مما ورد عن تبرك الصحابة رضي الله تعالى عنهم بيده الشريفة صلى الله عليه وسلم ما ثبت عن أنس بن مالك رضي الله عنه أنه قال: ((كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا صلى الغداة جاء خدم المدينة بآنيتهم فيها الماء، فما يؤتى بإناء إلا غمس يده فيها، فربما جاءوه في الغداة الباردة، فيغمس يده فيها)). رواه مسلم
Di antara dalil bahwa para sahabat ber-tabarruk dengan tangan mulia Rasulullah adalah hadits dari Anas bin Malik, berkata:
“Adalah Rasulullah apa bila telah selesai dari shalat subuh maka para pembantu di Madinah datang menghadap kepadanya dengan membawa wadah-wadah mereka yang berisi air. Tidak ada satu wadahpun yang didatangkan kepada Rasulullah kecuali Rasulullah mencelupkan tangannya di dalam wadah tersebut. Bahkan terkadang mereka datang di saat pagi yang sangat dingin, dan Rasulullah tetap memasukan tangannya di dalam wadah-wadah tersebut”.
(Hadits Shahih Riwayat Imam Muslim; Kitab al Fadla’il, Bab kedekatan Rasulullah dengan manusia, dan bahwa mereka mencari berkah dengan Rasulullah).
Pertanyaan:
Mengapa orang-orang Wahabi membenci tabarruk/mencari berkah; bahkan tabarruk dengan “ulama” mereka sendiri??
Jawab:
Karena “ulama Wahabi” tidak memiliki berkah 😄
******************
Join us on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
Di antara dalil bahwa para sahabat ber-tabarruk dengan tangan mulia Rasulullah adalah hadits dari Anas bin Malik, berkata:
“Adalah Rasulullah apa bila telah selesai dari shalat subuh maka para pembantu di Madinah datang menghadap kepadanya dengan membawa wadah-wadah mereka yang berisi air. Tidak ada satu wadahpun yang didatangkan kepada Rasulullah kecuali Rasulullah mencelupkan tangannya di dalam wadah tersebut. Bahkan terkadang mereka datang di saat pagi yang sangat dingin, dan Rasulullah tetap memasukan tangannya di dalam wadah-wadah tersebut”.
(Hadits Shahih Riwayat Imam Muslim; Kitab al Fadla’il, Bab kedekatan Rasulullah dengan manusia, dan bahwa mereka mencari berkah dengan Rasulullah).
Pertanyaan:
Mengapa orang-orang Wahabi membenci tabarruk/mencari berkah; bahkan tabarruk dengan “ulama” mereka sendiri??
Jawab:
Karena “ulama Wahabi” tidak memiliki berkah 😄
******************
Join us on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
Catatan sy ini cukup panjang. Baca dan share, semoga bermanfaat
****************************
*Membongkar Kebatilan Ajaran Wahabi Yang Membagi Tauhid kepada 3 Bagian; Aqidah Mereka Ini Nyata Bid'ah Sesat*
****************************
Pendapat kaum Wahabi yang membagi tauhid kepada tiga bagian; tauhid Ulûhiyyah, tauhid Rubûbiyyah, dan tauhid al-Asmâ’ Wa ash-Shifât adalah bid’ah batil yan menyesatkan. Pembagian tauhid seperti ini sama sekali tidak memiliki dasar, baik dari al-Qur’an, hadits, dan tidak ada seorang-pun dari para ulama Salaf atau seorang ulama saja yang kompeten dalam keilmuannya yang membagi tauhid kepada tiga bagian tersebut.
Pembagian tauhid kepada tiga bagian ini adalah pendapat ekstrim dari kaum Musyabbihah masa sekarang; mereka mengaku datang untuk memberantas bid’ah namun sebenarnya mereka adalah orang-orang yang membawa bid’ah.
Di antara dasar yang dapat membuktikan kesesatan pembagian tauhid ini adalah sabda Rasulullah:
ﺃﻣِﺮْﺕُ ﺃﻥْ ﺃُﻗَﺎﺗِﻞَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﺣَﺘﻰّ ﻳَﺸْﻬَﺪُﻭْﺍ ﺃﻥْ ﻻَ ﺇﻟﻪَ ﺇﻻّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﺃﻧّﻲْ ﺭَﺳُﻮْﻝ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻓَﺈﺫَﺍ ﻓَﻌَﻠُﻮْﺍ ﺫَﻟﻚَ ﻋُﺼِﻤُﻮْﺍ ﻣِﻨِّﻲ ﺩِﻣَﺎﺀَﻫُﻢْ ﻭﺃﻣْﻮَﺍﻟَﻬُﻢْ ﺇﻻّ ﺑِﺤَﻖّ ( ﺭﻭَﺍﻩ ﺍﻟﺒُﺨَﺎﺭﻱّ )
“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (Ilâh) yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa saya adalah utusan Allah. Jika mereka melakukan itu maka terpelihara dariku darang-darah mereka dan harta-harta mereka kecuali karena hak”. (HR al-Bukhari).
Dalam hadits ini Rasulullah tidak membagi tauhid kepada tiga bagian, beliau tidak mengatakan bahwa seorang yang mengucapkan “Lâ Ilâha Illallâh” saja tidak cukup untuk dihukumi masuk Islam, tetapi juga harus mengucapkan “Lâ Rabba Illallâh”. Tetapi makna hadits ialah bahwa seseorang dengan hanya bersaksi dengan mengucapkan “Lâ Ilâha Illallâh”, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah maka orang ini telah masuk dalam agama Islam. Hadits ini adalah hadits mutawatir dari Rasulullah, diriwayatkan oleh sejumlah orang dari kalangan sahabat, termasuk di antaranya oleh sepuluh orang sahabat yang telah mendapat kabar gembira akan masuk ke surga. Dan hadits ini telah diriwayatkan oleh al-Imâm al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya.
Sesungguhnya tujuan kaum Musyabbihah membagi tauhid kepada tiga bagian ini adalah tidak lain hanya untuk mengkafirkan orang-orang Islam ahi tauhid yang melakukan tawassul dengan Nabi Muhammad, atau dengan seorang wali Allah dan orang-orang saleh. Mereka mengklaim bahwa seorang yang melakukan tawassul tidak mentauhidkan Allah dari segi tauhid Ulûhiyyah.
Adapun tujuan mereka membagi tauhid kepada tauhid al-Asmâ’ Wa ash-Shifât adalah tidak lain hanya untuk mengkafirkan orang-orang yang melakukan takwil terhadap ayat-ayat Mutasyâbihât. Oleh karenanya, kaum Musyabbihah ini adalah kaum yang sangat kaku dan keras dalam memegang teguh zhahir teks-teks Mutasyâbihât dan sangat “alergi” terhadap takwil. Mereka berkata: “al-Mu’aw-wil Mu’ath-thil”; artinya seorang yang melakukan takwil sama saja dengan mengingkari sifat-sifat Allah. Na’ûdzu Billâh.
Dengan hanya hadits shahih di atas, cukup bagi kita untuk menegaskan bahwa pembagian tauhid kepada tiga bagian di atas adalah bid’ah batil yang dikreasi oleh orang-orang yang mengaku memerangi bid’ah yang sebenarnya mereka sendiri ahli bid’ah.
Bagaimana mereka tidak disebut sebagai ahli bid’ah, padahal mereka membuat ajaran tauhid yang sama sekali tidak pernah dikenal oleh orang-orang Islam?! Di mana logika mereka, ketika mereka mengatakan bahwa tauhid Ulûhiyyah saja tidak cukup, tetapi juga harus dengan pengakuan tauhid Rubûbiyyah?! Bukankah ini berarti menyalahi hadits Rasulullah di atas?! Dalam hadits di atas sangat jelas memberikan pemahaman kepada kita bahwa seorang yang mengakui ”Lâ Ilâha Illallâh” ditambah dengan pengakuan kerasulan Nabi Muhammad maka cukup bagi orang tersebut untuk dihukumi sebagai orang Islam. Dan ajaran inilah yang telah dipraktekan oleh Rasulullah ketika beliau masih hidup. Apa bila ada seorang kafir bersaksi dengan ”Lâ Ilâha Illallâh” dan ”Muhammad Rasûlullâh” maka oleh Rasulullah orang tersebut dihukumi
****************************
*Membongkar Kebatilan Ajaran Wahabi Yang Membagi Tauhid kepada 3 Bagian; Aqidah Mereka Ini Nyata Bid'ah Sesat*
****************************
Pendapat kaum Wahabi yang membagi tauhid kepada tiga bagian; tauhid Ulûhiyyah, tauhid Rubûbiyyah, dan tauhid al-Asmâ’ Wa ash-Shifât adalah bid’ah batil yan menyesatkan. Pembagian tauhid seperti ini sama sekali tidak memiliki dasar, baik dari al-Qur’an, hadits, dan tidak ada seorang-pun dari para ulama Salaf atau seorang ulama saja yang kompeten dalam keilmuannya yang membagi tauhid kepada tiga bagian tersebut.
Pembagian tauhid kepada tiga bagian ini adalah pendapat ekstrim dari kaum Musyabbihah masa sekarang; mereka mengaku datang untuk memberantas bid’ah namun sebenarnya mereka adalah orang-orang yang membawa bid’ah.
Di antara dasar yang dapat membuktikan kesesatan pembagian tauhid ini adalah sabda Rasulullah:
ﺃﻣِﺮْﺕُ ﺃﻥْ ﺃُﻗَﺎﺗِﻞَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﺣَﺘﻰّ ﻳَﺸْﻬَﺪُﻭْﺍ ﺃﻥْ ﻻَ ﺇﻟﻪَ ﺇﻻّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﺃﻧّﻲْ ﺭَﺳُﻮْﻝ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻓَﺈﺫَﺍ ﻓَﻌَﻠُﻮْﺍ ﺫَﻟﻚَ ﻋُﺼِﻤُﻮْﺍ ﻣِﻨِّﻲ ﺩِﻣَﺎﺀَﻫُﻢْ ﻭﺃﻣْﻮَﺍﻟَﻬُﻢْ ﺇﻻّ ﺑِﺤَﻖّ ( ﺭﻭَﺍﻩ ﺍﻟﺒُﺨَﺎﺭﻱّ )
“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (Ilâh) yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa saya adalah utusan Allah. Jika mereka melakukan itu maka terpelihara dariku darang-darah mereka dan harta-harta mereka kecuali karena hak”. (HR al-Bukhari).
Dalam hadits ini Rasulullah tidak membagi tauhid kepada tiga bagian, beliau tidak mengatakan bahwa seorang yang mengucapkan “Lâ Ilâha Illallâh” saja tidak cukup untuk dihukumi masuk Islam, tetapi juga harus mengucapkan “Lâ Rabba Illallâh”. Tetapi makna hadits ialah bahwa seseorang dengan hanya bersaksi dengan mengucapkan “Lâ Ilâha Illallâh”, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah maka orang ini telah masuk dalam agama Islam. Hadits ini adalah hadits mutawatir dari Rasulullah, diriwayatkan oleh sejumlah orang dari kalangan sahabat, termasuk di antaranya oleh sepuluh orang sahabat yang telah mendapat kabar gembira akan masuk ke surga. Dan hadits ini telah diriwayatkan oleh al-Imâm al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya.
Sesungguhnya tujuan kaum Musyabbihah membagi tauhid kepada tiga bagian ini adalah tidak lain hanya untuk mengkafirkan orang-orang Islam ahi tauhid yang melakukan tawassul dengan Nabi Muhammad, atau dengan seorang wali Allah dan orang-orang saleh. Mereka mengklaim bahwa seorang yang melakukan tawassul tidak mentauhidkan Allah dari segi tauhid Ulûhiyyah.
Adapun tujuan mereka membagi tauhid kepada tauhid al-Asmâ’ Wa ash-Shifât adalah tidak lain hanya untuk mengkafirkan orang-orang yang melakukan takwil terhadap ayat-ayat Mutasyâbihât. Oleh karenanya, kaum Musyabbihah ini adalah kaum yang sangat kaku dan keras dalam memegang teguh zhahir teks-teks Mutasyâbihât dan sangat “alergi” terhadap takwil. Mereka berkata: “al-Mu’aw-wil Mu’ath-thil”; artinya seorang yang melakukan takwil sama saja dengan mengingkari sifat-sifat Allah. Na’ûdzu Billâh.
Dengan hanya hadits shahih di atas, cukup bagi kita untuk menegaskan bahwa pembagian tauhid kepada tiga bagian di atas adalah bid’ah batil yang dikreasi oleh orang-orang yang mengaku memerangi bid’ah yang sebenarnya mereka sendiri ahli bid’ah.
Bagaimana mereka tidak disebut sebagai ahli bid’ah, padahal mereka membuat ajaran tauhid yang sama sekali tidak pernah dikenal oleh orang-orang Islam?! Di mana logika mereka, ketika mereka mengatakan bahwa tauhid Ulûhiyyah saja tidak cukup, tetapi juga harus dengan pengakuan tauhid Rubûbiyyah?! Bukankah ini berarti menyalahi hadits Rasulullah di atas?! Dalam hadits di atas sangat jelas memberikan pemahaman kepada kita bahwa seorang yang mengakui ”Lâ Ilâha Illallâh” ditambah dengan pengakuan kerasulan Nabi Muhammad maka cukup bagi orang tersebut untuk dihukumi sebagai orang Islam. Dan ajaran inilah yang telah dipraktekan oleh Rasulullah ketika beliau masih hidup. Apa bila ada seorang kafir bersaksi dengan ”Lâ Ilâha Illallâh” dan ”Muhammad Rasûlullâh” maka oleh Rasulullah orang tersebut dihukumi
sebagai seorang muslim yang beriman. Kemudian Rasulullah memerintahkan kepadanya untuk melaksanakan shalat sebelum memerintahkan kewajiban-kewajiban lainnya; sebagaimana hal ini diriwayatkan dalam sebuah hadits oleh al-Imâm al-Bayhaqi dalam Kitâb al-I’tiqâd. Sementara kaum Musyabbihah di atas membuat ajaran baru; mengatakan bahwa tauhid Ulûhiyyah saja tidak cukup, ini sangat nyata telah menyalahi apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Mereka tidak paham bahwa ”Ulûhiyyah” itu sama saja dengan ”Rubûbiyyah”, bahwa ”Ilâh” itu sama saja artinya dengan ”Rabb”.
Kemudian kita katakan pula kepada mereka; Di dalam banyak hadits diriwayatkan bahwa di antara pertanyaan dua Malaikat; Munkar dan Nakir yang ditugaskan untuk bertanya kepada ahli kubur adalah: ”Man Rabbuka?”. Tidak bertanya dengan ”Man Rabbuka?” lalu diikutkan dengan ”Man Ilahuka?”.
Lalu seorang mukmin ketika menjawab pertanyaan dua Malaikat tersebut cukup dengan hanya berkata ”Allâh Rabbi”, tidak harus diikutkan dengan ”Allâh Ilâhi”. Malaikat Munkar dan Nakir tidak membantah jawaban orang mukmin tersebut dengan mengatakan: ”Kamu hanya mentauhidkan tauhid Rubûbiyyah saja, kamu tidak mentauhidkan tauhid Ulûhiyyah!!”. Inilah pemahaman yang dimaksud dalam hadits Nabi tentang pertanyaan dua Malaikat dan jawaban seorang mukmin dikuburnya kelak.
Dengan demikian kata ”Rabb” sama saja dengan kata ”Ilâh”, demikian pula ”tauhid Ulûhiyyah” sama saja dengan ”tauhid Rubûbiyyah”.
Dalam kitab Mishbâh al-Anâm, pada pasal ke dua, karya al-Imâm Alawi ibn Ahmad al-Haddad, tertulis sebagai berikut:
”Tauhid Ulûhiyyah masuk dalam pengertian tauhid Rubûbiyyah dengan dalil bahwa Allah telah mengambil janji (al-Mîtsâq) dari seluruh manusia anak cucu Adam dengan firman-Nya ”Alastu Bi Rabbikum?”. Ayat ini tidak kemudian diikutkan dengan ”Alastu Bi Ilâhikum?”. Artinya; Allah mencukupkannya dengan tauhid Rubûbiyyah, karena sesungguhya sudah secara otomatis bahwa seorang yang mengakui ”Rubûbiyyah” bagi Allah maka berarti ia juga mengakui ”Ulûhiyyah” bagi-Nya. Karena makna ”Rabb” itu sama dengan makna ”Ilâh”. Dan karena itu pula dalam hadits diriwayatkan bahwa dua Malaikat di kubur kelak akan bertanya dengan mengatakan ”Man Rabbuka?”, tidak kemudian ditambahkan dengan ”Man Ilâhuka?”. Dengan demikian sangat jelas bahwa makna tauhid Rubûbiyyah tercakup dalam makna tauhid Ulûhiyyah.
Di antara yang sangat mengherankan dan sangat aneh adalah perkataan sebagian pendusta besar terhadap seorang ahli tauhid; yang bersaksi ”Lâ Ilâha Illallâh, Muhammad Rasulullah”, dan seorang mukmin muslim ahli kiblat, namun pendusta tersebut berkata kepadanya: ”Kamu tidak mengenal tahuid. Tauhid itu terbagi dua; tauhid Rubûbiyyah dan tauhid Ulûhiyyah. Tauhid Rubûbiyyah adalah tauhid yang telah diakui oleh oleh orang-orang kafir dan orang-orang musyrik. Sementara tauhid Ulûhiyyah adalah adalah tauhid murni yang diakui oleh orang-orang Islam. Tauhid Ulûhiyyah inilah yang menjadikan dirimu masuk di dalam agama Islam. Adapun tauhid Rubûbiyyah saja tidak cukup”. Ini adalah perkataan orang sesat yang sangat aneh. Bagaimana ia mengatakan bahwa orang-orang kafir dan orang-orang musyrik sebagai ahli tauhid?! Jika benar mereka sebagai ahli tauhid tentunya mereka akan dikeluarkan dari neraka kelak, tidak akan menetap di sana selamanya, karena tidak ada seorangpun ahli tauhid yang akan menetap di daam neraka tersebut sebagaimana telah diriwayatkan dalam banyak hadits shahih. Adakah kalian pernah mendengar di dalam hadits atau dalam riwayat perjalanan hidup Rasulullah bahwa apa bila datang kepada beliau orang-orang kafir Arab yang hendak masuk Islam lalu Rasulullah merinci dan menjelaskan kepada mereka pembagian tauhid kepada tauhid Ulûhiyyah dan tauhid Rubûbiyyah?! Dari mana mereka mendatangkan dusta dan bohong besar terhadap Allah dan Rasul-Nya ini?! Padalah sesungguhnya seorang yang telah mentauhidkan ”Rabb” maka berarti ia telah mentauhidkan ”Ilâh”, dan seorang yang telah memusyrikan ”Rabb” maka ia juga berarti telah memusyrikan ”Ilâh”. Bagi seluruh orang Islam tidak ada yang berhak disembah oleh mereka kecuali ”Rabb” yang ju
Kemudian kita katakan pula kepada mereka; Di dalam banyak hadits diriwayatkan bahwa di antara pertanyaan dua Malaikat; Munkar dan Nakir yang ditugaskan untuk bertanya kepada ahli kubur adalah: ”Man Rabbuka?”. Tidak bertanya dengan ”Man Rabbuka?” lalu diikutkan dengan ”Man Ilahuka?”.
Lalu seorang mukmin ketika menjawab pertanyaan dua Malaikat tersebut cukup dengan hanya berkata ”Allâh Rabbi”, tidak harus diikutkan dengan ”Allâh Ilâhi”. Malaikat Munkar dan Nakir tidak membantah jawaban orang mukmin tersebut dengan mengatakan: ”Kamu hanya mentauhidkan tauhid Rubûbiyyah saja, kamu tidak mentauhidkan tauhid Ulûhiyyah!!”. Inilah pemahaman yang dimaksud dalam hadits Nabi tentang pertanyaan dua Malaikat dan jawaban seorang mukmin dikuburnya kelak.
Dengan demikian kata ”Rabb” sama saja dengan kata ”Ilâh”, demikian pula ”tauhid Ulûhiyyah” sama saja dengan ”tauhid Rubûbiyyah”.
Dalam kitab Mishbâh al-Anâm, pada pasal ke dua, karya al-Imâm Alawi ibn Ahmad al-Haddad, tertulis sebagai berikut:
”Tauhid Ulûhiyyah masuk dalam pengertian tauhid Rubûbiyyah dengan dalil bahwa Allah telah mengambil janji (al-Mîtsâq) dari seluruh manusia anak cucu Adam dengan firman-Nya ”Alastu Bi Rabbikum?”. Ayat ini tidak kemudian diikutkan dengan ”Alastu Bi Ilâhikum?”. Artinya; Allah mencukupkannya dengan tauhid Rubûbiyyah, karena sesungguhya sudah secara otomatis bahwa seorang yang mengakui ”Rubûbiyyah” bagi Allah maka berarti ia juga mengakui ”Ulûhiyyah” bagi-Nya. Karena makna ”Rabb” itu sama dengan makna ”Ilâh”. Dan karena itu pula dalam hadits diriwayatkan bahwa dua Malaikat di kubur kelak akan bertanya dengan mengatakan ”Man Rabbuka?”, tidak kemudian ditambahkan dengan ”Man Ilâhuka?”. Dengan demikian sangat jelas bahwa makna tauhid Rubûbiyyah tercakup dalam makna tauhid Ulûhiyyah.
Di antara yang sangat mengherankan dan sangat aneh adalah perkataan sebagian pendusta besar terhadap seorang ahli tauhid; yang bersaksi ”Lâ Ilâha Illallâh, Muhammad Rasulullah”, dan seorang mukmin muslim ahli kiblat, namun pendusta tersebut berkata kepadanya: ”Kamu tidak mengenal tahuid. Tauhid itu terbagi dua; tauhid Rubûbiyyah dan tauhid Ulûhiyyah. Tauhid Rubûbiyyah adalah tauhid yang telah diakui oleh oleh orang-orang kafir dan orang-orang musyrik. Sementara tauhid Ulûhiyyah adalah adalah tauhid murni yang diakui oleh orang-orang Islam. Tauhid Ulûhiyyah inilah yang menjadikan dirimu masuk di dalam agama Islam. Adapun tauhid Rubûbiyyah saja tidak cukup”. Ini adalah perkataan orang sesat yang sangat aneh. Bagaimana ia mengatakan bahwa orang-orang kafir dan orang-orang musyrik sebagai ahli tauhid?! Jika benar mereka sebagai ahli tauhid tentunya mereka akan dikeluarkan dari neraka kelak, tidak akan menetap di sana selamanya, karena tidak ada seorangpun ahli tauhid yang akan menetap di daam neraka tersebut sebagaimana telah diriwayatkan dalam banyak hadits shahih. Adakah kalian pernah mendengar di dalam hadits atau dalam riwayat perjalanan hidup Rasulullah bahwa apa bila datang kepada beliau orang-orang kafir Arab yang hendak masuk Islam lalu Rasulullah merinci dan menjelaskan kepada mereka pembagian tauhid kepada tauhid Ulûhiyyah dan tauhid Rubûbiyyah?! Dari mana mereka mendatangkan dusta dan bohong besar terhadap Allah dan Rasul-Nya ini?! Padalah sesungguhnya seorang yang telah mentauhidkan ”Rabb” maka berarti ia telah mentauhidkan ”Ilâh”, dan seorang yang telah memusyrikan ”Rabb” maka ia juga berarti telah memusyrikan ”Ilâh”. Bagi seluruh orang Islam tidak ada yang berhak disembah oleh mereka kecuali ”Rabb” yang ju
👍1
ga ”Ilâh” mereka. Maka ketika mereka berkata ”Lâ Ilâha Illallâh”; bahwa hanya Allah Rabb mereka yang berhak disembah; artinya mereka menafikan Ulûhiyyah dari selain Rabb mereka, sebagaimana mereka menafikan Rubûbiyyah dari selain Ilâh mereka. Mereka menetapkan ke-Esa-an bagi Rabb yang juga Ilâh mereka pada Dzat-Nya, Sifat-sifat-Nya, dan pada segala perbuatan-Nya; artinya tidak ada keserupaan bagi-Nya secara mutlak dari berbagai segi”.
(Masalah): Para ahli bid’ah dari kaum Musyabbihah biasanya berkata:
”Sesungguhnya para Rasul diutus oleh Allah adalah untuk berdakwah kepada umatnya terhadap tauhid Ulûhiyyah; yaitu agar mereka mengakui bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Adapun tauhid Rubûbiyyah; yaitu keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh alam ini, dan bahwa Allah adalah yang mengurus segala peristiwa yang terjadi pada alam ini, maka tauhid ini tidak disalahi oleh seorang-pun dari seluruh manusia, baik orang-orang musyrik maupun orang-orang kafir, dengan dalil firman Allah dalam QS. Luqman:
ﻭَﻟَﺌِﻦ ﺳَﺄَﻟْﺘَﻬُﻢ ﻣَّﻦْ ﺧَﻠَﻖَ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍْﻷَﺭْﺽِ ﻟَﻴَﻘُﻮﻟَﻦَّ ﺍﻟﻠﻪُ ( ﻟﻘﻤﺎﻥ : 25 )
“Dan jika engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan seluruh lapisan langit dan bumi? Maka mereka benar-benar akan menjawab: “Allah” (QS. Luqman: 25)
(Jawab): Perkataan mereka ini murni sebagai kebatilan belaka. Bagaimana mereka berkata bahwa seluruh orang-orang kafir dan orang-orang musyrik sama dengan orang-orang mukmin dalam tauhid Rubûbiyyah?!
Adapun pengertian ayat di atas bahwa orang-orang kafir mengakui Allah sebagai Pencipta langit dan bumi adalah pengakuan yang hanya di lidah saja, bukan artinya bahwa mereka sebagai orang-orang ahli tauhid; yang mengesakan Allah dan mengakui bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Terbukti bahwa mereka menyekutukan Allah, mengakui adanya tuhan yang berhak disembah kepada selain Allah. Mana logikanya jika orang-orang musyrik disebut sebagai ahli tauhid?!
Rasulullah tidak pernah berkata kepada seorang kafir yang hendak masuk Islam bahwa di dalam Islam terdapat dua tauhid; Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah!
Rasulullah tidak pernah berkata kepada seorang kafir yang hendak masuk Islam bahwa tidak cukup baginya untuk menjadi seorang muslim hanya bertauhid Rubûbiyyah saja, tapi juga harus bertauhid Ulûhiyyah!
Oleh karena itu di dalam al-Qur’an Allah berfirman tentang perkataan Nabi Yusuf saat mengajak dua orang di dalam penjara untuk mentauhidkan Allah:
ﺃَﺃَﺭْﺑَﺎﺏٌ ﻣُﺘَﻔَﺮّﻗُﻮْﻥَ ﺧَﻴْﺮٌ ﺃﻡِ ﺍﻟﻠﻪُ ﺍﻟْﻮَﺍﺣِﺪُ ﺍﻟْﻘَﻬّﺎﺭ ( ﻳﻮﺳﻒ : 39
”Adakah rabb-rabb yang bermacam-macam tersebut lebih baik ataukah Allah (yang lebih baik) yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan yang maha menguasai?!” (QS. Yusuf: 39).
Dalam ayat ini Nabi Yusuf menetapkan kepada mereka bahwa hanya Allah sebagai Rabb yang berhak disembah.
Perkataan kaum
Musyabbihah dalam membagi tauhid kepada dua bagian, dan bahwa tauhid Ulûhiyyah (Ilâh) adalah pengakuan hanya Allah saja yang berhak disembah adalah pembagian batil yang menyesatkan, karena tauhid Rubûbiyyah adalah juga pengakuan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, sebagaimana yang dimaksud oleh ayat di atas.
Dengan demikian Allah adalah Rabb yang berhak disembah, dan juga Allah adalah Ilâh yang berhak disembah. Kata “Rabb” dan kata “Ilâh” adalah kata yang memiliki kandungan makna yang sama sebagaimana telah dinyatakan oleh al-Imâm Abdullah ibn Alawi al-Haddad di atas.
Dalam majalah Nur al-Islâm, majalah ilmiah bulanan yang diterbitkan oleh para Masyâyikh al-Azhar asy-Syarif Cairo Mesir, terbitan tahun 1352 H, terdapat tulisan yang sangat baik dengan judul *“Kritik atas pembagian tauhid kepada Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah”* yang telah ditulis oleh asy-Syaikh al-Azhar al-‘Allamâh Yusuf ad-Dajwi al-Azhari (w 1365 H), sebagai berikut:
[[“Sesungguhnya pembagian tauhid kepada Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah adalah pembagian yang tidak pernah dikenal oleh siapapun sebelum Ibn Taimiyah. Artinya, ini adalah bid’ah sesat yang telah ia munculkannya. Di samping perkara bid’ah, pembagian ini juga sangat tidak masuk akal; sebagaimana engkau akan lihat dalam tulisan ini. Dahulu, bila ada seseo
(Masalah): Para ahli bid’ah dari kaum Musyabbihah biasanya berkata:
”Sesungguhnya para Rasul diutus oleh Allah adalah untuk berdakwah kepada umatnya terhadap tauhid Ulûhiyyah; yaitu agar mereka mengakui bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Adapun tauhid Rubûbiyyah; yaitu keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh alam ini, dan bahwa Allah adalah yang mengurus segala peristiwa yang terjadi pada alam ini, maka tauhid ini tidak disalahi oleh seorang-pun dari seluruh manusia, baik orang-orang musyrik maupun orang-orang kafir, dengan dalil firman Allah dalam QS. Luqman:
ﻭَﻟَﺌِﻦ ﺳَﺄَﻟْﺘَﻬُﻢ ﻣَّﻦْ ﺧَﻠَﻖَ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍْﻷَﺭْﺽِ ﻟَﻴَﻘُﻮﻟَﻦَّ ﺍﻟﻠﻪُ ( ﻟﻘﻤﺎﻥ : 25 )
“Dan jika engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan seluruh lapisan langit dan bumi? Maka mereka benar-benar akan menjawab: “Allah” (QS. Luqman: 25)
(Jawab): Perkataan mereka ini murni sebagai kebatilan belaka. Bagaimana mereka berkata bahwa seluruh orang-orang kafir dan orang-orang musyrik sama dengan orang-orang mukmin dalam tauhid Rubûbiyyah?!
Adapun pengertian ayat di atas bahwa orang-orang kafir mengakui Allah sebagai Pencipta langit dan bumi adalah pengakuan yang hanya di lidah saja, bukan artinya bahwa mereka sebagai orang-orang ahli tauhid; yang mengesakan Allah dan mengakui bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Terbukti bahwa mereka menyekutukan Allah, mengakui adanya tuhan yang berhak disembah kepada selain Allah. Mana logikanya jika orang-orang musyrik disebut sebagai ahli tauhid?!
Rasulullah tidak pernah berkata kepada seorang kafir yang hendak masuk Islam bahwa di dalam Islam terdapat dua tauhid; Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah!
Rasulullah tidak pernah berkata kepada seorang kafir yang hendak masuk Islam bahwa tidak cukup baginya untuk menjadi seorang muslim hanya bertauhid Rubûbiyyah saja, tapi juga harus bertauhid Ulûhiyyah!
Oleh karena itu di dalam al-Qur’an Allah berfirman tentang perkataan Nabi Yusuf saat mengajak dua orang di dalam penjara untuk mentauhidkan Allah:
ﺃَﺃَﺭْﺑَﺎﺏٌ ﻣُﺘَﻔَﺮّﻗُﻮْﻥَ ﺧَﻴْﺮٌ ﺃﻡِ ﺍﻟﻠﻪُ ﺍﻟْﻮَﺍﺣِﺪُ ﺍﻟْﻘَﻬّﺎﺭ ( ﻳﻮﺳﻒ : 39
”Adakah rabb-rabb yang bermacam-macam tersebut lebih baik ataukah Allah (yang lebih baik) yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan yang maha menguasai?!” (QS. Yusuf: 39).
Dalam ayat ini Nabi Yusuf menetapkan kepada mereka bahwa hanya Allah sebagai Rabb yang berhak disembah.
Perkataan kaum
Musyabbihah dalam membagi tauhid kepada dua bagian, dan bahwa tauhid Ulûhiyyah (Ilâh) adalah pengakuan hanya Allah saja yang berhak disembah adalah pembagian batil yang menyesatkan, karena tauhid Rubûbiyyah adalah juga pengakuan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, sebagaimana yang dimaksud oleh ayat di atas.
Dengan demikian Allah adalah Rabb yang berhak disembah, dan juga Allah adalah Ilâh yang berhak disembah. Kata “Rabb” dan kata “Ilâh” adalah kata yang memiliki kandungan makna yang sama sebagaimana telah dinyatakan oleh al-Imâm Abdullah ibn Alawi al-Haddad di atas.
Dalam majalah Nur al-Islâm, majalah ilmiah bulanan yang diterbitkan oleh para Masyâyikh al-Azhar asy-Syarif Cairo Mesir, terbitan tahun 1352 H, terdapat tulisan yang sangat baik dengan judul *“Kritik atas pembagian tauhid kepada Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah”* yang telah ditulis oleh asy-Syaikh al-Azhar al-‘Allamâh Yusuf ad-Dajwi al-Azhari (w 1365 H), sebagai berikut:
[[“Sesungguhnya pembagian tauhid kepada Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah adalah pembagian yang tidak pernah dikenal oleh siapapun sebelum Ibn Taimiyah. Artinya, ini adalah bid’ah sesat yang telah ia munculkannya. Di samping perkara bid’ah, pembagian ini juga sangat tidak masuk akal; sebagaimana engkau akan lihat dalam tulisan ini. Dahulu, bila ada seseo
rang yang hendak masuk Islam, Rasulullah tidak mengatakan kepadanya bahwa tauhid ada dua macam. Rasulullah tidak pernah mengatakan bahwa engkau tidak menjadi muslim hingga bertauhid dengan tauhid Ulûhiyyah (selain Rubûbiyyah), bahkan memberikan isyarat tentang pembagian tauhid ini, walau dengan hanya satu kata saja, sama sekali tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Demikian pula hal ini tidak pernah didengar dari pernyataan ulama Salaf; yang padahal kaum Musyabbihah sekarang yang membagi-bagi tauhid kepada Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah tersebut mengaku-aku sebagai pengikut ulama Salaf. Sama sekali pembagian tauhid ini tidak memiliki arti. Adapun firman Allah:
ﻭَﻟَﺌِﻦ ﺳَﺄَﻟْﺘَﻬُﻢ ﻣَّﻦْ ﺧَﻠَﻖَ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍْﻷَﺭْﺽِ ﻟَﻴَﻘُﻮﻟَﻦَّ ﺍﻟﻠﻪُ ( ﻟﻘﻤﺎﻥ : 25 )
“Dan jika engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan seluruh lapisan langit dan bumi? Maka mereka benar-benar akan menjawab: “Allah” (QS. Luqman: 25)
Ayat ini menceritakan perkataan orang-orang kafir yang mereka katakan hanya di dalam mulut saja, tidak keluar dari hati mereka. Mereka berkata demikian itu karena terdesak tidak memiliki jawaban apapun untuk membantah dalil-dalil kuat dan argumen-argumen yang sangat nyata (bahwa hanya Allah yang berhak disembah). Bahkan, apa yang mereka katakan tersebut (pengakuan ketuhanan Allah) ”secuil”-pun tidak ada di dalam hati mereka, dengan bukti bahwa pada saat yang sama mereka berkata dengan ucapan-ucapan yang menunjukan kedustaan mereka sendiri. Lihat, bukankah mereka menetapkan bahwa penciptaan manfaat dan bahaya bukan dari Allah?! Benar, mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal Allah. Dari mulai perkara-perkara sepele hingga peristiwa-peristiwa besar mereka yakini bukan dari Allah, bagaimana mungkin mereka mentauhidkan-Nya?! Lihat misalkan firman Allah tentang orang-orang kafir yang berkata kepada Nabi Hud:
ﺇِﻥ ﻧَّﻘُﻮﻝُ ﺇِﻻَّ ﺍﻋْﺘَﺮَﺍﻙَ ﺑَﻌْﺾُ ﺀَﺍﻟِﻬَﺘِﻨَﺎ ﺑِﺴُﻮﺀٍ ( ﻫﻮﺩ : 54 )
”Kami katakan bahwa tidak lain engkau telah diberi keburukan atau dicelakakan oleh sebagian tuhan kami” (QS. Hud: 54).
Sementara Ibn Taimiyah berkata bahwa dalam keyakinan orang-orang musyrik tentang sesembahan-sesembahan mereka tersebut tidak memberikan manfaat dan bahaya sedikit-pun. Dari mana Ibn Taimiyah berkata semacam ini?! Bukankah ini berarti ia membangkang kepada apa yang telah difirmankah Allah?! Anda lihat lagi ayat lainnya dari firman Allah tentang perkataan-perkataan orang kafir tersebut:
ﻭَﺟَﻌَﻠُﻮﺍ ﻟﻠﻪِ ﻣِﻤَّﺎ ﺫَﺭَﺃَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺤَﺮْﺙِ ﻭَﺍْﻷَﻧْﻌَﺎﻡِ ﻧَﺼِﻴﺒًﺎ ﻓَﻘَﺎﻟُﻮﺍ ﻫَﺬَﺍ ﻟﻠﻪِ ﺑِﺰَﻋْﻤِﻬِﻢْ ﻭَﻫَﺬَﺍ ﻟِﺸُﺮَﻛَﺂﺋِﻨَﺎ ﻓَﻤَﺎﻛَﺎﻥَ ﻟِﺸُﺮَﻛَﺂﺋِﻬِﻢْ ﻓَﻼَﻳَﺼِﻞُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﻣَﺎﻛَﺎﻥَ ﻟﻠﻪِ ﻓَﻬُﻮَ ﻳَﺼِﻞُ ﺇِﻟَﻰ ﺷُﺮَﻛَﺂﺋِﻬِﻢْ ( ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ : 136 )
”Lalu mereka berkata sesuai dengan prasangka mereka: ”Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”. Maka sajian-sajian yang diperuntukan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukan bagi Allah maka sajian-sajian tersebut sampai kepada berhala mereka” (QS. al-An’am: 136).
Lihat, dalam ayat ini orang-orang musyrik tersebut mendahulukan sesembahan-sesembahan mereka atas Allah dalam perkara-perkara sepele.
Kemudian lihat lagi ayat lainnya tentang keyakinan orang-orang musyrik, Allah berkata kepada mereka:
ﻭ َﻣَﺎﻧَﺮَﻯ ﻣَﻌَﻜُﻢْ ﺷُﻔَﻌَﺂﺀَﻛُﻢُ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺯَﻋَﻤْﺘُﻢْ ﺃَﻧَّﻬُﻢْ ﻓِﻴﻜُﻢْ ﺷُﺮَﻛَﺎﺅُﺍ ( ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ : 94 )
”Dan Kami tidak melihat bersama kalian para pemberi syafa’at bagi kalian (sesembahan/berhala) yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu tuhan di antara kamu”(QS. al-An’am: 94).
Dalam ayat ini dengan sangat nyata bahwa orang-orang kafir tersebut berkeyakinan bahwa sesembahan-sesembahan mereka memberikan mafa’at kepada mereka. Itulah sebabnya mengapa mereka mengagung-agungkan berhala-berhala tersebut.
Lihat, apa yang dikatakan Abu Sufyan; ”dedengkot” orang-orang musyrik di saat perang Uhud, ia berteriak: ”U’lu Hubal” (maha agung Hubal), (Hubal adalah salah satu berhala terbesar mereka).
Lalu Rasulullah menjawab teriakan Abu Sufyan: ”Allâh A’lâ Wa Ajall” (Allah lebih tinggi derajat-Nya dan lebih Maha Agung).
Anda pahami teks-teks ini semua mak
ﻭَﻟَﺌِﻦ ﺳَﺄَﻟْﺘَﻬُﻢ ﻣَّﻦْ ﺧَﻠَﻖَ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍْﻷَﺭْﺽِ ﻟَﻴَﻘُﻮﻟَﻦَّ ﺍﻟﻠﻪُ ( ﻟﻘﻤﺎﻥ : 25 )
“Dan jika engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan seluruh lapisan langit dan bumi? Maka mereka benar-benar akan menjawab: “Allah” (QS. Luqman: 25)
Ayat ini menceritakan perkataan orang-orang kafir yang mereka katakan hanya di dalam mulut saja, tidak keluar dari hati mereka. Mereka berkata demikian itu karena terdesak tidak memiliki jawaban apapun untuk membantah dalil-dalil kuat dan argumen-argumen yang sangat nyata (bahwa hanya Allah yang berhak disembah). Bahkan, apa yang mereka katakan tersebut (pengakuan ketuhanan Allah) ”secuil”-pun tidak ada di dalam hati mereka, dengan bukti bahwa pada saat yang sama mereka berkata dengan ucapan-ucapan yang menunjukan kedustaan mereka sendiri. Lihat, bukankah mereka menetapkan bahwa penciptaan manfaat dan bahaya bukan dari Allah?! Benar, mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal Allah. Dari mulai perkara-perkara sepele hingga peristiwa-peristiwa besar mereka yakini bukan dari Allah, bagaimana mungkin mereka mentauhidkan-Nya?! Lihat misalkan firman Allah tentang orang-orang kafir yang berkata kepada Nabi Hud:
ﺇِﻥ ﻧَّﻘُﻮﻝُ ﺇِﻻَّ ﺍﻋْﺘَﺮَﺍﻙَ ﺑَﻌْﺾُ ﺀَﺍﻟِﻬَﺘِﻨَﺎ ﺑِﺴُﻮﺀٍ ( ﻫﻮﺩ : 54 )
”Kami katakan bahwa tidak lain engkau telah diberi keburukan atau dicelakakan oleh sebagian tuhan kami” (QS. Hud: 54).
Sementara Ibn Taimiyah berkata bahwa dalam keyakinan orang-orang musyrik tentang sesembahan-sesembahan mereka tersebut tidak memberikan manfaat dan bahaya sedikit-pun. Dari mana Ibn Taimiyah berkata semacam ini?! Bukankah ini berarti ia membangkang kepada apa yang telah difirmankah Allah?! Anda lihat lagi ayat lainnya dari firman Allah tentang perkataan-perkataan orang kafir tersebut:
ﻭَﺟَﻌَﻠُﻮﺍ ﻟﻠﻪِ ﻣِﻤَّﺎ ﺫَﺭَﺃَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺤَﺮْﺙِ ﻭَﺍْﻷَﻧْﻌَﺎﻡِ ﻧَﺼِﻴﺒًﺎ ﻓَﻘَﺎﻟُﻮﺍ ﻫَﺬَﺍ ﻟﻠﻪِ ﺑِﺰَﻋْﻤِﻬِﻢْ ﻭَﻫَﺬَﺍ ﻟِﺸُﺮَﻛَﺂﺋِﻨَﺎ ﻓَﻤَﺎﻛَﺎﻥَ ﻟِﺸُﺮَﻛَﺂﺋِﻬِﻢْ ﻓَﻼَﻳَﺼِﻞُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﻣَﺎﻛَﺎﻥَ ﻟﻠﻪِ ﻓَﻬُﻮَ ﻳَﺼِﻞُ ﺇِﻟَﻰ ﺷُﺮَﻛَﺂﺋِﻬِﻢْ ( ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ : 136 )
”Lalu mereka berkata sesuai dengan prasangka mereka: ”Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”. Maka sajian-sajian yang diperuntukan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukan bagi Allah maka sajian-sajian tersebut sampai kepada berhala mereka” (QS. al-An’am: 136).
Lihat, dalam ayat ini orang-orang musyrik tersebut mendahulukan sesembahan-sesembahan mereka atas Allah dalam perkara-perkara sepele.
Kemudian lihat lagi ayat lainnya tentang keyakinan orang-orang musyrik, Allah berkata kepada mereka:
ﻭ َﻣَﺎﻧَﺮَﻯ ﻣَﻌَﻜُﻢْ ﺷُﻔَﻌَﺂﺀَﻛُﻢُ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺯَﻋَﻤْﺘُﻢْ ﺃَﻧَّﻬُﻢْ ﻓِﻴﻜُﻢْ ﺷُﺮَﻛَﺎﺅُﺍ ( ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ : 94 )
”Dan Kami tidak melihat bersama kalian para pemberi syafa’at bagi kalian (sesembahan/berhala) yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu tuhan di antara kamu”(QS. al-An’am: 94).
Dalam ayat ini dengan sangat nyata bahwa orang-orang kafir tersebut berkeyakinan bahwa sesembahan-sesembahan mereka memberikan mafa’at kepada mereka. Itulah sebabnya mengapa mereka mengagung-agungkan berhala-berhala tersebut.
Lihat, apa yang dikatakan Abu Sufyan; ”dedengkot” orang-orang musyrik di saat perang Uhud, ia berteriak: ”U’lu Hubal” (maha agung Hubal), (Hubal adalah salah satu berhala terbesar mereka).
Lalu Rasulullah menjawab teriakan Abu Sufyan: ”Allâh A’lâ Wa Ajall” (Allah lebih tinggi derajat-Nya dan lebih Maha Agung).
Anda pahami teks-teks ini semua mak
a anda akan paham sejauh mana kesesatan mereka yang membagi tauhid kepada dua bagian tersebut!! Dan anda akan paham siapa sesungguhnya Ibn Taimiyah yang telah menyamakan antara orang-orang Islam ahli tauhid dengan orang-orang musyrik para penyembah berhala tersebut, yang menurutnya mereka semua sama dalam tauhid Rubûbiyyah!”]].
wa Allah A'lam Wa ahkam.
****************************
Join us on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
wa Allah A'lam Wa ahkam.
****************************
Join us on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
Sedekah Hari Ini 😍
***************************
Aqidah keluarga Rasulullah; Allah Ada Tanpa Tempat dan tanpa arah
****************************
Al-Imâm Ja’far as-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn ibn Zainal Abidin Ali ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib (w 148 H) berkata:
" ﻣَﻦْ ﺯَﻋَﻢَ ﺃﻥّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻓِﻲ ﺷَﻰﺀٍ، ﺃﻭْ ﻣِﻦْ ﺷَﻰﺀٍ، ﺃﻭْ ﻋَﻠَﻰ ﺷَﻰﺀٍ ﻓَﻘَﺪْ ﺃﺷْﺮَﻙَ . ﺇﺫْ ﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺷَﻰﺀٍ ﻟَﻜَﺎﻥَ ﻣَﺤْﻤُﻮْﻻً، ﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻓِﻲ ﺷَﻰﺀٍ ﻟَﻜَﺎﻥَ ﻣَﺤْﺼُﻮْﺭًﺍ، ﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻣِﻦْ ﺷَﻰﺀٍ ﻟَﻜَﺎﻥَ ﻣﺤﺪَﺛًﺎ ( ﺃﻱ ﻣَﺨْﻠُﻮْﻗًﺎ )"
“Barangsiapa meyakini bahwa Allah berada di dalam sesuatu, atau dari sesuatu, atau di atas sesuatu maka ia telah musyrik. Karena jika Allah berada di atas sesuatu maka berarti Dia diangkat, dan bila berada di dalam sesuatu berarti Dia terbatas, dan bila Dia dari sesuatu maka berarti Dia baharu (makhluk)”[1].
_________________
[1] al-Qusyairi, ar-Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 6. Al Imam Ja’far ash Shadiq adalah imam terkemuka dalam fiqih, ilmu, dan keutamaan. Lihat ats Tsiqat , Ibn Hibban, j. 6, h. 131
***************************
Join us on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
***************************
Aqidah keluarga Rasulullah; Allah Ada Tanpa Tempat dan tanpa arah
****************************
Al-Imâm Ja’far as-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn ibn Zainal Abidin Ali ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib (w 148 H) berkata:
" ﻣَﻦْ ﺯَﻋَﻢَ ﺃﻥّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻓِﻲ ﺷَﻰﺀٍ، ﺃﻭْ ﻣِﻦْ ﺷَﻰﺀٍ، ﺃﻭْ ﻋَﻠَﻰ ﺷَﻰﺀٍ ﻓَﻘَﺪْ ﺃﺷْﺮَﻙَ . ﺇﺫْ ﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺷَﻰﺀٍ ﻟَﻜَﺎﻥَ ﻣَﺤْﻤُﻮْﻻً، ﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻓِﻲ ﺷَﻰﺀٍ ﻟَﻜَﺎﻥَ ﻣَﺤْﺼُﻮْﺭًﺍ، ﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻣِﻦْ ﺷَﻰﺀٍ ﻟَﻜَﺎﻥَ ﻣﺤﺪَﺛًﺎ ( ﺃﻱ ﻣَﺨْﻠُﻮْﻗًﺎ )"
“Barangsiapa meyakini bahwa Allah berada di dalam sesuatu, atau dari sesuatu, atau di atas sesuatu maka ia telah musyrik. Karena jika Allah berada di atas sesuatu maka berarti Dia diangkat, dan bila berada di dalam sesuatu berarti Dia terbatas, dan bila Dia dari sesuatu maka berarti Dia baharu (makhluk)”[1].
_________________
[1] al-Qusyairi, ar-Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 6. Al Imam Ja’far ash Shadiq adalah imam terkemuka dalam fiqih, ilmu, dan keutamaan. Lihat ats Tsiqat , Ibn Hibban, j. 6, h. 131
***************************
Join us on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
Sedekah Malam 😍
******************
Al Imam Abu Nashr al Qusyairi berkata:
شيئان من يعذلني فيهما # فهو على التحقيق مني بري
حب أبي بكر إمام الهدى # واعتقادي مذهب الأشعري
"Siapa yg menyalahiku dlm dua perkara ini maka dia terbebas dari diriku; Cinta terhadap Abu Bakr as-Siddiq sebagai imam pembawa petunjuk, dan akidahku di atas jalan al Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari".
Aku, Abou Fateh berkata: "AKU ADALAH PENGIKUT IMAM SYAFI'I DALAM FIKIH, DAN PENGIKUT IMAM ABU AL-HASAN AL-ASY'ARI DALAM AKIDAH, AKU ANTI AJARAN WAHHABI DAN SYI'AH.
******************
Berikut ini PDF gratis 100% dalam menjabarkan kebenaran akidah Asy'ariyyah sebagai akidah Ahlussunnah Wal Jama'ah, dengan dalil2 naqliyyah dan 'aqliyyah yg sangat kuat, lebih dari 200 hlm.
Halal diperbanyak/dicetak/diterbitkan/disebarluaskan dgn cara apapun. Mohon dishare supaya saudara2 kita lainnya mengambil manfaat.
Segera download, klik link berikut;
https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://inamurrofiq.files.wordpress.com/2017/06/kebenaran-aqidah-asyariyyah-1.pdf&ved=0ahUKEwih6q_Wk9HXAhWMabwKHUlgBGwQFggoMAA&usg=AOvVaw3CvvxeAuUtZYBdAoTOz9EX
******************
Al Imam Abu Nashr al Qusyairi berkata:
شيئان من يعذلني فيهما # فهو على التحقيق مني بري
حب أبي بكر إمام الهدى # واعتقادي مذهب الأشعري
"Siapa yg menyalahiku dlm dua perkara ini maka dia terbebas dari diriku; Cinta terhadap Abu Bakr as-Siddiq sebagai imam pembawa petunjuk, dan akidahku di atas jalan al Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari".
Aku, Abou Fateh berkata: "AKU ADALAH PENGIKUT IMAM SYAFI'I DALAM FIKIH, DAN PENGIKUT IMAM ABU AL-HASAN AL-ASY'ARI DALAM AKIDAH, AKU ANTI AJARAN WAHHABI DAN SYI'AH.
******************
Berikut ini PDF gratis 100% dalam menjabarkan kebenaran akidah Asy'ariyyah sebagai akidah Ahlussunnah Wal Jama'ah, dengan dalil2 naqliyyah dan 'aqliyyah yg sangat kuat, lebih dari 200 hlm.
Halal diperbanyak/dicetak/diterbitkan/disebarluaskan dgn cara apapun. Mohon dishare supaya saudara2 kita lainnya mengambil manfaat.
Segera download, klik link berikut;
https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://inamurrofiq.files.wordpress.com/2017/06/kebenaran-aqidah-asyariyyah-1.pdf&ved=0ahUKEwih6q_Wk9HXAhWMabwKHUlgBGwQFggoMAA&usg=AOvVaw3CvvxeAuUtZYBdAoTOz9EX
Membongkar Kesesatan Sayyid Quthb (Bag. 1)
****************************
*Muqadimah: NASEHAT*
Segalapuji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, waba’du.
Sudah menjadi kesepakatan Ulama Salaf dan Khalaf bahwa ilmu agama tidak diperoleh dengan membaca beberapa literatur agama,melainkan dengan belajar langsung ( talaqqi ) kepada seorang alim yang terpercaya ( tsiqah ) yang pernah berguru kepada seorang alim terpercaya, dan demikian seterusnya hingga berujung kepada Sahabat Nabi. Al Hafizh Abu Bakr al Khatibal Baghdadi berkata:
" ﻻ ﻳﺆﺧﺬ ﺍﻟﻌﻠﻤﺈﻻ ﻣﻦ ﺃﻓﻮﺍﻩ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ "
“ilmu agama tidak boleh diambilkecuali dari lisan Ulama ".
Sebagianulama Salaf mengatakan:
" ﺍﻟﺬﻯ ﻳﺄﺧﺬ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﻳﺴﻤﻰ ﺻﺤﻔﻴﺎ ﻭﺍﻟﺬﻯ ﻳﺄﺧﺬ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺼﺤﻔﻴﺴﻤﻰ ﻣﺼﺤﻔﻴﺎ ﻭﻻ ﻳﺴﻤﻰ ﻗﺎﺭﺋﺎ "
“Orang yang mempelajari hadits dari kitab dinamakan
shahafi, sedangkan orang yang mempelajari al Qur'an dari mushaf dinamakan mushafi, tidak disebut qari' ”.
Dan ini sesungguhnya dipahami dari sabda Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wasallam:
ﻣﻦ ﻳﺮﺩ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻪ ﺧﻴﺮﺍ ﻳﻔﻘﻬﻪ ﻓﻰ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎ ﻟﺘﻌﻠﻤﻮﺍﻟﻔﻘﻪ ﺑﺎﻟﺘﻔﻘﻪ / ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻄﺒﺮﺍﻧﻲ
Maknanya: “Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah baginya suatu kebaikan, maka Allah mudahkan baginya seorang guru yang mengajarinya Ilmu-Ilmu Agama, Sesungguhnya ilmu agama (diperoleh) dengan cara belajar kepada seorang alim, begitu pula fiqih ". (H.R. ath-Thabarani).
Di antara mereka yang tidak pernah belajar dengan bergurukepada ulama tsiqat adalah Sayyid Quthb. Dia tidak pernah duduk bersimpuh di depan para ulama untuk belajar ataumembaca ilmu kepada mereka, Sayyid Quthb ini tidak pernah mencium harumnya ilmu agama.
Pada mulanya ia adalah seorang wartawan yang beraliran marxisme, kemudian bergabung dengan Ikhwanul Muslimin sampai menjadi salah seorang tokoh gerakan tersebut. Mulailah ia menulis, dan ternyata ia tergelincir, sesat lagimenyesatkan. Orang yang berilmu dan memiliki tamyiz (mampu membedakan yang hak dan yang batil) jika membaca karya-karya Sayyid quthb akan mendapatkan bahwa buku-buku tersebut penuh dengan fatwa-fatwa yang bertentangan dengan syari’at Allah dan akan mengetahui bahwa karya-karya tersebut menunjukkan kesesatan penulisnya.
Banyak sekali fatwa-fatwanya yang bertentangan dengan ajaran Islam, di antaranya ia menamakan Allah dengan
ar-Risyah al-Mu’jizah (bulu yang melakukan hal yang luar biasa), ar-Risyah al-Khaliqah (bulu yang menciptakan) dan ar-Risyah al Mubdi'ah (bulu yang menciptakan alam dari tidak ada menjadi ada tanpa ada contoh sebelumnya).
Ini semua ia sebutkan dalam beberapa bagian kitabnya yang berjudul "at-Tashwir al fanni fi al Qur'an " dankarya-karyanya yang lain. Ia juga menamakan Allah dengan al 'Aql al Mudabbir (Akal yang mengatur) ketika menafsirkan surat an-Naba’. Ini jelas merupakan Ilhad (penyimpangan dalam menamakan Allah). Allah ta’ala berfirman:
ﻭﻟﻠﻪ ﺍﻷﺳﻤﺎﺀﺍﻟﺤﺴﻨﻰ ﻓﺎﺩﻋﻮﻩ ﺑﻬﺎ ﻭﺫﺭﻭﺍ ﺍﻟﺬ ﻳﻦ ﻳﻠﺤﺪﻭﻥ ﻓﻰ ﺃﺳﻤﺎﺋﻪ / ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻷﻋﺮﺍﻑ : 180
Maknanya: “Bagi Allah al asma’ al husna (Nama-nama yang menunjukkan kesempunaan bagi-Nya), maka berdoa-lah kamusekalian kepada-Nya dengan menyebut nama-nama tersebut dan jauhilah mereka yangmenyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-nama-Nya". ( Q.S. al A’raaf : 180 )
Al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi mengatakan dalam kitab 'Aqidahnya yang merupakan ‘Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah:
ﻭﻣﻦ ﻭﺻﻒ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻤﻌﻨﻰ ﻣﻦ ﻣﻌﺎﻧﻰ ﺍﻟﺒﺸﺮﻓﻘﺪ ﻛﻔﺮ
“Barang siapa menyifati Allah dengan salah sifat manusia maka ia telah kafir ".
****************************
Join us on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
****************************
*Muqadimah: NASEHAT*
Segalapuji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, waba’du.
Sudah menjadi kesepakatan Ulama Salaf dan Khalaf bahwa ilmu agama tidak diperoleh dengan membaca beberapa literatur agama,melainkan dengan belajar langsung ( talaqqi ) kepada seorang alim yang terpercaya ( tsiqah ) yang pernah berguru kepada seorang alim terpercaya, dan demikian seterusnya hingga berujung kepada Sahabat Nabi. Al Hafizh Abu Bakr al Khatibal Baghdadi berkata:
" ﻻ ﻳﺆﺧﺬ ﺍﻟﻌﻠﻤﺈﻻ ﻣﻦ ﺃﻓﻮﺍﻩ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ "
“ilmu agama tidak boleh diambilkecuali dari lisan Ulama ".
Sebagianulama Salaf mengatakan:
" ﺍﻟﺬﻯ ﻳﺄﺧﺬ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﻳﺴﻤﻰ ﺻﺤﻔﻴﺎ ﻭﺍﻟﺬﻯ ﻳﺄﺧﺬ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺼﺤﻔﻴﺴﻤﻰ ﻣﺼﺤﻔﻴﺎ ﻭﻻ ﻳﺴﻤﻰ ﻗﺎﺭﺋﺎ "
“Orang yang mempelajari hadits dari kitab dinamakan
shahafi, sedangkan orang yang mempelajari al Qur'an dari mushaf dinamakan mushafi, tidak disebut qari' ”.
Dan ini sesungguhnya dipahami dari sabda Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wasallam:
ﻣﻦ ﻳﺮﺩ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻪ ﺧﻴﺮﺍ ﻳﻔﻘﻬﻪ ﻓﻰ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎ ﻟﺘﻌﻠﻤﻮﺍﻟﻔﻘﻪ ﺑﺎﻟﺘﻔﻘﻪ / ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻄﺒﺮﺍﻧﻲ
Maknanya: “Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah baginya suatu kebaikan, maka Allah mudahkan baginya seorang guru yang mengajarinya Ilmu-Ilmu Agama, Sesungguhnya ilmu agama (diperoleh) dengan cara belajar kepada seorang alim, begitu pula fiqih ". (H.R. ath-Thabarani).
Di antara mereka yang tidak pernah belajar dengan bergurukepada ulama tsiqat adalah Sayyid Quthb. Dia tidak pernah duduk bersimpuh di depan para ulama untuk belajar ataumembaca ilmu kepada mereka, Sayyid Quthb ini tidak pernah mencium harumnya ilmu agama.
Pada mulanya ia adalah seorang wartawan yang beraliran marxisme, kemudian bergabung dengan Ikhwanul Muslimin sampai menjadi salah seorang tokoh gerakan tersebut. Mulailah ia menulis, dan ternyata ia tergelincir, sesat lagimenyesatkan. Orang yang berilmu dan memiliki tamyiz (mampu membedakan yang hak dan yang batil) jika membaca karya-karya Sayyid quthb akan mendapatkan bahwa buku-buku tersebut penuh dengan fatwa-fatwa yang bertentangan dengan syari’at Allah dan akan mengetahui bahwa karya-karya tersebut menunjukkan kesesatan penulisnya.
Banyak sekali fatwa-fatwanya yang bertentangan dengan ajaran Islam, di antaranya ia menamakan Allah dengan
ar-Risyah al-Mu’jizah (bulu yang melakukan hal yang luar biasa), ar-Risyah al-Khaliqah (bulu yang menciptakan) dan ar-Risyah al Mubdi'ah (bulu yang menciptakan alam dari tidak ada menjadi ada tanpa ada contoh sebelumnya).
Ini semua ia sebutkan dalam beberapa bagian kitabnya yang berjudul "at-Tashwir al fanni fi al Qur'an " dankarya-karyanya yang lain. Ia juga menamakan Allah dengan al 'Aql al Mudabbir (Akal yang mengatur) ketika menafsirkan surat an-Naba’. Ini jelas merupakan Ilhad (penyimpangan dalam menamakan Allah). Allah ta’ala berfirman:
ﻭﻟﻠﻪ ﺍﻷﺳﻤﺎﺀﺍﻟﺤﺴﻨﻰ ﻓﺎﺩﻋﻮﻩ ﺑﻬﺎ ﻭﺫﺭﻭﺍ ﺍﻟﺬ ﻳﻦ ﻳﻠﺤﺪﻭﻥ ﻓﻰ ﺃﺳﻤﺎﺋﻪ / ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻷﻋﺮﺍﻑ : 180
Maknanya: “Bagi Allah al asma’ al husna (Nama-nama yang menunjukkan kesempunaan bagi-Nya), maka berdoa-lah kamusekalian kepada-Nya dengan menyebut nama-nama tersebut dan jauhilah mereka yangmenyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-nama-Nya". ( Q.S. al A’raaf : 180 )
Al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi mengatakan dalam kitab 'Aqidahnya yang merupakan ‘Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah:
ﻭﻣﻦ ﻭﺻﻒ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻤﻌﻨﻰ ﻣﻦ ﻣﻌﺎﻧﻰ ﺍﻟﺒﺸﺮﻓﻘﺪ ﻛﻔﺮ
“Barang siapa menyifati Allah dengan salah sifat manusia maka ia telah kafir ".
****************************
Join us on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
*Penjelasan Panjang Tentang Riddah (Keluar Dari Islam) Dari Berbagai Kitab Para Ulama 4 Madzhab*
Oleh; Dr. H. Abou Fateh, MA
****************************
Join us on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
****************************
*ﺍﻟﺮﺩﺓ*
ﺍﻟﺮﺩﺓ ﻭﻫﻲ ﻗﻄﻊ ﺍﻹﺳﻼﻡ، ﻭﺗﻨﻘﺴﻢ ﺇﻟﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻗﺴﺎﻡ : ﺃﻓﻌﺎﻝ ﻭﺃﻗﻮﺍﻝٌ ﻭﺍﻋﺘﻘﺎﺩﺍﺕ ﻛﻤﺎ ﺍﺗَّﻔﻖَ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﺬﺍﻫﺐ ﺍﻷﺭﺑﻌﺔ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ، ﻛﺎﻟﻨﻮﻭﻱ ( ﺕ 676 ﻫـ ) ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ، ﻭﺍﺑﻦ ﻋﺎﺑﺪﻳﻦ ( ﺕ 1252 ﻫـ ) ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﻨﻔﻴﺔ، ﻭﻣﺤﻤﺪ ﻋﻠﻴﺶ ( ﺕ 1299 ﻫـ ) ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ، ﻭﺍﻟﺒﻬﻮﺗﻲ ( ﺕ 1051 ﻫـ ) ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﻨﺎﺑﻠﺔ .
*Riddah*
Riddah adalah memutuskan Islam. Riddah terbagi kepada tiga macam; riddah (keluar dari Islam) karena perbuatan, karena perkataan dan karena keyakinan. Pembagian ini telah disepakati oleh para ulama dari empat madzhab dan lainnya; seperti, al-Imam an-Nawawi (w 676 H) dan lainnya dari ulama madzhab Syafi’i, al-Imam Ibn Abidin (w 1252 H) dan lainnya dari ulama madzhab Hanafi, Syekh Muhammad Illaisy (w 1299 H) dan lainnya dari ulama madzhab Maliki, dan al-Imam al-Buhuti (w 1051 H) dan lainnya dari ulama madzhab Hanbali.
____________________________
ﻭﻛﻞٌّ ﻣﻦ ﺍﻟﺜﻼﺛﺔ ﻛﻔﺮٌ ﺑﻤﻔﺮﺩِﻩِ ﻓﺎﻟﻜﻔﺮُ ﺍﻟﻘﻮﻟﻲُّ ﻛﻔﺮٌ ﻭﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﻘﺘﺮﻥ ﺑﻪ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩٌ ﺃﻭ ﻓﻌﻞٌ، ﻭﺍﻟﻜﻔﺮُ ﺍﻟﻔِﻌْﻠِﻲُّ ﻛﻔﺮٌ ﻭﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﻘﺘﺮﻥ ﺑﻪ ﻗﻮﻝ ﺃﻭ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩٌ ﺃﻭ ﺍﻧﺸﺮﺍﺡُ ﺍﻟﺼَّﺪْﺭ ﺑﻪ، ﻭﺍﻟﻜﻔﺮُ ﺍﻻﻋﺘﻘﺎﺩﻱ ﻛﻔﺮٌ ﻭﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﻘﺘﺮﻥ ﺑﻪ ﻗﻮﻝٌ ﺃﻭ ﻓﻌﻞٌ، ﻭﺳﻮﺍﺀ ﺣﺼﻮﻝ ﻫﺬﺍ ﻣﻦ ﺟﺎﻫﻞ ﺑﺎﻟﺤﻜﻢ ﺃﻭ ﻫﺎﺯﻝ ﺃﻭ ﻏﻀﺒﺎﻥ .
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : [ ﻭَﻟَﺌِﻦْ ﺳَﺄَﻟْﺘَﻬُﻢْ ﻟَﻴَﻘُﻮﻟُﻦَّ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻛُﻨَّﺎ ﻧَﺨُﻮﺽُ ﻭَﻧَﻠْﻌَﺐُ ﻗُﻞْ ﺃَﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺁَﻳَﺎﺗِﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﺴْﺘَﻬْﺰِﺋُﻮﻥَ ﻻ ﺗَﻌْﺘَﺬِﺭُﻭﺍ ﻗَﺪْ ﻛَﻔَﺮْﺗُﻢْ ﺑَﻌْﺪَ ﺇِﻳﻤَﺎﻧِﻜُﻢْ ] } ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ 65-66 } .
Setiap satu dari tiga macam kufur di atas dengan sendirinya merupakan kekufuran (artinya mengeluarkan seseorang dari Islam). Kufur Qawli misalkan, (kufur karena ucapan) dengan sendirinya bila terjadi dapat mengeluarkan seseorang dari Islam sekalipun tidak dibarengi dengan kufur I’tiqadi dan atau kufur Fi’li. Demikian pula kufur Fi’li (kufur karena perbuatan) dengan sendirinya bila terjadi dapat mengeluarkna seseorang dari Islam sekalipun tidak dibarengi dengan kufur Qawli, atau kufur I’tiqadi, dan juga walaupun tidak dibarengi dengan tujuan dalam hati untuk keluar dari Islam itu sendiri. Dan demikian pula dengan kufur I’tiqadi dengan sendirinya ia merupakan kekufuran walaupun tidak dibarengi dengan kufur Qawli dan atau kufur Fi’li. Dengan demikian setiap satu dari tiga macam kufur ini bila terjadi masing-masing maka dengan sendirinya mengeluarkan seseorang dari Islam, sama halnya bila itu terjadi dari seorang yang tidak mengetahui hukumnya, atau orang yang dalam keadaan bercanda, dan atau orang yang dalam keadaan marah.
Allah berfirman:
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : [ ﻭَﻟَﺌِﻦْ ﺳَﺄَﻟْﺘَﻬُﻢْ ﻟَﻴَﻘُﻮﻟُﻦَّ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻛُﻨَّﺎ ﻧَﺨُﻮﺽُ ﻭَﻧَﻠْﻌَﺐُ ﻗُﻞْ ﺃَﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺁَﻳَﺎﺗِﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﺴْﺘَﻬْﺰِﺋُﻮﻥَ ﻻ ﺗَﻌْﺘَﺬِﺭُﻭﺍ ﻗَﺪْ ﻛَﻔَﺮْﺗُﻢْ ﺑَﻌْﺪَ ﺇِﻳﻤَﺎﻧِﻜُﻢْ ] } ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ 65-66 }
“Dan bila engkau (Wahai Muhammad) benar-benar bertanya kepada mereka (orang-orang murtad); maka mereka sungguh akan berkata: “Sesungguhnya kami hanya terjerumus dan hanya bermain-main (bercanda)”, katakan (wahai Muhammad); “Adakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian mengolok-olok? Janganlah kalian mencari alasan, sungguh kalian telah menjadi kafir setelah kalian beriman”. (QS. At-Taubah; 65-66).
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ": ﺇﻥَّ ﺍﻟﺮَّﺟﻞَ ﻟَﻴَﺘَﻜﻠَّﻢُ ﺑﺎﻟﻜﻠﻤﺔِ ﻻ ﻳَﺮﻯ ﺑﻬﺎ ﺑﺄﺳًﺎ ﻳﻬﻮِﻱ ﺑِﻬﺎ ﺳﺒﻌﻴﻦَ ﺧﺮﻳﻔًﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ " ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻭﺣﺴﻨﻪ، ﻭﻓﻲ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺣﺪﻳﺚ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ .
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya bila seseorang berkata-kata dengan kata-kata (kufur) walaupun dia tidak menganggap hal itu sebagai keburukan maka karena ucapannya tersebut ia akan masuk ke dalam neraka hingga dasarnya --yang jarak permukaan dengan dasarnya- adalah selama 70 tahun”. (HR. at-Tirmidzi dan ia mengatakan ini hadits Hasan. Hadits yang semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih masing-masing).
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﻤﺠﺘﻬﺪ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺟﺮﻳﺮ ﺍﻟﻄﺒﺮﻱ ( ﺕ
Oleh; Dr. H. Abou Fateh, MA
****************************
Join us on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
****************************
*ﺍﻟﺮﺩﺓ*
ﺍﻟﺮﺩﺓ ﻭﻫﻲ ﻗﻄﻊ ﺍﻹﺳﻼﻡ، ﻭﺗﻨﻘﺴﻢ ﺇﻟﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻗﺴﺎﻡ : ﺃﻓﻌﺎﻝ ﻭﺃﻗﻮﺍﻝٌ ﻭﺍﻋﺘﻘﺎﺩﺍﺕ ﻛﻤﺎ ﺍﺗَّﻔﻖَ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﺬﺍﻫﺐ ﺍﻷﺭﺑﻌﺔ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ، ﻛﺎﻟﻨﻮﻭﻱ ( ﺕ 676 ﻫـ ) ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ، ﻭﺍﺑﻦ ﻋﺎﺑﺪﻳﻦ ( ﺕ 1252 ﻫـ ) ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﻨﻔﻴﺔ، ﻭﻣﺤﻤﺪ ﻋﻠﻴﺶ ( ﺕ 1299 ﻫـ ) ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ، ﻭﺍﻟﺒﻬﻮﺗﻲ ( ﺕ 1051 ﻫـ ) ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﻨﺎﺑﻠﺔ .
*Riddah*
Riddah adalah memutuskan Islam. Riddah terbagi kepada tiga macam; riddah (keluar dari Islam) karena perbuatan, karena perkataan dan karena keyakinan. Pembagian ini telah disepakati oleh para ulama dari empat madzhab dan lainnya; seperti, al-Imam an-Nawawi (w 676 H) dan lainnya dari ulama madzhab Syafi’i, al-Imam Ibn Abidin (w 1252 H) dan lainnya dari ulama madzhab Hanafi, Syekh Muhammad Illaisy (w 1299 H) dan lainnya dari ulama madzhab Maliki, dan al-Imam al-Buhuti (w 1051 H) dan lainnya dari ulama madzhab Hanbali.
____________________________
ﻭﻛﻞٌّ ﻣﻦ ﺍﻟﺜﻼﺛﺔ ﻛﻔﺮٌ ﺑﻤﻔﺮﺩِﻩِ ﻓﺎﻟﻜﻔﺮُ ﺍﻟﻘﻮﻟﻲُّ ﻛﻔﺮٌ ﻭﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﻘﺘﺮﻥ ﺑﻪ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩٌ ﺃﻭ ﻓﻌﻞٌ، ﻭﺍﻟﻜﻔﺮُ ﺍﻟﻔِﻌْﻠِﻲُّ ﻛﻔﺮٌ ﻭﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﻘﺘﺮﻥ ﺑﻪ ﻗﻮﻝ ﺃﻭ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩٌ ﺃﻭ ﺍﻧﺸﺮﺍﺡُ ﺍﻟﺼَّﺪْﺭ ﺑﻪ، ﻭﺍﻟﻜﻔﺮُ ﺍﻻﻋﺘﻘﺎﺩﻱ ﻛﻔﺮٌ ﻭﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﻘﺘﺮﻥ ﺑﻪ ﻗﻮﻝٌ ﺃﻭ ﻓﻌﻞٌ، ﻭﺳﻮﺍﺀ ﺣﺼﻮﻝ ﻫﺬﺍ ﻣﻦ ﺟﺎﻫﻞ ﺑﺎﻟﺤﻜﻢ ﺃﻭ ﻫﺎﺯﻝ ﺃﻭ ﻏﻀﺒﺎﻥ .
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : [ ﻭَﻟَﺌِﻦْ ﺳَﺄَﻟْﺘَﻬُﻢْ ﻟَﻴَﻘُﻮﻟُﻦَّ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻛُﻨَّﺎ ﻧَﺨُﻮﺽُ ﻭَﻧَﻠْﻌَﺐُ ﻗُﻞْ ﺃَﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺁَﻳَﺎﺗِﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﺴْﺘَﻬْﺰِﺋُﻮﻥَ ﻻ ﺗَﻌْﺘَﺬِﺭُﻭﺍ ﻗَﺪْ ﻛَﻔَﺮْﺗُﻢْ ﺑَﻌْﺪَ ﺇِﻳﻤَﺎﻧِﻜُﻢْ ] } ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ 65-66 } .
Setiap satu dari tiga macam kufur di atas dengan sendirinya merupakan kekufuran (artinya mengeluarkan seseorang dari Islam). Kufur Qawli misalkan, (kufur karena ucapan) dengan sendirinya bila terjadi dapat mengeluarkan seseorang dari Islam sekalipun tidak dibarengi dengan kufur I’tiqadi dan atau kufur Fi’li. Demikian pula kufur Fi’li (kufur karena perbuatan) dengan sendirinya bila terjadi dapat mengeluarkna seseorang dari Islam sekalipun tidak dibarengi dengan kufur Qawli, atau kufur I’tiqadi, dan juga walaupun tidak dibarengi dengan tujuan dalam hati untuk keluar dari Islam itu sendiri. Dan demikian pula dengan kufur I’tiqadi dengan sendirinya ia merupakan kekufuran walaupun tidak dibarengi dengan kufur Qawli dan atau kufur Fi’li. Dengan demikian setiap satu dari tiga macam kufur ini bila terjadi masing-masing maka dengan sendirinya mengeluarkan seseorang dari Islam, sama halnya bila itu terjadi dari seorang yang tidak mengetahui hukumnya, atau orang yang dalam keadaan bercanda, dan atau orang yang dalam keadaan marah.
Allah berfirman:
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : [ ﻭَﻟَﺌِﻦْ ﺳَﺄَﻟْﺘَﻬُﻢْ ﻟَﻴَﻘُﻮﻟُﻦَّ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻛُﻨَّﺎ ﻧَﺨُﻮﺽُ ﻭَﻧَﻠْﻌَﺐُ ﻗُﻞْ ﺃَﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺁَﻳَﺎﺗِﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﺴْﺘَﻬْﺰِﺋُﻮﻥَ ﻻ ﺗَﻌْﺘَﺬِﺭُﻭﺍ ﻗَﺪْ ﻛَﻔَﺮْﺗُﻢْ ﺑَﻌْﺪَ ﺇِﻳﻤَﺎﻧِﻜُﻢْ ] } ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ 65-66 }
“Dan bila engkau (Wahai Muhammad) benar-benar bertanya kepada mereka (orang-orang murtad); maka mereka sungguh akan berkata: “Sesungguhnya kami hanya terjerumus dan hanya bermain-main (bercanda)”, katakan (wahai Muhammad); “Adakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian mengolok-olok? Janganlah kalian mencari alasan, sungguh kalian telah menjadi kafir setelah kalian beriman”. (QS. At-Taubah; 65-66).
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ": ﺇﻥَّ ﺍﻟﺮَّﺟﻞَ ﻟَﻴَﺘَﻜﻠَّﻢُ ﺑﺎﻟﻜﻠﻤﺔِ ﻻ ﻳَﺮﻯ ﺑﻬﺎ ﺑﺄﺳًﺎ ﻳﻬﻮِﻱ ﺑِﻬﺎ ﺳﺒﻌﻴﻦَ ﺧﺮﻳﻔًﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ " ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻭﺣﺴﻨﻪ، ﻭﻓﻲ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺣﺪﻳﺚ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ .
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya bila seseorang berkata-kata dengan kata-kata (kufur) walaupun dia tidak menganggap hal itu sebagai keburukan maka karena ucapannya tersebut ia akan masuk ke dalam neraka hingga dasarnya --yang jarak permukaan dengan dasarnya- adalah selama 70 tahun”. (HR. at-Tirmidzi dan ia mengatakan ini hadits Hasan. Hadits yang semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih masing-masing).
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﻤﺠﺘﻬﺪ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺟﺮﻳﺮ ﺍﻟﻄﺒﺮﻱ ( ﺕ
310 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ " ﺗﻬﺬﻳﺐ ﺍﻵﺛﺎﺭ :" ﺇﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻣﻦ ﻳﺨﺮﺝ ﻣﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺃﻥ ﻳﻘﺼﺪ ﺍﻟﺨﺮﻭﺝ ﻣﻨﻪ ﺍﻫـ .
Salah seorang Imam Mujtahid terkemuka; yaitu Imam Muhammad ibn Jarir ath-Thabari (w 310 H) dalam kitab karyanya berjudul Tahdzib al-Atsar, berkata: “Sesungguhnya ada di antara orang-orang Islam yang keluar dari Islamnya (menjadi kafir) walaupun ia tidak bermaksud untuk keluar darinya”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺍﻟﻜﺒﻴﺮ ﺃﺑﻮ ﻋﻮﺍﻧﺔ ( ﺕ 316 ﻫـ ) ﺍﻟﺬﻱ ﻋﻤﻞ ﻣﺴﺘﺨﺮﺟﺎ ﻋﻠﻰ ﻣﺴﻠﻢ، ﻓﻴﻤﺎ ﻧﻘﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﻓﻲ ﻓﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ ﺝ 12/301 ":302- ﻭﻓﻴﻪ ﺃﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻣﻦ ﻳﺨﺮﺝ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺃﻥ ﻳﻘﺼﺪ ﺍﻟﺨﺮﻭﺝ ﻣﻨﻪ ﻭﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺃﻥ ﻳﺨﺘﺎﺭ ﺩﻳﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﺩﻳﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ " ﺍﻫـ .
Ahli hadits terkemuka yang telah membuat kitab al-Mustakhraj Ala Shahih Muslim, yaitu al-Hafizh Abu Awanah (w 316 H), berkata: “Sesungguhnya ada di antara orang-orang Islam yang keluar dari Islamnya walaupun ia tidak bermaksud untuk keluar darinya, dan atau walaupun ia tidak bertujuan memilih agama lain selain agama Islam”. (Dikutip oleh al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqlani dalam Fath al-Bari, j. 12, h. 301-302).
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺍﻟﺤﺴﻴﻦ ﺑﻦ ﻃﺎﻫﺮ ﺍﻟﺤﻀﺮﻣﻲ ( ﺕ 1272 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﺳﻠﻢ ﺍﻟﺘﻮﻓﻴﻖ ﺇﻟﻰ ﻣﺤﺒﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﺤﻘﻴﻖ ": ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻣﺴﻠﻢ ﺣﻔﻆُ ﺇﺳﻼﻣﻪ ﻭﺻﻮﻧُﻪُ ﻋﻤَّﺎ ﻳﻔﺴﺪﻩ ﻭﻳﺒﻄﻠُﻪُ ﻭﻳﻘﻄﻌُﻪُ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺮّﺩﺓُ ﻭﺍﻟﻌﻴﺎﺫ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﻗﺪ ﻛﺜُﺮَ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺰﻣﺎﻥ ﺍﻟﺘﺴﺎﻫﻞُ ﻓﻲ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﺣﺘﻰ ﺇﻧَّﻪُ ﻳﺨﺮﺝ ﻣﻦ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺃﻟﻔﺎﻅٌ ﺗُﺨﺮﺟﻬﻢ ﻋﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﻻ ﻳَﺮَﻭْﻥَ ﺫﻟﻚ ﺫﻧﺒًﺎ ﻓﻀﻼً ﻋﻦ ﻛﻮﻧﻪ ﻛﻔﺮًﺍ " ﺍﻫـ
Syekh Abdullah ibn al-Husain ibn Thahir al-Hadlrami (w 1272 H) dalam kitab Sullam at-Taufiq Ila Mahabbah Allah ‘Ala at-Tahqiq, berkata: “Wajib atas setiap orang muslim menjaga Islamnya, dan memeliharanya dari segala perkara yang dapat merusaknya, membatalkannya, dan memutuskannya; yaitu riddah --semoga kita dilindungi oleh Allah darinya--. Dan sungguh di zaman sekarang ini telah banyak orang yang menganggap remeh dalam berkata-kata hingga telah keluar dari sebagian mereka kata-kata yang telah mengeluarkan mereka dari Islam. Ironisnya, mereka tidak menganggap hal itu sebagai dosa, terlebih menganggapnya sebagai kekufuran”.
____________________________
ﻗﺎﻝ ﻣﺨﺘﺼﺮﻩ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﻤﺤﺪﺙ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺍﻟﻬﺮﺭﻱ ( ﺕ 1429 ﻫـ ) ﺹ :14/ " ﻭﺫﻟﻚ ﻣﺼﺪﺍﻕُ ﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ": ﺇﻥ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﻟﻴﺘﻜﻠﻢ ﺑﺎﻟﻜﻠﻤﺔ ﻻ ﻳﺮﻯ ﺑﻬﺎ ﺑﺄﺳًﺎ ﻳﻬﻮﻱ ﺑﻬﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﺳﺒﻌﻴﻦ ﺧﺮﻳﻔًﺎ " ﺃﻱ ﻣﺴﺎﻓﺔ ﺳﺒﻌﻴﻦ ﻋﺎﻣًﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻨـﺰﻭﻝ ﻭﺫﻟﻚ ﻣﻨﺘﻬﻰ ﺟﻬﻨﻢ ﻭﻫﻮ ﺧﺎﺹٌ ﺑﺎﻟﻜﻔﺎﺭ . ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻭﺣﺴَّﻨَﻪ . ﻭﻓﻲ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺣﺪﻳﺚ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ، ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺸﺘﺮﻁ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﻗﻮﻉ ﻓﻲ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﻭﻻ ﺍﻧﺸﺮﺍﺡ ﺍﻟﺼﺪﺭ ﻭﻻ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩ ﻣﻌﻨﻰ ﺍﻟﻠﻔﻆ ". ﺍﻫـ
Al-Imam al-Hafizh Abdullah ibn Muhammad al-Harari (w 1429 H), dalam kitab Mukhtashar Sullam at-Taufiq, h. 14, berkata: “--bahwa menganggap remeh kata-kata kufur dapat mengeluarkan seseorang dari Islamnya-- hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah: “Sesungguhnya bila seseorang berkata-kata dengan kata-kata (kufur) walaupun dia tidak menganggap hal itu sebagai keburukan maka karena ucapannya tersebut ia akan masuk ke dalam neraka hingga dasarnya --yang jarak permukaan dengan dasarnya- adalah selama 70 tahun”. Artinya, ia akan masuk ke dalam neraka hingga ke dasarnya yang jarak hingga dasarnya tersebut adalah 70 tahun, dan dasar neraka adalah khusus sebagai tempat bagi orang-orang kafir. Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan ia mengatakan ini hadits Hasan. Hadits yang semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Hadits ini merupakan dalil bahwa terjatuh dalam kufur tidak disyaratkan harus mengetahui hukumnya, juga tidak disyaratkan bahwa hatinya benar-benar bertujuan keluar dari Islam, serta juga tidak disyaratkan bahwa ia harus meyakini bahwa kata-kata tersebut dapat mengeluarkan dirinya dari Islam”. (Artinya, secara mutlak dengan hanya berkata-kata kufur; seseorang menjadi kafir/keluar dari Islam).
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺴﻴﺪ ﺍﻟﺒﻜﺮﻱ ﺍﻟﺪﻣﻴﺎﻃﻲ ( ﺕ 1310 ﻫـ ) ﻓﻲ ﺇﻋﺎﻧﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﺣﻞ ﺃﻟﻔﺎﻅ ﻓﺘﺢ ﺍﻟﻤﻌﻴﻦ ( ﻡ /2 ﺝ 4/133 ) : " ﻭﺍﻋﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻳﺠﺮﻱ ﻋﻠﻰ ﺃﻟﺴﻨﺔ ﺍﻟﻌﺎﻣﺔ ﺟﻤﻠﺔ ﻣﻦ ﺃﻧﻮﺍﻉ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺃﻥ ﻳﻌﻠﻤﻮﺍ ﺃﻧﻬﺎ ﻛﺬﻟﻚ ﻓﻴﺠﺐ ﻋﻠﻰ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺃﻥ ﻳﺒﻴﻨﻮﺍ ﻟﻬﻢ ﺫﻟﻚ ﻟﻌﻠﻬﻢ ﻳﺠﺘﻨﺒﻮﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﻋﻠﻤﻮﻩ ﻟﺌﻼ ﺗﺤﺒﻂ ﺃ
Salah seorang Imam Mujtahid terkemuka; yaitu Imam Muhammad ibn Jarir ath-Thabari (w 310 H) dalam kitab karyanya berjudul Tahdzib al-Atsar, berkata: “Sesungguhnya ada di antara orang-orang Islam yang keluar dari Islamnya (menjadi kafir) walaupun ia tidak bermaksud untuk keluar darinya”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺍﻟﻜﺒﻴﺮ ﺃﺑﻮ ﻋﻮﺍﻧﺔ ( ﺕ 316 ﻫـ ) ﺍﻟﺬﻱ ﻋﻤﻞ ﻣﺴﺘﺨﺮﺟﺎ ﻋﻠﻰ ﻣﺴﻠﻢ، ﻓﻴﻤﺎ ﻧﻘﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﻓﻲ ﻓﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ ﺝ 12/301 ":302- ﻭﻓﻴﻪ ﺃﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻣﻦ ﻳﺨﺮﺝ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺃﻥ ﻳﻘﺼﺪ ﺍﻟﺨﺮﻭﺝ ﻣﻨﻪ ﻭﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺃﻥ ﻳﺨﺘﺎﺭ ﺩﻳﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﺩﻳﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ " ﺍﻫـ .
Ahli hadits terkemuka yang telah membuat kitab al-Mustakhraj Ala Shahih Muslim, yaitu al-Hafizh Abu Awanah (w 316 H), berkata: “Sesungguhnya ada di antara orang-orang Islam yang keluar dari Islamnya walaupun ia tidak bermaksud untuk keluar darinya, dan atau walaupun ia tidak bertujuan memilih agama lain selain agama Islam”. (Dikutip oleh al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqlani dalam Fath al-Bari, j. 12, h. 301-302).
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺍﻟﺤﺴﻴﻦ ﺑﻦ ﻃﺎﻫﺮ ﺍﻟﺤﻀﺮﻣﻲ ( ﺕ 1272 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﺳﻠﻢ ﺍﻟﺘﻮﻓﻴﻖ ﺇﻟﻰ ﻣﺤﺒﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﺤﻘﻴﻖ ": ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻣﺴﻠﻢ ﺣﻔﻆُ ﺇﺳﻼﻣﻪ ﻭﺻﻮﻧُﻪُ ﻋﻤَّﺎ ﻳﻔﺴﺪﻩ ﻭﻳﺒﻄﻠُﻪُ ﻭﻳﻘﻄﻌُﻪُ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺮّﺩﺓُ ﻭﺍﻟﻌﻴﺎﺫ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﻗﺪ ﻛﺜُﺮَ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺰﻣﺎﻥ ﺍﻟﺘﺴﺎﻫﻞُ ﻓﻲ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﺣﺘﻰ ﺇﻧَّﻪُ ﻳﺨﺮﺝ ﻣﻦ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺃﻟﻔﺎﻅٌ ﺗُﺨﺮﺟﻬﻢ ﻋﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﻻ ﻳَﺮَﻭْﻥَ ﺫﻟﻚ ﺫﻧﺒًﺎ ﻓﻀﻼً ﻋﻦ ﻛﻮﻧﻪ ﻛﻔﺮًﺍ " ﺍﻫـ
Syekh Abdullah ibn al-Husain ibn Thahir al-Hadlrami (w 1272 H) dalam kitab Sullam at-Taufiq Ila Mahabbah Allah ‘Ala at-Tahqiq, berkata: “Wajib atas setiap orang muslim menjaga Islamnya, dan memeliharanya dari segala perkara yang dapat merusaknya, membatalkannya, dan memutuskannya; yaitu riddah --semoga kita dilindungi oleh Allah darinya--. Dan sungguh di zaman sekarang ini telah banyak orang yang menganggap remeh dalam berkata-kata hingga telah keluar dari sebagian mereka kata-kata yang telah mengeluarkan mereka dari Islam. Ironisnya, mereka tidak menganggap hal itu sebagai dosa, terlebih menganggapnya sebagai kekufuran”.
____________________________
ﻗﺎﻝ ﻣﺨﺘﺼﺮﻩ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﻤﺤﺪﺙ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺍﻟﻬﺮﺭﻱ ( ﺕ 1429 ﻫـ ) ﺹ :14/ " ﻭﺫﻟﻚ ﻣﺼﺪﺍﻕُ ﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ": ﺇﻥ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﻟﻴﺘﻜﻠﻢ ﺑﺎﻟﻜﻠﻤﺔ ﻻ ﻳﺮﻯ ﺑﻬﺎ ﺑﺄﺳًﺎ ﻳﻬﻮﻱ ﺑﻬﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﺳﺒﻌﻴﻦ ﺧﺮﻳﻔًﺎ " ﺃﻱ ﻣﺴﺎﻓﺔ ﺳﺒﻌﻴﻦ ﻋﺎﻣًﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻨـﺰﻭﻝ ﻭﺫﻟﻚ ﻣﻨﺘﻬﻰ ﺟﻬﻨﻢ ﻭﻫﻮ ﺧﺎﺹٌ ﺑﺎﻟﻜﻔﺎﺭ . ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻭﺣﺴَّﻨَﻪ . ﻭﻓﻲ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺣﺪﻳﺚ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ، ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺸﺘﺮﻁ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﻗﻮﻉ ﻓﻲ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﻭﻻ ﺍﻧﺸﺮﺍﺡ ﺍﻟﺼﺪﺭ ﻭﻻ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩ ﻣﻌﻨﻰ ﺍﻟﻠﻔﻆ ". ﺍﻫـ
Al-Imam al-Hafizh Abdullah ibn Muhammad al-Harari (w 1429 H), dalam kitab Mukhtashar Sullam at-Taufiq, h. 14, berkata: “--bahwa menganggap remeh kata-kata kufur dapat mengeluarkan seseorang dari Islamnya-- hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah: “Sesungguhnya bila seseorang berkata-kata dengan kata-kata (kufur) walaupun dia tidak menganggap hal itu sebagai keburukan maka karena ucapannya tersebut ia akan masuk ke dalam neraka hingga dasarnya --yang jarak permukaan dengan dasarnya- adalah selama 70 tahun”. Artinya, ia akan masuk ke dalam neraka hingga ke dasarnya yang jarak hingga dasarnya tersebut adalah 70 tahun, dan dasar neraka adalah khusus sebagai tempat bagi orang-orang kafir. Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan ia mengatakan ini hadits Hasan. Hadits yang semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Hadits ini merupakan dalil bahwa terjatuh dalam kufur tidak disyaratkan harus mengetahui hukumnya, juga tidak disyaratkan bahwa hatinya benar-benar bertujuan keluar dari Islam, serta juga tidak disyaratkan bahwa ia harus meyakini bahwa kata-kata tersebut dapat mengeluarkan dirinya dari Islam”. (Artinya, secara mutlak dengan hanya berkata-kata kufur; seseorang menjadi kafir/keluar dari Islam).
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺴﻴﺪ ﺍﻟﺒﻜﺮﻱ ﺍﻟﺪﻣﻴﺎﻃﻲ ( ﺕ 1310 ﻫـ ) ﻓﻲ ﺇﻋﺎﻧﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﺣﻞ ﺃﻟﻔﺎﻅ ﻓﺘﺢ ﺍﻟﻤﻌﻴﻦ ( ﻡ /2 ﺝ 4/133 ) : " ﻭﺍﻋﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻳﺠﺮﻱ ﻋﻠﻰ ﺃﻟﺴﻨﺔ ﺍﻟﻌﺎﻣﺔ ﺟﻤﻠﺔ ﻣﻦ ﺃﻧﻮﺍﻉ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺃﻥ ﻳﻌﻠﻤﻮﺍ ﺃﻧﻬﺎ ﻛﺬﻟﻚ ﻓﻴﺠﺐ ﻋﻠﻰ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺃﻥ ﻳﺒﻴﻨﻮﺍ ﻟﻬﻢ ﺫﻟﻚ ﻟﻌﻠﻬﻢ ﻳﺠﺘﻨﺒﻮﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﻋﻠﻤﻮﻩ ﻟﺌﻼ ﺗﺤﺒﻂ ﺃ
ﻋﻤﺎﻟﻬﻢ ﻭﻳﺨﻠﺪﻭﻥ ﻓﻲ ﺃﻋﻈﻢ ﺍﻟﻌﺬﺍﺏ، ﻭﺃﺷﺪ ﺍﻟﻌﻘﺎﺏ، ﻭﻣﻌﺮﻓﺔ ﺫﻟﻚ ﺃﻣﺮ ﻣﻬﻢّ ﺟﺪًﺍ، ﻭﺫﻟﻚ ﻷﻥ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﻌﺮﻑ ﺍﻟﺸﺮّ ﻳﻘﻊ ﻓﻴﻪ ﻭﻫﻮ ﻻ ﻳﺪﺭﻱ، ﻭﻛﻞ ﺷﺮّ ﺳﺒﺒﻪ ﺍﻟﺠﻬﻞ، ﻭﻛﻞ ﺧﻴﺮ ﺳﺒﺒﻪ ﺍﻟﻌﻠﻢ، ﻓﻬﻮ ﺍﻟﻨﻮﺭ ﺍﻟﻤﺒﻴﻦ، ﻭﺍﻟﺠﻬﻞ ﺑﺌﺲ ﺍﻟﻘﺮﻳﻦ " ﺍﻫـ
As-Sayyid al-Bakri ad-Dimyathi (w 1310 H) dalam kitab I’anah ath-Thalibin ‘Ala Hall Alfazh Fath al-Mu’in, vol. 2, j. 4, h. 133, berkata: “Ketahuilah bahwa banyak orang-orang awam yang dengan lidahnya telah berkata-kata kufur tanpa mereka ketahui bahwa sebenarnya hal itu merupakan kekufuran (dan menjatuhkan mereka di dalamnya). Maka wajib atas seorang yang memiliki ilmu untuk menjelaskan bagi mereka perkara-perkara kufur tersebut supaya bila mereka mengetahinya maka mereka akan menghindarinya, dan dengan demikian maka amalan mereka tidak menjadi sia-sia, serta mereka tidak dikekalkan di dalam neraka (bersama orang-orang kafir) dalam siksaan besar dan adzab yang sangat pedih. Sesungguhnya mengenal masalah-masalah kufur itu adalah perkara yang sangat penting, karena seorang yang tidak mengetahui keburukan maka sadar atau tidak ia pasti akan terjatuh di dalamnya. Dan sungguh setiap keburukan itu pangkalnya (sebab utamnya) adalah kebodohan (tidak memiliki ilmu), dan setiap kebaikan itu pangkalnya adalah ilmu, maka ilmu adalah petunjuk yang sangat nyata terhadap segala kebaikan, dan kebodohan adalah seburuk-buruknya teman (untuk kita hindari)”.
____________________________
ﻭﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺍﻟﻔﻘﻴﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﻟﺤﺴﻴﻨﻲ ﺍﻟﺰﺑﻴﺪﻱ ﺍﻟﺸﻬﻴﺮ ﺑﻤﺮﺗﻀﻰ ( ﺕ 1205 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﺍﺗﺤﺎﻑ ﺍﻟﺴﺎﺩﺓ ﺍﻟﻤﺘﻘﻴﻦ ﺑﺸﺮﺡ ﺇﺣﻴﺎﺀ ﻋﻠﻮﻡ ﺍﻟﺪﻳﻦ،ﺝ 5/333 ، ﻣﺎ ﻧﺼﻪ : " ﻭﻗﺪ ﺃﻟﻒ ﻓﻴﻬﺎ ( ﺍﻟﺮﺩﺓ ) ﻏﻴﺮ ﻭﺍﺣﺪ ﻣﻦ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺬﺍﻫﺐ ﺍﻷﺭﺑﻌﺔ ﺭﺳﺎﺋﻞ ﻭﺃﻛﺜﺮﻭﺍ ﻓﻲ ﺃﺣﻜﺎﻣﻬﺎ " ﺍﻫـ
Al-Imam al-Hafizh al-Faqih Muhammad ibn Muhammad al-Husaini az-Zabidi yang lebih dikenal dengan sebutan Mutadla az-Zabidi (w 1205 H) dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 5, h. 333, menuliskan: “Sangat banyak sekali para Imam terkemuka dari ulama empat madzhab yang telah menuliskan berbagai risalah/kitab dalam menjelaskan masalah riddah dan hukum-hukumnya”.
____________________________
*ﺍﻟﺤﻨﻔﻴﺔ*
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻔﻘﻴﻪ ﺍﻟﺤﻨﻔﻲ ﻣﺤﻤﺪ ﺃﻣﻴﻦ ﺍﻟﺸﻬﻴﺮ ﺑﺎﺑﻦ ﻋﺎﺑﺪﻳﻦ ( ﺕ 1252 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺭﺩ ﺍﻟﻤﺤﺘﺎﺭ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺪﺭ ﺍﻟﻤﺨﺘﺎﺭ ﺷﺮﺡ ﺗﻨﻮﻳﺮ ﺍﻷﺑﺼﺎﺭ، ﺝ 6/354 ، ﺑﺎﺏ ﺍﻟﻤﺮﺗﺪ : ﺷﺮﻋﺎ ﺍﻟﺮﺍﺟﻊ ﻋﻦ ﺩﻳﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ، ﻭﺭﻛﻨﻬﺎ ﺇﺟﺮﺍﺀ ﻛﻠﻤﺔ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻠﺴﺎﻥ ﺑﻌﺪ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ . ﻫﺬﺍ ﺑﺎﻟﻨﺴﺒﺔ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻈﺎﻫﺮ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺤﻜﻢ ﺑﻪ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ، ﻭﺇﻻ ﻓﻘﺪ ﺗﻜﻮﻥ ﺑﺪﻭﻧﻪ ﻛﻤﺎ ﻟﻮ ﻋﺮﺽ ﻟﻪ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩ ﺑﺎﻃﻞ ﺃﻭ ﻧﻮﻯ ﺃﻥ ﻳﻜﻔﺮ ﺑﻌﺪ ﺣﻴﻦ " ﺍﻫـ .
*Penjelasan Para Ulama Madzhab Hanafi*
Salah seorang ahli fiqih terkemuka dalam madzhab Hanafi; yaitu al-Imam Muhmammad Amin yang lebih dikenal dengan nama Ibn Abidin (w 1252 H) dalam kitab karyanya berjudul Radd al-Muhtar ‘Ala ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, j. 6, h. 354, berkata: “Bab menjelaskan seorang yang murtad. Dalam tinjauan syari’at orang yang murtad adalah orang yang memutuskan/keluar Islam. Sebab utamanya adalah karena kata-kata kufur yang diucapkan dengan lidahnya. Inilah penyebab utama yang nampak secara zahir; di mana seorang hakim harus menetapkan hukum kafir terhadap orang yang mengucapkan kata-kata kufur tersebut. Selain dengan kata-kata kufur kekufuran ini dapat terjadi karena sebab lainnya, seperti orang yang berkeyakinan rusak, atau seorang yang berniat (dalam hati) untuk menjadi kafir di masa mendatang; maka ia menjadi kafir saat itu pula (artinya saat ia meletakan niat untuk menjadi kafir)”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺒﺪﺭ ﺍﻟﺮﺷﻴﺪ ﺍﻟﺤﻨﻔﻲ ( ﺕ 768 ﻫـ ) ﻓﻲ ﺭﺳﺎﻟﺔ ﻟﻪ ﻓﻲ ﺑﻴﺎﻥ ﺍﻷﻟﻔﺎﻅ ﺍﻟﻜﻔﺮﻳﺔ ﺹ ":19/ ﻣﻦ ﻛﻔﺮ ﺑﻠﺴﺎﻧﻪ ﻃﺎﺋﻌﺎ ﻭﻗﻠﺒﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﺇﻧﻪ ﻛﺎﻓﺮ ﻭﻻ ﻳﻨﻔﻌﻪ ﻣﺎ ﻓﻲ ﻗﻠﺒﻪ ﻭﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺆﻣﻨﺎ ﻷﻥ ﺍﻟﻜﺎﻓﺮ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻌﺮﻑ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﺑﻤﺎ ﻳﻨﻄﻖ ﺑﻪ ﻓﺈﻥ ﻧﻄﻖ ﺑﺎﻟﻜﻔﺮ ﻛﺎﻥ ﻛﺎﻓﺮﺍ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻭﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ " ﺍﻫـ .
Al-Imam Badr ar-Rasyid al-Hanafi (w 768 H) dalam karyanya berjudul Risalah Fi Bayan al-Alfazh al-Kufriyyah, h. 19, berkata: “Barangsiapa mengucapkan kata-kata kufur dengan lidahnya dan tanpa ada yang memaksanya (artinya bukan dibawah ancaman bunuh), walaupun hatinya merasa tetap dalam iman; maka sesungguhnya orang ini adalah seorang kafir. Dan apa yang ada dalam hatinya tidak dapat memberikan manfaat apapun bagi dirinya. Orang semacam ini bagi Allah adal
As-Sayyid al-Bakri ad-Dimyathi (w 1310 H) dalam kitab I’anah ath-Thalibin ‘Ala Hall Alfazh Fath al-Mu’in, vol. 2, j. 4, h. 133, berkata: “Ketahuilah bahwa banyak orang-orang awam yang dengan lidahnya telah berkata-kata kufur tanpa mereka ketahui bahwa sebenarnya hal itu merupakan kekufuran (dan menjatuhkan mereka di dalamnya). Maka wajib atas seorang yang memiliki ilmu untuk menjelaskan bagi mereka perkara-perkara kufur tersebut supaya bila mereka mengetahinya maka mereka akan menghindarinya, dan dengan demikian maka amalan mereka tidak menjadi sia-sia, serta mereka tidak dikekalkan di dalam neraka (bersama orang-orang kafir) dalam siksaan besar dan adzab yang sangat pedih. Sesungguhnya mengenal masalah-masalah kufur itu adalah perkara yang sangat penting, karena seorang yang tidak mengetahui keburukan maka sadar atau tidak ia pasti akan terjatuh di dalamnya. Dan sungguh setiap keburukan itu pangkalnya (sebab utamnya) adalah kebodohan (tidak memiliki ilmu), dan setiap kebaikan itu pangkalnya adalah ilmu, maka ilmu adalah petunjuk yang sangat nyata terhadap segala kebaikan, dan kebodohan adalah seburuk-buruknya teman (untuk kita hindari)”.
____________________________
ﻭﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺍﻟﻔﻘﻴﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﻟﺤﺴﻴﻨﻲ ﺍﻟﺰﺑﻴﺪﻱ ﺍﻟﺸﻬﻴﺮ ﺑﻤﺮﺗﻀﻰ ( ﺕ 1205 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﺍﺗﺤﺎﻑ ﺍﻟﺴﺎﺩﺓ ﺍﻟﻤﺘﻘﻴﻦ ﺑﺸﺮﺡ ﺇﺣﻴﺎﺀ ﻋﻠﻮﻡ ﺍﻟﺪﻳﻦ،ﺝ 5/333 ، ﻣﺎ ﻧﺼﻪ : " ﻭﻗﺪ ﺃﻟﻒ ﻓﻴﻬﺎ ( ﺍﻟﺮﺩﺓ ) ﻏﻴﺮ ﻭﺍﺣﺪ ﻣﻦ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺬﺍﻫﺐ ﺍﻷﺭﺑﻌﺔ ﺭﺳﺎﺋﻞ ﻭﺃﻛﺜﺮﻭﺍ ﻓﻲ ﺃﺣﻜﺎﻣﻬﺎ " ﺍﻫـ
Al-Imam al-Hafizh al-Faqih Muhammad ibn Muhammad al-Husaini az-Zabidi yang lebih dikenal dengan sebutan Mutadla az-Zabidi (w 1205 H) dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 5, h. 333, menuliskan: “Sangat banyak sekali para Imam terkemuka dari ulama empat madzhab yang telah menuliskan berbagai risalah/kitab dalam menjelaskan masalah riddah dan hukum-hukumnya”.
____________________________
*ﺍﻟﺤﻨﻔﻴﺔ*
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻔﻘﻴﻪ ﺍﻟﺤﻨﻔﻲ ﻣﺤﻤﺪ ﺃﻣﻴﻦ ﺍﻟﺸﻬﻴﺮ ﺑﺎﺑﻦ ﻋﺎﺑﺪﻳﻦ ( ﺕ 1252 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺭﺩ ﺍﻟﻤﺤﺘﺎﺭ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺪﺭ ﺍﻟﻤﺨﺘﺎﺭ ﺷﺮﺡ ﺗﻨﻮﻳﺮ ﺍﻷﺑﺼﺎﺭ، ﺝ 6/354 ، ﺑﺎﺏ ﺍﻟﻤﺮﺗﺪ : ﺷﺮﻋﺎ ﺍﻟﺮﺍﺟﻊ ﻋﻦ ﺩﻳﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ، ﻭﺭﻛﻨﻬﺎ ﺇﺟﺮﺍﺀ ﻛﻠﻤﺔ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻠﺴﺎﻥ ﺑﻌﺪ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ . ﻫﺬﺍ ﺑﺎﻟﻨﺴﺒﺔ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻈﺎﻫﺮ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺤﻜﻢ ﺑﻪ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ، ﻭﺇﻻ ﻓﻘﺪ ﺗﻜﻮﻥ ﺑﺪﻭﻧﻪ ﻛﻤﺎ ﻟﻮ ﻋﺮﺽ ﻟﻪ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩ ﺑﺎﻃﻞ ﺃﻭ ﻧﻮﻯ ﺃﻥ ﻳﻜﻔﺮ ﺑﻌﺪ ﺣﻴﻦ " ﺍﻫـ .
*Penjelasan Para Ulama Madzhab Hanafi*
Salah seorang ahli fiqih terkemuka dalam madzhab Hanafi; yaitu al-Imam Muhmammad Amin yang lebih dikenal dengan nama Ibn Abidin (w 1252 H) dalam kitab karyanya berjudul Radd al-Muhtar ‘Ala ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, j. 6, h. 354, berkata: “Bab menjelaskan seorang yang murtad. Dalam tinjauan syari’at orang yang murtad adalah orang yang memutuskan/keluar Islam. Sebab utamanya adalah karena kata-kata kufur yang diucapkan dengan lidahnya. Inilah penyebab utama yang nampak secara zahir; di mana seorang hakim harus menetapkan hukum kafir terhadap orang yang mengucapkan kata-kata kufur tersebut. Selain dengan kata-kata kufur kekufuran ini dapat terjadi karena sebab lainnya, seperti orang yang berkeyakinan rusak, atau seorang yang berniat (dalam hati) untuk menjadi kafir di masa mendatang; maka ia menjadi kafir saat itu pula (artinya saat ia meletakan niat untuk menjadi kafir)”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺒﺪﺭ ﺍﻟﺮﺷﻴﺪ ﺍﻟﺤﻨﻔﻲ ( ﺕ 768 ﻫـ ) ﻓﻲ ﺭﺳﺎﻟﺔ ﻟﻪ ﻓﻲ ﺑﻴﺎﻥ ﺍﻷﻟﻔﺎﻅ ﺍﻟﻜﻔﺮﻳﺔ ﺹ ":19/ ﻣﻦ ﻛﻔﺮ ﺑﻠﺴﺎﻧﻪ ﻃﺎﺋﻌﺎ ﻭﻗﻠﺒﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﺇﻧﻪ ﻛﺎﻓﺮ ﻭﻻ ﻳﻨﻔﻌﻪ ﻣﺎ ﻓﻲ ﻗﻠﺒﻪ ﻭﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺆﻣﻨﺎ ﻷﻥ ﺍﻟﻜﺎﻓﺮ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻌﺮﻑ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﺑﻤﺎ ﻳﻨﻄﻖ ﺑﻪ ﻓﺈﻥ ﻧﻄﻖ ﺑﺎﻟﻜﻔﺮ ﻛﺎﻥ ﻛﺎﻓﺮﺍ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻭﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ " ﺍﻫـ .
Al-Imam Badr ar-Rasyid al-Hanafi (w 768 H) dalam karyanya berjudul Risalah Fi Bayan al-Alfazh al-Kufriyyah, h. 19, berkata: “Barangsiapa mengucapkan kata-kata kufur dengan lidahnya dan tanpa ada yang memaksanya (artinya bukan dibawah ancaman bunuh), walaupun hatinya merasa tetap dalam iman; maka sesungguhnya orang ini adalah seorang kafir. Dan apa yang ada dalam hatinya tidak dapat memberikan manfaat apapun bagi dirinya. Orang semacam ini bagi Allah adal
ah seorang yang kafir, oleh karena sesungguhnya seorang mukmin itu diketahui bahwa ia seorang mukmin adalah dari apa yang diucapkannya, dengan demikian apa bila ia berkata-kata kufur maka sungguh ia telah menjadi kafir; menurut kita dan menurut Allah”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻣﻼ ﻋﻠﻲ ﺍﻟﻘﺎﺭﻱ ﺍﻟﺤﻨﻔﻲ ( ﺕ 1014 ﻫـ ) ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻔﻘﻪ ﺍﻷﻛﺒﺮ ﻟﻺﻣﺎﻡ ﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﺍﻟﻨﻌﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﺛﺎﺑﺖ ﺍﻟﻜﻮﻓﻲ، ﺹ ":274/ ﺛﻢ ﺍﻋﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﺗﻜﻠﻢ ﺑﻜﻠﻤﺔ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻋﺎﻟﻤﺎ ﺑﻤﻌﻨﺎﻫﺎ ﻭﻻ ﻳﻌﺘﻘﺪ ﻣﻌﻨﺎﻫﺎ ﻟﻜﻦ ﺻﺪﺭﺕ ﻋﻨﻪ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺇﻛﺮﺍﻩ ﺑﻞ ﻣﻊ ﻃﻮﺍﻋﻴﺔ ﻓﻲ ﺗﺄﺩﻳﺘﻪ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺤﻜﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﺎﻟﻜﻔﺮ " ﺍﻫـ .
Syekh Mulla Ali al-Qari’ al-Hanafi (w 1014 H) dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar (al-Fiqh al-Akbar adalah karya al-Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufi, w 150 H), pada h. 274, berkata: “Ketahuilah, bila seseorang berkata-kata kufur, ia mengetahui makna kata-kata kufur tersebut; --walaupun ia tidak meyakininya sebagai kekufuran--, lalu kata-kata kufur ini terjadi dari dirinya bukan karena paksaan tetapi terjadi dengan keinginannya sendiri (artinya dalam keadaan normal tanpa paksaan dengan ancaman bunuh) maka orang ini dihukumi sebagai orang kafir”.
____________________________
ﻭﺟﺎﺀ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻔﺘﺎﻭﻯ ﺍﻟﻬﻨﺪﻳﺔ ﻓﻲ ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ، ( ﻗﺎﻡ ﺑﺘﺄﻟﻴﻔﻬﺎ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻣﻦ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﻬﻨﺪ ﺑﺮﺋﺎﺳﺔ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻧﻈﺎﻡ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﺒﻠﺨﻲ ﺑﺄﻣﺮ ﻣﻦ ﺳﻠﻄﺎﻥ ﺍﻟﻬﻨﺪ ﺃﺑﻲ ﺍﻟﻤﻈﻔﺮ ﻣﺤﻴﻰ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺃﻭﺭﻧﻚ ﺯﻳﺐ ) ﺝ 2/259 ﻭ 261 ﻣﺎ ﻧﺼﻪ ": ﻳﻜﻔﺮ ﺑﺈﺛﺒﺎﺕ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ " ، " ﻭﻛﺬﺍ ﺇﺫﺍ ﻗﻴﻞ ﻟﺮﺟﻞ : ﺃﻻ ﺗﺨﺸﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ، ﻓﻘﺎﻝ ﻓﻲ ﺣﺎﻟﺔ ﺍﻟﻐﻀﺐ : ﻻ، ﻳﺼﻴﺮ ﻛﺎﻓﺮﺍ،ﻛﺬﺍ ﻓﻲ ﻓﺘﺎﻭﻯ ﻗﺎﺿﻴﺨﺎﻥ " ﺍﻫـ
Dalam kitab al-Fatawa al-Hindiyyah, kitab fiqih dalam madzhab Hanafi ditulis oleh kumpulan ulama India yang diketuai oleh Syekh Nizhamuddin al-Balkhi dengan intruksi langsung dari penguasa India pada masanya; yaitu Abu al-Muzhaffar Muhyiddin Muhammad Urnakzib, pada j. 2, h. 259-261, tertulis sebagai berikut: “Orang yang menetapkan tempat bagi Allah telah menjadi kafir. Demikian pula jika ada seorang yang berkata kepadanya: “Tidakkah engkau merasa takut kepada Allah? Lalu dalam keadaan marah orang ini menjawab: “Tidak”, maka ia telah menjadi kafir. Seperti inilah pula yang telah dituliskan dalam kitab Fatawa Qadlikhan”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺃﺣﻤﺪ ﺍﻟﺴﺮﺧﺴﻲ ﺍﻟﺤﻨﻔﻲ ( ﺕ 483 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﺍﻟﻤﺒﺴﻮﻁ، ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺠﻠﺪ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ ﺝ 5/49 ، ﻣﺎ ﻧﺼﻪ ": ﺑﺎﺏ ﻧﻜﺎﺡ ﺍﻟﻤﺮﺗﺪ : ﻭﺇﺫﺍ ﺍﺭﺗﺪ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﺑﺎﻧﺖ ﻣﻨﻪ ﺍﻣﺮﺃﺗﻪ ﻣﺴﻠﻤﺔ ﻛﺎﻧﺖ ﺃﻭ ﻛﺘﺎﺑﻴﺔ ﺩﺧﻞ ﺑﻬﺎ ﺃﻭ ﻟﻢ ﻳﺪﺧﻞ ﺑﻬﺎ ﻋﻨﺪﻧﺎ " ﺍﻫـ
Al-Imam Muhammad ibn Ahmad as-Sarakhsi al-Hanafi (w 483 H) dalam kitab karyanya berjudul al-Mabsuth, vol. 3, j. 5, h. 49, menuliskan: “Bab tentang nikah seorang yang murtad. Seorang muslim apa bila ia murtad/keluar dari Islam maka menurut kami (ulama madzhab Hanafi) istrinya menjadi terpisah darinya (artinya; rusak tali pernikahannya), baik istrinya tersebut seorang muslimah atau seorang kitabiyyah, serta sama halnya istrinya tersebut telah disetubuhi atau belum”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺃﺣﻤﺪ ﺍﻟﻨﺴﻔﻲ ( ﺕ 701 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﻨـﺰ ﺍﻟﺪﻗﺎﺋﻖ،ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﺴﻴﺮ ": ﺃَﺟْﻤَﻊَ ﺃَﺻْﺤَﺎﺑُﻨَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﺮِﺩﺓ ﺗُﺒْﻄِﻞُ ﻋِﺼْﻤَﺔَ ﺍﻟﻨِّﻜَﺎﺡِ ﻭَﺗَﻘَﻊُ ﺍﻟْﻔُﺮْﻗَﺔُ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ ﺑِﻨَﻔْﺲِ ﺍﻟﺮِّﺩﺓِ " ﺍﻫـ
Al-Imam Abdullah ibn Ahmad an-Nasafi (w 701 H) dalam kitab Kanz ad-Daqa’iq dalam pembahasan Kitab as-Siyar, berkata: “Seluruh sahabat kami (ulama madzhab Hanafi) telah sepakat bahwa ridah/kufur (keluar dari Islam) dapat merusak tali pernikahan, dan dengan hanya riddah itu sendiri maka dua orang suami istri menjadi terpisah”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻐﻨﻲ ﺍﻟﻐﻨﻴﻤﻲ ﺍﻟﺪﻣﺸﻘﻲ ﺍﻟﻤﻴﺪﺍﻧﻲ ﺍﻟﺤﻨﻔﻲ ( ﺕ 1298 ﻫـ ) ﻓﻲ ﺍﻟﻠﺒﺎﺏ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ، ﺝ 3/28 ، ﻣﺎ ﻧﺼﻪ : " ﻭﺇﺫﺍ ﺍﺭﺗﺪ ﺃﺣﺪ ﺍﻟﺰﻭﺟﻴﻦ ﻋﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﻗﻌﺖ ﺍﻟﻔﺮﻗﺔ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﺑﻐﻴﺮ ﻃﻼﻕٍ " ﺍﻫـ
Syekh Abdul Ghani al-Ghunaimi ad-Damasyqi al-Maidani al-Hanafi (w 1298 H) dalam kita al-Lubab Fi Syarh al-Kitab, j. 3, h. 28, berkata: “Jika salah seorang dari suami istri menjadi murad/keluar dari Islam maka --secara otomatis terjadi perpisahan antara keduanya-- yang bukan karena talaq/cerai”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻐﻨﻲ ﺍﻟﻨﺎﺑﻠﺴﻲ ﺍﻟﺤﻨﻔﻲ ( 1143 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻔﺘﺢ ﺍﻟﺮﺑﺎﻧﻲ ﻭﺍﻟﻔﻴﺾ ﺍﻟﺮﺣﻤﺎﻧﻲ ﺹ 124/ ، ﻣﺎ ﻧﺼﻪ ": ﻭﺃﻣﺎ ﺃﻗﺴﺎﻡ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻓﻬﻲ ﺑﺤﺴﺐ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻗﺴﺎﻡ
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻣﻼ ﻋﻠﻲ ﺍﻟﻘﺎﺭﻱ ﺍﻟﺤﻨﻔﻲ ( ﺕ 1014 ﻫـ ) ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻔﻘﻪ ﺍﻷﻛﺒﺮ ﻟﻺﻣﺎﻡ ﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﺍﻟﻨﻌﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﺛﺎﺑﺖ ﺍﻟﻜﻮﻓﻲ، ﺹ ":274/ ﺛﻢ ﺍﻋﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﺗﻜﻠﻢ ﺑﻜﻠﻤﺔ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻋﺎﻟﻤﺎ ﺑﻤﻌﻨﺎﻫﺎ ﻭﻻ ﻳﻌﺘﻘﺪ ﻣﻌﻨﺎﻫﺎ ﻟﻜﻦ ﺻﺪﺭﺕ ﻋﻨﻪ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺇﻛﺮﺍﻩ ﺑﻞ ﻣﻊ ﻃﻮﺍﻋﻴﺔ ﻓﻲ ﺗﺄﺩﻳﺘﻪ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺤﻜﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﺎﻟﻜﻔﺮ " ﺍﻫـ .
Syekh Mulla Ali al-Qari’ al-Hanafi (w 1014 H) dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar (al-Fiqh al-Akbar adalah karya al-Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufi, w 150 H), pada h. 274, berkata: “Ketahuilah, bila seseorang berkata-kata kufur, ia mengetahui makna kata-kata kufur tersebut; --walaupun ia tidak meyakininya sebagai kekufuran--, lalu kata-kata kufur ini terjadi dari dirinya bukan karena paksaan tetapi terjadi dengan keinginannya sendiri (artinya dalam keadaan normal tanpa paksaan dengan ancaman bunuh) maka orang ini dihukumi sebagai orang kafir”.
____________________________
ﻭﺟﺎﺀ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻔﺘﺎﻭﻯ ﺍﻟﻬﻨﺪﻳﺔ ﻓﻲ ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ، ( ﻗﺎﻡ ﺑﺘﺄﻟﻴﻔﻬﺎ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻣﻦ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﻬﻨﺪ ﺑﺮﺋﺎﺳﺔ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻧﻈﺎﻡ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﺒﻠﺨﻲ ﺑﺄﻣﺮ ﻣﻦ ﺳﻠﻄﺎﻥ ﺍﻟﻬﻨﺪ ﺃﺑﻲ ﺍﻟﻤﻈﻔﺮ ﻣﺤﻴﻰ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺃﻭﺭﻧﻚ ﺯﻳﺐ ) ﺝ 2/259 ﻭ 261 ﻣﺎ ﻧﺼﻪ ": ﻳﻜﻔﺮ ﺑﺈﺛﺒﺎﺕ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ " ، " ﻭﻛﺬﺍ ﺇﺫﺍ ﻗﻴﻞ ﻟﺮﺟﻞ : ﺃﻻ ﺗﺨﺸﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ، ﻓﻘﺎﻝ ﻓﻲ ﺣﺎﻟﺔ ﺍﻟﻐﻀﺐ : ﻻ، ﻳﺼﻴﺮ ﻛﺎﻓﺮﺍ،ﻛﺬﺍ ﻓﻲ ﻓﺘﺎﻭﻯ ﻗﺎﺿﻴﺨﺎﻥ " ﺍﻫـ
Dalam kitab al-Fatawa al-Hindiyyah, kitab fiqih dalam madzhab Hanafi ditulis oleh kumpulan ulama India yang diketuai oleh Syekh Nizhamuddin al-Balkhi dengan intruksi langsung dari penguasa India pada masanya; yaitu Abu al-Muzhaffar Muhyiddin Muhammad Urnakzib, pada j. 2, h. 259-261, tertulis sebagai berikut: “Orang yang menetapkan tempat bagi Allah telah menjadi kafir. Demikian pula jika ada seorang yang berkata kepadanya: “Tidakkah engkau merasa takut kepada Allah? Lalu dalam keadaan marah orang ini menjawab: “Tidak”, maka ia telah menjadi kafir. Seperti inilah pula yang telah dituliskan dalam kitab Fatawa Qadlikhan”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺃﺣﻤﺪ ﺍﻟﺴﺮﺧﺴﻲ ﺍﻟﺤﻨﻔﻲ ( ﺕ 483 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﺍﻟﻤﺒﺴﻮﻁ، ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺠﻠﺪ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ ﺝ 5/49 ، ﻣﺎ ﻧﺼﻪ ": ﺑﺎﺏ ﻧﻜﺎﺡ ﺍﻟﻤﺮﺗﺪ : ﻭﺇﺫﺍ ﺍﺭﺗﺪ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﺑﺎﻧﺖ ﻣﻨﻪ ﺍﻣﺮﺃﺗﻪ ﻣﺴﻠﻤﺔ ﻛﺎﻧﺖ ﺃﻭ ﻛﺘﺎﺑﻴﺔ ﺩﺧﻞ ﺑﻬﺎ ﺃﻭ ﻟﻢ ﻳﺪﺧﻞ ﺑﻬﺎ ﻋﻨﺪﻧﺎ " ﺍﻫـ
Al-Imam Muhammad ibn Ahmad as-Sarakhsi al-Hanafi (w 483 H) dalam kitab karyanya berjudul al-Mabsuth, vol. 3, j. 5, h. 49, menuliskan: “Bab tentang nikah seorang yang murtad. Seorang muslim apa bila ia murtad/keluar dari Islam maka menurut kami (ulama madzhab Hanafi) istrinya menjadi terpisah darinya (artinya; rusak tali pernikahannya), baik istrinya tersebut seorang muslimah atau seorang kitabiyyah, serta sama halnya istrinya tersebut telah disetubuhi atau belum”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺃﺣﻤﺪ ﺍﻟﻨﺴﻔﻲ ( ﺕ 701 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﻨـﺰ ﺍﻟﺪﻗﺎﺋﻖ،ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﺴﻴﺮ ": ﺃَﺟْﻤَﻊَ ﺃَﺻْﺤَﺎﺑُﻨَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﺮِﺩﺓ ﺗُﺒْﻄِﻞُ ﻋِﺼْﻤَﺔَ ﺍﻟﻨِّﻜَﺎﺡِ ﻭَﺗَﻘَﻊُ ﺍﻟْﻔُﺮْﻗَﺔُ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ ﺑِﻨَﻔْﺲِ ﺍﻟﺮِّﺩﺓِ " ﺍﻫـ
Al-Imam Abdullah ibn Ahmad an-Nasafi (w 701 H) dalam kitab Kanz ad-Daqa’iq dalam pembahasan Kitab as-Siyar, berkata: “Seluruh sahabat kami (ulama madzhab Hanafi) telah sepakat bahwa ridah/kufur (keluar dari Islam) dapat merusak tali pernikahan, dan dengan hanya riddah itu sendiri maka dua orang suami istri menjadi terpisah”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻐﻨﻲ ﺍﻟﻐﻨﻴﻤﻲ ﺍﻟﺪﻣﺸﻘﻲ ﺍﻟﻤﻴﺪﺍﻧﻲ ﺍﻟﺤﻨﻔﻲ ( ﺕ 1298 ﻫـ ) ﻓﻲ ﺍﻟﻠﺒﺎﺏ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ، ﺝ 3/28 ، ﻣﺎ ﻧﺼﻪ : " ﻭﺇﺫﺍ ﺍﺭﺗﺪ ﺃﺣﺪ ﺍﻟﺰﻭﺟﻴﻦ ﻋﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﻗﻌﺖ ﺍﻟﻔﺮﻗﺔ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﺑﻐﻴﺮ ﻃﻼﻕٍ " ﺍﻫـ
Syekh Abdul Ghani al-Ghunaimi ad-Damasyqi al-Maidani al-Hanafi (w 1298 H) dalam kita al-Lubab Fi Syarh al-Kitab, j. 3, h. 28, berkata: “Jika salah seorang dari suami istri menjadi murad/keluar dari Islam maka --secara otomatis terjadi perpisahan antara keduanya-- yang bukan karena talaq/cerai”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻐﻨﻲ ﺍﻟﻨﺎﺑﻠﺴﻲ ﺍﻟﺤﻨﻔﻲ ( 1143 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻔﺘﺢ ﺍﻟﺮﺑﺎﻧﻲ ﻭﺍﻟﻔﻴﺾ ﺍﻟﺮﺣﻤﺎﻧﻲ ﺹ 124/ ، ﻣﺎ ﻧﺼﻪ ": ﻭﺃﻣﺎ ﺃﻗﺴﺎﻡ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻓﻬﻲ ﺑﺤﺴﺐ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻗﺴﺎﻡ
9/205 ﻣﺎ ﻧﺼﻪ : " ﻭﺳﻮﺍﺀ ﻛﻔﺮ ﺑﻘﻮﻝ ﺻﺮﻳﺢ ﻓﻲ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻛﻘﻮﻟﻪ ﻛﻔﺮ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﺃﻭ ﺑﺮﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻭ ﺑﺎﻟﻘﺮﺀﺍﻥ ﺃﻭ ﺇﻻﻟﻪ ﺍﺛﻨﺎﻥ ﺃﻭ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻭ ﺍﻟﻤﺴﻴﺢ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻭ ﺍﻟﻌﺰﻳﺮ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻭ ﺑﻠﻔﻆ ﻳﻘﺘﻀﻴﻪ ﺃﻱ ﻳﺴﺘﻠﺰﻡ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻟﻠﻜﻔﺮ ﺍﺳﺘﻠﺰﺍﻣﺎ ﺑﻴﻨﺎ ﻛﺠﺤﺪ ﻣﺸﺮﻭﻋﻴﺔ ﺷﻰﺀ ﻣﺠﻤﻊ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻌﻠﻮﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺑﺎﻟﻀﺮﻭﺭﺓ، ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺴﺘﻠﺰﻡ ﺗﻜﺬﻳﺐ ﺍﻟﻘﺮﺀﺍﻥ ﺃﻭ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ، ﻭﻛﺎﻋﺘﻘﺎﺩ ﺟﺴﻤﻴﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺗﺤﻴﺰﻩ .. ﺃﻭ ﺑﻔﻌﻞ ﻳﺘﻀﻤﻨﻪ ﺃﻱ ﻳﺴﺘﻠﺰﻡ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﺍﺳﺘﻠﺰﺍﻣﺎ ﺑﻴﻨﺎ ﻛﺈﻟﻘﺎﺀ ﺃﻱ ﺭﻣﻲ ﻣﺼﺤﻒ ﺑﺸﻰﺀ ﻗﺬﺭ " ﺍﻫـ .
Syekh Abu Abdillah Muhammad Ahmad Illaisy al-Maliki, salah seorang ulama terkemuka mantan Mufti negara Mesir (w 1299 H) dalam kitab Minah al-Jalil ‘Ala Mukhtashar al-‘Allamah al-Khalil, j. 9, h. 205, berkata: “Sama halnya kufur tersebut terjadi dengan kata-kata yang jelas (sharih/jelas sebagai kata-kata kufur), seperti bila ia berkata “Saya kafir kafir kepada Allah”, atau “saya kafir kepada Rasulullah”, atau “saya kafir kepada al-Qur’an”, atau ia berkata: “Tuhan ada dua”, atau berkata: “al-Masih (Nabi Isa) adalah anak Allah”, atau berkata “Uzair adalah anak Allah”, atau berkata-kata dengan ucapan yang secara nyata menunjukan dan mejadikannya jatuh dalam kufur, seperti bila ia mengingkari sesuatu yang secara syari’at telah disepakati (ijma’) yang hukumnya telah pasti diketahui oleh setiap orang Islam (Ma’lum min ad-din bi adlarurah; seperti kewajiban shalat lima waktu, haram zina, haram mencuri dan lainnya), karena dengan demikian ia telah mendustakan al-Qur’an dan mendustakan Rasulullah. Termasuk contoh kufur dalam hal ini berkeyakinan bahwa Allah adalah benda, dan atau bahwa Dia memiliki tempat dan arah. Termasuk juga berbuat dengan perbuatan yang secara nyata menunjukan dan mejadikannya jatuh dalam kufur, seperti bila ia melempar/membuang al-Qur’an (atau bagian dari al-Qur’an) di tempat yang menjijikan”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺃﻳﻀﺎ ﻓﻲ ﻓﺘﺢ ﺍﻟﻌﻠﻲ ﺍﻟﻤﺎﻟﻚ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺘﻮﻯ ﻋﻠﻰ ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻣﺎﻟﻚ، ﺝ 2/348 : ﺱ : ﻣﺎ ﻗﻮﻟﻜﻢ ﻓﻲ ﺭﺟﻞ ﺟﺮﻯ ﻋﻠﻰ ﻟﺴﺎﻧﻪ ﺳﺐ ﺍﻟﺪﻳﻦ ( ﺃﻱ ﺩﻳﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ) ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻗﺼﺪ ( ﺃﻱ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻗﺼﺪ ﺍﻟﺨﺮﻭﺝ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻳﻦ ) ﻫﻞ ﻳﻜﻔﺮ ؟ ﻓﺄﺟﺒﺖ ﺑﻤﺎ ﻧﺼﻪ : ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻰ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ، ﻧﻌﻢ ﺍﺭﺗﺪ، ﻭﻓﻲ ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻉ ﻭﻻ ﻳﻌﺬﺭ ﺑﺠﻬﻞ . ﺍﻫـ
Syekh Muhammad Illaisy dalam kitab Fath al-‘Aliy al-Malik Fi al-Fatwa ‘Ala Madzhab al-Imam Malik, j. 2, h. 348, juga berkata: “Soal: Apa pendapat tuan tentang seseorang yang dengan lidahnya mengucapkan kata-kata cacian terhadap agama (agama Islam) tanpa ia bertujuan untuk keluar dari Islam itu sendiri, apakah karenanya ia menjadi kafir? Aku Jawab; --Segala puji bagi Allah, shalawat dalam semoga selalu tercurah atas tuan kita; Muhammad Rasulullah--, Benar, orang itu tersebut telah menjadi kafir. Dan dalam kitab al-Majmu’ disebutkan bahwa seseorang tidak dimaafkan walaupun ia bodoh --dalam msalah ini--”.
____________________________
*ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ*
ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﺷﺮﻑ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ( ﺕ 676 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﻣﻨﻬﺎﺝ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ ﻭﻋﻤﺪﺓ ﺍﻟﻤﻔﺘﻴﻦ، ﺹ 293/ ، ﻣﺎ ﻧﺼﻪ ": ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﺮﺩﺓ : ﻫﻲ ﻗﻄﻊ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺑﻨﻴﺔ ﺃﻭ ﻗﻮﻝ ﻛﻔﺮ ﺃﻭ ﻓﻌﻞ ﺳﻮﺍﺀ ﻗﺎﻟﻪ ﺍﺳﺘﻬﺰﺍﺀ ﺃﻭ ﻋﻨﺎﺩًﺍ ﺃﻭ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩًﺍ " ﺍﻫـ
*Penjelasan Para Ulama Madzhab Syafi'i*
Al-Imam Yahya ibn Syaraf an-Nawawi asy-Syafi’i (w 676 H) dalam kitab Minhaj ath-Thalibin Wa ‘Umdah al-Muftin, h. 293, berkata: “Kitab tentang riddah/kufur. Ridah adalah memutuskan Islam, baik karena niat, karena perbuatan, atau karena perkataan, dan sama halnya ia mengatakannya untuk tujuan menghinakan, atau karena mengingkari, dan atau karena meyakini (kata-kata kufur tersebut”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺃﻳﻀﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﻭﺿﺔ ﺝ 10/52 ": ﻭﻗﺎﻝ ﺃﻱ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻓﻲ ﻣﻮﺿﻊ ﺇﺫﺍ ﺃﺗﻰ ﺑﺎﻟﺸﻬﺎﺩﺗﻴﻦ ﺻﺎﺭ ﻣﺴﻠﻤﺎ " ﺍﻫـ ﻭﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭﺍﺕ ﺝ 8/282 ": ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ ﺍﻟﺬﻱ ﻗﻄﻊ ﺑﻪ ﺍﻟﺠﻤﻬﻮﺭ ﺃﻥ ﻛﻠﻤﺘﻲ ﺍﻟﺸﻬﺎﺩﺗﻴﻦ ﻻ ﺑﺪ ﻣﻨﻬﻤﺎ ﻭﻻ ﻳﺤﺼﻞ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺇﻻ ﺑﻬﻤﺎ " ﺍﻫـ
Dalam kitab Raudlah ath-Thalibin, j. 10, h. 52, al-Imam an-Nawawi berkata: “Di suatu bagian (tulisannya); Imam Syafi’i berkata bahwa orang murtad ini bila mendatangkan/mengucapkan dua kalimat syahadat maka ia menjadi muslim”.
Dalam kitab al-Kaffarat, j. 8, h. 282, al-Imam an-Nawawi berkata: “Pandapat yang telah ditetapkan oleh para ulama bahwa dua kalimat syahadat wajib didatangkan/diucapkan oleh seorang yang murtad, dan bahwa ia tidak menjadi muslim kembali kecuali dengan dua kalimat syahadat ini”.
_
Syekh Abu Abdillah Muhammad Ahmad Illaisy al-Maliki, salah seorang ulama terkemuka mantan Mufti negara Mesir (w 1299 H) dalam kitab Minah al-Jalil ‘Ala Mukhtashar al-‘Allamah al-Khalil, j. 9, h. 205, berkata: “Sama halnya kufur tersebut terjadi dengan kata-kata yang jelas (sharih/jelas sebagai kata-kata kufur), seperti bila ia berkata “Saya kafir kafir kepada Allah”, atau “saya kafir kepada Rasulullah”, atau “saya kafir kepada al-Qur’an”, atau ia berkata: “Tuhan ada dua”, atau berkata: “al-Masih (Nabi Isa) adalah anak Allah”, atau berkata “Uzair adalah anak Allah”, atau berkata-kata dengan ucapan yang secara nyata menunjukan dan mejadikannya jatuh dalam kufur, seperti bila ia mengingkari sesuatu yang secara syari’at telah disepakati (ijma’) yang hukumnya telah pasti diketahui oleh setiap orang Islam (Ma’lum min ad-din bi adlarurah; seperti kewajiban shalat lima waktu, haram zina, haram mencuri dan lainnya), karena dengan demikian ia telah mendustakan al-Qur’an dan mendustakan Rasulullah. Termasuk contoh kufur dalam hal ini berkeyakinan bahwa Allah adalah benda, dan atau bahwa Dia memiliki tempat dan arah. Termasuk juga berbuat dengan perbuatan yang secara nyata menunjukan dan mejadikannya jatuh dalam kufur, seperti bila ia melempar/membuang al-Qur’an (atau bagian dari al-Qur’an) di tempat yang menjijikan”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺃﻳﻀﺎ ﻓﻲ ﻓﺘﺢ ﺍﻟﻌﻠﻲ ﺍﻟﻤﺎﻟﻚ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺘﻮﻯ ﻋﻠﻰ ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻣﺎﻟﻚ، ﺝ 2/348 : ﺱ : ﻣﺎ ﻗﻮﻟﻜﻢ ﻓﻲ ﺭﺟﻞ ﺟﺮﻯ ﻋﻠﻰ ﻟﺴﺎﻧﻪ ﺳﺐ ﺍﻟﺪﻳﻦ ( ﺃﻱ ﺩﻳﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ) ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻗﺼﺪ ( ﺃﻱ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻗﺼﺪ ﺍﻟﺨﺮﻭﺝ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻳﻦ ) ﻫﻞ ﻳﻜﻔﺮ ؟ ﻓﺄﺟﺒﺖ ﺑﻤﺎ ﻧﺼﻪ : ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻰ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ، ﻧﻌﻢ ﺍﺭﺗﺪ، ﻭﻓﻲ ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻉ ﻭﻻ ﻳﻌﺬﺭ ﺑﺠﻬﻞ . ﺍﻫـ
Syekh Muhammad Illaisy dalam kitab Fath al-‘Aliy al-Malik Fi al-Fatwa ‘Ala Madzhab al-Imam Malik, j. 2, h. 348, juga berkata: “Soal: Apa pendapat tuan tentang seseorang yang dengan lidahnya mengucapkan kata-kata cacian terhadap agama (agama Islam) tanpa ia bertujuan untuk keluar dari Islam itu sendiri, apakah karenanya ia menjadi kafir? Aku Jawab; --Segala puji bagi Allah, shalawat dalam semoga selalu tercurah atas tuan kita; Muhammad Rasulullah--, Benar, orang itu tersebut telah menjadi kafir. Dan dalam kitab al-Majmu’ disebutkan bahwa seseorang tidak dimaafkan walaupun ia bodoh --dalam msalah ini--”.
____________________________
*ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ*
ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﺷﺮﻑ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ( ﺕ 676 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﻣﻨﻬﺎﺝ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ ﻭﻋﻤﺪﺓ ﺍﻟﻤﻔﺘﻴﻦ، ﺹ 293/ ، ﻣﺎ ﻧﺼﻪ ": ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﺮﺩﺓ : ﻫﻲ ﻗﻄﻊ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺑﻨﻴﺔ ﺃﻭ ﻗﻮﻝ ﻛﻔﺮ ﺃﻭ ﻓﻌﻞ ﺳﻮﺍﺀ ﻗﺎﻟﻪ ﺍﺳﺘﻬﺰﺍﺀ ﺃﻭ ﻋﻨﺎﺩًﺍ ﺃﻭ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩًﺍ " ﺍﻫـ
*Penjelasan Para Ulama Madzhab Syafi'i*
Al-Imam Yahya ibn Syaraf an-Nawawi asy-Syafi’i (w 676 H) dalam kitab Minhaj ath-Thalibin Wa ‘Umdah al-Muftin, h. 293, berkata: “Kitab tentang riddah/kufur. Ridah adalah memutuskan Islam, baik karena niat, karena perbuatan, atau karena perkataan, dan sama halnya ia mengatakannya untuk tujuan menghinakan, atau karena mengingkari, dan atau karena meyakini (kata-kata kufur tersebut”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺃﻳﻀﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﻭﺿﺔ ﺝ 10/52 ": ﻭﻗﺎﻝ ﺃﻱ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻓﻲ ﻣﻮﺿﻊ ﺇﺫﺍ ﺃﺗﻰ ﺑﺎﻟﺸﻬﺎﺩﺗﻴﻦ ﺻﺎﺭ ﻣﺴﻠﻤﺎ " ﺍﻫـ ﻭﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭﺍﺕ ﺝ 8/282 ": ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ ﺍﻟﺬﻱ ﻗﻄﻊ ﺑﻪ ﺍﻟﺠﻤﻬﻮﺭ ﺃﻥ ﻛﻠﻤﺘﻲ ﺍﻟﺸﻬﺎﺩﺗﻴﻦ ﻻ ﺑﺪ ﻣﻨﻬﻤﺎ ﻭﻻ ﻳﺤﺼﻞ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺇﻻ ﺑﻬﻤﺎ " ﺍﻫـ
Dalam kitab Raudlah ath-Thalibin, j. 10, h. 52, al-Imam an-Nawawi berkata: “Di suatu bagian (tulisannya); Imam Syafi’i berkata bahwa orang murtad ini bila mendatangkan/mengucapkan dua kalimat syahadat maka ia menjadi muslim”.
Dalam kitab al-Kaffarat, j. 8, h. 282, al-Imam an-Nawawi berkata: “Pandapat yang telah ditetapkan oleh para ulama bahwa dua kalimat syahadat wajib didatangkan/diucapkan oleh seorang yang murtad, dan bahwa ia tidak menjadi muslim kembali kecuali dengan dua kalimat syahadat ini”.
_
___________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺗﻘﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﻟﺤﺼﻨﻲ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻘﺮﻥ ﺍﻟﺘﺎﺳﻊ ﺍﻟﻬﺠﺮﻱ ﻓﻲ " ﻛﻔﺎﻳﺔ ﺍﻷﺧﻴﺎﺭ ﻓﻲ ﺣﻞ ﻏﺎﻳﺔ ﺍﻻﺧﺘﺼﺎﺭ " ﺹ 200/ ، ﻣﺎ ﻧﺼﻪ : ﻓﺼﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﺩﺓ : ﻭﻓﻲ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﺍﻟﺮﺟﻮﻉ ﻋﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻭﻗﻄﻊ ﺍﻹﺳﻼﻡ، ﻭﻳﺤﺼﻞ ﺗﺎﺭﺓ ﺑﺎﻟﻘﻮﻝ ﻭﺗﺎﺭﺓ ﺑﺎﻟﻔﻌﻞ ﻭﺗﺎﺭﺓ ﺑﺎﻻﻋﺘﻘﺎﺩ، ﻭﻛﻞ ﻭﺍﺣﺪ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻧﻮﺍﻉ ﺍﻟﺜﻼﺛﺔ ﻓﻴﻪ ﻣﺴﺎﺋﻞ ﻻ ﺗﻜﺎﺩ ﺗﺤﺼﺮ، ﻓﻨﺬﻛﺮ ﻣﻦ ﻛﻞ ﻧﺒﺬﺓ ﻣﺎ ﻳﻌﺮﻑ ﺑﻬﺎ ﻏﻴﺮﻩ : ﺃﻣﺎ ﺍﻟﻘﻮﻝ : ﻭﻟﻮ ﺳﺐ ﻧﺒﻴﺎ ﻣﻦ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ ﺃﻭ ﺍﺳﺘﺨﻒ ﺑﻪ، ﻓﺈﻧﻪ ﻳﻜﻔﺮ ﺑﺎﻹﺟﻤﺎﻉ . ﻭﻟﻮ ﻗﺎﻝ ﻟﻤﺴﻠﻢ ﻳﺎ ﻛﺎﻓﺮ ﺑﻼ ﺗﺄﻭﻳﻞ ﻛﻔﺮ، ﻷﻧﻪ ﺳﻤﻰ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻛﻔﺮﺍ . ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﺑﺎﻟﻔﻌﻞ ﻓﻜﺎﻟﺴﺠﻮﺩ ﻟﻠﺼﻨﻢ ﻭﺍﻟﺸﻤﺲ ﻭﺍﻟﻘﻤﺮ ﻭﺇﻟﻘﺎﺀ ﺍﻟﻤﺼﺤﻒ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺎﺫﻭﺭﺍﺕ ﻭﺍﻟﺴﺤﺮ ﺍﻟﺬﻱ ﻓﻴﻪ ﻋﺒﺎﺩﺓ ﺍﻟﺸﻤﺲ . ﻭﻟﻮ ﻓﻌﻞ ﻓﻌﻼ ﺃﺟﻤﻊ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺼﺪﺭ ﺇﻻ ﻣﻦ ﻛﺎﻓﺮ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﺼﺮﺣﺎ ﺑﺎﻹﺳﻼﻡ ﻣﻊ ﻓﻌﻠﻪ . ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﺑﺎﻻﻋﺘﻘﺎﺩ ﻓﻜﺜﻴﺮ ﺟﺪﺍ ﻓﻤﻦ ﺍﻋﺘﻘﺪ ﻗﺪﻡ ﺍﻟﻌﺎﻟﻢ ﺃﻭ ﺣﺪﻭﺙ ﺍﻟﺼﺎﻧﻊ ﺃﻭ ﺍﻋﺘﻘﺪ ﻧﻔﻲ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺛﺎﺑﺖ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﺎﻹﺟﻤﺎﻉ ﺃﻭ ﺃﺛﺒﺖ ﻣﺎ ﻫﻮ ﻣﻨﻔﻰ ﻋﻨﻪ ﺑﺎﻹﺟﻤﺎﻉ ﻛﺎﻷﻟﻮﺍﻥ ﻭﺍﻻﺗﺼﺎﻝ ﻭﺍﻻﻧﻔﺼﺎﻝ ﻛﺎﻥ ﻛﺎﻓﺮﺍ، ﺃﻭ ﺍﺳﺘﺤﻞ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺣﺮﺍﻡ ﺑﺎﻹﺟﻤﺎﻉ، ﺃﻭ ﺣﺮﻡ ﺣﻼﻻ ﺑﺎﻹﺟﻤﺎﻉ ﺃﻭ ﺍﻋﺘﻘﺪ ﻭﺟﻮﺏ ﻣﺎ ﻟﻴﺲ ﺑﻮﺍﺟﺐ ﻛﻔﺮ ﺃﻭ ﻧﻔﻰ ﻭﺟﻮﺏ ﺷﻰﺀ ﻣﺠﻤﻊ ﻋﻠﻴﻪ ﻋﻠﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺑﺎﻟﻀﺮﻭﺭﺓ ﻛﻔﺮ .. ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﺟﺰﻡ ﻓﻲ ﺻﻔﺔ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻣﻦ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻤﻬﺬﺏ ﺑﺘﻜﻔﻴﺮ ﺍﻟﻤﺠﺴﻤﺔ، ﻗﻠﺖ : ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺼﻮﺍﺏ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻣﺤﻴﺪ ﻋﻨﻪ ﺇﺫ ﻓﻴﻪ ﻣﺨﺎﻟﻔﺔ ﺻﺮﻳﺢ ﺍﻟﻘﺮﺀﺍﻥ " ﺍﻫـ .
Syekh Taqiyyuddin Abu Bakr ibn Muhammad al-Hushni asy-Syafi’i, salah seorang ulama terkemuka dalam madzhab Syafi’i yang hidup di abad sembilan (9) hijriyah, dalam kitab Kifayah al-Akhyar Fi Hall Ghayah al-Ikhtishar, h. 200, berkata: “Pasal; Tentang riddah. Riddah dalam pengertian syari’at adalah kembali dari Islam kepada kufur, dan memutuskan Islam tersebut. Riddah ini kadang terjadi karena ucapan, kadang karena perbuatan, dan kadang karena kayakinan. Setiap satu bagian dari tiga macam kufur ini memiliki cabang/contoh yang sangat banyak sekali tidak terhingga, berikut ini kita sebutkan beberapa contoh supaya kita bisa mengetahui contoh-contoh lainnya yang serupa dengannya yang tidak kita sebutkan di sini. Kufur perkataan contohnya seorang yang mencaci-maki salah seorang Nabi dari para Nabi Allah (yang telah disepakati kenabiannya), dan atau merendahkannya; maka orang ini telah kafir dengan kesepakan ulama (ijma’). Contoh lainnya bila seseorang berkata kepada sesama muslim tanpa memiliki takwil (tanpa alasan yang dapat dibenarkan dalam syari’at); “Wahai orang kafir!!”, maka yang memanggil tersebut menjadi kafir, karena dengan demikian ia telah menamkan ke-Islam-an seseorang sebagai kekufuran. Kufur fi’li (kufur karena perbuatan) contohnya seperti sujud kepada berhala, matahari, bulan, atau melemparkan/membuang al-Qur’an di tempat yang menjijikan, dan praktek sihir dengan jalan menyembah matahari. Contoh lainnya bila ia berbuat suatu perbutan kufur yang nyata-nyata hanya dilakukan oleh orang-orang kafir; maka ia menjadi kafir, sekalipun saat melakukannya ia merasa bahwa diri seorang muslim”. Adapun kufur I’tiqadi (kufur karena keyakinan rusak) contohnya sangat banyak sekali, di antaranya seperti orang yang berkeyakinan bahwa alam ini (segala sesuatu selain Allah) tidak memiliki permulaan, atau menafikan/mengingkari sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati bagi Allah (seperti sifat wujud [Allah maha ada], qidam [tanpa permulaan], baqa’ [tanpa penghabisan], sama’ (bahwa Allah maha mendengar], dan lainnya), atau sebaliknya menetapka sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati ketiadaannya dari Allah; seperti warna, menempel, berpisah (dan berbagai sifat benda lainnya); maka orang ini telah menjadi kafir. Contoh lainnya bila ia menghalalkan sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati keharamannya (seperti zina, membunuh tanpa hak, mencuri, dan lainnya), atau sebaliknya mengharamkan sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati kehalalannya (seperti nikah, jual beli, dan lainnya), atau berkeyakinan wajib terhadap sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati bukan sebagai perkara wajib; maka orang ini telah menjadi kafir. Contoh lainnya bila seseorang mengingkari sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati kewajibannya serta telah diketahui kewajiban tersebut oleh seluruh orang Islam (seperti shalat lima waktu); maka ia telah menjadi kafir. Kemudian Imam an-Nawawi dalam kitab Syarah al-Muhadz-dzab dalam menjelasan tatacara shalat bahwa kaum Muj
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺗﻘﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﻟﺤﺼﻨﻲ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻘﺮﻥ ﺍﻟﺘﺎﺳﻊ ﺍﻟﻬﺠﺮﻱ ﻓﻲ " ﻛﻔﺎﻳﺔ ﺍﻷﺧﻴﺎﺭ ﻓﻲ ﺣﻞ ﻏﺎﻳﺔ ﺍﻻﺧﺘﺼﺎﺭ " ﺹ 200/ ، ﻣﺎ ﻧﺼﻪ : ﻓﺼﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﺩﺓ : ﻭﻓﻲ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﺍﻟﺮﺟﻮﻉ ﻋﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻭﻗﻄﻊ ﺍﻹﺳﻼﻡ، ﻭﻳﺤﺼﻞ ﺗﺎﺭﺓ ﺑﺎﻟﻘﻮﻝ ﻭﺗﺎﺭﺓ ﺑﺎﻟﻔﻌﻞ ﻭﺗﺎﺭﺓ ﺑﺎﻻﻋﺘﻘﺎﺩ، ﻭﻛﻞ ﻭﺍﺣﺪ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻧﻮﺍﻉ ﺍﻟﺜﻼﺛﺔ ﻓﻴﻪ ﻣﺴﺎﺋﻞ ﻻ ﺗﻜﺎﺩ ﺗﺤﺼﺮ، ﻓﻨﺬﻛﺮ ﻣﻦ ﻛﻞ ﻧﺒﺬﺓ ﻣﺎ ﻳﻌﺮﻑ ﺑﻬﺎ ﻏﻴﺮﻩ : ﺃﻣﺎ ﺍﻟﻘﻮﻝ : ﻭﻟﻮ ﺳﺐ ﻧﺒﻴﺎ ﻣﻦ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ ﺃﻭ ﺍﺳﺘﺨﻒ ﺑﻪ، ﻓﺈﻧﻪ ﻳﻜﻔﺮ ﺑﺎﻹﺟﻤﺎﻉ . ﻭﻟﻮ ﻗﺎﻝ ﻟﻤﺴﻠﻢ ﻳﺎ ﻛﺎﻓﺮ ﺑﻼ ﺗﺄﻭﻳﻞ ﻛﻔﺮ، ﻷﻧﻪ ﺳﻤﻰ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻛﻔﺮﺍ . ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﺑﺎﻟﻔﻌﻞ ﻓﻜﺎﻟﺴﺠﻮﺩ ﻟﻠﺼﻨﻢ ﻭﺍﻟﺸﻤﺲ ﻭﺍﻟﻘﻤﺮ ﻭﺇﻟﻘﺎﺀ ﺍﻟﻤﺼﺤﻒ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺎﺫﻭﺭﺍﺕ ﻭﺍﻟﺴﺤﺮ ﺍﻟﺬﻱ ﻓﻴﻪ ﻋﺒﺎﺩﺓ ﺍﻟﺸﻤﺲ . ﻭﻟﻮ ﻓﻌﻞ ﻓﻌﻼ ﺃﺟﻤﻊ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺼﺪﺭ ﺇﻻ ﻣﻦ ﻛﺎﻓﺮ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﺼﺮﺣﺎ ﺑﺎﻹﺳﻼﻡ ﻣﻊ ﻓﻌﻠﻪ . ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﺑﺎﻻﻋﺘﻘﺎﺩ ﻓﻜﺜﻴﺮ ﺟﺪﺍ ﻓﻤﻦ ﺍﻋﺘﻘﺪ ﻗﺪﻡ ﺍﻟﻌﺎﻟﻢ ﺃﻭ ﺣﺪﻭﺙ ﺍﻟﺼﺎﻧﻊ ﺃﻭ ﺍﻋﺘﻘﺪ ﻧﻔﻲ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺛﺎﺑﺖ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﺎﻹﺟﻤﺎﻉ ﺃﻭ ﺃﺛﺒﺖ ﻣﺎ ﻫﻮ ﻣﻨﻔﻰ ﻋﻨﻪ ﺑﺎﻹﺟﻤﺎﻉ ﻛﺎﻷﻟﻮﺍﻥ ﻭﺍﻻﺗﺼﺎﻝ ﻭﺍﻻﻧﻔﺼﺎﻝ ﻛﺎﻥ ﻛﺎﻓﺮﺍ، ﺃﻭ ﺍﺳﺘﺤﻞ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺣﺮﺍﻡ ﺑﺎﻹﺟﻤﺎﻉ، ﺃﻭ ﺣﺮﻡ ﺣﻼﻻ ﺑﺎﻹﺟﻤﺎﻉ ﺃﻭ ﺍﻋﺘﻘﺪ ﻭﺟﻮﺏ ﻣﺎ ﻟﻴﺲ ﺑﻮﺍﺟﺐ ﻛﻔﺮ ﺃﻭ ﻧﻔﻰ ﻭﺟﻮﺏ ﺷﻰﺀ ﻣﺠﻤﻊ ﻋﻠﻴﻪ ﻋﻠﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺑﺎﻟﻀﺮﻭﺭﺓ ﻛﻔﺮ .. ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﺟﺰﻡ ﻓﻲ ﺻﻔﺔ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻣﻦ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻤﻬﺬﺏ ﺑﺘﻜﻔﻴﺮ ﺍﻟﻤﺠﺴﻤﺔ، ﻗﻠﺖ : ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺼﻮﺍﺏ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻣﺤﻴﺪ ﻋﻨﻪ ﺇﺫ ﻓﻴﻪ ﻣﺨﺎﻟﻔﺔ ﺻﺮﻳﺢ ﺍﻟﻘﺮﺀﺍﻥ " ﺍﻫـ .
Syekh Taqiyyuddin Abu Bakr ibn Muhammad al-Hushni asy-Syafi’i, salah seorang ulama terkemuka dalam madzhab Syafi’i yang hidup di abad sembilan (9) hijriyah, dalam kitab Kifayah al-Akhyar Fi Hall Ghayah al-Ikhtishar, h. 200, berkata: “Pasal; Tentang riddah. Riddah dalam pengertian syari’at adalah kembali dari Islam kepada kufur, dan memutuskan Islam tersebut. Riddah ini kadang terjadi karena ucapan, kadang karena perbuatan, dan kadang karena kayakinan. Setiap satu bagian dari tiga macam kufur ini memiliki cabang/contoh yang sangat banyak sekali tidak terhingga, berikut ini kita sebutkan beberapa contoh supaya kita bisa mengetahui contoh-contoh lainnya yang serupa dengannya yang tidak kita sebutkan di sini. Kufur perkataan contohnya seorang yang mencaci-maki salah seorang Nabi dari para Nabi Allah (yang telah disepakati kenabiannya), dan atau merendahkannya; maka orang ini telah kafir dengan kesepakan ulama (ijma’). Contoh lainnya bila seseorang berkata kepada sesama muslim tanpa memiliki takwil (tanpa alasan yang dapat dibenarkan dalam syari’at); “Wahai orang kafir!!”, maka yang memanggil tersebut menjadi kafir, karena dengan demikian ia telah menamkan ke-Islam-an seseorang sebagai kekufuran. Kufur fi’li (kufur karena perbuatan) contohnya seperti sujud kepada berhala, matahari, bulan, atau melemparkan/membuang al-Qur’an di tempat yang menjijikan, dan praktek sihir dengan jalan menyembah matahari. Contoh lainnya bila ia berbuat suatu perbutan kufur yang nyata-nyata hanya dilakukan oleh orang-orang kafir; maka ia menjadi kafir, sekalipun saat melakukannya ia merasa bahwa diri seorang muslim”. Adapun kufur I’tiqadi (kufur karena keyakinan rusak) contohnya sangat banyak sekali, di antaranya seperti orang yang berkeyakinan bahwa alam ini (segala sesuatu selain Allah) tidak memiliki permulaan, atau menafikan/mengingkari sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati bagi Allah (seperti sifat wujud [Allah maha ada], qidam [tanpa permulaan], baqa’ [tanpa penghabisan], sama’ (bahwa Allah maha mendengar], dan lainnya), atau sebaliknya menetapka sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati ketiadaannya dari Allah; seperti warna, menempel, berpisah (dan berbagai sifat benda lainnya); maka orang ini telah menjadi kafir. Contoh lainnya bila ia menghalalkan sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati keharamannya (seperti zina, membunuh tanpa hak, mencuri, dan lainnya), atau sebaliknya mengharamkan sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati kehalalannya (seperti nikah, jual beli, dan lainnya), atau berkeyakinan wajib terhadap sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati bukan sebagai perkara wajib; maka orang ini telah menjadi kafir. Contoh lainnya bila seseorang mengingkari sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati kewajibannya serta telah diketahui kewajiban tersebut oleh seluruh orang Islam (seperti shalat lima waktu); maka ia telah menjadi kafir. Kemudian Imam an-Nawawi dalam kitab Syarah al-Muhadz-dzab dalam menjelasan tatacara shalat bahwa kaum Muj
ﺗﺮﺟﻊ ﺟﻤﻴﻊ ﺃﻧﻮﺍﻉ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﺇﻟﻴﻬﺎ، ﻭﻫﻲ : ﺍﻟﺘﺸﺒﻴﻪ، ﻭﺍﻟﺘﻌﻄﻴﻞ، ﻭﺍﻟﺘﻜﺬﻳﺐ ... ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﺘﺸﺒﻴﻪ : ﻓﻬﻮ ﺍﻻﻋﺘﻘﺎﺩ ﺑﺄﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳﺸﺒﻪ ﺷﻴﺌًﺎ ﻣﻦ ﺧﻠﻘﻪ، ﻛﺎﻟﺬﻳﻦ ﻳﻌﺘﻘﺪﻭﻥ ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺟﺴﻢٌ ﻓﻮﻕ ﺍﻟﻌﺮﺵ، ﺃﻭ ﻳﻌﺘﻘﺪﻭﻥ ﺃﻥ ﻟﻪ ﻳﺪَﻳﻦ ﺑﻤﻌﻨﻰ ﺍﻟﺠﺎﺭﺣﺘﻴﻦ، ﻭﺃﻥ ﻟﻪ ﺍﻟﺼﻮﺭﺓ ﺍﻟﻔﻼﻧﻴﺔ ﺃﻭ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻜﻴﻔﻴﺔ ﺍﻟﻔﻼﻧﻴﺔ، ﺃﻭ ﺃﻧﻪ ﻧﻮﺭ ﻳﺘﺼﻮﺭﻩ ﺍﻟﻌﻘﻞ، ﺃﻭ ﺃﻧﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ، ﺃﻭ ﻓﻲ ﺟﻬﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻬﺎﺕ ﺍﻟﺴﺖ، ﺃﻭ ﺃﻧﻪ ﻓﻲ ﻣﻜﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻷﻣﺎﻛﻦ، ﺃﻭ ﻓﻲ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻷﻣﺎﻛﻦ، ﺃﻭ ﺃﻧﻪ ﻣﻸ ﺍﻟﺴﻤﻮﺍﺕ ﻭﺍﻷﺭﺽ، ﺃﻭ ﺃﻥَّ ﻟﻪ ﺍﻟﺤﻠﻮﻝ ﻓﻲ ﺷﻰﺀ ﻣﻦ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ، ﺃﻭ ﻓﻲ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ، ﺃﻭ ﺃﻧﻪ ﻣﺘﺤﺪ ﺑﺸﻰﺀ ﻣﻦ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ، ﺃﻭ ﻓﻲ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ، ﺃﻭ ﺃﻥ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﻣﻨﺤﻠَّﺔٌ ﻣﻨﻪ، ﺃﻭ ﺷﻴﺌًﺎ ﻣﻨﻬﺎ . ﻭﺟﻤﻴﻊ ﺫﻟﻚ ﻛﻔﺮ ﺻﺮﻳﺢ ﻭﺍﻟﻌﻴﺎﺫ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ، ﻭﺳﺒﺒﻪ ﺍﻟﺠﻬﻞ ﺑﻤﻌﺮﻓﺔ ﺍﻷﻣﺮ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻫﻮ ﻋﻠﻴﻪ " ﺍﻫـ .
Syekh Abdul Ghani an-Nabulsi al-Hanafi (w 1143 H) dalam kitab karyanya berjudul al-Fath ar-Rabbani Wa al-Faidl ar-Rahmani, h. 124, berkata: “Adapun pembagian kufur dalam tinjauan syari’at terbagi kepada tiga bagian, di mana setiap macam dan bentuk kufur kembali kepada tiga bagian ini; yaitu Tasybih, Ta’thil dan takdzib. Tasybih (yaitu menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) seperti berkeyakinan bahwa Allah menyerupai sesuatu dari makhluk-Nya seperti mereka yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas arsy, atau berkeyakinan bahwa Allah memiliki dua tangan dalam makna anggota badan, atau bahwa Allah seperti bentuk si fulan, atau memiliki sifat seperti sifat si fulan, atau berkeyakinan bahwa Allah adalah sinar yang dapat dibayangkan oleh akal, atau berkeyakinan bahwa Allah berada di langit, atau bahwa Allah berada pada arah di antara arah yang enam (atas, bawah, depan belakang, samping kanan dan samping kiri), atau berkeyakinan bahwa Allah bertempat di antara beberapa tempat, atau berada di seluruh tempat, atau berkeyakinan bahwa Allah memenuhi seluruh lapisan langit dan bumi, atau berkeyakinan bahwa Allah bertempat/menetap di dalam sesuatu di antara makhluk-makhluk-Nya, atau menetap di dalam segala sesuatu, atau berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan sebagian makhluk-Nya, atau menyetu dengan seluruh makhluk-Nya, atau berkeyakinan bahwa ada sesuatu atau segala sesuatu dari makhluk Allah menyatu dengan-Nya; maka semua ini adalah jelas sebagai kekufuran, --semoga kita terlindung darinya--. Penyebab utamanya adalah karena kebodohan terhadap perkara-perkara pokok aqidah yang sebenarnya wajib ia ketahui”.
____________________________
*ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ*
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﻴﺎﺽ ﺍﻟﻴﺤﺼﺒﻲ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻲ ( ﺕ 544 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﺍﻟﺸﻔﺎ ﺝ 2/214 ﺍﻟﺒﺎﺏ ﺍﻷﻭﻝ ﻓﻲ ﺑﻴﺎﻥ ﻣﺎ ﻫﻮ ﻓﻲ ﺣﻘﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺳﺐٌ ﺃﻭ ﻧﻘﺺ ٌ ﻣﻦ ﺗﻌﺮﺽ ﺃﻭ ﻧﺺٍ : ﻣﻦ ﺳﺐ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻭ ﻋﺎﺑﻪ ﺃﻭ ﺃﻟﺤﻖ ﺑﻪ ﻧﻘﺼﺎ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻪ ﺃﻭ ﻧﺴﺒﻪ ﺃﻭ ﺩﻳﻨﻪ ﺃﻭ ﺧﺼﻠﺔ ﻣﻦ ﺧﺼﺎﻟﻪ ﺃﻭ ﻋﺮَّﺽَ ﺑﻪ ﺃﻭ ﺷﺒﻬﻪ ﺑﺸﻰﺀ ﻋﻠﻰ ﻃﺮﻳﻖ ﺍﻟﺴﺐ ﻟﻪ ﺃﻭ ﺍﻹﺯﺭﺍﺀ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻭ ﺍﻟﺘﺼﻐﻴﺮ ﻟﺸﺄﻧﻪ ﺃﻭ ﺍﻟﻐﺾ ﻣﻨﻪ ﻭﺍﻟﻌﻴﺐ ﻟﻪ ﻓﻬﻮ ﺳﺎﺏ ﻟﻪ ... ﻗﺎﻝ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺳﻨﺤﻮﻥ ﺃﺟﻤﻊ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺃﻥ ﺷﺎﺗﻢ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﻤﻨﺘﻘﺺ ﻟﻪ ﻛﺎﻓﺮ ﻭﺍﻟﻮﻋﻴﺪ ﺟﺎﺭ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﻌﺬﺍﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻪ ... ﻭﻣﻦ ﺷﻚ ﻓﻲ ﻛﻔﺮﻩ ﻭﻋﺬﺍﺑﻪ ﻛﻔﺮ ". ﺍﻫـ
*Penjelasan Para Ulama Madzhab Maliki*
Al-Imam al-Qadli Iyadl al-Maliki (w 544 H) dalam kitab karyanya berjudul asy-Sifa’ Bi Ta’rif Huquq al-Musthafa, j. 2, h. 214, menuliskan: “Bab pertama; Penjelasan tentang mencaci-maki atau merendahkan Rasulullah (baik dalam bentuk kata-kata atau tulisan). Barangsiapa mencaci-maki Rasulullah, mencelanya, menyandarkan kerendahan/kekurangan/aib kepadanya; baik pada diri beliau sendiri, atau agamanya/ajarannya/akhlaknya, atau pada sifat dari sifat-sifatnya, atau merendahkan kehormatannya, atau menyerupakannnya dengan sesuatu untuk tujuan menghinakannya, merendahkannya, mengecilkan keutamaannya, atau untuk tujuan berpaling darinya dan membuat aib baginya; maka orang semacam ini adalah orang yang mencaci Rasulullah, dan Ibn Syahnun berkata: Para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa orang yang mencaci-maki Rasulullah dan menghinakannya maka ia telah kafir, dan orang semacam ini layak mendapatkan ancaman Allah untuk disiksa. Dan barangsiapa meragukan bahwa orang tersebut telah menjadi kafir dan berhak untuk mendapat siksa; maka orang ini juga telah menjadi kafir”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻮ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﺃﺣﻤﺪ ﻋﻠﻴﺶ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻲ ﻣﻔﺘﻲ ﺍﻟﺪﻳﺎﺭ ﺍﻟﻤﺼﺮﻳﺔ ﺍﻷﺳﺒﻖ ( ﺕ 1299 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻣﻨﺢ ﺍﻟﺠﻠﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﻣﺨﺘﺼﺮ ﺍﻟﻌﻼﻣﺔ ﺧﻠﻴﻞ ﺝ
Syekh Abdul Ghani an-Nabulsi al-Hanafi (w 1143 H) dalam kitab karyanya berjudul al-Fath ar-Rabbani Wa al-Faidl ar-Rahmani, h. 124, berkata: “Adapun pembagian kufur dalam tinjauan syari’at terbagi kepada tiga bagian, di mana setiap macam dan bentuk kufur kembali kepada tiga bagian ini; yaitu Tasybih, Ta’thil dan takdzib. Tasybih (yaitu menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) seperti berkeyakinan bahwa Allah menyerupai sesuatu dari makhluk-Nya seperti mereka yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas arsy, atau berkeyakinan bahwa Allah memiliki dua tangan dalam makna anggota badan, atau bahwa Allah seperti bentuk si fulan, atau memiliki sifat seperti sifat si fulan, atau berkeyakinan bahwa Allah adalah sinar yang dapat dibayangkan oleh akal, atau berkeyakinan bahwa Allah berada di langit, atau bahwa Allah berada pada arah di antara arah yang enam (atas, bawah, depan belakang, samping kanan dan samping kiri), atau berkeyakinan bahwa Allah bertempat di antara beberapa tempat, atau berada di seluruh tempat, atau berkeyakinan bahwa Allah memenuhi seluruh lapisan langit dan bumi, atau berkeyakinan bahwa Allah bertempat/menetap di dalam sesuatu di antara makhluk-makhluk-Nya, atau menetap di dalam segala sesuatu, atau berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan sebagian makhluk-Nya, atau menyetu dengan seluruh makhluk-Nya, atau berkeyakinan bahwa ada sesuatu atau segala sesuatu dari makhluk Allah menyatu dengan-Nya; maka semua ini adalah jelas sebagai kekufuran, --semoga kita terlindung darinya--. Penyebab utamanya adalah karena kebodohan terhadap perkara-perkara pokok aqidah yang sebenarnya wajib ia ketahui”.
____________________________
*ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ*
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﻴﺎﺽ ﺍﻟﻴﺤﺼﺒﻲ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻲ ( ﺕ 544 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﺍﻟﺸﻔﺎ ﺝ 2/214 ﺍﻟﺒﺎﺏ ﺍﻷﻭﻝ ﻓﻲ ﺑﻴﺎﻥ ﻣﺎ ﻫﻮ ﻓﻲ ﺣﻘﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺳﺐٌ ﺃﻭ ﻧﻘﺺ ٌ ﻣﻦ ﺗﻌﺮﺽ ﺃﻭ ﻧﺺٍ : ﻣﻦ ﺳﺐ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻭ ﻋﺎﺑﻪ ﺃﻭ ﺃﻟﺤﻖ ﺑﻪ ﻧﻘﺼﺎ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻪ ﺃﻭ ﻧﺴﺒﻪ ﺃﻭ ﺩﻳﻨﻪ ﺃﻭ ﺧﺼﻠﺔ ﻣﻦ ﺧﺼﺎﻟﻪ ﺃﻭ ﻋﺮَّﺽَ ﺑﻪ ﺃﻭ ﺷﺒﻬﻪ ﺑﺸﻰﺀ ﻋﻠﻰ ﻃﺮﻳﻖ ﺍﻟﺴﺐ ﻟﻪ ﺃﻭ ﺍﻹﺯﺭﺍﺀ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻭ ﺍﻟﺘﺼﻐﻴﺮ ﻟﺸﺄﻧﻪ ﺃﻭ ﺍﻟﻐﺾ ﻣﻨﻪ ﻭﺍﻟﻌﻴﺐ ﻟﻪ ﻓﻬﻮ ﺳﺎﺏ ﻟﻪ ... ﻗﺎﻝ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺳﻨﺤﻮﻥ ﺃﺟﻤﻊ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺃﻥ ﺷﺎﺗﻢ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﻤﻨﺘﻘﺺ ﻟﻪ ﻛﺎﻓﺮ ﻭﺍﻟﻮﻋﻴﺪ ﺟﺎﺭ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﻌﺬﺍﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻪ ... ﻭﻣﻦ ﺷﻚ ﻓﻲ ﻛﻔﺮﻩ ﻭﻋﺬﺍﺑﻪ ﻛﻔﺮ ". ﺍﻫـ
*Penjelasan Para Ulama Madzhab Maliki*
Al-Imam al-Qadli Iyadl al-Maliki (w 544 H) dalam kitab karyanya berjudul asy-Sifa’ Bi Ta’rif Huquq al-Musthafa, j. 2, h. 214, menuliskan: “Bab pertama; Penjelasan tentang mencaci-maki atau merendahkan Rasulullah (baik dalam bentuk kata-kata atau tulisan). Barangsiapa mencaci-maki Rasulullah, mencelanya, menyandarkan kerendahan/kekurangan/aib kepadanya; baik pada diri beliau sendiri, atau agamanya/ajarannya/akhlaknya, atau pada sifat dari sifat-sifatnya, atau merendahkan kehormatannya, atau menyerupakannnya dengan sesuatu untuk tujuan menghinakannya, merendahkannya, mengecilkan keutamaannya, atau untuk tujuan berpaling darinya dan membuat aib baginya; maka orang semacam ini adalah orang yang mencaci Rasulullah, dan Ibn Syahnun berkata: Para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa orang yang mencaci-maki Rasulullah dan menghinakannya maka ia telah kafir, dan orang semacam ini layak mendapatkan ancaman Allah untuk disiksa. Dan barangsiapa meragukan bahwa orang tersebut telah menjadi kafir dan berhak untuk mendapat siksa; maka orang ini juga telah menjadi kafir”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻮ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﺃﺣﻤﺪ ﻋﻠﻴﺶ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻲ ﻣﻔﺘﻲ ﺍﻟﺪﻳﺎﺭ ﺍﻟﻤﺼﺮﻳﺔ ﺍﻷﺳﺒﻖ ( ﺕ 1299 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻣﻨﺢ ﺍﻟﺠﻠﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﻣﺨﺘﺼﺮ ﺍﻟﻌﻼﻣﺔ ﺧﻠﻴﻞ ﺝ
assimah (kaum yang mengatakan bahwa Allah adalah benda; memiliki bentuk dan ukuran) adalah orang-orang yang harus dikafirkan. Aku (Abu Bakr al-Hushni) katakan; Inilah kebenaran yang tidak dapat diganggugugat (artinya bahwa kaum Mujassimah adalah orang-orang kafir), oleh karena keyakinan demikian sama saja dengan menyalahi al-Qur’an (yang telah jelas menetapkan bahwa Allah tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya)”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ( ﺕ 204 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﺍﻷﻡ ﺝ 6/160 ، ﻓﻲ ﺑﺎﺏ ﺣﺎﻝ ﺍﻟﻤﺮﺗﺪ ﻭﺯﻭﺟﺔ ﺍﻟﻤﺮﺗﺪ ": ﻭﺇﺫﺍ ﺍﺭﺗﺪ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻋﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﻟﻪ ﺯﻭﺟﺔ، ﺃﻭ ﺃﻣﺮﺍﺓ ﻋﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﻟﻬﺎ ﺯﻭﺝ ... ﻻ ﺗﻘﻊ ﺍﻟﻔﺮﻗﺔ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﺣﺘﻰ ﺗﻤﻀﻲ ﻋﺪﺓ ﺍﻟﺰﻭﺟﺔ ﻗﺒﻞ ﻳﺘﻮﺏ ﻭﻳﺮﺟﻊ ﺇﻟﻰ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻓﺈﺫﺍ ﺍﻧﻘﻀﺖ ﻋﺪﺗﻬﺎ ﻗﺒﻞ ﻳﺘﻮﺏ ﻓﻘﺪ ﺑﺎﻧﺖ ﻣﻨﻪ ﻭﻻ ﺳﺒﻴﻞ ﻟﻪ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﺑﻴﻨﻮﻧﺘﻬﺎ ﻣﻨﻪ ﻓﺴﺦ ﺑﻼ ﻃﻼﻕ " ﺍﻫـ
Al-Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (w 204 H), Imam perintis madzhab Syafi’i, dalam kitab al-Umm, j. 6, h. 160, dalam menjelaskan keadaan/hukum seorang yang murtad dan istri seorang yang murtad, berkata: “Jika seseorang menjadi murtad/keluar dari Islam dan ia memiliki istri, atau jika seorang perempuan keluar dari Islam dan ia memiliki seorang suami; maka pasangan ini menjadi terpisahkan (artinya secara otomatis manjadi rusak tali pernikahannya). Dan bila yang murtad ini kembali masuk Islam sebelum habis masa iddah --istrinya-- (yaitu 3 kali suci) maka keduanya kembali menjadi pasangan suami istri (tanpa harus membuat akad nikah yang baru). Namun bila salah satunya belum masuk Islam kembali hingga habis masa iddah --si istri-- (yaitu 3 kali suci); maka terpisahlah antara pasangan suami istri ini, dan pisah di sini karena rusak (tali pernikahannya) bukan karena talaq/cerai”. (Penjelasan; Bila salah satunya masuk Islam kembali setelah habis masa iddah lalu hendak membangun rumah tangga kembali maka harus membuat akad nikah yang baru).
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺗﺎﺝ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﺴﺒﻜﻲ ( ﺕ 771 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻃﺒﻘﺎﺗﻪ ﺝ 1/91 ﻣﺎ ﻧﺼﻪ ": ﻭﻻ ﺧﻼﻑ ﻋﻨﺪ ﺍﻷﺷﻌﺮﻱ ﻭﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﺑﻞ ﻭﺳﺎﺋﺮ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺃﻥ ﻣﻦ ﺗﻠﻔﻆ ﺑﺎﻟﻜﻔﺮ ﺃﻭ ﻓﻌﻞ ﺃﻓﻌﺎﻝ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﺃﻧﻪ ﻛﺎﻓﺮ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﺍﻟﻌﻈﻴﻢ ﻣﺨﻠﺪ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﻭﺇﻥ ﻋﺮﻑ ﻗﻠﺒﻪ " ﺍﻫـ .
Al-Imam Tajuddin Abdul Wahhab ibn Ali as-Subki (w 771 H) dalam kitab Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra, j. 1, h. 91, berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat antara Imam al-Asy’ari dan para ulama pengikutnya, bahkan tidak ada perbedaan pendapat di antara segenap orang Islam bahwa seorang yang berkata-kata kufur atau berbuat perbuatan kufur; maka ia telah kafir kepada Allah yang Maha Agung, ia akan dikekalkan di dalam neraka, sekalipun hatinya mengingkari itu (artinya; sekali hatinya tidak berniat keluar dari Islam)”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻧﻮﻭﻱ ﺍﻟﺠﺎﻭﻱ ﺍﻟﺒﻨﺘﻨﻲ ( ﺕ 1316 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﻣﺮﺍﺡ ﻟﺒﻴﺪ : }" ﻭَﻣَﻦ ﻳَﻜْﻔُﺮْ ﺑِﭑﻹﻳﻤَـٰﻦِ ﻓَﻘَﺪْ ﺣَﺒِﻂَ ﻋَﻤَﻠُﻪُ { ﺃﻱ ﻭﻣﻦ ﻳﻜﻔﺮ ﺑﺸﺮﺍﺋﻊ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺑﺘﻜﺎﻟﻴﻔﻪ ﻓﻘﺪ ﺑﻄﻞ ﺛﻮﺍﺏ ﻋﻤﻠﻪ ﺍﻟﺼﺎﻟﺢ ﺳﻮﺍﺀ ﻋﺎﺩ ﺇﻟﻰ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺃﻭﻻً " ﺍﻫـ .
Syekh Muhammad ibn Umar Nawawi al-Jawi al-Bantani (w 1316 H) dalam kitab tafsir yang dikenal dengan at-Tafsir al-Munir atau dikenal dengan Tafsir Marah Labid, menuliskan: “Firman Allah:
ﻭَﻣَﻦ ﻳَﻜْﻔُﺮْ ﺑِﭑﻹﻳﻤَـٰﻦِ ﻓَﻘَﺪْ ﺣَﺒِﻂَ ﻋَﻤَﻠُﻪُ ( ﺍﻟﻤﺎﺋﺪﺓ : 5 )
“Barangsiapa kufur dengan keimanan maka menjadi sia-sialah amalannya” (QS. Al-Ma’idah: 5). Artinya, bahwa seorang yang kafir kepada syari’at-syari’at Allah dan kafir kepada ajaran-ajaran-Nya (hukum-hukum-Nya) maka manjadi sia-sia seluruh amal salehnya, sama halnya setelah itu ia kembali kepada Islam atau tidak”.
____________________________
*ﺍﻟﺤﻨﺎﺑﻠﺔ*
ﻗﺎﻝ ﻣﻮﻓﻖ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺃﺣﻤﺪ ﺍﺑﻦ ﻗﺪﺍﻣﺔ ﺍﻟﻤﻘﺪﺳﻲ ﺍﻟﺤﻨﺒﻠﻲ ( ﺕ 620 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻤﻘﻨﻊ، ﺻﺤﻴﻔﺔ 307 ، ﻣﺎ ﻧﺼﻪ ": ﺑﺎﺏ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻤﺮﺗﺪ : ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻜﻔﺮ ﺑﻌﺪ ﺇﺳﻼﻣﻪ . ﻓﻤﻦ ﺃﺷﺮﻙ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﺃﻭ ﺟﺤﺪ ﺭﺑﻮﺑﻴﺘﻪ ﺃﻭ ﻭﺣﺪﺍﻧﻴﺘﻪ ﺃﻭ ﺻﻔﺔ ﻣﻦ ﺻﻔﺎﺗﻪ ﺍﻭ ﺍﺗﺨﺬ ﻟﻠﻪ ﺻﺎﺣﺒﺔ ﺃﻭ ﻭﻟﺪﺍ ﺃﻭ ﺟﺤﺪ ﻧﺒﻴﺎ ﺃﻭ ﻛﺘﺎﺑﺎ ﻣﻦ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﻭ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻨﻪ ﺃﻭ ﺳﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﻭ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﻛﻔﺮ . ﻭﻣﻦ ﺟﺤﺪ ﻭﺟﻮﺏ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺍﻟﺨﻤﺲ ﺃﻭ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻨﻬﺎ ﺃﻭ ﺃﺣﻞ ﺍﻟﺰﻧﺎ ﺃﻭ ﺍﻟﺨﻤﺮ ﺃﻭ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺤﺮﻣﺎﺕ ﺍﻟﻈﺎﻫﺮﺓ ﺍﻟﻤﺠﻤﻊ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻟﺠﻬﻞ ﻋﺮّﻑ ﺫﻟﻚ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻤﻦ ﻻ ﻳﺠﻬﻞ ﺫﻟﻚ ﻛﻔﺮ .
*Penjelasan Para Ulama Madzhab Hanbali*
Syekh Muwaffaquddin Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (w 620 H), dalam kitab al-Mughni, h. 307, berkata: “Bab hukum or
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ( ﺕ 204 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﺍﻷﻡ ﺝ 6/160 ، ﻓﻲ ﺑﺎﺏ ﺣﺎﻝ ﺍﻟﻤﺮﺗﺪ ﻭﺯﻭﺟﺔ ﺍﻟﻤﺮﺗﺪ ": ﻭﺇﺫﺍ ﺍﺭﺗﺪ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻋﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﻟﻪ ﺯﻭﺟﺔ، ﺃﻭ ﺃﻣﺮﺍﺓ ﻋﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﻟﻬﺎ ﺯﻭﺝ ... ﻻ ﺗﻘﻊ ﺍﻟﻔﺮﻗﺔ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﺣﺘﻰ ﺗﻤﻀﻲ ﻋﺪﺓ ﺍﻟﺰﻭﺟﺔ ﻗﺒﻞ ﻳﺘﻮﺏ ﻭﻳﺮﺟﻊ ﺇﻟﻰ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻓﺈﺫﺍ ﺍﻧﻘﻀﺖ ﻋﺪﺗﻬﺎ ﻗﺒﻞ ﻳﺘﻮﺏ ﻓﻘﺪ ﺑﺎﻧﺖ ﻣﻨﻪ ﻭﻻ ﺳﺒﻴﻞ ﻟﻪ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﺑﻴﻨﻮﻧﺘﻬﺎ ﻣﻨﻪ ﻓﺴﺦ ﺑﻼ ﻃﻼﻕ " ﺍﻫـ
Al-Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (w 204 H), Imam perintis madzhab Syafi’i, dalam kitab al-Umm, j. 6, h. 160, dalam menjelaskan keadaan/hukum seorang yang murtad dan istri seorang yang murtad, berkata: “Jika seseorang menjadi murtad/keluar dari Islam dan ia memiliki istri, atau jika seorang perempuan keluar dari Islam dan ia memiliki seorang suami; maka pasangan ini menjadi terpisahkan (artinya secara otomatis manjadi rusak tali pernikahannya). Dan bila yang murtad ini kembali masuk Islam sebelum habis masa iddah --istrinya-- (yaitu 3 kali suci) maka keduanya kembali menjadi pasangan suami istri (tanpa harus membuat akad nikah yang baru). Namun bila salah satunya belum masuk Islam kembali hingga habis masa iddah --si istri-- (yaitu 3 kali suci); maka terpisahlah antara pasangan suami istri ini, dan pisah di sini karena rusak (tali pernikahannya) bukan karena talaq/cerai”. (Penjelasan; Bila salah satunya masuk Islam kembali setelah habis masa iddah lalu hendak membangun rumah tangga kembali maka harus membuat akad nikah yang baru).
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺗﺎﺝ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﺴﺒﻜﻲ ( ﺕ 771 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻃﺒﻘﺎﺗﻪ ﺝ 1/91 ﻣﺎ ﻧﺼﻪ ": ﻭﻻ ﺧﻼﻑ ﻋﻨﺪ ﺍﻷﺷﻌﺮﻱ ﻭﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﺑﻞ ﻭﺳﺎﺋﺮ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺃﻥ ﻣﻦ ﺗﻠﻔﻆ ﺑﺎﻟﻜﻔﺮ ﺃﻭ ﻓﻌﻞ ﺃﻓﻌﺎﻝ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﺃﻧﻪ ﻛﺎﻓﺮ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﺍﻟﻌﻈﻴﻢ ﻣﺨﻠﺪ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﻭﺇﻥ ﻋﺮﻑ ﻗﻠﺒﻪ " ﺍﻫـ .
Al-Imam Tajuddin Abdul Wahhab ibn Ali as-Subki (w 771 H) dalam kitab Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra, j. 1, h. 91, berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat antara Imam al-Asy’ari dan para ulama pengikutnya, bahkan tidak ada perbedaan pendapat di antara segenap orang Islam bahwa seorang yang berkata-kata kufur atau berbuat perbuatan kufur; maka ia telah kafir kepada Allah yang Maha Agung, ia akan dikekalkan di dalam neraka, sekalipun hatinya mengingkari itu (artinya; sekali hatinya tidak berniat keluar dari Islam)”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻧﻮﻭﻱ ﺍﻟﺠﺎﻭﻱ ﺍﻟﺒﻨﺘﻨﻲ ( ﺕ 1316 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﻣﺮﺍﺡ ﻟﺒﻴﺪ : }" ﻭَﻣَﻦ ﻳَﻜْﻔُﺮْ ﺑِﭑﻹﻳﻤَـٰﻦِ ﻓَﻘَﺪْ ﺣَﺒِﻂَ ﻋَﻤَﻠُﻪُ { ﺃﻱ ﻭﻣﻦ ﻳﻜﻔﺮ ﺑﺸﺮﺍﺋﻊ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺑﺘﻜﺎﻟﻴﻔﻪ ﻓﻘﺪ ﺑﻄﻞ ﺛﻮﺍﺏ ﻋﻤﻠﻪ ﺍﻟﺼﺎﻟﺢ ﺳﻮﺍﺀ ﻋﺎﺩ ﺇﻟﻰ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺃﻭﻻً " ﺍﻫـ .
Syekh Muhammad ibn Umar Nawawi al-Jawi al-Bantani (w 1316 H) dalam kitab tafsir yang dikenal dengan at-Tafsir al-Munir atau dikenal dengan Tafsir Marah Labid, menuliskan: “Firman Allah:
ﻭَﻣَﻦ ﻳَﻜْﻔُﺮْ ﺑِﭑﻹﻳﻤَـٰﻦِ ﻓَﻘَﺪْ ﺣَﺒِﻂَ ﻋَﻤَﻠُﻪُ ( ﺍﻟﻤﺎﺋﺪﺓ : 5 )
“Barangsiapa kufur dengan keimanan maka menjadi sia-sialah amalannya” (QS. Al-Ma’idah: 5). Artinya, bahwa seorang yang kafir kepada syari’at-syari’at Allah dan kafir kepada ajaran-ajaran-Nya (hukum-hukum-Nya) maka manjadi sia-sia seluruh amal salehnya, sama halnya setelah itu ia kembali kepada Islam atau tidak”.
____________________________
*ﺍﻟﺤﻨﺎﺑﻠﺔ*
ﻗﺎﻝ ﻣﻮﻓﻖ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺃﺣﻤﺪ ﺍﺑﻦ ﻗﺪﺍﻣﺔ ﺍﻟﻤﻘﺪﺳﻲ ﺍﻟﺤﻨﺒﻠﻲ ( ﺕ 620 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻤﻘﻨﻊ، ﺻﺤﻴﻔﺔ 307 ، ﻣﺎ ﻧﺼﻪ ": ﺑﺎﺏ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻤﺮﺗﺪ : ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻜﻔﺮ ﺑﻌﺪ ﺇﺳﻼﻣﻪ . ﻓﻤﻦ ﺃﺷﺮﻙ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﺃﻭ ﺟﺤﺪ ﺭﺑﻮﺑﻴﺘﻪ ﺃﻭ ﻭﺣﺪﺍﻧﻴﺘﻪ ﺃﻭ ﺻﻔﺔ ﻣﻦ ﺻﻔﺎﺗﻪ ﺍﻭ ﺍﺗﺨﺬ ﻟﻠﻪ ﺻﺎﺣﺒﺔ ﺃﻭ ﻭﻟﺪﺍ ﺃﻭ ﺟﺤﺪ ﻧﺒﻴﺎ ﺃﻭ ﻛﺘﺎﺑﺎ ﻣﻦ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﻭ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻨﻪ ﺃﻭ ﺳﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﻭ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﻛﻔﺮ . ﻭﻣﻦ ﺟﺤﺪ ﻭﺟﻮﺏ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺍﻟﺨﻤﺲ ﺃﻭ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻨﻬﺎ ﺃﻭ ﺃﺣﻞ ﺍﻟﺰﻧﺎ ﺃﻭ ﺍﻟﺨﻤﺮ ﺃﻭ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺤﺮﻣﺎﺕ ﺍﻟﻈﺎﻫﺮﺓ ﺍﻟﻤﺠﻤﻊ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻟﺠﻬﻞ ﻋﺮّﻑ ﺫﻟﻚ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻤﻦ ﻻ ﻳﺠﻬﻞ ﺫﻟﻚ ﻛﻔﺮ .
*Penjelasan Para Ulama Madzhab Hanbali*
Syekh Muwaffaquddin Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (w 620 H), dalam kitab al-Mughni, h. 307, berkata: “Bab hukum or
n al-Mundzir (w 318 H) dalam kitab karyanya berjudul al-Ijma’, h. 144.
____________________________
*ﻧﺼﻴﺤﺔ*
ﻫﺬﺍ ﻭﻗﺪ ﻋﺪ ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﻛﺎﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﻴﺎﺽ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻲ ﺍﻟﻤﺘﻮﻓﻰ ﺳﻨﺔ 544 ﻫـ ﻭﺍﻟﻔﻘﻴﻪ ﺑﺪﺭ ﺍﻟﺮﺷﻴﺪ ﺍﻟﺤﻨﻔﻲ ﺍﻟﻤﺘﻮﻓﻰ ﺳﻨﺔ 768 ﻫـ ﻭﺍﻟﻔﻘﻴﻪ ﻳﻮﺳﻒ ﺍﻷﺭﺩﺑﻴﻠﻲ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺍﻟﻤﺘﻮﻓﻰ ﺳﻨﺔ 799 ﻫـ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﺃﺷﻴﺎﺀ ﻛﺜﻴﺮﺓ ﻓﻲ ﺑﻴﺎﻥ ﺍﻷﻟﻔﺎﻅ ﺍﻟﻤﻜﻔﺮﺓ ﻧﻘﻠﻮﻫﺎ ﻋﻦ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﻓﻴﻨﺒﻐﻲ ﺍﻹﻃﻼﻉ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻓﺈﻥ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﻌﺮﻑ ﺍﻟﺸﺮ ﻳﻘﻊ ﻓﻴﻪ .
*Nasehat*
Para ulama terkemuka telah mengungkapkan banyak sekali dari contoh kata-kata yang merupakan kekufuran (al-Alfazh al-kufriyyah), di antaranya al-Qadli ‘Iyadl al-Maliki (w 544 H), Badr ar-Rasyid al-Hanafi; salah seorang ahli fiqih terkemuka dalam madzhab Hanafi (w 768 H), Yusuf al-Ardabili asy-Syafi’i; ulama terkemuka madzhab Syafi’i (w 799 H), dan para ulama terkemuka lainnya; di mana para ulama ini telah mengutip contoh kata-kata kufur tersebut dari para Imam dan Ulama terkemuka sebelumnya, dengan demikian wajib bagi kita mengenal dan mempelajari apa yang telah mereka tuliskan, karena sesungguhnya seorang yang tidak mengetahui keburukan maka mau tidak mau suatu saat ia pasti terjatuh di dalamnya.
____________________________
*ﻧﺼﻴﺤﺔ*
ﻫﺬﺍ ﻭﻗﺪ ﻋﺪ ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﻛﺎﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﻴﺎﺽ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻲ ﺍﻟﻤﺘﻮﻓﻰ ﺳﻨﺔ 544 ﻫـ ﻭﺍﻟﻔﻘﻴﻪ ﺑﺪﺭ ﺍﻟﺮﺷﻴﺪ ﺍﻟﺤﻨﻔﻲ ﺍﻟﻤﺘﻮﻓﻰ ﺳﻨﺔ 768 ﻫـ ﻭﺍﻟﻔﻘﻴﻪ ﻳﻮﺳﻒ ﺍﻷﺭﺩﺑﻴﻠﻲ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺍﻟﻤﺘﻮﻓﻰ ﺳﻨﺔ 799 ﻫـ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﺃﺷﻴﺎﺀ ﻛﺜﻴﺮﺓ ﻓﻲ ﺑﻴﺎﻥ ﺍﻷﻟﻔﺎﻅ ﺍﻟﻤﻜﻔﺮﺓ ﻧﻘﻠﻮﻫﺎ ﻋﻦ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﻓﻴﻨﺒﻐﻲ ﺍﻹﻃﻼﻉ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻓﺈﻥ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﻌﺮﻑ ﺍﻟﺸﺮ ﻳﻘﻊ ﻓﻴﻪ .
*Nasehat*
Para ulama terkemuka telah mengungkapkan banyak sekali dari contoh kata-kata yang merupakan kekufuran (al-Alfazh al-kufriyyah), di antaranya al-Qadli ‘Iyadl al-Maliki (w 544 H), Badr ar-Rasyid al-Hanafi; salah seorang ahli fiqih terkemuka dalam madzhab Hanafi (w 768 H), Yusuf al-Ardabili asy-Syafi’i; ulama terkemuka madzhab Syafi’i (w 799 H), dan para ulama terkemuka lainnya; di mana para ulama ini telah mengutip contoh kata-kata kufur tersebut dari para Imam dan Ulama terkemuka sebelumnya, dengan demikian wajib bagi kita mengenal dan mempelajari apa yang telah mereka tuliskan, karena sesungguhnya seorang yang tidak mengetahui keburukan maka mau tidak mau suatu saat ia pasti terjatuh di dalamnya.
ang murtad. Orang murtad ialah orang yang menjadi kafir setelah Islam. Maka barangsiapa menyekutukan Allah, atau mengingkari ketuhanan-Nya, atau keesaan-Nya (artinya bahwa Allah tidak menyerupai segala apapun dari makhluk-Nya), atau mengingkari salah satu sifat-dari sifat-sifat-Nya, atau menjadikan bagi-Nya seorang istri, atua seorang anak, atau mengingkari seorang Nabi (yang telah disepakati kenabiannya), atau mengingkari salah satu kitab dari kitab-kitab Allah (yang diturunkan kepada sebagian Nabi-Nya), atau mengingkari sesuatu yang (nyata) sebagai bagian dari kitab-Nya tersebut, atau mencaci-maki Allah, atau mencai-maki Rasul-Nya; maka orang tersebut telah menjadi kafir. Dan barangsiapa mengingkari kewajiban shalat lima waktu, atau sesuatu yang jelas merupakan bagian dari shalat lima waktu tersebut, atau menghalalkan perbuatan zina, atau khamar, atau menghalalkan beberapa perkara yang nyata sebagai perkara-perkara haram dan telah disepakati tentang keharamannya; maka jika karena (benar-benar) bodoh maka harus diajarkan kepadanya, namun jika ia telah tahu maka ia menjadi kafir”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻔﻘﻴﻪ ﺍﻟﺤﻨﺒﻠﻲ ﻣﻨﺼﻮﺭ ﺑﻦ ﺇﺩﺭﻳﺲ ﺍﻟﺒﻬﻮﺗﻲ ( ﺕ 1051 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺷﺮﺡ ﻣﻨﺘﻬﻰ ﺍﻹﺭﺍﺩﺍﺕ، ﺝ 3/386 ، ﻣﺎ ﻧﺼﻪ ": ﺑﺎﺏ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻤﺮﺗﺪ، ﻭﻫﻮ ﻟﻐﺔ ﺍﻟﺮﺍﺟﻊ ، .. ﻭﺷﺮﻋﺎ ﻣﻦ ﻛﻔﺮ ﻭﻟﻮ ﻣﻤﻴﺰﺍ ﺑﻨﻄﻖ ﺃﻭ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩ ﺃﻭ ﻓﻌﻞ ﺃﻭ ﺷﻚ ﻃﻮﻋﺎ ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻫﺎﺯﻻ ﺑﻌﺪ ﺇﺳﻼﻣﻪ " ﺍﻫـ .
Syekh Manshur ibn Idris al-Buhuti, salah seorang ahli fiqih terkemuka dalam madzhab Hanbali (w 1051 H), dalam kitab Syarh Muntaha al-Iradat, j. 3, h. 386 H, berkata: “Bab hukum seorang murtad. Murtad dalam makna bahasa adalah seorang yang kembali (dari Islam). Dan menurut syari’at adalah seorang yang menjadi kafir; walaupun ia seorang yang berumur mumayyiz, yang kekufurannya tersebut terjadi karena kata-kata, keyakinan (rusak), perbuatan, atau karena ia ragu-ragu; yang itu semua terjadi tanpa adanya paksaan, walaupun itu semua terjadi pada dirinya dan dia dalam keadaan bercanda; (maka ia menjadi kafir) setelah ia dalam Islam”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺃﻳﻀﺎ ﻓﻲ ﻛﺸﺎﻑ ﺍﻟﻘﻨﺎﻉ ﻋﻦ ﻣﺘﻦ ﺍﻻﻗﻨﺎﻉ ﺝ 6/178 ﻣﺎ ﻧﺼﻪ : " ﻭﺗﻮﺑﺔ ﺍﻟﻤﺮﺗﺪ ﺇﺳﻼﻣﻪ ﺑﺄﻥ ﻳﺸﻬﺪ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ... ﻭﻫﺬﺍ ﻳﺜﺒﺖ ﺑﻪ ﺇﺳﻼﻡ ﺍﻟﻜﺎﻓﺮ ﺍﻷﺻﻠﻲ ﻓﻜﺬﺍ ﺍﻟﻤﺮﺗﺪ " ﺍﻫـ
Dalam kitab Kasy-syaf al-Qina’ ‘An Matn al-Iqna’, j. 6, h. 178, Syekh al-Buhuti berkata: “Taubat seorang yang murtad adalah dengan masuk Islam kembali dengan mengucapkan dua kalimat syahadat (Asyhadu an La Ilaha Illallah Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah). Hanya dengan jalan (mengucapkan dua syahadat ini) seorang kafir asli (yaitu seorang yang sebelumnya tidak pernah menjadi muslim) menjadi tetap (dianggap benar) keimananya, maka demikian pula hanya dengan jalan ini (mengucapkan dua kalimat syahadat) seorang murtad menjadi sah Islamnya”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺑﺪﺭ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺑﻦ ﺑﻠﺒﺎﻥ ﺍﻟﺪﻣﺸﻘﻲ ﺍﻟﺤﻨﺒﻠﻲ ( ﺕ 1083 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﻣﺨﺘﺼﺮ ﺍﻻﻓﺎﺩﺍﺕ ﻓﻲ ﺭﺑﻊ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﻭﺍﻵﺩﺍﺏ ﻭﺯﻳﺎﺩﺍﺕ، ﺹ 514/ ﻣﺎ ﻧﺼﻪ ": ﻓﺼﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺮﺗﺪ : ﻭﻫﻮ ﻣﻦ ﻛَﻔَﺮَ ﻭﻟﻮ ﻣﻤﻴﺰﺍ ﻃﻮﻋﺎ ﻭﻟﻮ ﻫﺎﺯﻻً ﺑﻌﺪ ﺇﺳﻼﻣﻪ " ﺍﻫـ .
Syekh Muhammad ibn Badriddin ibn Balibban ad-Damasyqi al-Hanbali (w 1083 H) dalam kitab Mukhtashar al-Ibadat Fi Rub’i al-‘Ibadat Wa al-Adab Wa Ziyadat, h. 514, berkata: “Pasal; Tentang hukum seorang murtad. Seorang yang murtad ialah seorang yang menjadi kafir/keluar dari Islam walaupun ia seorang yang baru berumur mumayyiz; tanpa ada yang memaksanya, walaupun kejadian kufur tersebut dalam keadaan bercanda; (maka ia menjadi kafir) setelah ia dalam Islam”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺯﻳﻦ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻔﺮﺝ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﺷﻬﺎﺏ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺑﻦ ﺃﺣﻤﺪ ﺍﺑﻦ ﺭﺟﺐ ﺍﻟﺤﻨﺒﻠﻲ ( ﺕ 795 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺟﺎﻣﻊ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﻭﺍﻟﺤﻜﻢ، ﺹ 148/ ، ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺴﺎﺩﺱ ﻋﺸﺮ : " ﻓﺄﻣﺎ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﻛﻔﺮ ﺃﻭ ﺭﺩﺓ ﺃﻭ ﻗﺘﻞ ﻧﻔﺲ ﺃﻭ ﺃﺧﺬ ﻣﺎﻝ ﺑﻐﻴﺮ ﺣﻖ ﻭﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ ﻓﻬﺬﺍ ﻻ ﻳﺸﻚ ﻣﺴﻠﻢ ﺃﻧﻬﻢ ﻟﻢ ﻳﺮﻳﺪﻭﺍ ﺃﻥ ﺍﻟﻐﻀﺒﺎﻥ ﻻ ﻳﺆﺍﺧﺬ ﺑﻪ " ﺍﻫـ .
Imam Zainuddin Abu al-Faraj Abdurrahman ibn Syihabiddin ibn Ahmad ibn Rajab al-Hanbali (w 795 H), dalam kitam Jami’ al-‘Ulum Wa al-Hikam, h. 148, pada hadits ke 16, berkata: “...adapun perkara yang terjadi; semacam kufur, riddah/keluar dari Islam, membunuh, mencuri tanpa hak, dan semacam itu; maka perkara-perkara ini tidak ada
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻔﻘﻴﻪ ﺍﻟﺤﻨﺒﻠﻲ ﻣﻨﺼﻮﺭ ﺑﻦ ﺇﺩﺭﻳﺲ ﺍﻟﺒﻬﻮﺗﻲ ( ﺕ 1051 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺷﺮﺡ ﻣﻨﺘﻬﻰ ﺍﻹﺭﺍﺩﺍﺕ، ﺝ 3/386 ، ﻣﺎ ﻧﺼﻪ ": ﺑﺎﺏ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻤﺮﺗﺪ، ﻭﻫﻮ ﻟﻐﺔ ﺍﻟﺮﺍﺟﻊ ، .. ﻭﺷﺮﻋﺎ ﻣﻦ ﻛﻔﺮ ﻭﻟﻮ ﻣﻤﻴﺰﺍ ﺑﻨﻄﻖ ﺃﻭ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩ ﺃﻭ ﻓﻌﻞ ﺃﻭ ﺷﻚ ﻃﻮﻋﺎ ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻫﺎﺯﻻ ﺑﻌﺪ ﺇﺳﻼﻣﻪ " ﺍﻫـ .
Syekh Manshur ibn Idris al-Buhuti, salah seorang ahli fiqih terkemuka dalam madzhab Hanbali (w 1051 H), dalam kitab Syarh Muntaha al-Iradat, j. 3, h. 386 H, berkata: “Bab hukum seorang murtad. Murtad dalam makna bahasa adalah seorang yang kembali (dari Islam). Dan menurut syari’at adalah seorang yang menjadi kafir; walaupun ia seorang yang berumur mumayyiz, yang kekufurannya tersebut terjadi karena kata-kata, keyakinan (rusak), perbuatan, atau karena ia ragu-ragu; yang itu semua terjadi tanpa adanya paksaan, walaupun itu semua terjadi pada dirinya dan dia dalam keadaan bercanda; (maka ia menjadi kafir) setelah ia dalam Islam”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺃﻳﻀﺎ ﻓﻲ ﻛﺸﺎﻑ ﺍﻟﻘﻨﺎﻉ ﻋﻦ ﻣﺘﻦ ﺍﻻﻗﻨﺎﻉ ﺝ 6/178 ﻣﺎ ﻧﺼﻪ : " ﻭﺗﻮﺑﺔ ﺍﻟﻤﺮﺗﺪ ﺇﺳﻼﻣﻪ ﺑﺄﻥ ﻳﺸﻬﺪ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ... ﻭﻫﺬﺍ ﻳﺜﺒﺖ ﺑﻪ ﺇﺳﻼﻡ ﺍﻟﻜﺎﻓﺮ ﺍﻷﺻﻠﻲ ﻓﻜﺬﺍ ﺍﻟﻤﺮﺗﺪ " ﺍﻫـ
Dalam kitab Kasy-syaf al-Qina’ ‘An Matn al-Iqna’, j. 6, h. 178, Syekh al-Buhuti berkata: “Taubat seorang yang murtad adalah dengan masuk Islam kembali dengan mengucapkan dua kalimat syahadat (Asyhadu an La Ilaha Illallah Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah). Hanya dengan jalan (mengucapkan dua syahadat ini) seorang kafir asli (yaitu seorang yang sebelumnya tidak pernah menjadi muslim) menjadi tetap (dianggap benar) keimananya, maka demikian pula hanya dengan jalan ini (mengucapkan dua kalimat syahadat) seorang murtad menjadi sah Islamnya”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺑﺪﺭ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺑﻦ ﺑﻠﺒﺎﻥ ﺍﻟﺪﻣﺸﻘﻲ ﺍﻟﺤﻨﺒﻠﻲ ( ﺕ 1083 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﻣﺨﺘﺼﺮ ﺍﻻﻓﺎﺩﺍﺕ ﻓﻲ ﺭﺑﻊ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﻭﺍﻵﺩﺍﺏ ﻭﺯﻳﺎﺩﺍﺕ، ﺹ 514/ ﻣﺎ ﻧﺼﻪ ": ﻓﺼﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺮﺗﺪ : ﻭﻫﻮ ﻣﻦ ﻛَﻔَﺮَ ﻭﻟﻮ ﻣﻤﻴﺰﺍ ﻃﻮﻋﺎ ﻭﻟﻮ ﻫﺎﺯﻻً ﺑﻌﺪ ﺇﺳﻼﻣﻪ " ﺍﻫـ .
Syekh Muhammad ibn Badriddin ibn Balibban ad-Damasyqi al-Hanbali (w 1083 H) dalam kitab Mukhtashar al-Ibadat Fi Rub’i al-‘Ibadat Wa al-Adab Wa Ziyadat, h. 514, berkata: “Pasal; Tentang hukum seorang murtad. Seorang yang murtad ialah seorang yang menjadi kafir/keluar dari Islam walaupun ia seorang yang baru berumur mumayyiz; tanpa ada yang memaksanya, walaupun kejadian kufur tersebut dalam keadaan bercanda; (maka ia menjadi kafir) setelah ia dalam Islam”.
____________________________
ﻭﻗﺎﻝ ﺯﻳﻦ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻔﺮﺝ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﺷﻬﺎﺏ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺑﻦ ﺃﺣﻤﺪ ﺍﺑﻦ ﺭﺟﺐ ﺍﻟﺤﻨﺒﻠﻲ ( ﺕ 795 ﻫـ ) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺟﺎﻣﻊ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﻭﺍﻟﺤﻜﻢ، ﺹ 148/ ، ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺴﺎﺩﺱ ﻋﺸﺮ : " ﻓﺄﻣﺎ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﻛﻔﺮ ﺃﻭ ﺭﺩﺓ ﺃﻭ ﻗﺘﻞ ﻧﻔﺲ ﺃﻭ ﺃﺧﺬ ﻣﺎﻝ ﺑﻐﻴﺮ ﺣﻖ ﻭﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ ﻓﻬﺬﺍ ﻻ ﻳﺸﻚ ﻣﺴﻠﻢ ﺃﻧﻬﻢ ﻟﻢ ﻳﺮﻳﺪﻭﺍ ﺃﻥ ﺍﻟﻐﻀﺒﺎﻥ ﻻ ﻳﺆﺍﺧﺬ ﺑﻪ " ﺍﻫـ .
Imam Zainuddin Abu al-Faraj Abdurrahman ibn Syihabiddin ibn Ahmad ibn Rajab al-Hanbali (w 795 H), dalam kitam Jami’ al-‘Ulum Wa al-Hikam, h. 148, pada hadits ke 16, berkata: “...adapun perkara yang terjadi; semacam kufur, riddah/keluar dari Islam, membunuh, mencuri tanpa hak, dan semacam itu; maka perkara-perkara ini tidak ada
seorang muslim-pun yang meragukan bahwa kejadian itu semua walaupun terjadi saat seseorang dalam keadaan marah maka tetap saja ia dikenakan hukuman”.
___________________________
*ﻗﻮﺍﻋﺪ ﻣﻔﻴﺪﺓ :*
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ :
ﺃ - ﻣﻦ ﺗﻠﻔﻆ ﺑﻜﻼﻡ ﻛﻔﺮ ﺃﻭ ﻓﻌﻞ ﻓﻌﻼ ﻛﻔﺮﻳﺎ ﺃﻭ ﺍﻋﺘﻘﺪ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩﺍ ﻛﻔﺮﻳﺎ، ﻭﺟﻬﻞ ﺃﻥ ﻣﺎ ﺣﺼﻞ ﻣﻨﻪ ﻛﻔﺮ ﻻ ﻳﻌﺬﺭ ﺑﻞ ﻳﺤﻜﻢ ﺑﻜﻔﺮﻩ، ﻗﺎﻟﻪ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﻴﺎﺽ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻲ ﻭﺍﻟﺸﻴﺦ ﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﺍﻟﻬﻴﺘﻤﻲ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻋﺪﺩ ﻣﻦ ﻓﻘﻬﺎﺀ ﺍﻟﺤﻨﻔﻴﺔ .
*Kaedah-Kaedah Yang Sangat Berfaedah:*
Para ulama berkata:
A. Barangsiapa berkata-kata kufur (sharih/jelas), atau berbuat perbuatan kufur, atau meyakini keyakinan kufur; walaupun orang ini tidak mengetahui bahwa apa yang terjadi pada dirinya tersebut sebagai kekufuran maka orang seperti ini tidak dapat dimaafkan, ia tetap dihukumi telah menjadi kafir. Demikian inilah yang telah dinyatakan oleh al-Imam al-Qadli ‘Iyadl, Ibn Hajar al-Haitami, dan berbagai ulama lainnya dari ulama madzhab Hanafi.
____________________________
ﺏ - ﺍﻟﻠﻔﻆ ﺍﻟﺼﺮﻳﺢ ﻻ ﻳﺆﻭﻝ، ﻗﺎﻝ ﺣﺒﻴﺐ ﺑﻦ ﺭﺑﻴﻊ ﺃﺣﺪ ﻛﺒﺎﺭ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ ": ﺍﺩﻋﺎﺀ ﺍﻟﺘﺄﻭﻳﻞ ﻓﻲ ﻟﻔﻆ ﺻﺮﺍﺡ ﻻ ﻳﻘﺒﻞ " ﺍﻫـ . ﻧﻘﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﻴﺎﺽ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﻔﺎ [ ﺝ 2/217 ] . ﻭﻗﺎﻝ ﺇﻣﺎﻡ ﺍﻟﺤﺮﻣﻴﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻤﻠﻚ ﺍﻟﺠﻮﻳﻨﻲ ( ﺕ 478 ﻫـ ) ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﻧﻬﺎﻳﺔ ﺍﻟﻤﺤﺘﺎﺝ [ ﺝ 7/414 ] : " ﺍﺗﻔﻖ ﺍﻷﺻﻮﻟﻴﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻣﻦ ﻧﻄﻖ ﺑﻜﻠﻤﺔ ﺍﻟﺮﺩﺓ ﻭﺯﻋﻢ ﺃﻧﻪ ﺃﺿﻤﺮ ﺗﻮﺭﻳﺔ ﻛﻔّﺮ ﻇﺎﻫﺮﺍ ﻭﺑﺎﻃﻨﺎ " ﺍﻫـ ﻭﺃﻗﺮﻫﻢ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ . ﻳﻌﻨﻲ ﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﺗﻮﺭﻳﺘﻪ ﺑﻌﻴﺪﺓ، ﻷﻥ ﺍﻟﺘﻮﺭﻳﺔ ﺍﻟﻘﺮﻳﺒﺔ ﺗﺪﻓﻊ ﺍﻟﺘﻜﻔﻴﺮ ﻋﻦ ﺻﺎﺣﺒﻬﺎ ﻟﻜﻮﻥ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻏﻴﺮ ﺻﺮﻳﺢ .
B. Ucapan kufur yang jelas (sharih) tidak dapat menerima takwil. Salah seorang ulama terkemuka dalam madzhab Maliki; yaitu Syekh Hubaib ibn Rabi’ berkata: “Mengaku-aku adanya takwil dalam dalam ucapan yang jelas dan nyata (sharih) maka pengakuannya tersebut tidak dapat diterima”. (Perkataan Syekh Hubaib ini dikutip oleh al-Imam al-Qadli ‘Iyadl dalam kitab asy-Syifa Bi Ta’rif Huquq al-musthafa, j. 2, h. 217).
Imam al-Haramain Abd al-Malik al-Juwaini (w 478 H), --sebagaimana dikutip dalam kitab Nihayah al-muhtaj, j. 7, h. 414--, berkata: “Para ulama ahli Ushul telah sepakat bahwa apa bila ada seorang berkata-kata kufur (yang jelas), walaupun ia mengaku bahwa kata-katanya tersebut mengandung makna lain yang jauh (Tauriyah) maka orang tersebut dikafirkan secara zahir dan batin”. Para ulama telah sepakat tentang kekufuran orang yang mengungkapkan kata-kata kufur seperti ini. Dan yang dimaksud tauriyah yang tidak dianggap dalam hal ini adalah pengakuan makna atau takwil yang sangat jauh dari makna zahirnya. Adapun tauriyah yang dianggap dekat maknanya; artinya takwil tersebut masih dalam kandungan makna zahirnya maka dalam hal ini seorang yang mengungkapkannya tidak dikafirkan; karena dengan demikian berarti ucapannya tersebut tidak dikategorikan ucapan yang sharih.
____________________________
ﺝ - ﻭﺃﻣﺎ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻟﻴﺲ ﺻﺮﻳﺤﺎ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻟﻪ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﻣﻌﻨﻰ، ﺑﻌﺾ ﻣﻌﺎﻧﻴﻪ ﻛﻔﺮﻱ ﻭﺑﻌﻀﻬﺎ ﻏﻴﺮ ﻛﻔﺮ، ﻻ ﻳﺤﻜﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺘﻠﻔﻆ ﺑﻪ ﺑﺎﻟﻜﻔﺮ ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﻋﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﺃﺭﺍﺩ ﺑﻬﺬﺍ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﺍﻟﻜﻔﺮﻱ .
C. Adapun jika kata-kata yang diucapkannya tersebut adalah kata-kata yang tidak sharih; artinya kata-kata yang mengandung banyak makna; sebagian maknanya ada yang kufur, dan sebagian lainnya bukan kufur; maka seorang yang mengucapkan kata-kata semacam ini tidak boleh dihukumi sebagai orang kafir; kecuali apa bila ia mengungkapkan kata-kata tersebut dan dia bertujuan dengan kata-katanya itu terhadap makna kufur, maka ia dihukumi kafir.
____________________________
*ﺗﻮﺑﺔ ﺍﻟﻤﺮﺗﺪ*
ﻭﺃﻣﺎ ﺗﻮﺑﺔ ﺍﻟﻤﺮﺗﺪ ﻓﻬﻲ ﺍﻹﻗﻼﻉ ﻋﻦ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻓﻮﺭﺍ ﻭﺍﻟﻨﻄﻖ ﺑﺎﻟﺸﻬﺎﺩﺗﻴﻦ ﺑﻘﻮﻝ ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ، ﻭﻻ ﻳﻨﻔﻌﻪ ﻗﻮﻝ ﺃﺳﺘﻐﻔﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺸﻬﺎﺩﺗﻴﻦ، ﻛﻤﺎ ﻧﻘﻞ ﺍﻹﺟﻤﺎﻉ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﻤﺠﺘﻬﺪ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﻤﻨﺬﺭ ﺍﻟﻤﺘﻮﻓﻰ ﺳﻨﺔ 318 ﻫـ . ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﺍﻹﺟﻤﺎﻉ ﺹ 144/ .
*Taubat Orang Murtad*
Adapun cara taubat bagi seorang yang murtad adalah dengan melepaskan kekufuran seketika itu pula dan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat; yaitu dengan mengatakan:
ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ
Tidak cukup dan tidak memberikan manfaat baginya jika ia hanya mengucapkan istigfar saja sebelum ia mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut. Ketetapan ini merupakan ijma’ (konsensus) para ulama sebagaimana telah dikutip oleh Imam Mujtahid terkemuka; al-Imam Abu Bakr ib
___________________________
*ﻗﻮﺍﻋﺪ ﻣﻔﻴﺪﺓ :*
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ :
ﺃ - ﻣﻦ ﺗﻠﻔﻆ ﺑﻜﻼﻡ ﻛﻔﺮ ﺃﻭ ﻓﻌﻞ ﻓﻌﻼ ﻛﻔﺮﻳﺎ ﺃﻭ ﺍﻋﺘﻘﺪ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩﺍ ﻛﻔﺮﻳﺎ، ﻭﺟﻬﻞ ﺃﻥ ﻣﺎ ﺣﺼﻞ ﻣﻨﻪ ﻛﻔﺮ ﻻ ﻳﻌﺬﺭ ﺑﻞ ﻳﺤﻜﻢ ﺑﻜﻔﺮﻩ، ﻗﺎﻟﻪ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﻴﺎﺽ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻲ ﻭﺍﻟﺸﻴﺦ ﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﺍﻟﻬﻴﺘﻤﻲ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻋﺪﺩ ﻣﻦ ﻓﻘﻬﺎﺀ ﺍﻟﺤﻨﻔﻴﺔ .
*Kaedah-Kaedah Yang Sangat Berfaedah:*
Para ulama berkata:
A. Barangsiapa berkata-kata kufur (sharih/jelas), atau berbuat perbuatan kufur, atau meyakini keyakinan kufur; walaupun orang ini tidak mengetahui bahwa apa yang terjadi pada dirinya tersebut sebagai kekufuran maka orang seperti ini tidak dapat dimaafkan, ia tetap dihukumi telah menjadi kafir. Demikian inilah yang telah dinyatakan oleh al-Imam al-Qadli ‘Iyadl, Ibn Hajar al-Haitami, dan berbagai ulama lainnya dari ulama madzhab Hanafi.
____________________________
ﺏ - ﺍﻟﻠﻔﻆ ﺍﻟﺼﺮﻳﺢ ﻻ ﻳﺆﻭﻝ، ﻗﺎﻝ ﺣﺒﻴﺐ ﺑﻦ ﺭﺑﻴﻊ ﺃﺣﺪ ﻛﺒﺎﺭ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ ": ﺍﺩﻋﺎﺀ ﺍﻟﺘﺄﻭﻳﻞ ﻓﻲ ﻟﻔﻆ ﺻﺮﺍﺡ ﻻ ﻳﻘﺒﻞ " ﺍﻫـ . ﻧﻘﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﻴﺎﺽ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﻔﺎ [ ﺝ 2/217 ] . ﻭﻗﺎﻝ ﺇﻣﺎﻡ ﺍﻟﺤﺮﻣﻴﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻤﻠﻚ ﺍﻟﺠﻮﻳﻨﻲ ( ﺕ 478 ﻫـ ) ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﻧﻬﺎﻳﺔ ﺍﻟﻤﺤﺘﺎﺝ [ ﺝ 7/414 ] : " ﺍﺗﻔﻖ ﺍﻷﺻﻮﻟﻴﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻣﻦ ﻧﻄﻖ ﺑﻜﻠﻤﺔ ﺍﻟﺮﺩﺓ ﻭﺯﻋﻢ ﺃﻧﻪ ﺃﺿﻤﺮ ﺗﻮﺭﻳﺔ ﻛﻔّﺮ ﻇﺎﻫﺮﺍ ﻭﺑﺎﻃﻨﺎ " ﺍﻫـ ﻭﺃﻗﺮﻫﻢ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ . ﻳﻌﻨﻲ ﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﺗﻮﺭﻳﺘﻪ ﺑﻌﻴﺪﺓ، ﻷﻥ ﺍﻟﺘﻮﺭﻳﺔ ﺍﻟﻘﺮﻳﺒﺔ ﺗﺪﻓﻊ ﺍﻟﺘﻜﻔﻴﺮ ﻋﻦ ﺻﺎﺣﺒﻬﺎ ﻟﻜﻮﻥ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻏﻴﺮ ﺻﺮﻳﺢ .
B. Ucapan kufur yang jelas (sharih) tidak dapat menerima takwil. Salah seorang ulama terkemuka dalam madzhab Maliki; yaitu Syekh Hubaib ibn Rabi’ berkata: “Mengaku-aku adanya takwil dalam dalam ucapan yang jelas dan nyata (sharih) maka pengakuannya tersebut tidak dapat diterima”. (Perkataan Syekh Hubaib ini dikutip oleh al-Imam al-Qadli ‘Iyadl dalam kitab asy-Syifa Bi Ta’rif Huquq al-musthafa, j. 2, h. 217).
Imam al-Haramain Abd al-Malik al-Juwaini (w 478 H), --sebagaimana dikutip dalam kitab Nihayah al-muhtaj, j. 7, h. 414--, berkata: “Para ulama ahli Ushul telah sepakat bahwa apa bila ada seorang berkata-kata kufur (yang jelas), walaupun ia mengaku bahwa kata-katanya tersebut mengandung makna lain yang jauh (Tauriyah) maka orang tersebut dikafirkan secara zahir dan batin”. Para ulama telah sepakat tentang kekufuran orang yang mengungkapkan kata-kata kufur seperti ini. Dan yang dimaksud tauriyah yang tidak dianggap dalam hal ini adalah pengakuan makna atau takwil yang sangat jauh dari makna zahirnya. Adapun tauriyah yang dianggap dekat maknanya; artinya takwil tersebut masih dalam kandungan makna zahirnya maka dalam hal ini seorang yang mengungkapkannya tidak dikafirkan; karena dengan demikian berarti ucapannya tersebut tidak dikategorikan ucapan yang sharih.
____________________________
ﺝ - ﻭﺃﻣﺎ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻟﻴﺲ ﺻﺮﻳﺤﺎ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻟﻪ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﻣﻌﻨﻰ، ﺑﻌﺾ ﻣﻌﺎﻧﻴﻪ ﻛﻔﺮﻱ ﻭﺑﻌﻀﻬﺎ ﻏﻴﺮ ﻛﻔﺮ، ﻻ ﻳﺤﻜﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺘﻠﻔﻆ ﺑﻪ ﺑﺎﻟﻜﻔﺮ ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﻋﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﺃﺭﺍﺩ ﺑﻬﺬﺍ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﺍﻟﻜﻔﺮﻱ .
C. Adapun jika kata-kata yang diucapkannya tersebut adalah kata-kata yang tidak sharih; artinya kata-kata yang mengandung banyak makna; sebagian maknanya ada yang kufur, dan sebagian lainnya bukan kufur; maka seorang yang mengucapkan kata-kata semacam ini tidak boleh dihukumi sebagai orang kafir; kecuali apa bila ia mengungkapkan kata-kata tersebut dan dia bertujuan dengan kata-katanya itu terhadap makna kufur, maka ia dihukumi kafir.
____________________________
*ﺗﻮﺑﺔ ﺍﻟﻤﺮﺗﺪ*
ﻭﺃﻣﺎ ﺗﻮﺑﺔ ﺍﻟﻤﺮﺗﺪ ﻓﻬﻲ ﺍﻹﻗﻼﻉ ﻋﻦ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻓﻮﺭﺍ ﻭﺍﻟﻨﻄﻖ ﺑﺎﻟﺸﻬﺎﺩﺗﻴﻦ ﺑﻘﻮﻝ ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ، ﻭﻻ ﻳﻨﻔﻌﻪ ﻗﻮﻝ ﺃﺳﺘﻐﻔﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺸﻬﺎﺩﺗﻴﻦ، ﻛﻤﺎ ﻧﻘﻞ ﺍﻹﺟﻤﺎﻉ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﻤﺠﺘﻬﺪ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﻤﻨﺬﺭ ﺍﻟﻤﺘﻮﻓﻰ ﺳﻨﺔ 318 ﻫـ . ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﺍﻹﺟﻤﺎﻉ ﺹ 144/ .
*Taubat Orang Murtad*
Adapun cara taubat bagi seorang yang murtad adalah dengan melepaskan kekufuran seketika itu pula dan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat; yaitu dengan mengatakan:
ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ
Tidak cukup dan tidak memberikan manfaat baginya jika ia hanya mengucapkan istigfar saja sebelum ia mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut. Ketetapan ini merupakan ijma’ (konsensus) para ulama sebagaimana telah dikutip oleh Imam Mujtahid terkemuka; al-Imam Abu Bakr ib