asma Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau rezekikan (anugerahkan) kepada kami", karena sesungguhnya jika ditakdirkan terlahirkan anak di antara keduanya, niscaya setan tidak dapat menimpakan mudarat terhadap anak itu untuk selama-lamanya.#
Berawal dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa kedua pendapat di kalangan ahli nahwu dalam masalah lafaz yang dijadikan ta'alluq (kaitan) oleh huruf ba dalam kalimat Bismillah, apakah berupa fi'il atau isim, keduanya sama-sama mendekati kebenaran. Masing-masing pendapat memang ada contohnya di dalam Al-Qur'an.
Pendapat yang mengatakan bahwa ta'alluq-nya berupa isim, hingga bentuk lengkapnya menjadi seperti berikut: "Dengan menyebut asma Allah kumulai", contohnya di dalam Al-Qur'an ialah firman-Nya:
*بِسْمِ اللّٰهِ مَجْرٰ۪ىهَا وَمُرْسٰىهَا اِنَّ رَبِّيْ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ*
#Dan Nuh berkata, "Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuh." Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.#
(Hud, [11:41])
Orang yang memperkirakannya dalam bentuk fi'il, baik fi'il amar ataupun khabar (kalimat berita), contohnya ialah: "Aku memulai dengan menyebut asma Allah" atau "Dengan nama Allah aku memulai", seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
*اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ*
#Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.#
(Al-'Alaq, [96:1])
Kedua pendapat tersebut benar, karena suatu fi'il pasti mempunyai masdar. Maka Anda boleh memperkirakan ta'alluq-nya dalam bentuk fi'il atau masdar-nya. Yang demikian itu disesuaikan dengan pekerjaan yang akan dibacakan basmalah untuknya, misalnya duduk, berdiri, makan, minum, membaca, wudu, ataupun salat. Hal yang dianjurkan ialah membaca basmalah di kala hendak melakukan semua hal yang disebutkan untuk memperoleh berkah dan rahmat serta pertolongan dalam menyelesaikannya dan agar diterima oleh Allah SWT.
Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui hadis Bisyr ibnu Imarah, dari Abu Rauq, dari Dahhak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa hal yang mula-mula dibawa turun oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW ialah: "Hai Muhammad, katakanlah, 'Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari godaan setan yang terkutuk'." Kemudian Malaikat Jibril berkata, "Katakanlah bismillāhir rahmānir rahīm (Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)."
Jibril berkata kepadanya, "Hai Muhammad, sebutlah asma Allah, bacalah dengan menyebut asma Allah -Tuhanmu-dan berdiri serta duduklah dengan menyebut asma Allah," menurut lafaz Ibnu Jarir.
Apakah lafaz isim (yang ada pada lafaz Bismi) merupakan musamma (yang diberi nama) atau lainnya? Dalam hal ini ada tiga pendapat, yaitu:
Pertama, isim adalah musamma (yang diberi nama). Pendapat ini dikatakan oleh Abu Ubaidah dan Imam Sibawaih, kemudian dipilih oleh Al-Baqilani dan Ibnu Faurak; dikatakan pula oleh Ar-Razi (yaitu Muhammad ibnu Umar) yang dikenal dengan julukan Ibnu Khatib Ar-Ray di dalam mukadimah kitab Tafsir-nya.
Kedua, menurut golongan Al-Hasywiyyah, Al-Karamiyyah, dan Al-Asy'ariyyah, isim adalah diri yang diberi nama, tetapi bukan namanya.
Ketiga, menurut Mu'tazilah isim bukan menunjukkan yang diberi nama, tetapi merupakan namanya.
Menurut pendapat yang terpilih di kalangan kami, isim bukan menunjukkan yang diberi nama. bukan pula namanya. Kemudian kami simpulkan, jika yang dimaksud dengan istilah "isim" adalah "suara dari huruf-huruf yang tersusun", maka menurut kesimpulannya isim bukanlah musamma, sekalipun menurut makna yang dimaksud dengan isim adalah diri musamma (yang diberi nama). Hal seperti ini termasuk ke dalam Bab "Menjelaskan Hal yang Sudah Jelas Berarti Tidak Ada Gunanya". Maka dapat dibuktikan bahwa melibatkan diri ke dalam pembahasan ini dengan mengadakan semua hipotesis sama saja dengan membuang-buang waktu yang tidak ada guna.
Kemudian dibahas hal yang menunjukkan adanya perbedaan antara isim dan musamma. Disebutkan bahwa adakalanya isim memang ada, tetapi musamma-nya tid
Berawal dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa kedua pendapat di kalangan ahli nahwu dalam masalah lafaz yang dijadikan ta'alluq (kaitan) oleh huruf ba dalam kalimat Bismillah, apakah berupa fi'il atau isim, keduanya sama-sama mendekati kebenaran. Masing-masing pendapat memang ada contohnya di dalam Al-Qur'an.
Pendapat yang mengatakan bahwa ta'alluq-nya berupa isim, hingga bentuk lengkapnya menjadi seperti berikut: "Dengan menyebut asma Allah kumulai", contohnya di dalam Al-Qur'an ialah firman-Nya:
*بِسْمِ اللّٰهِ مَجْرٰ۪ىهَا وَمُرْسٰىهَا اِنَّ رَبِّيْ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ*
#Dan Nuh berkata, "Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuh." Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.#
(Hud, [11:41])
Orang yang memperkirakannya dalam bentuk fi'il, baik fi'il amar ataupun khabar (kalimat berita), contohnya ialah: "Aku memulai dengan menyebut asma Allah" atau "Dengan nama Allah aku memulai", seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
*اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ*
#Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.#
(Al-'Alaq, [96:1])
Kedua pendapat tersebut benar, karena suatu fi'il pasti mempunyai masdar. Maka Anda boleh memperkirakan ta'alluq-nya dalam bentuk fi'il atau masdar-nya. Yang demikian itu disesuaikan dengan pekerjaan yang akan dibacakan basmalah untuknya, misalnya duduk, berdiri, makan, minum, membaca, wudu, ataupun salat. Hal yang dianjurkan ialah membaca basmalah di kala hendak melakukan semua hal yang disebutkan untuk memperoleh berkah dan rahmat serta pertolongan dalam menyelesaikannya dan agar diterima oleh Allah SWT.
Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui hadis Bisyr ibnu Imarah, dari Abu Rauq, dari Dahhak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa hal yang mula-mula dibawa turun oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW ialah: "Hai Muhammad, katakanlah, 'Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari godaan setan yang terkutuk'." Kemudian Malaikat Jibril berkata, "Katakanlah bismillāhir rahmānir rahīm (Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)."
Jibril berkata kepadanya, "Hai Muhammad, sebutlah asma Allah, bacalah dengan menyebut asma Allah -Tuhanmu-dan berdiri serta duduklah dengan menyebut asma Allah," menurut lafaz Ibnu Jarir.
Apakah lafaz isim (yang ada pada lafaz Bismi) merupakan musamma (yang diberi nama) atau lainnya? Dalam hal ini ada tiga pendapat, yaitu:
Pertama, isim adalah musamma (yang diberi nama). Pendapat ini dikatakan oleh Abu Ubaidah dan Imam Sibawaih, kemudian dipilih oleh Al-Baqilani dan Ibnu Faurak; dikatakan pula oleh Ar-Razi (yaitu Muhammad ibnu Umar) yang dikenal dengan julukan Ibnu Khatib Ar-Ray di dalam mukadimah kitab Tafsir-nya.
Kedua, menurut golongan Al-Hasywiyyah, Al-Karamiyyah, dan Al-Asy'ariyyah, isim adalah diri yang diberi nama, tetapi bukan namanya.
Ketiga, menurut Mu'tazilah isim bukan menunjukkan yang diberi nama, tetapi merupakan namanya.
Menurut pendapat yang terpilih di kalangan kami, isim bukan menunjukkan yang diberi nama. bukan pula namanya. Kemudian kami simpulkan, jika yang dimaksud dengan istilah "isim" adalah "suara dari huruf-huruf yang tersusun", maka menurut kesimpulannya isim bukanlah musamma, sekalipun menurut makna yang dimaksud dengan isim adalah diri musamma (yang diberi nama). Hal seperti ini termasuk ke dalam Bab "Menjelaskan Hal yang Sudah Jelas Berarti Tidak Ada Gunanya". Maka dapat dibuktikan bahwa melibatkan diri ke dalam pembahasan ini dengan mengadakan semua hipotesis sama saja dengan membuang-buang waktu yang tidak ada guna.
Kemudian dibahas hal yang menunjukkan adanya perbedaan antara isim dan musamma. Disebutkan bahwa adakalanya isim memang ada, tetapi musamma-nya tid
asma lainnya dianggap sebagai sifat-Nya, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
*وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَا*
#Allah mempunyai asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu.#
(Al-A'raf, [7:180])
Allah SWT berfirman:
*قُلِ ادْعُوا اللّٰهَ اَوِ ادْعُوا الرَّحْمٰنَ اَيًّا مَّا تَدْعُوْا فَلَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى*
#Katakanlah, "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kalian seru, Dia mempunyai asma-ul husna."#
(Al-Isra, [17:110])
Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
*اِنَّ لِلّٰهِ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اسْمًا مِائَةٌ اِلَّا وَاحِدًا مَنْ اَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ*
#Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, yaitu seratus kurang satu; barang siapa menghitungnya (menghafalnya), niscaya masuk surga.#
Hal seperti itu disebutkan pula di dalam riwayat Imam Turmuzi dan Ibnu Majah, hanya di antara kedua riwayat terdapat perbedaan mengenai tambahan dan pengurangan lafaz.
Ar-Razi di dalam kitab Tafsir-nya menyebutkan dari sebagian mereka bahwa Allah mempunyai lima ribu isim (nama); seribu nama terdapat di dalam Al-Qur'an dan sunnah yang sahih, seribu terdapat di dalam kitab Taurat, seribu di dalam kitab Injil, seribu di dalam kitab Zabur, dan yang seribu lagi di dalam Lauh Mahfuz.
Allah adalah isim yang tidak dimiliki oleh selain Allah sendiri Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi. Karena itu, maka dalam bahasa Arab tidak terdapat isytiqaq (bentuk asal) dari fi'il-nya. Segolongan kalangan ahli nahwu ada yang berpendapat bahwa lafaz "Allah" merupakan isim jamid yang tidak mempunyai isytiqaq. Pendapat ini dinukil oleh Al-Qurtubi dari sejumlah ulama, antara lain Imam Syafii, Al-Khattabi, Imamul Haramain, Imam Gazali, dan lain-lainnya.
Diriwayatkan dari Imam Khalil dan Imam Sibawaih bahwa huruf alif dan lam yang ada padanya merupakan lazimah. Imam Khattabi mengatakan, "Tidakkah kamu melihat bahwa kamu katakan, 'Ya Allah', tetapi kamu tidak dapat mengatakan, 'Ya Ar-Rahman.' Seandainya huruf alif dan lam ini bukan berasal dari lafaz itu sendiri, niscaya tidak boleh memasukkan huruf nida pada alif dan lam."
Menurut pendapat yang lain, lafaz "Allah" mempunyai akar kata sendiri, dan mereka berpendapat demikian berpegang kepada ucapan seorang penyair, Ru'bah ibnul Ajjaj, yaitu:
*لِلّٰهِ دَرُّ الْغَانِيَاتِ الْمُدَّهِ ... سَبَّحْنَ وَاسْتَرْجَعْنَ مِنْ تَاَلُّهِي*
#Hanya milik Allah-lah semua kebaikan yang dilahirkan oleh budak-budak perempuan penyanyi yang bersuara merdu itu, mereka bertasbih dan ber-istirja' karena menganggapkn sebagai dewa (penolong).#
Penyair menjelaskan bentuk masdar-nya yaitu ta'alluh, berasal dari fi'l aliha ya-lahu ilahah dan ta-alluhan. Sebagaimana pula yang telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa dia membaca firman-Nya dalam surat Al-A'raf [7:127] dengan bacaan seperti berikut:
*وَيَذَرَكَ وَيْلَهَتَكَ*
#Dan meninggalkanmu serta tidak menganggapmu sebagai tuhan lagi.#
Dikatakan demikian karena Fir'aun disembah, sedangkan dia sendiri tidak menyembah. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid dan yang lainnya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa lafaz "Allah" mempunyai isytiqaq, berdalilkan firman-Nya:
*وَهُوَ اللّٰهُ فِى السَّمٰوٰتِ وَفِى الْاَرْضِ*
#Dan Dialah Allah (Yang disembah), baik di langit maupun di bumi.#
(Al-An'am: [6:3])
Sebagaimana pula yang terdapat di dalam firman-Nya yang lain, yaitu:
*وَهُوَ الَّذِيْ فِى السَّمَاۤءِ اِلٰهٌ وَّفِى الْاَرْضِ*
#Dan Dialah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi.#
(Az-Zukhruf, [43:84])
Imam Sibawaih menukil dari Imam Khalil bahwa asal lafaz "Allah" adalah illahun berwazan fi'alun, kemudian dimasukkan alif dan lam sebagai ganti hamzah hingga jadilah Allah. Imam Sibawaih mengatakan, perihalnya semisal dengan lafaz nasun, bentuk asalnya adalah unasun.
Menurut pendapat yang lain, asal lafaz "Allah" ialah lahun. kemudian masuklah alif dan lam untuk mengagungkan, hingga jadilah "Allah"; pendapat inilah yang dipilih oleh I
*وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَا*
#Allah mempunyai asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu.#
(Al-A'raf, [7:180])
Allah SWT berfirman:
*قُلِ ادْعُوا اللّٰهَ اَوِ ادْعُوا الرَّحْمٰنَ اَيًّا مَّا تَدْعُوْا فَلَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى*
#Katakanlah, "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kalian seru, Dia mempunyai asma-ul husna."#
(Al-Isra, [17:110])
Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
*اِنَّ لِلّٰهِ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اسْمًا مِائَةٌ اِلَّا وَاحِدًا مَنْ اَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ*
#Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, yaitu seratus kurang satu; barang siapa menghitungnya (menghafalnya), niscaya masuk surga.#
Hal seperti itu disebutkan pula di dalam riwayat Imam Turmuzi dan Ibnu Majah, hanya di antara kedua riwayat terdapat perbedaan mengenai tambahan dan pengurangan lafaz.
Ar-Razi di dalam kitab Tafsir-nya menyebutkan dari sebagian mereka bahwa Allah mempunyai lima ribu isim (nama); seribu nama terdapat di dalam Al-Qur'an dan sunnah yang sahih, seribu terdapat di dalam kitab Taurat, seribu di dalam kitab Injil, seribu di dalam kitab Zabur, dan yang seribu lagi di dalam Lauh Mahfuz.
Allah adalah isim yang tidak dimiliki oleh selain Allah sendiri Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi. Karena itu, maka dalam bahasa Arab tidak terdapat isytiqaq (bentuk asal) dari fi'il-nya. Segolongan kalangan ahli nahwu ada yang berpendapat bahwa lafaz "Allah" merupakan isim jamid yang tidak mempunyai isytiqaq. Pendapat ini dinukil oleh Al-Qurtubi dari sejumlah ulama, antara lain Imam Syafii, Al-Khattabi, Imamul Haramain, Imam Gazali, dan lain-lainnya.
Diriwayatkan dari Imam Khalil dan Imam Sibawaih bahwa huruf alif dan lam yang ada padanya merupakan lazimah. Imam Khattabi mengatakan, "Tidakkah kamu melihat bahwa kamu katakan, 'Ya Allah', tetapi kamu tidak dapat mengatakan, 'Ya Ar-Rahman.' Seandainya huruf alif dan lam ini bukan berasal dari lafaz itu sendiri, niscaya tidak boleh memasukkan huruf nida pada alif dan lam."
Menurut pendapat yang lain, lafaz "Allah" mempunyai akar kata sendiri, dan mereka berpendapat demikian berpegang kepada ucapan seorang penyair, Ru'bah ibnul Ajjaj, yaitu:
*لِلّٰهِ دَرُّ الْغَانِيَاتِ الْمُدَّهِ ... سَبَّحْنَ وَاسْتَرْجَعْنَ مِنْ تَاَلُّهِي*
#Hanya milik Allah-lah semua kebaikan yang dilahirkan oleh budak-budak perempuan penyanyi yang bersuara merdu itu, mereka bertasbih dan ber-istirja' karena menganggapkn sebagai dewa (penolong).#
Penyair menjelaskan bentuk masdar-nya yaitu ta'alluh, berasal dari fi'l aliha ya-lahu ilahah dan ta-alluhan. Sebagaimana pula yang telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa dia membaca firman-Nya dalam surat Al-A'raf [7:127] dengan bacaan seperti berikut:
*وَيَذَرَكَ وَيْلَهَتَكَ*
#Dan meninggalkanmu serta tidak menganggapmu sebagai tuhan lagi.#
Dikatakan demikian karena Fir'aun disembah, sedangkan dia sendiri tidak menyembah. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid dan yang lainnya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa lafaz "Allah" mempunyai isytiqaq, berdalilkan firman-Nya:
*وَهُوَ اللّٰهُ فِى السَّمٰوٰتِ وَفِى الْاَرْضِ*
#Dan Dialah Allah (Yang disembah), baik di langit maupun di bumi.#
(Al-An'am: [6:3])
Sebagaimana pula yang terdapat di dalam firman-Nya yang lain, yaitu:
*وَهُوَ الَّذِيْ فِى السَّمَاۤءِ اِلٰهٌ وَّفِى الْاَرْضِ*
#Dan Dialah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi.#
(Az-Zukhruf, [43:84])
Imam Sibawaih menukil dari Imam Khalil bahwa asal lafaz "Allah" adalah illahun berwazan fi'alun, kemudian dimasukkan alif dan lam sebagai ganti hamzah hingga jadilah Allah. Imam Sibawaih mengatakan, perihalnya semisal dengan lafaz nasun, bentuk asalnya adalah unasun.
Menurut pendapat yang lain, asal lafaz "Allah" ialah lahun. kemudian masuklah alif dan lam untuk mengagungkan, hingga jadilah "Allah"; pendapat inilah yang dipilih oleh I
elisihkan dan dipertentangkan. Adapun orang-orang Arab ingkar terhadap nama Ar-Rahman karena kebodohan mereka terhadap Allah dan apa-apa yang diwajibkannya.
Selanjutnya Al-Qurtubi mengatakan bahwa menurut pendapat lain lafaz Ar-Rahmān dan Ar-Rahīm mempunyai makna yang sama; perihalnya sama dengan lafaz
#nadmana#
dan
#nadim#
, menurut Abu Ubaid.
Menurut pendapat yang lainnya lagi, sebuah isim yang ber-wazan fa'lana tidak sama dengan yang ber-wazan fa'ilun, karena wazan fa'-lana hanya dilakukan untuk tujuan mubalagah fi'il, yang dimaksud misalnya seperti ucapanmu
#rajulun gadhbanu#
ditujukan kepada seorang lelaki yang pemarah. Sedangkan wazan fa'ilun adakalanya menunjukkan makna fa'il dan adakalanya menunjukkan makna maf'ul.
Abu Ali Al-Farisi mengatakan bahwa Ar-Rahmān adalah isim yang mengandung makna umum dipakai untuk semua jenis rahmat yang khusus dimiliki oleh Allah SWT, sedangkan Ar-Rahīm hanya dikhususkan buat orang-orang mukmin saju, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
*وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَحِيْمًا*
#Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman.#
(Al-Ahzab, [33:43])
Ibnu Abbas mengatakan bahwa keduanya merupakan isim yang menunjukkan makna lemah lembut, sedangkan salah satu di antaranya lebih lembut daripada yang lainnya, yakni lebih kuat makna rahmat-nya daripada yang lain.
Kemudian diriwayatkan dari Al-Khattabi dan lain-lainnya bahwa mereka merasa kesulitan dalam mengartikan sifat ini, dan mereka mengatakan barangkali makna yang dimaksud ialah lembut, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam sebuah hadis, yaitu:
*اِنَّ اللّٰهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِى الْاَمْرِ كُلِّهٖ وَاِنَّهٗ يُعْطِيْ عَلَى الرِّفْقِ مَا لَا يُعْطِيْ عَلَى الْعُنْفِ*
#Sesungguhnya Allah Mahalembut, Dia mencintai sikap lembut dalam semua perkara, dan Dia memberi kepada sikap yang lembut pahala yang tidak pernah Dia berikan kepada sikap yang kasar.#
Ibnul Mubarak mengatakan makna Ar-Rahmān ialah "bila diminta memberi", sedangkan makna Ar-Rahīm ialah "bila tidak diminta marah", sebagaimana pengertian dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Abu Saleh Al-Farisi Al-Khauzi, dari Abu Hurairah RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
*مَنْ لَمْ يَسْاَلِ اللّٰهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ*
#Barang siapa yang tidak pernah meminta kepada Allah, niscaya Allah murka terhadapnya.#
Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami As-Sirri ibnu Yahya At-Tamimi, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Zufar yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Azrami berkata sehubungan dengan makna ar-rahmānir rahīm, "Ar-Rahmān artinya Maha Pemurah kepada semua makhluk (baik yang kafir ataupun yang mukmin), sedangkan Ar-Rahīm Maha Penyayang kepada kaum mukmin."
Mereka (para ulama ahli tafsir) mengatakan, mengingat hal tersebut dinyatakan di dalam firman-Nya:
*ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِ اَلرَّحْمٰنُ*
#kemudian Dia ber-istiwa di atas Arasy, (Dia-lah) Yang Maha Pemurah.#
(Al-Furqan, [25:59])
Di dalam firman lainnya disebutkan pula:
*اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى*
#Tuhan Yang Maha Pemurah bersemayam di atas 'Arsy.#
(Thaha, [20:5])
Allah menyebut nama Ar-Rahmān untuk diri-Nya dalam peristiwa ini agar semua makhluk memperoleh kemurahan rahmat-Nya. Dalam ayat lain Allah SWT telah berfirman:
*وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَحِيْمًا*
#Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman.#
(Al-Ahzab, [33:43])
Maka Dia mengkhususkan nama Ar-Rahīm untuk mereka. Mereka mengatakan, hal ini menunjukkan bahwa lafaz
#ar-rahmān#
mempunyai pengertian mubalagah dalam kasih sayang, mengingat kasih sayang bersifat umum (baik di dunia maupun di akhirat) bagi semua makhluk-Nya. Sedangkan lafaz
#ar-rahīm#
dikhususkan bagi hamba-Nya yang beriman. Akan tetapi, memang di dalam sebuah doa yang ma'sur disebut "Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat, Yang Maha Penyayang di dunia dan di akhirat".
Nama Ar-Rahmān hanya khusus bagi Allah SWT semata, tiada selain-Nya yang berhak menyanda
Selanjutnya Al-Qurtubi mengatakan bahwa menurut pendapat lain lafaz Ar-Rahmān dan Ar-Rahīm mempunyai makna yang sama; perihalnya sama dengan lafaz
#nadmana#
dan
#nadim#
, menurut Abu Ubaid.
Menurut pendapat yang lainnya lagi, sebuah isim yang ber-wazan fa'lana tidak sama dengan yang ber-wazan fa'ilun, karena wazan fa'-lana hanya dilakukan untuk tujuan mubalagah fi'il, yang dimaksud misalnya seperti ucapanmu
#rajulun gadhbanu#
ditujukan kepada seorang lelaki yang pemarah. Sedangkan wazan fa'ilun adakalanya menunjukkan makna fa'il dan adakalanya menunjukkan makna maf'ul.
Abu Ali Al-Farisi mengatakan bahwa Ar-Rahmān adalah isim yang mengandung makna umum dipakai untuk semua jenis rahmat yang khusus dimiliki oleh Allah SWT, sedangkan Ar-Rahīm hanya dikhususkan buat orang-orang mukmin saju, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
*وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَحِيْمًا*
#Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman.#
(Al-Ahzab, [33:43])
Ibnu Abbas mengatakan bahwa keduanya merupakan isim yang menunjukkan makna lemah lembut, sedangkan salah satu di antaranya lebih lembut daripada yang lainnya, yakni lebih kuat makna rahmat-nya daripada yang lain.
Kemudian diriwayatkan dari Al-Khattabi dan lain-lainnya bahwa mereka merasa kesulitan dalam mengartikan sifat ini, dan mereka mengatakan barangkali makna yang dimaksud ialah lembut, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam sebuah hadis, yaitu:
*اِنَّ اللّٰهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِى الْاَمْرِ كُلِّهٖ وَاِنَّهٗ يُعْطِيْ عَلَى الرِّفْقِ مَا لَا يُعْطِيْ عَلَى الْعُنْفِ*
#Sesungguhnya Allah Mahalembut, Dia mencintai sikap lembut dalam semua perkara, dan Dia memberi kepada sikap yang lembut pahala yang tidak pernah Dia berikan kepada sikap yang kasar.#
Ibnul Mubarak mengatakan makna Ar-Rahmān ialah "bila diminta memberi", sedangkan makna Ar-Rahīm ialah "bila tidak diminta marah", sebagaimana pengertian dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Abu Saleh Al-Farisi Al-Khauzi, dari Abu Hurairah RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
*مَنْ لَمْ يَسْاَلِ اللّٰهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ*
#Barang siapa yang tidak pernah meminta kepada Allah, niscaya Allah murka terhadapnya.#
Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami As-Sirri ibnu Yahya At-Tamimi, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Zufar yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Azrami berkata sehubungan dengan makna ar-rahmānir rahīm, "Ar-Rahmān artinya Maha Pemurah kepada semua makhluk (baik yang kafir ataupun yang mukmin), sedangkan Ar-Rahīm Maha Penyayang kepada kaum mukmin."
Mereka (para ulama ahli tafsir) mengatakan, mengingat hal tersebut dinyatakan di dalam firman-Nya:
*ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِ اَلرَّحْمٰنُ*
#kemudian Dia ber-istiwa di atas Arasy, (Dia-lah) Yang Maha Pemurah.#
(Al-Furqan, [25:59])
Di dalam firman lainnya disebutkan pula:
*اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى*
#Tuhan Yang Maha Pemurah bersemayam di atas 'Arsy.#
(Thaha, [20:5])
Allah menyebut nama Ar-Rahmān untuk diri-Nya dalam peristiwa ini agar semua makhluk memperoleh kemurahan rahmat-Nya. Dalam ayat lain Allah SWT telah berfirman:
*وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَحِيْمًا*
#Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman.#
(Al-Ahzab, [33:43])
Maka Dia mengkhususkan nama Ar-Rahīm untuk mereka. Mereka mengatakan, hal ini menunjukkan bahwa lafaz
#ar-rahmān#
mempunyai pengertian mubalagah dalam kasih sayang, mengingat kasih sayang bersifat umum (baik di dunia maupun di akhirat) bagi semua makhluk-Nya. Sedangkan lafaz
#ar-rahīm#
dikhususkan bagi hamba-Nya yang beriman. Akan tetapi, memang di dalam sebuah doa yang ma'sur disebut "Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat, Yang Maha Penyayang di dunia dan di akhirat".
Nama Ar-Rahmān hanya khusus bagi Allah SWT semata, tiada selain-Nya yang berhak menyanda
lil tersebut untuk menunjukkan bahwa lafaz "Allah" merupakan isim jamid yang tak ber-musytaq, masih perlu dipertimbangkan.
Ar-Razi meriwayatkan dari sebagian ulama bahwa nama Allah SWT berasal dari bahasa Ibrani, bukan bahasa Arab. Kemudian Ar-Razi menilai pendapat ini lemah, dan memang menurutnya pantas dinilai lemah. Ar-Razi pada mulanya meriwayatkan pendapat ini, kemudian ia mengatakan perlu diketahui bahwa semua makhluk itu terbagi menjadi dua, yaitu orang-orang yang sampai ke tepi pantai lautan makrifat serta orang-orang yang tersesat di dalam kegelapan kebingungan dan sahara kebodohan, seakan-akan mereka dalam keadaan hilang akal dan rohnya. Orang-orang yang sampai kepada makrifat berarti telah sampai ke haribaan cahaya Allah dan kemahaluasan sifat Yang Maha Agung lagi Maha Terpuji. akhirnya mereka tenggelam ke dalam sifat As-shamad lebur ke dalam sifat Fard (esa). Maka terbuktilah bahwa setiap makhluk kebingungan untuk sampai kepada tingkat makrifat kepada-Nya.
Diriwayatkan dari Khalil ibnu Ahmad, dinamakan "Allah" karena semua makhluk mempertuhankan-Nya.
Menurut pendapat lain, lafaz "Allah" musytaq dari makna irtifa' (tinggi) orang-orang Arab mengatakan lahat terhadap sesuatu yang tinggi. Mereka mengatakan lahat -yakni telah meninggi- bila matahari terbit.
Menurut pendapat lainnya lagi, lafaz "Allah" berasal dari kata
#alihar rajulu#
, yakni "bila lelaki tersebut beribadah"; dikatakan ta-al-laha bila dia melakukan ibadah. Ibnu Abbas membacakan firman-Nya,
#wayazaraka wailahatuka#
, dengan kata lain bentuk asalnya adalah
#ilāhun#
, kemudian hamzah-nya dibuang yang merupakan fa kalimah; setelah dimasuki alif lam, maka bertemulah dua huruf lam, yaitu 'ain fi'l dan lam zaidah. Selanjutnya lam pertama di-idgam-kan kepada lam kedua, hingga keduanya secara lafzi menjadi satu lam yang di-tasydid-kan, kemudian di-tafkhim-kan karena tujuan mengagungkan, hingga jadilah Allah.
Keduanya merupakan isim yang berakar dari bentuk masdar Ar-Rahmān dengan maksud mubalagah; lafaz Ar-Rahmān lebih balig (kuat) daripada lafaz Ar-Rahīm. Di dalam ungkapan Ibnu Jarir terkandung pengertian yang menunjukkan adanya riwayat yang menyatakan kesepakatan ulama atas hal ini. Di dalam kitab tafsir sebagian ulama salaf terdapat keterangan yang menunjukkan kepada pengertian tersebut, seperti yang telah disebutkan di dalam asar mengenai kisah Nabi Isa. Disebutkan bahwa dia pernah mengatakan, "Ar-Rahmān artinya Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat, sedangkan Ar-Rahīm artinya Yang Maha Penyayang di akhirat."
Sebagian di antara mereka (ulama) ada yang menduga bahwa lafaz ini tidak ber-musytaq; karena seandainya ber-musytaq, niscaya tidak dihubungkan dengan sebutan subyek yang dibelaskasihani, dan Allah telah berfirman:
*وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَحِيْمًا*
#Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman.#
(Al-Ahzab, [33:43])
Ibnul Anbari di dalam kitab Az-Zahir meriwayatkan dari Al-Mubarrad, bahwa ar-rahman adalah nama ibrani, bukan nama Arab. Dan Abu Ishaq Az-Zujaji di dalam kitab Ma'ani Al-Qur'an. bahwa Ahmad bin Yahya mengatakan, Ar-Rahīm adalah nama Arab, dan Ar-Rahmān nama Ibrani. Karena itu, di antara keduanya digabungkan. Abu Ishaq mengatakan, pendapat ini tidak disukai.
Al-Qurtubi mengatakan bahwa dalil yang menunjukkan bahwa lafaz Ar-Rahmān mempunyai asal kata yaitu sebuah hadis yang diketengahkan oleh Imam Turmuzi dan dinilai sahih olehnya melalui Abdur Rahman bin Auf RA yang menceritakan bahwa dia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
*قَالَ اللّٰهُ تَعَالٰى اَنَا۠ الرَّحْمٰنُ خَلَقْتُ الرَّحِمَ وَشَقَقْتُ لَهَا اسْمًا مِنَ اسْمِيْ فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهٗ وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعْتُهٗ*
#Allah SWT berfirman, "Akulah Ar-Rahmān (Yang Maha Pemurah), Aku telah menciptakan rahim dan Aku belahkan salah satu nama-Ku buatnya. Maka barang siapa yang menghubungkannya, niscaya Aku berhubungan (dekat) dengannya; dan barang siapa yang memutuskannya, niscaya Aku putus (jauh) darinya.#
Al-Qurtubi mengatakan bahwa nas hadis ini mengandung isytiqaq (pengasalan kata), maka tidak ada maknanya untuk dipers
Ar-Razi meriwayatkan dari sebagian ulama bahwa nama Allah SWT berasal dari bahasa Ibrani, bukan bahasa Arab. Kemudian Ar-Razi menilai pendapat ini lemah, dan memang menurutnya pantas dinilai lemah. Ar-Razi pada mulanya meriwayatkan pendapat ini, kemudian ia mengatakan perlu diketahui bahwa semua makhluk itu terbagi menjadi dua, yaitu orang-orang yang sampai ke tepi pantai lautan makrifat serta orang-orang yang tersesat di dalam kegelapan kebingungan dan sahara kebodohan, seakan-akan mereka dalam keadaan hilang akal dan rohnya. Orang-orang yang sampai kepada makrifat berarti telah sampai ke haribaan cahaya Allah dan kemahaluasan sifat Yang Maha Agung lagi Maha Terpuji. akhirnya mereka tenggelam ke dalam sifat As-shamad lebur ke dalam sifat Fard (esa). Maka terbuktilah bahwa setiap makhluk kebingungan untuk sampai kepada tingkat makrifat kepada-Nya.
Diriwayatkan dari Khalil ibnu Ahmad, dinamakan "Allah" karena semua makhluk mempertuhankan-Nya.
Menurut pendapat lain, lafaz "Allah" musytaq dari makna irtifa' (tinggi) orang-orang Arab mengatakan lahat terhadap sesuatu yang tinggi. Mereka mengatakan lahat -yakni telah meninggi- bila matahari terbit.
Menurut pendapat lainnya lagi, lafaz "Allah" berasal dari kata
#alihar rajulu#
, yakni "bila lelaki tersebut beribadah"; dikatakan ta-al-laha bila dia melakukan ibadah. Ibnu Abbas membacakan firman-Nya,
#wayazaraka wailahatuka#
, dengan kata lain bentuk asalnya adalah
#ilāhun#
, kemudian hamzah-nya dibuang yang merupakan fa kalimah; setelah dimasuki alif lam, maka bertemulah dua huruf lam, yaitu 'ain fi'l dan lam zaidah. Selanjutnya lam pertama di-idgam-kan kepada lam kedua, hingga keduanya secara lafzi menjadi satu lam yang di-tasydid-kan, kemudian di-tafkhim-kan karena tujuan mengagungkan, hingga jadilah Allah.
Keduanya merupakan isim yang berakar dari bentuk masdar Ar-Rahmān dengan maksud mubalagah; lafaz Ar-Rahmān lebih balig (kuat) daripada lafaz Ar-Rahīm. Di dalam ungkapan Ibnu Jarir terkandung pengertian yang menunjukkan adanya riwayat yang menyatakan kesepakatan ulama atas hal ini. Di dalam kitab tafsir sebagian ulama salaf terdapat keterangan yang menunjukkan kepada pengertian tersebut, seperti yang telah disebutkan di dalam asar mengenai kisah Nabi Isa. Disebutkan bahwa dia pernah mengatakan, "Ar-Rahmān artinya Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat, sedangkan Ar-Rahīm artinya Yang Maha Penyayang di akhirat."
Sebagian di antara mereka (ulama) ada yang menduga bahwa lafaz ini tidak ber-musytaq; karena seandainya ber-musytaq, niscaya tidak dihubungkan dengan sebutan subyek yang dibelaskasihani, dan Allah telah berfirman:
*وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَحِيْمًا*
#Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman.#
(Al-Ahzab, [33:43])
Ibnul Anbari di dalam kitab Az-Zahir meriwayatkan dari Al-Mubarrad, bahwa ar-rahman adalah nama ibrani, bukan nama Arab. Dan Abu Ishaq Az-Zujaji di dalam kitab Ma'ani Al-Qur'an. bahwa Ahmad bin Yahya mengatakan, Ar-Rahīm adalah nama Arab, dan Ar-Rahmān nama Ibrani. Karena itu, di antara keduanya digabungkan. Abu Ishaq mengatakan, pendapat ini tidak disukai.
Al-Qurtubi mengatakan bahwa dalil yang menunjukkan bahwa lafaz Ar-Rahmān mempunyai asal kata yaitu sebuah hadis yang diketengahkan oleh Imam Turmuzi dan dinilai sahih olehnya melalui Abdur Rahman bin Auf RA yang menceritakan bahwa dia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
*قَالَ اللّٰهُ تَعَالٰى اَنَا۠ الرَّحْمٰنُ خَلَقْتُ الرَّحِمَ وَشَقَقْتُ لَهَا اسْمًا مِنَ اسْمِيْ فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهٗ وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعْتُهٗ*
#Allah SWT berfirman, "Akulah Ar-Rahmān (Yang Maha Pemurah), Aku telah menciptakan rahim dan Aku belahkan salah satu nama-Ku buatnya. Maka barang siapa yang menghubungkannya, niscaya Aku berhubungan (dekat) dengannya; dan barang siapa yang memutuskannya, niscaya Aku putus (jauh) darinya.#
Al-Qurtubi mengatakan bahwa nas hadis ini mengandung isytiqaq (pengasalan kata), maka tidak ada maknanya untuk dipers
cukup dengan menyebut
#ar-rahmān#
saja?" Telah diriwayatkan dari Ata Al-Khurrasani yang maknanya sebagai berikut: Mengingat ada yang menamakan dirinya dengan sebutan
#ar-rahmān#
selain Dia, maka didatangkanlah lafaz
#ar-rahīm#
untuk membantah dugaan yang tidak benar itu, karena sesungguhnya tiada seorang pun yang berhak disifati dengan julukan
#ar-rahmānir rahīm#
kecuali hanya Allah semata.
Demikian yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Ata, selanjutnya Ibnu Jarirlah yang mengulasnya.
Tetapi sebagian dari kalangan mereka ada yang menduga bahwa orang-orang Arab pada mulanya tidak mengenal kata
#ar-rahmān#
sebelum Allah memperkenalkan diri-Nya dengan sebutan itu melalui firman-Nya:
*قُلِ ادْعُوا اللّٰهَ اَوِ ادْعُوا الرَّحْمٰنَ اَيًّا مَّا تَدْعُوْا فَلَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى*
#Katakanlah, 'Serulah Allah atau serulah Ar-Rahmān. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik).#
(Al-Isra, [17:110])
Karena itulah orang-orang kafir Quraisy di saat Perjanjian Hudaibiyyah dilaksanakan -yaitu ketika Rasulullah SAW bersabda, "Bolehkah aku menulis (pada permulaan perjanjian) kata bismillāhir rahmānir rahīm (dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)?"- mereka mengatakan, "Kami tidak mengenal ar-rahmān, tidak pula ar-rahīm." Demikian menurut riwayat Imam Bukhari. Sedangkan menurut riwayat lain, jawaban mereka adalah, "Kami tidak mengenal ar-rahman kecuali Rahman dari Yamamah" (maksudnya Musailamah Al-Kazzab).
Allah SWT telah berfirman:
*وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اسْجُدُوْا لِلرَّحْمٰنِ قَالُوْا وَمَا الرَّحْمٰنُ اَنَسْجُدُ لِمَا تَأْمُرُنَا وَزَادَهُمْ نُفُوْرًا*
#Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Sujudlah kalian kepada Yang Maha Rahman (Pemurah)," mereka menjawab, "Siapakah Yang Maha Penyayang ihi? Apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami (bersujud kepada-Nya)?", dan (perintah sujud iru) menambah mereka jauh (dari iman).#
(Al-Furqan, [25:60])
Menurut pengertian lahiriahnya ingkar yang mereka lakukan itu hanya merupakan sikap membangkang, ingkar, dan kekerasan hati mereka dalam kekufuran. Karena sesungguhnya telah ditemukan pada syair-syair Jahiliah mereka penyebutan Allah dengan istilah Ar-Rahman. Ibnu Jarir menyebutkan bahwa ada seseorang Jahiliah yang bodoh mengatakan syair berikut:
*اَلَا ضَرَبَتْ تِلْكَ الْفَتَاةُ هَجِيْنَهَا..اَلَا قَضَبَ الرَّحْمٰنُ رَبِّيْ يَمِيْنَهَا*
#Mengapa gadis itu tidak memukul (menghardik) untanya, bukankah tongkat rahman Rabbku berada di tangan kanannya?#
Salamah ibnu Jundub At-Tahawi mengatakan dalam salah satu bait syairnya:
*عَجَّلْتُمْ عَلَيْنَا اِذْ عَجِّلْنَا عَلَيْكُمُ..وَمَا يَشَأِ الرَّحْمٰنُ يَعْقِدُ وَيُطْلِقِ*
#Kalian terlalu tergesa-gesa terhadap kami di saat kami tergesa-gesa terhadap kalian, padahal Tuhan Yang Maha Pemurah tidak menghendaki adanya akad, lalu talak (putus hubungan).#
Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Imarah, telah menceritakan kepada kami Abu Rauq, dari Dahhak, dari Abdullah ibnu Abbas yang mengatakan bahwa
#ar-rahmān#
adalah wazan fa'lana dari lafaz
#ar-rahmah#
, dan ia termasuk kata-kata Arab.
Ibnu Jarir mengatakan, ar-rahmānir rahīm artinya "Yang Maha Lemah Lembut lagi Maha Penyayang kepada orang yang Dia suka merahmatinya, dan jauh lagi keras terhadap orang yang Dia suka berlaku keras terhadapnya". Demikian pula semua asma-Nya, yakni mempunyai makna yang sama.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Mas'adah, dari Auf, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa
#ar-rahmān#
adalah isim yang dilarang bagi selain Dia menyandangnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Habbab, telah menceritakan kepadaku Abul Asyhab, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa
#ar-rahmān#
adalah isim yang tiada seorang manusi
#ar-rahmān#
saja?" Telah diriwayatkan dari Ata Al-Khurrasani yang maknanya sebagai berikut: Mengingat ada yang menamakan dirinya dengan sebutan
#ar-rahmān#
selain Dia, maka didatangkanlah lafaz
#ar-rahīm#
untuk membantah dugaan yang tidak benar itu, karena sesungguhnya tiada seorang pun yang berhak disifati dengan julukan
#ar-rahmānir rahīm#
kecuali hanya Allah semata.
Demikian yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Ata, selanjutnya Ibnu Jarirlah yang mengulasnya.
Tetapi sebagian dari kalangan mereka ada yang menduga bahwa orang-orang Arab pada mulanya tidak mengenal kata
#ar-rahmān#
sebelum Allah memperkenalkan diri-Nya dengan sebutan itu melalui firman-Nya:
*قُلِ ادْعُوا اللّٰهَ اَوِ ادْعُوا الرَّحْمٰنَ اَيًّا مَّا تَدْعُوْا فَلَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى*
#Katakanlah, 'Serulah Allah atau serulah Ar-Rahmān. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik).#
(Al-Isra, [17:110])
Karena itulah orang-orang kafir Quraisy di saat Perjanjian Hudaibiyyah dilaksanakan -yaitu ketika Rasulullah SAW bersabda, "Bolehkah aku menulis (pada permulaan perjanjian) kata bismillāhir rahmānir rahīm (dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)?"- mereka mengatakan, "Kami tidak mengenal ar-rahmān, tidak pula ar-rahīm." Demikian menurut riwayat Imam Bukhari. Sedangkan menurut riwayat lain, jawaban mereka adalah, "Kami tidak mengenal ar-rahman kecuali Rahman dari Yamamah" (maksudnya Musailamah Al-Kazzab).
Allah SWT telah berfirman:
*وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اسْجُدُوْا لِلرَّحْمٰنِ قَالُوْا وَمَا الرَّحْمٰنُ اَنَسْجُدُ لِمَا تَأْمُرُنَا وَزَادَهُمْ نُفُوْرًا*
#Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Sujudlah kalian kepada Yang Maha Rahman (Pemurah)," mereka menjawab, "Siapakah Yang Maha Penyayang ihi? Apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami (bersujud kepada-Nya)?", dan (perintah sujud iru) menambah mereka jauh (dari iman).#
(Al-Furqan, [25:60])
Menurut pengertian lahiriahnya ingkar yang mereka lakukan itu hanya merupakan sikap membangkang, ingkar, dan kekerasan hati mereka dalam kekufuran. Karena sesungguhnya telah ditemukan pada syair-syair Jahiliah mereka penyebutan Allah dengan istilah Ar-Rahman. Ibnu Jarir menyebutkan bahwa ada seseorang Jahiliah yang bodoh mengatakan syair berikut:
*اَلَا ضَرَبَتْ تِلْكَ الْفَتَاةُ هَجِيْنَهَا..اَلَا قَضَبَ الرَّحْمٰنُ رَبِّيْ يَمِيْنَهَا*
#Mengapa gadis itu tidak memukul (menghardik) untanya, bukankah tongkat rahman Rabbku berada di tangan kanannya?#
Salamah ibnu Jundub At-Tahawi mengatakan dalam salah satu bait syairnya:
*عَجَّلْتُمْ عَلَيْنَا اِذْ عَجِّلْنَا عَلَيْكُمُ..وَمَا يَشَأِ الرَّحْمٰنُ يَعْقِدُ وَيُطْلِقِ*
#Kalian terlalu tergesa-gesa terhadap kami di saat kami tergesa-gesa terhadap kalian, padahal Tuhan Yang Maha Pemurah tidak menghendaki adanya akad, lalu talak (putus hubungan).#
Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Imarah, telah menceritakan kepada kami Abu Rauq, dari Dahhak, dari Abdullah ibnu Abbas yang mengatakan bahwa
#ar-rahmān#
adalah wazan fa'lana dari lafaz
#ar-rahmah#
, dan ia termasuk kata-kata Arab.
Ibnu Jarir mengatakan, ar-rahmānir rahīm artinya "Yang Maha Lemah Lembut lagi Maha Penyayang kepada orang yang Dia suka merahmatinya, dan jauh lagi keras terhadap orang yang Dia suka berlaku keras terhadapnya". Demikian pula semua asma-Nya, yakni mempunyai makna yang sama.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Mas'adah, dari Auf, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa
#ar-rahmān#
adalah isim yang dilarang bagi selain Dia menyandangnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Habbab, telah menceritakan kepadaku Abul Asyhab, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa
#ar-rahmān#
adalah isim yang tiada seorang manusi
mam Sibawaih.
Menurut Al-Qurtubi, fatukhzuni memakai huruf kha artinya "menggodaku dengan seenaknya".
Al-Kisai dan Al-Farra mengatakan bahwa bentuk asalnya adalah ilahun. kemudian mereka membuang hamzah dan memasukkan alif lam, lalu mereka meng-idgam (memasuk)kan lam pertama kepada lam kedua hingga jadilah Allah, seperti yang terdapat di dalam bacaan Al-Hasan terhadap firman-Nya,
#lākinna huwallāhu rabbi,#
bentuk asalnya ialah
#lākin ana,#
yakni "tetapi Aku".
Al-Qurtubi mengatakan, selanjutnya dikatakan bahwa lafaz "Allah" berasal dari walaha yang artinya "bingung", karena al-walah artinya "hilangnya akal". Dikatakan rajulun walihun dan imra-atun walha atau mauluhah artinya "bilamana dia dikirim ke padang pasir". Allah SWT membingungkan mereka dalam memikirkan hakikat sifat-Nya. Berdasarkan pengertian ini berarti bentuk asalnya adalah wilahun, kemudian huruf wawu diganti dengan hamzah, sebagaimana dikatakan oleh mereka
#wisyahun#
menjadi
#isyahun#
, dan
#wisadah#
menjadi
#isadah#
.
Ar-Razi mengatakan, bentuk asalnya adalah
#alihtu ilafidan#
yang artinya "aku tinggal di tempat si Fulan" Dengan kata lain, akal manusia tidak akan tenang kecuali dengan berzikir mengingat-Nya. Roh tidak akan gembira kecuali dengan makrifat kepada-Nya, karena Dia-lah Yang Mahasempurna secara mutlak, bukan yang lain-Nya, Allah SWT telah berfirman;
*اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ*
#Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.#
(Ar-Ra'd, [13:28])
Ar-Razi mengatakan, menurut pendapat yang lain berasal dari
#laha yaiuhu#
yang artinya "bila terhalang". Menurut pendapat lainnya lagi berasal dari alihal fasilu, artinya "anak unta itu merindukan induk-nya". Makna yang dimaksud ialah bahwa semua hamba rindu dan gandrung kepada-Nya dengan ber-tadarru' (merendahkan diri) kepada-Nya dalam setiap keadaan. Menurut pendapat lain, lafaz "Allah" berasal dari
#alihar rajula ya-lahu#
; dikatakan demikian bila dia merasa terkejut terhadap suatu peristiwa yang menimpa dirinya, kemudian dilindungi. Yang melindungi semua makhluk dari segala marabahaya adalah Allah SWT, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
*وَهُوَ يُجِيْرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ*
#sedang Dia melindungi. tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya.#
(Al-Mu'minun, [23:88])
Dia-lah Yang memberi nikmat, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
*وَمَا بِكُمْ مِّنْ نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ*
#Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allah-lah (datangnya).#
(An-Nahl, [16:53]),
Dia-lah yang memberi makan, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
*وَهُوَ يُطْعِمُ وَلَا يُطْعَمُ*
#Dia memberi makan dan tidak diberi makan.#
(Al-An'am, [6:14]),
Dia-lah yang mengadakan segala sesuatu, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
*قُلْ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ*
#Katakanlah, "Segala sesuatu dari sisi Allah."#
(An-Nisa, [4:78])
Ar-Razi sendiri memilih pendapat yang mengatakan bahwa lafaz "Allah" adalah isim yang tidak ber-musytaq sama sekali, hal ini merupakan pendapat Imam Khalil dan Imam Sibawaih serta kebanyakan ulama Usul dan ulama Fiqih. Kemudian Ar-Razi mengemukakan dalil yang memperkuat pendapatnya itu dengan berbagai alasan, antara lain ialah "seandainya lafaz 'Allah' mempunyai isytiqaq, niscaya maknanya dimiliki pula oleh selain-Nya yang banyak jumlahnya". Alasan lainnya ialah bahwa semua nama disebut sebagai sifat untuk-Nya. misalnya dikatakan Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Raja, lagi Mahasuci. Hal ini menunjukkan bahwa lafaz "Allah" tidak ber-musytaq. Ar-Razi mengatakan mengenai firman-Nya yang mengatakan:
*الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ*
#Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji, yaitu Allah.#
(Ibrahim, [14:1])
Menurut qiraah yang membaca jar lafaz "Allah", hal ini dianggap termasuk ke dalam Bab "Ataf Bayan". Alasan lainnya ialah berdasarkan firman Allah SWT:
*هَلْ تَعْلَمُ لَهٗ سَمِيًّا*
#Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?#
(Maryam, [19:65])
Akan tetapi, berpegang kepada da
Menurut Al-Qurtubi, fatukhzuni memakai huruf kha artinya "menggodaku dengan seenaknya".
Al-Kisai dan Al-Farra mengatakan bahwa bentuk asalnya adalah ilahun. kemudian mereka membuang hamzah dan memasukkan alif lam, lalu mereka meng-idgam (memasuk)kan lam pertama kepada lam kedua hingga jadilah Allah, seperti yang terdapat di dalam bacaan Al-Hasan terhadap firman-Nya,
#lākinna huwallāhu rabbi,#
bentuk asalnya ialah
#lākin ana,#
yakni "tetapi Aku".
Al-Qurtubi mengatakan, selanjutnya dikatakan bahwa lafaz "Allah" berasal dari walaha yang artinya "bingung", karena al-walah artinya "hilangnya akal". Dikatakan rajulun walihun dan imra-atun walha atau mauluhah artinya "bilamana dia dikirim ke padang pasir". Allah SWT membingungkan mereka dalam memikirkan hakikat sifat-Nya. Berdasarkan pengertian ini berarti bentuk asalnya adalah wilahun, kemudian huruf wawu diganti dengan hamzah, sebagaimana dikatakan oleh mereka
#wisyahun#
menjadi
#isyahun#
, dan
#wisadah#
menjadi
#isadah#
.
Ar-Razi mengatakan, bentuk asalnya adalah
#alihtu ilafidan#
yang artinya "aku tinggal di tempat si Fulan" Dengan kata lain, akal manusia tidak akan tenang kecuali dengan berzikir mengingat-Nya. Roh tidak akan gembira kecuali dengan makrifat kepada-Nya, karena Dia-lah Yang Mahasempurna secara mutlak, bukan yang lain-Nya, Allah SWT telah berfirman;
*اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ*
#Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.#
(Ar-Ra'd, [13:28])
Ar-Razi mengatakan, menurut pendapat yang lain berasal dari
#laha yaiuhu#
yang artinya "bila terhalang". Menurut pendapat lainnya lagi berasal dari alihal fasilu, artinya "anak unta itu merindukan induk-nya". Makna yang dimaksud ialah bahwa semua hamba rindu dan gandrung kepada-Nya dengan ber-tadarru' (merendahkan diri) kepada-Nya dalam setiap keadaan. Menurut pendapat lain, lafaz "Allah" berasal dari
#alihar rajula ya-lahu#
; dikatakan demikian bila dia merasa terkejut terhadap suatu peristiwa yang menimpa dirinya, kemudian dilindungi. Yang melindungi semua makhluk dari segala marabahaya adalah Allah SWT, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
*وَهُوَ يُجِيْرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ*
#sedang Dia melindungi. tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya.#
(Al-Mu'minun, [23:88])
Dia-lah Yang memberi nikmat, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
*وَمَا بِكُمْ مِّنْ نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ*
#Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allah-lah (datangnya).#
(An-Nahl, [16:53]),
Dia-lah yang memberi makan, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
*وَهُوَ يُطْعِمُ وَلَا يُطْعَمُ*
#Dia memberi makan dan tidak diberi makan.#
(Al-An'am, [6:14]),
Dia-lah yang mengadakan segala sesuatu, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
*قُلْ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ*
#Katakanlah, "Segala sesuatu dari sisi Allah."#
(An-Nisa, [4:78])
Ar-Razi sendiri memilih pendapat yang mengatakan bahwa lafaz "Allah" adalah isim yang tidak ber-musytaq sama sekali, hal ini merupakan pendapat Imam Khalil dan Imam Sibawaih serta kebanyakan ulama Usul dan ulama Fiqih. Kemudian Ar-Razi mengemukakan dalil yang memperkuat pendapatnya itu dengan berbagai alasan, antara lain ialah "seandainya lafaz 'Allah' mempunyai isytiqaq, niscaya maknanya dimiliki pula oleh selain-Nya yang banyak jumlahnya". Alasan lainnya ialah bahwa semua nama disebut sebagai sifat untuk-Nya. misalnya dikatakan Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Raja, lagi Mahasuci. Hal ini menunjukkan bahwa lafaz "Allah" tidak ber-musytaq. Ar-Razi mengatakan mengenai firman-Nya yang mengatakan:
*الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ*
#Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji, yaitu Allah.#
(Ibrahim, [14:1])
Menurut qiraah yang membaca jar lafaz "Allah", hal ini dianggap termasuk ke dalam Bab "Ataf Bayan". Alasan lainnya ialah berdasarkan firman Allah SWT:
*هَلْ تَعْلَمُ لَهٗ سَمِيًّا*
#Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?#
(Maryam, [19:65])
Akan tetapi, berpegang kepada da
ng nama ini, sebagaimana dinyatakan di dalam firman-Nya:
*قُلِ ادْعُوا اللّٰهَ اَوِ ادْعُوا الرَّحْمٰنَ اَيًّا مَّا تَدْعُوْا فَلَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى*
#Katakanlah, 'Serulah Allah atau serulah Ar-Rahmān. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik).#
(Al-Isra, [17:110])
Dalam ayat lainnya lagi Allah SWT telah berfirman:
*وَسْـَٔلْ مَنْ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رُّسُلِنَآ اَجَعَلْنَا مِنْ دُوْنِ الرَّحْمٰنِ اٰلِهَةً يُّعْبَدُوْنَ*
#Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu: "Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah?"#
(Az-Zukhruf, [43:45])
Ketika Musailamah Al-Kazzab (si pendusta) melancarkan provokasinya, dia menamakan dirinya dengan julukan "Rahmanul Yamamah". Maka Allah mendustakannya dan membuatnya terkenal dengan julukan Al-Kazzab (si pendusta); tidak sekali-kali ia disebut melainkan dengan panggilan Musailamah Al-Kazzab, sehingga dia dijadikan sebagai peribahasa dalam hal kedustaan di kalangan penduduk perkotaan dan penduduk perkampungan serta kalangan orang-orang Badui yang bertempat tinggal di Padang Sahara.
Sebagian ulama menduga bahwa lafaz
#ar-rahīm#
lebih balig dari-pada lafaz
#ar-rahmān#
, karena lafaz
#ar-rahīm#
dipakai sebagai kata penguat sifat, sedangkan suatu lafaz yang berfungsi sebagai taukid (penguat) tiada lain kecuali lafaz yang bermakna lebih kuat daripada lafaz yang dikukuhkan. Sebagai bantahannya dapat dikatakan bahwa dalam masalah ini subyeknya bukan termasuk ke dalam Bab "Taukid", melainkan Bab "Na'at" (Sifat); dan apa yang mereka sebutkan tentangnya tidak wajib diakui. Berdasarkan ketentuan ini, maka lafaz
#ar-rahmān#
tidak layak disandang selain Allah SWT Karena Dialah yang pertama kali menamakan diri-Nya Ar-Rahmān hingga selain-Nya tidak boleh menyandang sifat ini, sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam firman-Nya:
*قُلِ ادْعُوا اللّٰهَ اَوِ ادْعُوا الرَّحْمٰنَ اَيًّا مَّا تَدْعُوْا فَلَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى*
#Katakanlah, 'Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik).#
(Al-Isra, [17:110])
Sesungguhnya Musailamah Al-Kazzab dari Yamamah secara kurang ajar berani menamakan dirinya dengan sebutan "Ar-Rahmān" hanya karena dia sesat, dan tiada yang mau mengikutinya kecuali hanya orang-orang sesat seperti dia.
Adapun lafaz
#ar-rahīm#
, maka Allah SWT menyifati selain diri-Nya dengan sebutan ini, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
*لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ*
#Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.#
(At-Taubah, [9:128])
Sebagaimana Dia pun menyifatkan selain-Nya dengan sebagian dari asma-asma-Nya. seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
*اِنَّا خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ نُّطْفَةٍ اَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيْهِ فَجَعَلْنٰهُ سَمِيْعًا بَصِيْرًا*
#Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.#
(Al-Insan, [76:2])
Dapat disimpulkan bahwa sebagian dari asma-asma Allah ada yang dapat disandang oleh selain-Nya dan ada yang tidak boleh dijadikan nama selain-Nya, seperti lafaz Allah, Ar-Rahmān, Ar-Raziq, dan Al-Khāliq serta lain-lainnya yang sejenis. Karena itulah dimulai dengan sebutan nama Allah, kemudian disifati dengan ar-rahman karena lafaz ini lebih khusus dan lebih makrifat daripada lafaz
#ar-rahīm#
. Karena penyebutan nama pertama harus dilakukan dengan nama paling mulia, maka dalam urutannya diprioritaskan yang lebih khusus.
Jika ditanyakan, "Bila lafaz ar-rahmān lebih kuat mubalagah-nya, mengapa lafaz
#ar-rahīm#
juga disebut, padahal sudah
*قُلِ ادْعُوا اللّٰهَ اَوِ ادْعُوا الرَّحْمٰنَ اَيًّا مَّا تَدْعُوْا فَلَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى*
#Katakanlah, 'Serulah Allah atau serulah Ar-Rahmān. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik).#
(Al-Isra, [17:110])
Dalam ayat lainnya lagi Allah SWT telah berfirman:
*وَسْـَٔلْ مَنْ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رُّسُلِنَآ اَجَعَلْنَا مِنْ دُوْنِ الرَّحْمٰنِ اٰلِهَةً يُّعْبَدُوْنَ*
#Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu: "Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah?"#
(Az-Zukhruf, [43:45])
Ketika Musailamah Al-Kazzab (si pendusta) melancarkan provokasinya, dia menamakan dirinya dengan julukan "Rahmanul Yamamah". Maka Allah mendustakannya dan membuatnya terkenal dengan julukan Al-Kazzab (si pendusta); tidak sekali-kali ia disebut melainkan dengan panggilan Musailamah Al-Kazzab, sehingga dia dijadikan sebagai peribahasa dalam hal kedustaan di kalangan penduduk perkotaan dan penduduk perkampungan serta kalangan orang-orang Badui yang bertempat tinggal di Padang Sahara.
Sebagian ulama menduga bahwa lafaz
#ar-rahīm#
lebih balig dari-pada lafaz
#ar-rahmān#
, karena lafaz
#ar-rahīm#
dipakai sebagai kata penguat sifat, sedangkan suatu lafaz yang berfungsi sebagai taukid (penguat) tiada lain kecuali lafaz yang bermakna lebih kuat daripada lafaz yang dikukuhkan. Sebagai bantahannya dapat dikatakan bahwa dalam masalah ini subyeknya bukan termasuk ke dalam Bab "Taukid", melainkan Bab "Na'at" (Sifat); dan apa yang mereka sebutkan tentangnya tidak wajib diakui. Berdasarkan ketentuan ini, maka lafaz
#ar-rahmān#
tidak layak disandang selain Allah SWT Karena Dialah yang pertama kali menamakan diri-Nya Ar-Rahmān hingga selain-Nya tidak boleh menyandang sifat ini, sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam firman-Nya:
*قُلِ ادْعُوا اللّٰهَ اَوِ ادْعُوا الرَّحْمٰنَ اَيًّا مَّا تَدْعُوْا فَلَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى*
#Katakanlah, 'Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik).#
(Al-Isra, [17:110])
Sesungguhnya Musailamah Al-Kazzab dari Yamamah secara kurang ajar berani menamakan dirinya dengan sebutan "Ar-Rahmān" hanya karena dia sesat, dan tiada yang mau mengikutinya kecuali hanya orang-orang sesat seperti dia.
Adapun lafaz
#ar-rahīm#
, maka Allah SWT menyifati selain diri-Nya dengan sebutan ini, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
*لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ*
#Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.#
(At-Taubah, [9:128])
Sebagaimana Dia pun menyifatkan selain-Nya dengan sebagian dari asma-asma-Nya. seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
*اِنَّا خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ نُّطْفَةٍ اَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيْهِ فَجَعَلْنٰهُ سَمِيْعًا بَصِيْرًا*
#Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.#
(Al-Insan, [76:2])
Dapat disimpulkan bahwa sebagian dari asma-asma Allah ada yang dapat disandang oleh selain-Nya dan ada yang tidak boleh dijadikan nama selain-Nya, seperti lafaz Allah, Ar-Rahmān, Ar-Raziq, dan Al-Khāliq serta lain-lainnya yang sejenis. Karena itulah dimulai dengan sebutan nama Allah, kemudian disifati dengan ar-rahman karena lafaz ini lebih khusus dan lebih makrifat daripada lafaz
#ar-rahīm#
. Karena penyebutan nama pertama harus dilakukan dengan nama paling mulia, maka dalam urutannya diprioritaskan yang lebih khusus.
Jika ditanyakan, "Bila lafaz ar-rahmān lebih kuat mubalagah-nya, mengapa lafaz
#ar-rahīm#
juga disebut, padahal sudah