿❁ ══════
➡ Bergabunglah dan Sebarkan Dakwah Sunnah Bersama Markaz Ta’awun Dakwah dan Bimbingan Islam ⤵
📮 Join Telegram: http://goo.gl/6bYB1k
📲 Gabung Group WA: 08111377787
📒 Hastag: #Mutiara_Sunnah
➡ Sahabat yang Mulia Anas bin Malik radhiyallahu’anhu berkata,
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
🍂 “Ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mendatangi kota Madinah, para sahabat memiliki dua hari raya yang padanya mereka bersenang-senang. Maka beliau bersabda: Dua hari apa ini? Mereka menjawab: Dua hari yang sudah biasa kami bersenang-senang padanya di masa Jahiliyah. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah telah mengganti kedua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu idul adha dan idul fitri.” [HR. Abu Daud, Shahih Abi Daud: 1039]
➡ Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
🍂 “Sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha]
➡ Asy-Syaikhul ‘Allamah Ibnu Baz rahimahullah berkata,
🍂 “Demikian pula perayaan malam isra’ mi’raj, malam nisfu Sya’ban, perayaan tahun baru hijriyyah (peringatan hijrah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam), atau fathu Makkah dan perang Badar, semua itu termasuk bid’ah (mengada-ada dalam agama), karena perkara-perkara ini terjadi di masa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam namun beliau tidak merayakannya.
Andaikan perayaan itu termasuk pendekatan diri kepada Allah ta’ala tentunya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah merayakannya, atau memerintahkan para sahabat untuk merayakannya atau para sahabat sendiri yang merayakannya sepeninggal beliau, maka tatkala Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan sahabat tidak merayakannya kita pun mengetahui bahwa itu adalah bid’ah atau tidak disyari’atkan.” [Nuur ‘alad Darb, 3/101]
📝 #Beberapa_Pelajaran:
1) Hari raya, yaitu hari yang selalu dirayakan berulang-ulang, dalam Islam telah ditentukan oleh syari’at, tidak boleh ditambah dan dikurangi, bahkan semua tradisi hari raya sebelum Islam tidak boleh dilestarikan.
2) Barangsiapa menambah-nambah atau mengada-adakan hari raya atau hari peringatan selain yang ditentukan oleh syari’at maka ia telah melampaui batas dalam agama.
3) Hari-hari peringatan yang selalu dirayakan berulang-ulang seperti perayaan maulid, muharram, isra’ mi’raj, ulang tahun, hari kemerdekaan dan lain-lain termasuk menambah-nambah dalam syari’at karena syari’at telah menentukan hari raya khusus yaitu idul fitri dan idul adha, maka tidak boleh ditambah apa pun selainnya.
4) Mengada-adakan hari-hari raya lain atau hari peringatan juga termasuk bentuk tasyabbuh (ikut-ikutan) kepada orang-orang kafir.
5) Keteladanan para sahabat dalam mengikuti bimbingan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, karena setelah larangan tersebut para sahabat tidak memiliki hari perayaan dan peringatan lagi selain idul adha dan idul fitri.
➡ Para sahabat tidak pernah merayakan maulid padahal mereka yang paling cinta terhadap Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, karena mereka memahami arti cinta yang sebenarnya adalah meneladani beliau, bukan malah melakukan yang beliau benci yaitu berbuat bid'ah dalam agama tanpa petunjuk beliau.
➡ Para sahabat tidak pernah merayakan tahun baru Islam, padahal mereka orang yang paling cinta terhadap Islam dan paling kuat dan besar perjuangan mereka untuk Islam, karena mereka lebih memahami arti mencintai Islam daripada kita.
💻 Sumber:
🔸
https://t.me/sofyanruray/818
🔸 https://www.facebook.com/sofyanruray.info/posts/677633769052775:0
🔸 http://sofyanruray.info/mengapa-perayaan-hari-besar-selain-idul-adha-dan-idul-fitri-termasuk-bidah/
══════ ❁✿❁ ══════
➡ Bergabunglah dan Sebarkan Dakwah Sunnah Bersama Markaz Ta’awun Dakwah dan Bimbingan Islam ⤵
📮 Join Telegram: http://goo.gl/6bYB1k
📲 Gabung Group WA: 08111377787
📒 Hastag: #Mutiara_Sunnah
Telegram
Sofyan Chalid bin Idham Ruray
🌻 PERAYAAN TAHUN BARU DI BULAN MUHARRAM BUKAN AJARAN ISLAM
➡ Sahabat yang Mulia Anas bin Malik radhiyallahu’anhu berkata,
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا…
➡ Sahabat yang Mulia Anas bin Malik radhiyallahu’anhu berkata,
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا…