*Kunjungi toko kami di Shopee!* nurulhikmahpress: https://shopee.co.id/nurulhikmahpress?v=246&smtt=0.0.3
📡📡📡
*Isinya "daging" semua. Selamat menikmati!! Simak yang sabar*🙏🏻
https://youtu.be/jw2EMx9FipM
______
*Nurul Hikmah Press*
wa.me/c/6287878023938
*Isinya "daging" semua. Selamat menikmati!! Simak yang sabar*🙏🏻
https://youtu.be/jw2EMx9FipM
______
*Nurul Hikmah Press*
wa.me/c/6287878023938
YouTube
Penjelasan Risalah Ringkas Al-Aqidah Al-Munjiyah Karya Syaikh Abdullah al-Harari
Kajian Tauhid Dan Fiqh
bersama Ust. DR. H. Kholilurrohman Lc. MA
@Masjid Al-Maidah CBD Ciledug Tangerang
========================================
Media Sosial :
Facebook Page Aqidah Ahlussunnah: Allah Ada Tanpa Tempat :
https://www.facebook.com/aboufaateh/…
bersama Ust. DR. H. Kholilurrohman Lc. MA
@Masjid Al-Maidah CBD Ciledug Tangerang
========================================
Media Sosial :
Facebook Page Aqidah Ahlussunnah: Allah Ada Tanpa Tempat :
https://www.facebook.com/aboufaateh/…
*Simak tulisan Syekh Nawawi al-Bantani dalam karyanya _Syarh Safînah al-Najâ:*
من ترك أربع كلمات كمل إيمانه، أين وكيف ومتى وكم، فإن قال لك: أين الله؟ فجوابه: ليس في مكان ولا يمر عليه زمان، وإن قال لك: كيف الله؟ فقل ليس كمثله شيء، وإن قال لك: متى الله؟ فقل له أول بلا ابتداء وءاخر بلا انتهاء، وإن قال لك قائل: كم الله؟ فقل له: واحد لا من قلة (قل هو الله أحد)
*(Nawawi Muhammad al-Jawi, Syarh Kayifah al-Sajâ ‘Alâ Safînah al-Najâ, Indonesia: Dar Ihya al-kutub al-‘Arabiyyah, t. th. hal. 9)*
“Barangsiapa meninggalkan empat kalimat maka sempurnalah iman-nya; di mana, bagaimana, kapan, dan berapa. Maka bila seseorang berkata bagimu:
*Di mana Allah?*
Maka jawabannya:
*Ada tanpa tempat dan tidak dilalui oleh zaman*
Jika ia berkata:
*Bagaimana Allah?*
Maka katakan olehmu:
*Dia Allah tidak menyerupai suatu apapun*.
Jika ia berkata:
*Kapan adanya Allah?*
Maka katakan olehmu baginya:
*Dia Allah maha Awal tanpa permulaan, dan Dia Allah maha Akhir tanpa penghabisan*
Jika ia berkata bagimu:
*Berapa Allah?*
Maka katakan baginya:
*Allah Esa bukan karena sedikit (Katakan olehmu Dia Allah yang maha Esa; tidak ada keserupaan bagi-Nya)”*
Tulisan beliau ini sangat jelas dalam menyatakan bahwa Allah ada tanpa tempat. Ini menunjukkan sikap pundamental beliau dalam memegang ortodoksi, di samping beliau juga seorang sufi.
Dalam karya lainnya; _Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq Syarh Sullam al-Tawfîq_, beliau menulis:
الأحد أى الذي لا يتجزأ ولا ينقسم فهو واحد في ذاته وصفاته ولا يحل في محل
*(Nawawi Muhammad al-Jawi, Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq Fî Syarh Sullam al-Tawfîq, Semarang: Cet. Usaha Keluarga, t. th. hal. 4)*
_*“(Dia Allah) al-Ahad artinya Yang tidak terbagi-bagi dan tidak terpisah-pisah. Maka Dia Allah maha Esa; tidak ada keserupaan pada Dzat-Nya, pada Sifat-sifat-Nya, dan Dia tidak bertempat pada suatu ruang (ada tanpa tempat)”*_
______
*Nurul Hikmah Press*
https://shopee.co.id/product/289903238/7843935508?smtt=0.0.9
من ترك أربع كلمات كمل إيمانه، أين وكيف ومتى وكم، فإن قال لك: أين الله؟ فجوابه: ليس في مكان ولا يمر عليه زمان، وإن قال لك: كيف الله؟ فقل ليس كمثله شيء، وإن قال لك: متى الله؟ فقل له أول بلا ابتداء وءاخر بلا انتهاء، وإن قال لك قائل: كم الله؟ فقل له: واحد لا من قلة (قل هو الله أحد)
*(Nawawi Muhammad al-Jawi, Syarh Kayifah al-Sajâ ‘Alâ Safînah al-Najâ, Indonesia: Dar Ihya al-kutub al-‘Arabiyyah, t. th. hal. 9)*
“Barangsiapa meninggalkan empat kalimat maka sempurnalah iman-nya; di mana, bagaimana, kapan, dan berapa. Maka bila seseorang berkata bagimu:
*Di mana Allah?*
Maka jawabannya:
*Ada tanpa tempat dan tidak dilalui oleh zaman*
Jika ia berkata:
*Bagaimana Allah?*
Maka katakan olehmu:
*Dia Allah tidak menyerupai suatu apapun*.
Jika ia berkata:
*Kapan adanya Allah?*
Maka katakan olehmu baginya:
*Dia Allah maha Awal tanpa permulaan, dan Dia Allah maha Akhir tanpa penghabisan*
Jika ia berkata bagimu:
*Berapa Allah?*
Maka katakan baginya:
*Allah Esa bukan karena sedikit (Katakan olehmu Dia Allah yang maha Esa; tidak ada keserupaan bagi-Nya)”*
Tulisan beliau ini sangat jelas dalam menyatakan bahwa Allah ada tanpa tempat. Ini menunjukkan sikap pundamental beliau dalam memegang ortodoksi, di samping beliau juga seorang sufi.
Dalam karya lainnya; _Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq Syarh Sullam al-Tawfîq_, beliau menulis:
الأحد أى الذي لا يتجزأ ولا ينقسم فهو واحد في ذاته وصفاته ولا يحل في محل
*(Nawawi Muhammad al-Jawi, Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq Fî Syarh Sullam al-Tawfîq, Semarang: Cet. Usaha Keluarga, t. th. hal. 4)*
_*“(Dia Allah) al-Ahad artinya Yang tidak terbagi-bagi dan tidak terpisah-pisah. Maka Dia Allah maha Esa; tidak ada keserupaan pada Dzat-Nya, pada Sifat-sifat-Nya, dan Dia tidak bertempat pada suatu ruang (ada tanpa tempat)”*_
______
*Nurul Hikmah Press*
https://shopee.co.id/product/289903238/7843935508?smtt=0.0.9
*Tafsir Beberapa Ayat al-Qur’an Yang Sering Dijadikan Rujukan Oleh Kaum Hulûl dan Wahdah al-Wujûd*
______
*(Satu); Firman Allah:*
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ (الحديد: 4)
Ayat ini oleh kaum hulûl dan ittihâd seringkali dijadikan sandaran untuk menetapkan keyakinan mereka. Ayat ini termasuk ayat mutasyâbihât yang membutuhkan takwil, *ia tidak boleh diyakini makna zhahirnya seakan Dzat Allah bersama setiap orang di manapun orang tersebut berada. Karena bila ayat-ayat semacam ini dipahami dalam makna zhahirnya maka antara satu ayat akan saling bertantangan dengan ayat-ayat al-Qur’an lainnya*.
Makna yang dimaksud dari firman Allah QS. Al-Hadid: 4 di atas adalah bahwa Allah mengetahui segala apa yang diperbuat manusia. Artinya, bahwa manusia tidak dapat merahasiahkan apapun terhadap Allah. *Kata “Ma’akum” dalam ayat tersebut adalah dalam pengertian “Ma’iyyah al-‘Ilm”, bukan dalam makna Ma’iyyah al-Dzât*. Penafsiran seperti ini sebagaimana telah dikutip oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab al-Asmâ Wa ash-Shifât dari Imam Sufyan ats-Tsauri *(al-Baihaqi, al-Asmâ, h. 427)*.
Dalam konteks tertentu, kata “Ma’a” dalam bahasa Arab dapat pula bertujuan bagi makna “Pertolongan dan pemeliharaan”. Seperti dalam firman Allah:
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ (النحل: 128)
Artinya bahwa Allah memberikan pertolongan-Nya dan pemeliharaan-Nya terhadap mereka yang bertakwa dan yang berbuat baik. Makna ayat ini sama sekali bukan dalam pengertian bahwa Allah menyatu dengan orang-orang yang bertakwa, atau dalam pengetian hulûl dan ittihâd. Para ulama Ahlussunnah menetapkan konsensus (Ijma’) bahwa siapa yang memahami ayat ini dalam pengertian hulûl dan ittihâd; artinya bahwa Allah menyatu dengan tubuh makhluk-Nya maka orang tersebut telah menjadi kafir, keluar dari Islam. Karena Allah Maha Suci dari sifat menyatu, menempel, terpisah dengan jarak, dan dari sifat-sifat makhluk lainnya. Allah bukan benda, tidak boleh dikatakan bagi-Nya di dalam alam dunia ini, atau di luar alam dunia ini, juga tidak boleh dikatakan bagi-Nya di atas sesuatu, atau di bawah sesuatu. Keyakinan yang benar dalam mentauhidkan Allah, sebagaimana kesepakatan ulama Ahlussunnah, adalah bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah.
Diriwayatkan suatu ketika Imam Ibn Syahin bertanya kepada Imam al-Junaid al-Baghdadi tentang pengertian kata “ma’a” pada hak Allah. Imam al-Junaid menjawab kata “ma’a” pada hak Allah memiliki dua pengertian. Pertama; “ma’a” dalam makna memberikan pertolongan dan pembelaan kepada para Nabi-Nya, seperti dalam firman Allah tentang Nabi Musa dan Nabi Harun:
إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى (طه:46)
“Sesungguhnya Aku (Allah) bersama kalian (dalam makna membela dan menolong), Aku Maha Mendengar dan Aku Maha Melihat”. (QS. Thaha: 46). Kedua; “ma’a” dalam pengertian bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, seperti dalam firman-Nya:
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا (المجادلة: 7)
“Tidaklah ada pembicaraan yang dirahasiakan antara tiga orang kecuali bahwa Allah adalah yang ke empat dari mereka, dan tidaklah ada pembicaraan yang dirahasiahkan antara lima orang kecuali bahwa Allah adalah yang ke enam dari mereka, dan tidak lebih sedikit atau tidak pula lebih banyak dari pada itu kecuali bahwa Allah “bersama” mereka (artinya mengetahui segala apapun yang ada pada mereka) di manapun mereka berada”. (QS. al-Mujadilah: 7). Mendapat jawaban ini Ibn Syahin berkata kepada al-Junaid: “Orang sepertimu sudah sepantasnya untuk memberikan petunjuk kepada manusia” (al-Qusyairi, ar-Risâlah, h. 46).
______
https://wa.me/p/2686313128114338/6287878023938
YouTube.com/ustadzkholilaboufateh
______
*(Satu); Firman Allah:*
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ (الحديد: 4)
Ayat ini oleh kaum hulûl dan ittihâd seringkali dijadikan sandaran untuk menetapkan keyakinan mereka. Ayat ini termasuk ayat mutasyâbihât yang membutuhkan takwil, *ia tidak boleh diyakini makna zhahirnya seakan Dzat Allah bersama setiap orang di manapun orang tersebut berada. Karena bila ayat-ayat semacam ini dipahami dalam makna zhahirnya maka antara satu ayat akan saling bertantangan dengan ayat-ayat al-Qur’an lainnya*.
Makna yang dimaksud dari firman Allah QS. Al-Hadid: 4 di atas adalah bahwa Allah mengetahui segala apa yang diperbuat manusia. Artinya, bahwa manusia tidak dapat merahasiahkan apapun terhadap Allah. *Kata “Ma’akum” dalam ayat tersebut adalah dalam pengertian “Ma’iyyah al-‘Ilm”, bukan dalam makna Ma’iyyah al-Dzât*. Penafsiran seperti ini sebagaimana telah dikutip oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab al-Asmâ Wa ash-Shifât dari Imam Sufyan ats-Tsauri *(al-Baihaqi, al-Asmâ, h. 427)*.
Dalam konteks tertentu, kata “Ma’a” dalam bahasa Arab dapat pula bertujuan bagi makna “Pertolongan dan pemeliharaan”. Seperti dalam firman Allah:
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ (النحل: 128)
Artinya bahwa Allah memberikan pertolongan-Nya dan pemeliharaan-Nya terhadap mereka yang bertakwa dan yang berbuat baik. Makna ayat ini sama sekali bukan dalam pengertian bahwa Allah menyatu dengan orang-orang yang bertakwa, atau dalam pengetian hulûl dan ittihâd. Para ulama Ahlussunnah menetapkan konsensus (Ijma’) bahwa siapa yang memahami ayat ini dalam pengertian hulûl dan ittihâd; artinya bahwa Allah menyatu dengan tubuh makhluk-Nya maka orang tersebut telah menjadi kafir, keluar dari Islam. Karena Allah Maha Suci dari sifat menyatu, menempel, terpisah dengan jarak, dan dari sifat-sifat makhluk lainnya. Allah bukan benda, tidak boleh dikatakan bagi-Nya di dalam alam dunia ini, atau di luar alam dunia ini, juga tidak boleh dikatakan bagi-Nya di atas sesuatu, atau di bawah sesuatu. Keyakinan yang benar dalam mentauhidkan Allah, sebagaimana kesepakatan ulama Ahlussunnah, adalah bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah.
Diriwayatkan suatu ketika Imam Ibn Syahin bertanya kepada Imam al-Junaid al-Baghdadi tentang pengertian kata “ma’a” pada hak Allah. Imam al-Junaid menjawab kata “ma’a” pada hak Allah memiliki dua pengertian. Pertama; “ma’a” dalam makna memberikan pertolongan dan pembelaan kepada para Nabi-Nya, seperti dalam firman Allah tentang Nabi Musa dan Nabi Harun:
إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى (طه:46)
“Sesungguhnya Aku (Allah) bersama kalian (dalam makna membela dan menolong), Aku Maha Mendengar dan Aku Maha Melihat”. (QS. Thaha: 46). Kedua; “ma’a” dalam pengertian bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, seperti dalam firman-Nya:
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا (المجادلة: 7)
“Tidaklah ada pembicaraan yang dirahasiakan antara tiga orang kecuali bahwa Allah adalah yang ke empat dari mereka, dan tidaklah ada pembicaraan yang dirahasiahkan antara lima orang kecuali bahwa Allah adalah yang ke enam dari mereka, dan tidak lebih sedikit atau tidak pula lebih banyak dari pada itu kecuali bahwa Allah “bersama” mereka (artinya mengetahui segala apapun yang ada pada mereka) di manapun mereka berada”. (QS. al-Mujadilah: 7). Mendapat jawaban ini Ibn Syahin berkata kepada al-Junaid: “Orang sepertimu sudah sepantasnya untuk memberikan petunjuk kepada manusia” (al-Qusyairi, ar-Risâlah, h. 46).
______
https://wa.me/p/2686313128114338/6287878023938
YouTube.com/ustadzkholilaboufateh
*Tafsir Beberapa Ayat al-Qur’an Yang Sering Dijadikan Rujukan Oleh Kaum Hulûl dan Wahdah al-Wujûd*
_______
*(Dua);* Beberapa ayat al-Qur’an yang mempergunakan kata “Qarîb” atau “Aqrab” yang dinisbatkan kepada Allah, di antaranya dalam QS. Qaf: 16 (Wa Nahnu Aqrabu Ilaihi Min Habl al-Warîd), dalam QS. al-Waqi’ah: 85 (Wa Nahnu Aqrabu Ilaihi Minkum Walâkin La Tubshirûn), dalam QS. al-Baqarah: 186 (Fa Innî Qarîb Ujîbu Da’wataddâ’i), dan dalam QS. Hud: 61 (Inna Rabbî Qarîbun Mujîb).
https://wa.me/p/2881673821949034/6287878023938 | youtube.com/ustadzkholilaboufateh
Ayat-ayat tersebut termasuk ayat-ayat mutasyâbihât yang membutuhkan takwil sesuai konteks bahasa. Pengertian “Qarîb” dalam beberapa ayat-ayat tersebut bukan dalam pengertian zhahirnya yang berarti dekat dalam makna jarak dan tempat.
Imam Badruddin ibn Jama’ah dalam menyikapi ayat-ayat di atas mengatakan bahwa Allah Maha Suci dari arah dan tempat, juga maha suci dari “dekat” dan “jauh” dalam pengertian jarak dan arah. Dalam penegasan beliau, makna yang benar dari pengertian “al-Qurb” pada ayat-ayat di atas adalah dalam pengertian “Kedekatan rahmat dan kasih sayang Allah” *(Ibn Jama’ah, Idlâh al-Dalîl, h. 135)*. Masih menurut Ibn Jama’ah, di antara yang menguatkan bahwa makna ayat-ayat di atas dalam pengertian “Kedekatan rahmat dan kasih sayang Allah” adalah firman Allah sendiri:
إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ (الأعراف: 56)
“Sesungguhnya rahmat Allah dekat dengan orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS. al-A’raf: 56)
Makna “Qarîb” dalam ayat-ayat di atas dapat pula dalam pengertian “Kedekatan kedudukan”. Pemaknaan kata “Qarîb” dalam pengertian ini dalam bahasa Arab biasa digunakan, seperti bila dikatakan “as-Sulthân Qarîb Min Fulân…”, artinya bahwa si fulan memiliki “kedudukan yang dekat” dengan penguasa. Kesimpulannya, makna ayat-ayat di atas bukan dalam pengertian tempat, arah, atau jarak, karena makna indrawi semacam itu adalah perkara yang mustahil bagi Allah *(Ibn Jama’ah, Idlâh al-Dalîl, h. 136).*
Dalam menafsirkan QS. Qaf: 16 di atas, Imam al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud bukan dalam pengertian kedekatan jarak. Tetapi yang maksud, menurut satu pendapat, adalah bahwa Allah menguasai setiap orang makhluk-Nya lebih dari penguasaan orang itu sendiri terhadap dirinya. Pendapat lain menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah Allah lebih mengetahui tentang segala apa yang terlintas dalam diri setiap manusia lebih dari pada manusia itu sendiri. Imam Muqatil dalam pendapatnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah “Allah Maha mengetahui setiap orang hamba dan menguasainya (Qurb al-‘Ilm Wa al-Qudrah)” *(al-Quthubi, Tafsîr al-Qurthubi, j. 17, h. 9).*
Sementara dalam menafsirkan QS. al-Waqi’ah: 85 di atas, al-Qurthubi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah “Dia Allah dekat dengan setiap seorang dalam pengertian menguasai, mengetahui, dan melihatnya (Bi al-Qudrah Wa al-‘Ilm Wa ar-Ru’yah)”. Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah para malaikat yang ditugaskan oleh Allah untuk mencabut nyawa *(al-Quthubi, Tafsîr al-Qurthubi, j. 17, h. 231).*
Demikian pula dengan menafsirkan QS. al-Baqarah: 186 di atas, al-Qurthubi menuliskan bahwa yang dimaksud adalah “Dia Allah dekat dalam pengertian mengabulkan doa para hamba”. Pendapat lain menyebutkan “Dia Allah dekat dalam pengertian Maha Mengetahui”. Terdapat pula pendapat yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah bahwa “Dia Allah dekat dengan para wali-Nya dalam makna memberikan karunia dan pertolongan kepada mereka” *(al-Quthubi, Tafsîr al-Qurthubi, j.2, h. 308).*
Kemudian dalam menafsirkan QS. Hud: 61 di atas, al-Qurthubi menyatakan pendapat yang sama. Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bahwa “Dia Allah dekat dalam pengertian mengabulkan setiap doa para hamba-Nya” *(al-Quthubi, Tafsîr al-Qurthubi, j. 9, j. 58).* Penafsiran yang sama juga diungkapkan oleh al-Hâfizh al-Baihaqi, dalam menafsirkan QS. al-Baqarah: 186 di atas. Al-Baihaqi berkata bahwa Allah Maha Dekat dalam a
_______
*(Dua);* Beberapa ayat al-Qur’an yang mempergunakan kata “Qarîb” atau “Aqrab” yang dinisbatkan kepada Allah, di antaranya dalam QS. Qaf: 16 (Wa Nahnu Aqrabu Ilaihi Min Habl al-Warîd), dalam QS. al-Waqi’ah: 85 (Wa Nahnu Aqrabu Ilaihi Minkum Walâkin La Tubshirûn), dalam QS. al-Baqarah: 186 (Fa Innî Qarîb Ujîbu Da’wataddâ’i), dan dalam QS. Hud: 61 (Inna Rabbî Qarîbun Mujîb).
https://wa.me/p/2881673821949034/6287878023938 | youtube.com/ustadzkholilaboufateh
Ayat-ayat tersebut termasuk ayat-ayat mutasyâbihât yang membutuhkan takwil sesuai konteks bahasa. Pengertian “Qarîb” dalam beberapa ayat-ayat tersebut bukan dalam pengertian zhahirnya yang berarti dekat dalam makna jarak dan tempat.
Imam Badruddin ibn Jama’ah dalam menyikapi ayat-ayat di atas mengatakan bahwa Allah Maha Suci dari arah dan tempat, juga maha suci dari “dekat” dan “jauh” dalam pengertian jarak dan arah. Dalam penegasan beliau, makna yang benar dari pengertian “al-Qurb” pada ayat-ayat di atas adalah dalam pengertian “Kedekatan rahmat dan kasih sayang Allah” *(Ibn Jama’ah, Idlâh al-Dalîl, h. 135)*. Masih menurut Ibn Jama’ah, di antara yang menguatkan bahwa makna ayat-ayat di atas dalam pengertian “Kedekatan rahmat dan kasih sayang Allah” adalah firman Allah sendiri:
إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ (الأعراف: 56)
“Sesungguhnya rahmat Allah dekat dengan orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS. al-A’raf: 56)
Makna “Qarîb” dalam ayat-ayat di atas dapat pula dalam pengertian “Kedekatan kedudukan”. Pemaknaan kata “Qarîb” dalam pengertian ini dalam bahasa Arab biasa digunakan, seperti bila dikatakan “as-Sulthân Qarîb Min Fulân…”, artinya bahwa si fulan memiliki “kedudukan yang dekat” dengan penguasa. Kesimpulannya, makna ayat-ayat di atas bukan dalam pengertian tempat, arah, atau jarak, karena makna indrawi semacam itu adalah perkara yang mustahil bagi Allah *(Ibn Jama’ah, Idlâh al-Dalîl, h. 136).*
Dalam menafsirkan QS. Qaf: 16 di atas, Imam al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud bukan dalam pengertian kedekatan jarak. Tetapi yang maksud, menurut satu pendapat, adalah bahwa Allah menguasai setiap orang makhluk-Nya lebih dari penguasaan orang itu sendiri terhadap dirinya. Pendapat lain menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah Allah lebih mengetahui tentang segala apa yang terlintas dalam diri setiap manusia lebih dari pada manusia itu sendiri. Imam Muqatil dalam pendapatnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah “Allah Maha mengetahui setiap orang hamba dan menguasainya (Qurb al-‘Ilm Wa al-Qudrah)” *(al-Quthubi, Tafsîr al-Qurthubi, j. 17, h. 9).*
Sementara dalam menafsirkan QS. al-Waqi’ah: 85 di atas, al-Qurthubi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah “Dia Allah dekat dengan setiap seorang dalam pengertian menguasai, mengetahui, dan melihatnya (Bi al-Qudrah Wa al-‘Ilm Wa ar-Ru’yah)”. Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah para malaikat yang ditugaskan oleh Allah untuk mencabut nyawa *(al-Quthubi, Tafsîr al-Qurthubi, j. 17, h. 231).*
Demikian pula dengan menafsirkan QS. al-Baqarah: 186 di atas, al-Qurthubi menuliskan bahwa yang dimaksud adalah “Dia Allah dekat dalam pengertian mengabulkan doa para hamba”. Pendapat lain menyebutkan “Dia Allah dekat dalam pengertian Maha Mengetahui”. Terdapat pula pendapat yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah bahwa “Dia Allah dekat dengan para wali-Nya dalam makna memberikan karunia dan pertolongan kepada mereka” *(al-Quthubi, Tafsîr al-Qurthubi, j.2, h. 308).*
Kemudian dalam menafsirkan QS. Hud: 61 di atas, al-Qurthubi menyatakan pendapat yang sama. Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bahwa “Dia Allah dekat dalam pengertian mengabulkan setiap doa para hamba-Nya” *(al-Quthubi, Tafsîr al-Qurthubi, j. 9, j. 58).* Penafsiran yang sama juga diungkapkan oleh al-Hâfizh al-Baihaqi, dalam menafsirkan QS. al-Baqarah: 186 di atas. Al-Baihaqi berkata bahwa Allah Maha Dekat dalam a
WhatsApp.com
(Kode Pesan: ITIJ) ISLAMIC THEOLOGY; IBNUL JAWZI MEMBONGKAR AQIDAH TASYBIH from Fauzi | Nurul Hikmah Press on WhatsApp.
*TERSEDIA BUKU CETAK*
Al-Imam Al-Hafizh Ibn Al-Jawzi berkata:
Janganlan kalian memasukkan ajaran-ajaran yang aneh ke dalam madzhab orang salaf yang shaleh ini (Ahmad bin Hanbal); yang nyata-nyata itu semua bukan dari ajarannya. Kalian telah merusak madzhab…
Al-Imam Al-Hafizh Ibn Al-Jawzi berkata:
Janganlan kalian memasukkan ajaran-ajaran yang aneh ke dalam madzhab orang salaf yang shaleh ini (Ahmad bin Hanbal); yang nyata-nyata itu semua bukan dari ajarannya. Kalian telah merusak madzhab…
rti mengabulkan doa hamba-hamba-Nya. Demikian pula yang dimaksud dengan QS. Qaf: 16, yang dimaksud adalah bahwa Dia Allah Maha mengetahui dan Maha Menguasai atas setiap orang hamba-Nya, bukan dalam arti bahwa Allah berada pada tempat *(al-Baihaqi, al-Asmâ’, h. 438)*
📝
*Tafsir Beberapa Ayat al-Qur’an Yang Sering Dijadikan Rujukan Oleh Kaum Hulûl dan Wahdah al-Wujûd*
______
(Tiga): Firman Allah:
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ (البقرة: 115)
Makna ayat ini bukan berarti bahwa Allah adalah benda yang memiliki bagian-bagian, seperti wajah (muka) atau lainnya. Juga ayat ini bukan bermakna bahwa Allah tersebar ada di mana-mana, di semua tempat, dan semua arah. Tetapi ayat ini turun tentang tatacara pelaksanaan shalat sunnah dalam perjalanan di atas binatang tunggangan, yang dimaksud ialah; “Ke arah manapun kalian menghadap dalam shalat sunnah yang dilakukan di atas binatang tunggangan maka di sana terdapat kiblat Allah”. Makna “Wajhullâh” dalam ayat ini adalah “Qiblatullâh”, sebagaimana ditafsirkan oleh Imam Mujahid, murid dari sahabat Abdullah ibn ‘Abbas *( al-Baihaqi, al-Asmâ’, h. 327)*.
Kata “al-Wajh” dalam bahasa Arab setidaknya memiliki lima makna berbeda. Benar, salah satu maknanya adalah anggota tubuh manusia yang tersusun dari kulit, darah, daging dan tulang. Al-Wajh dalam makna anggota tubuh seperti ini jelas tidak boleh dinisbatkan kepada Allah, karena Allah Maha Suci dari anggota tubuh apapun. Allah bukan benda yang tersusun dari komponen-komponen atau bagian-bagian.
*Di antara makna-makna al-Wajh lainnya, selain makna anggota badan, adalah sebagai berikut:*
wa.me/c/6287878023938
1. *Al-Wajh dalam makna “ar-Ridla”*, yang berarti untuk mendapatkan keridlaan. Seperti dalam bahasa Arab bila dikatakan “Fa’altu Kadzâ Li Wajhillâh”, artinya “Saya melakukan perbuatan tersebut untuk mendapatkan keridlaan Allah”. Termasuk dalam pengertian ini firman Allah dalam QS. al-Qashash: 88:
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ (القصص: 88)
Imam al-Bukhari dalam kitab Shahîh-nya menyebutkan makna “Illâ Wajhah” ialah “Illâ Mâ Urîda Bih Wajhullâh”. Artinya; “Segala sesuatu akan hancur kecuali segala amalan yang ditujukan untuk mendapatkan keridlaan Allah”. Takwil kata “al-Wajh” dalam pengertian “ar-Ridla” ini tidak hanya diungkapkan oleh Imam al-Bukhari, tapi juga dari para imam lainnya seperti Imam Mujahid dan Imam Sufyan ats-Tsauri. Menurut Imam Sufyan ats-Tsauri makna ayat tersebut ialah “Illâ Mabtughiya Bihî Wajhullâh Min al-A’mâl al-Shâlihah” (1). Artinya, segala sesuatu akan hancur kecuali amalan-amalan saleh yang dikerjakan untuk mendapatkan ridla Allah”.
2. *Al-Wajh dalam makna al-Mulk;* yang berarti kekuasaan. Contohnya, takwil Imam al-Bukhari dalam QS. Al-Qashash: 88 di atas. Selain makna yang pertama tersebut di atas, dalam pendapat lainnya beliau mengatakan bahwa “Illâ Wajhah” artinya “Illâ Mulkah”. Maka makna ayat tersebut adalah: “Segala sesuatu akan punah kecuali kekuasaan-Nya” (2).
3. *al-Wajh dalam makna adz-Dzât;* yang berarti Dzat atau Hakekat Allah (3), seperti dalam salah satu takwil dari QS. Al-Qashash: 88 di atas. Menurut satu pendapat Firman Allah “Illâ Wajhah” maknanya adalah “Illâ Dzâtah” atau “Illâ Huwa”. Dengan demikian makna ayat tersebut adalah: “Segala sesuatu akan punah kecuali Dzat Allah”. Pendapat ini diambil oleh beberapa ulama, di antaranya oleh Imam ath-Thabari dalam Tafsir-nya, al-Farra; salah seorang ulama bahasa terkemuka, dan oleh para ulama lainnya (4).
4. *al-Wajh dalam makna al-Qiblah.* Sebagaimana penafsiran Imam Mujahid dalam QS. al-Baqarah: 115 tersebut di atas sebagaimana dikutip oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab al-Asmâ Wa ash-Shifât.
________
(1). al-Bukhari, Shahih al-Bukhâri, Tafsir Surat al-Qashash.
(2). al-Bukhari, Shahih al-Bukhâri, Tafsir Surat al-Qashash. Lihat pula al-Asqalani, Fath al-Bari, j. 8, h. 592.
(3). Ketika disebut “Dzat Allah” artinya “Hakekat Allah”. Makna “Dzat” pada hak Allah bukan dalam pengertian benda atau tubuh. Karena hal tersebut mustahil atas Allah. Berbeda dengan ketika disebut “dzat manusia” maka yang dimaksud adalah tubuhnya.
(4). al-Bukhari, Shahih al-Bukhâri. Lihat pula al-Asqalani, Fath al-Bâri, j. 8, h. 592 dan j. 13, h. 443.
___________________
📥 wa.me/c/6287878023938
📝 @tauhidcorner
📽️ youtube.com/ustadzkholilaboufateh
*Tafsir Beberapa Ayat al-Qur’an Yang Sering Dijadikan Rujukan Oleh Kaum Hulûl dan Wahdah al-Wujûd*
______
(Tiga): Firman Allah:
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ (البقرة: 115)
Makna ayat ini bukan berarti bahwa Allah adalah benda yang memiliki bagian-bagian, seperti wajah (muka) atau lainnya. Juga ayat ini bukan bermakna bahwa Allah tersebar ada di mana-mana, di semua tempat, dan semua arah. Tetapi ayat ini turun tentang tatacara pelaksanaan shalat sunnah dalam perjalanan di atas binatang tunggangan, yang dimaksud ialah; “Ke arah manapun kalian menghadap dalam shalat sunnah yang dilakukan di atas binatang tunggangan maka di sana terdapat kiblat Allah”. Makna “Wajhullâh” dalam ayat ini adalah “Qiblatullâh”, sebagaimana ditafsirkan oleh Imam Mujahid, murid dari sahabat Abdullah ibn ‘Abbas *( al-Baihaqi, al-Asmâ’, h. 327)*.
Kata “al-Wajh” dalam bahasa Arab setidaknya memiliki lima makna berbeda. Benar, salah satu maknanya adalah anggota tubuh manusia yang tersusun dari kulit, darah, daging dan tulang. Al-Wajh dalam makna anggota tubuh seperti ini jelas tidak boleh dinisbatkan kepada Allah, karena Allah Maha Suci dari anggota tubuh apapun. Allah bukan benda yang tersusun dari komponen-komponen atau bagian-bagian.
*Di antara makna-makna al-Wajh lainnya, selain makna anggota badan, adalah sebagai berikut:*
wa.me/c/6287878023938
1. *Al-Wajh dalam makna “ar-Ridla”*, yang berarti untuk mendapatkan keridlaan. Seperti dalam bahasa Arab bila dikatakan “Fa’altu Kadzâ Li Wajhillâh”, artinya “Saya melakukan perbuatan tersebut untuk mendapatkan keridlaan Allah”. Termasuk dalam pengertian ini firman Allah dalam QS. al-Qashash: 88:
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ (القصص: 88)
Imam al-Bukhari dalam kitab Shahîh-nya menyebutkan makna “Illâ Wajhah” ialah “Illâ Mâ Urîda Bih Wajhullâh”. Artinya; “Segala sesuatu akan hancur kecuali segala amalan yang ditujukan untuk mendapatkan keridlaan Allah”. Takwil kata “al-Wajh” dalam pengertian “ar-Ridla” ini tidak hanya diungkapkan oleh Imam al-Bukhari, tapi juga dari para imam lainnya seperti Imam Mujahid dan Imam Sufyan ats-Tsauri. Menurut Imam Sufyan ats-Tsauri makna ayat tersebut ialah “Illâ Mabtughiya Bihî Wajhullâh Min al-A’mâl al-Shâlihah” (1). Artinya, segala sesuatu akan hancur kecuali amalan-amalan saleh yang dikerjakan untuk mendapatkan ridla Allah”.
2. *Al-Wajh dalam makna al-Mulk;* yang berarti kekuasaan. Contohnya, takwil Imam al-Bukhari dalam QS. Al-Qashash: 88 di atas. Selain makna yang pertama tersebut di atas, dalam pendapat lainnya beliau mengatakan bahwa “Illâ Wajhah” artinya “Illâ Mulkah”. Maka makna ayat tersebut adalah: “Segala sesuatu akan punah kecuali kekuasaan-Nya” (2).
3. *al-Wajh dalam makna adz-Dzât;* yang berarti Dzat atau Hakekat Allah (3), seperti dalam salah satu takwil dari QS. Al-Qashash: 88 di atas. Menurut satu pendapat Firman Allah “Illâ Wajhah” maknanya adalah “Illâ Dzâtah” atau “Illâ Huwa”. Dengan demikian makna ayat tersebut adalah: “Segala sesuatu akan punah kecuali Dzat Allah”. Pendapat ini diambil oleh beberapa ulama, di antaranya oleh Imam ath-Thabari dalam Tafsir-nya, al-Farra; salah seorang ulama bahasa terkemuka, dan oleh para ulama lainnya (4).
4. *al-Wajh dalam makna al-Qiblah.* Sebagaimana penafsiran Imam Mujahid dalam QS. al-Baqarah: 115 tersebut di atas sebagaimana dikutip oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab al-Asmâ Wa ash-Shifât.
________
(1). al-Bukhari, Shahih al-Bukhâri, Tafsir Surat al-Qashash.
(2). al-Bukhari, Shahih al-Bukhâri, Tafsir Surat al-Qashash. Lihat pula al-Asqalani, Fath al-Bari, j. 8, h. 592.
(3). Ketika disebut “Dzat Allah” artinya “Hakekat Allah”. Makna “Dzat” pada hak Allah bukan dalam pengertian benda atau tubuh. Karena hal tersebut mustahil atas Allah. Berbeda dengan ketika disebut “dzat manusia” maka yang dimaksud adalah tubuhnya.
(4). al-Bukhari, Shahih al-Bukhâri. Lihat pula al-Asqalani, Fath al-Bâri, j. 8, h. 592 dan j. 13, h. 443.
___________________
📥 wa.me/c/6287878023938
📝 @tauhidcorner
📽️ youtube.com/ustadzkholilaboufateh
WhatsApp.com
View Tauhid Corner | Nurul Hikmah Press's Catalog on WhatsApp
Learn more about their products & services
*NURUL HIKMAH PRESS*
Penerbit dan Distributor Utama Buku - Buku Islam Karya Dr. H. Kholilurrohman, MA
*WhatsApp : wa.me/6287878023938*
__________
*Toko Online:*
*https://shopee.co.id/nurulhikmahpress*
*https://tokopedia.com/nurulhikmahpress*
*https://bukalapak.com/nurulhikmahpress*
Penerbit dan Distributor Utama Buku - Buku Islam Karya Dr. H. Kholilurrohman, MA
*WhatsApp : wa.me/6287878023938*
__________
*Toko Online:*
*https://shopee.co.id/nurulhikmahpress*
*https://tokopedia.com/nurulhikmahpress*
*https://bukalapak.com/nurulhikmahpress*
📡📡
*Media Sosial:*
youtube.com/ustadzkholilaboufateh
fb.me/tauhidcorner/notes
instagram.com/tauhidcorner
anchor.fm/ustadzkholilaboufateh
t.me/Kholilaboufateh
https://nurulhikmah.ponpes.id
__________
*NURUL HIKMAH PRESS*
Penerbit dan Distributor Utama Buku - Buku Islam Karya Dr. H. Kholilurrohman, MA
*WhatsApp:*
*wa.me/6287878023938*
*Toko Online:*
*https://shopee.co.id/nurulhikmahpress*
*https://tokopedia.com/nurulhikmahpress*
*https://bukalapak.com/nurulhikmahpress*
*Google Play Books:*
Ketik di kotak pencarian *"Kholilurrohman"*
*Media Sosial:*
youtube.com/ustadzkholilaboufateh
fb.me/tauhidcorner/notes
instagram.com/tauhidcorner
anchor.fm/ustadzkholilaboufateh
t.me/Kholilaboufateh
https://nurulhikmah.ponpes.id
__________
*NURUL HIKMAH PRESS*
Penerbit dan Distributor Utama Buku - Buku Islam Karya Dr. H. Kholilurrohman, MA
*WhatsApp:*
*wa.me/6287878023938*
*Toko Online:*
*https://shopee.co.id/nurulhikmahpress*
*https://tokopedia.com/nurulhikmahpress*
*https://bukalapak.com/nurulhikmahpress*
*Google Play Books:*
Ketik di kotak pencarian *"Kholilurrohman"*
Ada sebuah hadits yang dikenal dengan nama _*Hadîts an-Nuzûl*_. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imâm al-Bukhari dan al-Imâm Muslim dalam kitab Shahih masing-masing. Redaksi hadits riwayat al-Bukhari adalah sebagai berikut:
https://shopee.co.id/product/289903238/4543936255?smtt=0.0.9
*(Shahîh al-Bukhâri; Kitâb al-Shalât, Bâb al-Du’â Wa al-Shalât Âkhir al-Layl. Lihat pula Shahîh Muslim; Kitâb Shalât al-Musâfirîn Wa Qashruhâ; Bâb al-Targhîb Fî al-Du’â Wa al-Dzikr Fî Âkhir al-Layl Wa al-Ijâbah Fîh.)*
_“Telah mengkabarkan kepada kami Abdullah ibn Maslamah, dari Malik, dari Ibn Syihab, dari Abu Salamah dan Abu Abdillah al-Agarr, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:_
يَنْـزِلُ رَبّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيلَةٍ إلَى السّمَاءِ الدّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللّيلِ الآخِر يَقُوْل: مَنْ يَدْعُونِي فَأسْتَجِيْب لهُ وَمَن يَسْألنِي فأعْطِيه وَمنْ يَسْتَغْفِرني فأغْفِر لهُ (رواه البخاري)
*Hadîts an-Nuzûl ini tidak boleh dipahami dalam makna zhahirnya, karena makna zhahirnya adalah turun dari arah atas ke arah bawah, artinya bergerak dan pindah dari satu tempat ke tampat yang lain, dan itu mustahil pada hak Allah.* Al-Imâm an-Nawawi dalam kitab Syarh Shahîh Muslim dalam menjelaskan Hadîts an-Nuzûl ini berkata:
https://tokopedia.link/m0W4xoLPk9
Hadist ini termasuk hadits-hadits tentang sifat Allah. Dalam memahaminya terdapat dua madzhab mashur di kalangan ulama;
*Pertama:*
Madzhab mayoritas ulama Salaf dan sebagian ulama ahli Kalam (teolog), yaitu dengan mengimaninya bahwa hal itu adalah suatu yang hak dengan makna yang sesuai bagi keagungan Allah, dan bahwa makna zahirnya yang berlaku dalam makna makhluk adalah makna yang bukan dimaksud. Madzhab pertama ini tidak mengambil makna tertentu dalam memahaminya, artinya mereka tidak mentakwilnya. Namun mereka semua berkeyakinan bahma Allah Maha Suci dari sifat-sifat makhluk, Maha Suci dari pindah dari suatu tempat ke tempat lain, Maha Suci dari bergerak, dan Maha Suci dari seluruh sifat-sifat makhluk.
*Kedua:*
Madzhab mayoritas ahli Kalam (kaum teolog) dan beberapa golongan dari para ulama Salaf, di antaranya sebagaimana telah diberlakukan oleh Malik, dan al-Auza’i, bahwa mereka telah melakukan takwil terhadap hadits ini dengan menentukan makna yang sesaui dengan ketentuan-ketentuannya. Dalam penggunaan metode takwil ini para ulama madzhab kedua ini memiliki dua takwil terhadap Hadîts an-Nuzûl di atas.
Pertama; Takwil yang nyatakan oleh Malik dan lainnya bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah turunnya rahmat Allah, dan perintah-Nya, serta turunnya para Malaikat pembawa rahmat tersebut. Ini biasa digunakan dalam bahasa Arab; seperti bila dikatakan: “Fa’ala al-Sulthân Kadzâ…” (Raja melakukan suatu perbuatan), maka yang dimaksud adalah perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya dengan perintahnya, bukan raja itu sendiri yang melakukan perbuatan tersebut.
Kedua; takwil hadits dalam makna isti’ârah (metafor), yaitu dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya saat itu. (Karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah)” (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, j. 6, h. 36).
Dengan demikian pendapat kaum Musyabbihah jelas batil ketika mereka mengatakan bahwa yang dimaksud adalah turunnya Allah dengan Dzat-Nya. Di antara dalil lainnya yang dapat membatalkan pendapat mereka ini adalah bahwa sebagian para perawi hadits al-Bukhari dalam Hadîts an-Nuzûl ini telah memberikan harakat dlammah pada huruf yâ’, dan harakat kasrah pada huruf zây; menjadi “Yunzilu”, artinya; menjadi fi’il muta’addi; yaitu kata kerja yang membutuhkan kepada objek (Maf’ûl Bih). Dengan demikian menjadi bertambah jelas bahwa yang turun tersebut adalah para Malaikat dengan perintah Allah. Makna ini juga seperti yang telah jelas disebutkan dalam riwayat Hadîts an-Nuzûl lainnya dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy bahwa Allah telah memerintah Malaikat untuk menyeru di langit pertama pada sepertiga akhir malam tersebut. Dengan demikian kaum Masyabbihah sama sekali tidak dapat menjadikan
https://shopee.co.id/product/289903238/4543936255?smtt=0.0.9
*(Shahîh al-Bukhâri; Kitâb al-Shalât, Bâb al-Du’â Wa al-Shalât Âkhir al-Layl. Lihat pula Shahîh Muslim; Kitâb Shalât al-Musâfirîn Wa Qashruhâ; Bâb al-Targhîb Fî al-Du’â Wa al-Dzikr Fî Âkhir al-Layl Wa al-Ijâbah Fîh.)*
_“Telah mengkabarkan kepada kami Abdullah ibn Maslamah, dari Malik, dari Ibn Syihab, dari Abu Salamah dan Abu Abdillah al-Agarr, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:_
يَنْـزِلُ رَبّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيلَةٍ إلَى السّمَاءِ الدّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللّيلِ الآخِر يَقُوْل: مَنْ يَدْعُونِي فَأسْتَجِيْب لهُ وَمَن يَسْألنِي فأعْطِيه وَمنْ يَسْتَغْفِرني فأغْفِر لهُ (رواه البخاري)
*Hadîts an-Nuzûl ini tidak boleh dipahami dalam makna zhahirnya, karena makna zhahirnya adalah turun dari arah atas ke arah bawah, artinya bergerak dan pindah dari satu tempat ke tampat yang lain, dan itu mustahil pada hak Allah.* Al-Imâm an-Nawawi dalam kitab Syarh Shahîh Muslim dalam menjelaskan Hadîts an-Nuzûl ini berkata:
https://tokopedia.link/m0W4xoLPk9
Hadist ini termasuk hadits-hadits tentang sifat Allah. Dalam memahaminya terdapat dua madzhab mashur di kalangan ulama;
*Pertama:*
Madzhab mayoritas ulama Salaf dan sebagian ulama ahli Kalam (teolog), yaitu dengan mengimaninya bahwa hal itu adalah suatu yang hak dengan makna yang sesuai bagi keagungan Allah, dan bahwa makna zahirnya yang berlaku dalam makna makhluk adalah makna yang bukan dimaksud. Madzhab pertama ini tidak mengambil makna tertentu dalam memahaminya, artinya mereka tidak mentakwilnya. Namun mereka semua berkeyakinan bahma Allah Maha Suci dari sifat-sifat makhluk, Maha Suci dari pindah dari suatu tempat ke tempat lain, Maha Suci dari bergerak, dan Maha Suci dari seluruh sifat-sifat makhluk.
*Kedua:*
Madzhab mayoritas ahli Kalam (kaum teolog) dan beberapa golongan dari para ulama Salaf, di antaranya sebagaimana telah diberlakukan oleh Malik, dan al-Auza’i, bahwa mereka telah melakukan takwil terhadap hadits ini dengan menentukan makna yang sesaui dengan ketentuan-ketentuannya. Dalam penggunaan metode takwil ini para ulama madzhab kedua ini memiliki dua takwil terhadap Hadîts an-Nuzûl di atas.
Pertama; Takwil yang nyatakan oleh Malik dan lainnya bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah turunnya rahmat Allah, dan perintah-Nya, serta turunnya para Malaikat pembawa rahmat tersebut. Ini biasa digunakan dalam bahasa Arab; seperti bila dikatakan: “Fa’ala al-Sulthân Kadzâ…” (Raja melakukan suatu perbuatan), maka yang dimaksud adalah perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya dengan perintahnya, bukan raja itu sendiri yang melakukan perbuatan tersebut.
Kedua; takwil hadits dalam makna isti’ârah (metafor), yaitu dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya saat itu. (Karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah)” (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, j. 6, h. 36).
Dengan demikian pendapat kaum Musyabbihah jelas batil ketika mereka mengatakan bahwa yang dimaksud adalah turunnya Allah dengan Dzat-Nya. Di antara dalil lainnya yang dapat membatalkan pendapat mereka ini adalah bahwa sebagian para perawi hadits al-Bukhari dalam Hadîts an-Nuzûl ini telah memberikan harakat dlammah pada huruf yâ’, dan harakat kasrah pada huruf zây; menjadi “Yunzilu”, artinya; menjadi fi’il muta’addi; yaitu kata kerja yang membutuhkan kepada objek (Maf’ûl Bih). Dengan demikian menjadi bertambah jelas bahwa yang turun tersebut adalah para Malaikat dengan perintah Allah. Makna ini juga seperti yang telah jelas disebutkan dalam riwayat Hadîts an-Nuzûl lainnya dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy bahwa Allah telah memerintah Malaikat untuk menyeru di langit pertama pada sepertiga akhir malam tersebut. Dengan demikian kaum Masyabbihah sama sekali tidak dapat menjadikan
tokopedia.link
Hadits Budak Perempuan Hitam Hadits Al-Jariyah As-Sawda Dan Penjelasan
hadits ini sebagai dalil bagi mereka.
Seorang ahli tafsir terkemuka; al-Imâm al-Qurthubi, dalam menafsirkan firman Allah: ”Wa al-Mustaghfirîn Bi al-Ashâr” (QS. Ali ’Imran: 17), artinya; ”Dan orang-orang yang ber-istighfâr di waktu sahur (akhir malam)”, beliau menyebutkan Hadîts an-Nuzûl dengan beberapa komentar ulama tentangnya, kemudian beliau menuliskan sebagai berikut:
“Pendapat yang paling baik dalam memaknai Hadîts an-Nuzûl ini adalah dengan merujuk kepada hadits riwayat an-Nasa-i dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy, bahwa Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ عَزّ وَجَلّ يُمْهِلُ حَتّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ الأوّلِ ثُمّ يأمُرُ مُنَادِيًا فَيَقُوْل: هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَابُ لَه، هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ يُغْفَرُ لهُ، هَلْ مِنْ سَائِلٍ يُعْطَى
”Sesungguhnya Allah mendiamkan malam hingga lewat paruh pertama dari malam tersebut, kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa?! Maka ia akan dikabulkan. Adakah orang yang meminta ampun?! Maka ia akan diampuni. Adakah orang yang meminta?! Maka ia akan diberi.
Hadits ini dishahihkan oleh Abu Muhammad Abd al-Haq. Dan hadits ini telah menghilangkan segala perselisihan tentang Hadîts an-Nuzûl, sekaligus sebagai penjelasan bahwa yang dimaksud dengan hadits pertama (hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim) adalah dalam makna dibuang mudlâf-nya. Artinya, yang dimaksud dengan hadits pertama tersebut ialah bahwa Malaikat turun ke langit dunia dengan perintah Allah, yang kemudian Malaikat tersebut menyeru. Pemahaman ini juga dikuatkan dengan adanya riwayat yang menyebutkan dengan dlammah pada huruf yâ’ pada kata “Yanzilu” menjadi “Yunzilu”, dan riwayat terakhir ini sejalan dengan apa yang kita sebutkan dari riwayat an-Nasa-i di atas” (Tafsîr al-Qurthubi, j. 4, h. 39).
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar dalam kitab Syarh Shahîh al-Bukhâri menuliskan sebagai berikut:
*“Kaum yang menetapkan adanya arah bagi Allah dengan menjadikan Hadîts an-Nuzûl ini sebagai dalil bagi mereka; yaitu menetapkan arah atas, pendapat mereka ini ditentang oleh para ulama, karena berpendapat semacam itu sama saja dengan mengatakan Allah bertempat, padahal Allah Maha suci dari pada itu. Dalam makna Hadîts an-Nuzûl ini terdapat beberapa pendapat ulama”* (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).
Kemudian al-Hâfizh Ibn Hajar menuliskan:
“Abu Bakar ibn Furak meriwayatkan bahwa sebagian ulama telah memberikan harakat dlammah pada huruf awalnya; yaitu pada huruf yâ’, (menjadi kata yunzilu) dan objeknya disembunyikan; yaitu Malaikat. Yang menguatkan pendapat ini adalah hadits riwayat an-Nasa-i dari hadits sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudzriy, bahwa Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ يُمْهِلُ حَتّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ ثُمّ يأمُرُ مُنَادِيًا يَقُوْل: هَلْ مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَابُ لَه
”Sesungguhnya Allah mendiamkan waktu malam hingga lewat menjadi lewat paruh pertama dari malam tersebut. Kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa!! Ia akan dikabulkan”.
Demikian pula pemahaman ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari Utsman ibn al-Ash dengan redaksi sabda Rasulullah:
يُنَادِ مُنَادٍ هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَابُ لَهُ
”…maka Malaikat penyeru berseru: ”Adakah orang yang berdoa! Maka akan dikabulkan baginya”.
Oleh karena itulah al-Qurthubi berkata:
“Dengan demikian segala perselisihan tentang hadits ini menjadi selesai” (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).
KESIMPULAN:
*Allah bukan benda, dan Dia tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Segala apa yang terlintas dalam benak manusia tentang Allah maka Dia tidak seperti demikian itu. Allah tidak terikat oleh dimensi; ruang dan waktu, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Allah yang menciptakan arsy dan langit maka Dia tidak membutuhkan kepada keduanya.*
*Pemahaman Ahlussunnah Tentang Hadîts an-Nuzûl; Mewaspadai Akidah Tasybih Kaum Wahhabiyyah*
*Kholil Abu Fateh*
Al-Asy’ari Asy-Syafi’i Ar-Rifa’i Al-Qadiri
Seorang ahli tafsir terkemuka; al-Imâm al-Qurthubi, dalam menafsirkan firman Allah: ”Wa al-Mustaghfirîn Bi al-Ashâr” (QS. Ali ’Imran: 17), artinya; ”Dan orang-orang yang ber-istighfâr di waktu sahur (akhir malam)”, beliau menyebutkan Hadîts an-Nuzûl dengan beberapa komentar ulama tentangnya, kemudian beliau menuliskan sebagai berikut:
“Pendapat yang paling baik dalam memaknai Hadîts an-Nuzûl ini adalah dengan merujuk kepada hadits riwayat an-Nasa-i dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy, bahwa Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ عَزّ وَجَلّ يُمْهِلُ حَتّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ الأوّلِ ثُمّ يأمُرُ مُنَادِيًا فَيَقُوْل: هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَابُ لَه، هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ يُغْفَرُ لهُ، هَلْ مِنْ سَائِلٍ يُعْطَى
”Sesungguhnya Allah mendiamkan malam hingga lewat paruh pertama dari malam tersebut, kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa?! Maka ia akan dikabulkan. Adakah orang yang meminta ampun?! Maka ia akan diampuni. Adakah orang yang meminta?! Maka ia akan diberi.
Hadits ini dishahihkan oleh Abu Muhammad Abd al-Haq. Dan hadits ini telah menghilangkan segala perselisihan tentang Hadîts an-Nuzûl, sekaligus sebagai penjelasan bahwa yang dimaksud dengan hadits pertama (hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim) adalah dalam makna dibuang mudlâf-nya. Artinya, yang dimaksud dengan hadits pertama tersebut ialah bahwa Malaikat turun ke langit dunia dengan perintah Allah, yang kemudian Malaikat tersebut menyeru. Pemahaman ini juga dikuatkan dengan adanya riwayat yang menyebutkan dengan dlammah pada huruf yâ’ pada kata “Yanzilu” menjadi “Yunzilu”, dan riwayat terakhir ini sejalan dengan apa yang kita sebutkan dari riwayat an-Nasa-i di atas” (Tafsîr al-Qurthubi, j. 4, h. 39).
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar dalam kitab Syarh Shahîh al-Bukhâri menuliskan sebagai berikut:
*“Kaum yang menetapkan adanya arah bagi Allah dengan menjadikan Hadîts an-Nuzûl ini sebagai dalil bagi mereka; yaitu menetapkan arah atas, pendapat mereka ini ditentang oleh para ulama, karena berpendapat semacam itu sama saja dengan mengatakan Allah bertempat, padahal Allah Maha suci dari pada itu. Dalam makna Hadîts an-Nuzûl ini terdapat beberapa pendapat ulama”* (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).
Kemudian al-Hâfizh Ibn Hajar menuliskan:
“Abu Bakar ibn Furak meriwayatkan bahwa sebagian ulama telah memberikan harakat dlammah pada huruf awalnya; yaitu pada huruf yâ’, (menjadi kata yunzilu) dan objeknya disembunyikan; yaitu Malaikat. Yang menguatkan pendapat ini adalah hadits riwayat an-Nasa-i dari hadits sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudzriy, bahwa Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ يُمْهِلُ حَتّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ ثُمّ يأمُرُ مُنَادِيًا يَقُوْل: هَلْ مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَابُ لَه
”Sesungguhnya Allah mendiamkan waktu malam hingga lewat menjadi lewat paruh pertama dari malam tersebut. Kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa!! Ia akan dikabulkan”.
Demikian pula pemahaman ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari Utsman ibn al-Ash dengan redaksi sabda Rasulullah:
يُنَادِ مُنَادٍ هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَابُ لَهُ
”…maka Malaikat penyeru berseru: ”Adakah orang yang berdoa! Maka akan dikabulkan baginya”.
Oleh karena itulah al-Qurthubi berkata:
“Dengan demikian segala perselisihan tentang hadits ini menjadi selesai” (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).
KESIMPULAN:
*Allah bukan benda, dan Dia tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Segala apa yang terlintas dalam benak manusia tentang Allah maka Dia tidak seperti demikian itu. Allah tidak terikat oleh dimensi; ruang dan waktu, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Allah yang menciptakan arsy dan langit maka Dia tidak membutuhkan kepada keduanya.*
*Pemahaman Ahlussunnah Tentang Hadîts an-Nuzûl; Mewaspadai Akidah Tasybih Kaum Wahhabiyyah*
*Kholil Abu Fateh*
Al-Asy’ari Asy-Syafi’i Ar-Rifa’i Al-Qadiri
〰♾🌼 *Dari al-Arif Billah al-Imam As-Sayyid Abdullah Ibn Alawi al-Haddad (w 1132 H), Supaya Anda Paham Siapa Ahlussunnah* 🌼♾〰
*al-‘Arif Billah al-Imam as-Sayyid Abdullah ibn ‘Alawi al-Haddad* (w 1132 H), Shahib ar-Ratib, dalam karyanya berjudul Risalah al-Mu’awanah, h. 14, menuliskan:
_“Hendaklah engkau memperbaiki akidahmu dengan keyakinan yang benar dan meluruskannya di atas jalan kelompok yang selamat (al-Firqah an-Najiyah). Kelompok yang selamat ini di antara kelompok-kelompok dalam Islam adalah dikenal dengan sebutan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka adalah kelompok yang memegang teguh ajaran Rasulullah dan para sahabatnya. *Dan engkau apa bila berfikir dengan pemahaman yang lurus dan dengan hati yang bersih dalam melihat teks-teks al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah yang menjelaskan dasar-dasar keimanan, serta melihat kepada keyakinan dan perjalanan hidup para ulama Salaf saleh dari para sahabat Rasulullah dan para Tabi’in, maka engkau akan mengetahui dan meyakini bahwa kebenaran akidah adalah bersama kelompok yang dinamakan dengan al-Asy’ariyyah. Sebuah golongan yang namanya dinisbatkan kepada asy-Syaikh Abu al-Hasan al-Asy’ari -Semoga rahmat Allah selalu tercurah baginya-. Beliau adalah orang yang telah menyusun dasar-dasar akidah Ahl al-Haq dan telah memformulasikan dalil-dalil akidah tersebut. Itulah akidah yang disepakati kebenarannya oleh para sahabat Rasulullah dan orang-orang sesudah mereka dari kaum tabi’in terkemuka. Itulah akidah Ahl al-Haq setiap genarasi di setiap zaman dan di setiap tempat. Itulah pula akidah yang telah diyakini kebenarannya oleh para ahli tasawwuf, sebagaimana telah dinyatakan oleh Abu al-Qasim al-Qusyairi dalam pembukaan Risalah-nya (ar-Risalah al-Qusyairiyyah). Itulah pula akidah yang telah kami yakini kebenarannya, serta merupakan akidah seluruh keluarga Rasulullah yang dikenal dengan as-Sadah al-Husainiyyin, yang dikenal pula dengan keluarga Abi ‘Alawi (Al Abi ‘Alawi). Itulah pula akidah yang telah diyakini oleh kakek-kakek kami terdahulu dari semenjak zaman Rasulullah hingga hari ini. Adalah al-Imam al-Muhajir yang merupakan pucuk keturunan dari as-Sadah al-Husainiyyin, yaitu as-Sayyid asy-Syaikh Ahmad ibn ‘Isa ibn Muhammad ibn ‘Ali Ibn al-Imam Ja’far ash-Shadiq -semoga ridla Allah selalu tercurah atas mereka semua-, ketika beliau melihat bermunculan berbagai faham bid’ah dan telah menyebarnya berbagai faham sesat di Irak maka beliau segera hijrah dari wilayah tersebut. Beliau berpindah-pindah dari satu tempat ke tampat lainnya, dan Allah menjadikannya seorang yang memberikan manfa’at di tempat manapun yang beliau pijak. Hingga pada akhirnya beliau sampai di tanah Hadramaut Yaman dan menetap di sana hingga beliau meninggal. Allah telah menjadikan orang-orang dari keturunannya sebagai orang-orang banyak memiliki berkah, hingga sangat banyak orang yang berasal dari keturunannya dan dikenal sebagai orang-orang ahli ilmu, ahli ibadah, para wali Allah dan orang-orang ahli ma’rifat. Sedikitpun tidak menimpa atas semua keturunan Al-Imam agung ini sesuatu yang telah menimpa sebagian keturunan Rasulullah dari faham-faham bid’ah dan mengikuti hawa nafsu yang menyesatkan. Ini semua tidak lain adalah merupakah berkah dari keikhlasan al-Imam al-Muhajir Ahmad ibn ‘Isa dalam menyebarkan ilmu-ilmunya, yang karena untuk tujuan itu beliau rela berpindah dari satu tempat ke tampat yang lain untuk menghindari berbagai fitnah. Semoga Allah membalas baginya dari kita semua dengan segala balasan termulia, seperti paling mulianya sebuah balasan dari seorang anak bagi orang tuanya. Semoga Allah mengangkat derajat dan kemulian beliau bersama orang terdahulu dari kakek-kakeknya, hingga Allah menempatkan mereka semua ditempat yang tinggi. Juga semoga kita semua dipertemukan oleh Allah dengan mereka dalam segala kebaikan dengan tanpa sedikitpun dari kita terkena fitnah. Sesungguhnya Allah maha pengasih. *Dan ketahuilah bahwa akidah al-Maturidiyyah adalah akidah yang sama dengan akidah al-Asy’ariyyah dalam segala hal yang telah kita sebutkan”*
https://wa.me/p/3155194084490836/6287878023938
*Al-Imam al-Hafizh Muham
*al-‘Arif Billah al-Imam as-Sayyid Abdullah ibn ‘Alawi al-Haddad* (w 1132 H), Shahib ar-Ratib, dalam karyanya berjudul Risalah al-Mu’awanah, h. 14, menuliskan:
_“Hendaklah engkau memperbaiki akidahmu dengan keyakinan yang benar dan meluruskannya di atas jalan kelompok yang selamat (al-Firqah an-Najiyah). Kelompok yang selamat ini di antara kelompok-kelompok dalam Islam adalah dikenal dengan sebutan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka adalah kelompok yang memegang teguh ajaran Rasulullah dan para sahabatnya. *Dan engkau apa bila berfikir dengan pemahaman yang lurus dan dengan hati yang bersih dalam melihat teks-teks al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah yang menjelaskan dasar-dasar keimanan, serta melihat kepada keyakinan dan perjalanan hidup para ulama Salaf saleh dari para sahabat Rasulullah dan para Tabi’in, maka engkau akan mengetahui dan meyakini bahwa kebenaran akidah adalah bersama kelompok yang dinamakan dengan al-Asy’ariyyah. Sebuah golongan yang namanya dinisbatkan kepada asy-Syaikh Abu al-Hasan al-Asy’ari -Semoga rahmat Allah selalu tercurah baginya-. Beliau adalah orang yang telah menyusun dasar-dasar akidah Ahl al-Haq dan telah memformulasikan dalil-dalil akidah tersebut. Itulah akidah yang disepakati kebenarannya oleh para sahabat Rasulullah dan orang-orang sesudah mereka dari kaum tabi’in terkemuka. Itulah akidah Ahl al-Haq setiap genarasi di setiap zaman dan di setiap tempat. Itulah pula akidah yang telah diyakini kebenarannya oleh para ahli tasawwuf, sebagaimana telah dinyatakan oleh Abu al-Qasim al-Qusyairi dalam pembukaan Risalah-nya (ar-Risalah al-Qusyairiyyah). Itulah pula akidah yang telah kami yakini kebenarannya, serta merupakan akidah seluruh keluarga Rasulullah yang dikenal dengan as-Sadah al-Husainiyyin, yang dikenal pula dengan keluarga Abi ‘Alawi (Al Abi ‘Alawi). Itulah pula akidah yang telah diyakini oleh kakek-kakek kami terdahulu dari semenjak zaman Rasulullah hingga hari ini. Adalah al-Imam al-Muhajir yang merupakan pucuk keturunan dari as-Sadah al-Husainiyyin, yaitu as-Sayyid asy-Syaikh Ahmad ibn ‘Isa ibn Muhammad ibn ‘Ali Ibn al-Imam Ja’far ash-Shadiq -semoga ridla Allah selalu tercurah atas mereka semua-, ketika beliau melihat bermunculan berbagai faham bid’ah dan telah menyebarnya berbagai faham sesat di Irak maka beliau segera hijrah dari wilayah tersebut. Beliau berpindah-pindah dari satu tempat ke tampat lainnya, dan Allah menjadikannya seorang yang memberikan manfa’at di tempat manapun yang beliau pijak. Hingga pada akhirnya beliau sampai di tanah Hadramaut Yaman dan menetap di sana hingga beliau meninggal. Allah telah menjadikan orang-orang dari keturunannya sebagai orang-orang banyak memiliki berkah, hingga sangat banyak orang yang berasal dari keturunannya dan dikenal sebagai orang-orang ahli ilmu, ahli ibadah, para wali Allah dan orang-orang ahli ma’rifat. Sedikitpun tidak menimpa atas semua keturunan Al-Imam agung ini sesuatu yang telah menimpa sebagian keturunan Rasulullah dari faham-faham bid’ah dan mengikuti hawa nafsu yang menyesatkan. Ini semua tidak lain adalah merupakah berkah dari keikhlasan al-Imam al-Muhajir Ahmad ibn ‘Isa dalam menyebarkan ilmu-ilmunya, yang karena untuk tujuan itu beliau rela berpindah dari satu tempat ke tampat yang lain untuk menghindari berbagai fitnah. Semoga Allah membalas baginya dari kita semua dengan segala balasan termulia, seperti paling mulianya sebuah balasan dari seorang anak bagi orang tuanya. Semoga Allah mengangkat derajat dan kemulian beliau bersama orang terdahulu dari kakek-kakeknya, hingga Allah menempatkan mereka semua ditempat yang tinggi. Juga semoga kita semua dipertemukan oleh Allah dengan mereka dalam segala kebaikan dengan tanpa sedikitpun dari kita terkena fitnah. Sesungguhnya Allah maha pengasih. *Dan ketahuilah bahwa akidah al-Maturidiyyah adalah akidah yang sama dengan akidah al-Asy’ariyyah dalam segala hal yang telah kita sebutkan”*
https://wa.me/p/3155194084490836/6287878023938
*Al-Imam al-Hafizh Muham
WhatsApp.com
(Kode Pesan: SAWJ) SIAPAKAH AHLUSSUNNNAH WAL JAMA'AH YANG SEBENARNYA? from Nurul Hikmah Press on WhatsApp.
*TERSEDIA BUKU CETAK*
Ada sekelompok orang membuat pertanyaan aneh, berkata: “Apakah kaum Asy’ariyyah (para pengikut al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari) termasuk golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah?”. Tepatnya pertanyaan ini dilontarkan oleh orang-orang Wahabi. Ini…
Ada sekelompok orang membuat pertanyaan aneh, berkata: “Apakah kaum Asy’ariyyah (para pengikut al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari) termasuk golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah?”. Tepatnya pertanyaan ini dilontarkan oleh orang-orang Wahabi. Ini…
mad Murtadla az-Zabidi* (w 1205 H), dalam pasal ke dua pada Kitab Qawa’id al-‘Aqa’id dalam kitab syarah Ihya’ berjudul Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 2, h. 6, menuliskan:
*“Jika disebut nama Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah kaum Asy’ariyyah dan kaum Maturidiyyah”*
______
📡📡
*Media Sosial:*
youtube.com/ustadzkholilaboufateh
fb.me/tauhidcorner/notes
instagram.com/tauhidcorner
anchor.fm/ustadzkholilaboufateh
t.me/Kholilaboufateh
https://nurulhikmah.ponpes.id
______
*NURUL HIKMAH PRESS*
Penerbit dan Distributor Utama Buku - Buku Islam Karya Dr. H. Kholilurrohman, MA
*WhatsApp:*
*wa.me/6287878023938*
*Toko Online:*
*https://shopee.co.id/nurulhikmahpress*
*https://tokopedia.com/nurulhikmahpress*
*https://bukalapak.com/nurulhikmahpress*
*Google Play Books:*
*Ketik di kotak pencarian "Kholilurrohman"*
*“Jika disebut nama Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah kaum Asy’ariyyah dan kaum Maturidiyyah”*
______
📡📡
*Media Sosial:*
youtube.com/ustadzkholilaboufateh
fb.me/tauhidcorner/notes
instagram.com/tauhidcorner
anchor.fm/ustadzkholilaboufateh
t.me/Kholilaboufateh
https://nurulhikmah.ponpes.id
______
*NURUL HIKMAH PRESS*
Penerbit dan Distributor Utama Buku - Buku Islam Karya Dr. H. Kholilurrohman, MA
*WhatsApp:*
*wa.me/6287878023938*
*Toko Online:*
*https://shopee.co.id/nurulhikmahpress*
*https://tokopedia.com/nurulhikmahpress*
*https://bukalapak.com/nurulhikmahpress*
*Google Play Books:*
*Ketik di kotak pencarian "Kholilurrohman"*
Imam Ahmad ar-Rifa’i dalam kitab al-Burhân al-Mu’ayyad, menuliskan sebagai berikut:
_“Janganlah kalian berkata seperti yang dikatakan oleh sebagian orang yang mengaku sufi: “Kita ahli batin dan mereka (ulama syari’at) ahli zhahir”. Karena dalam agama ini keduanya, zhahir dan batin adalah kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Batin adalah inti dari zhahir, dan zhahir adalah wadah bagi batin. Kalaulah tidak ada zhahir tentu tidak akan ada batin. Ketiadaan zhahir pasti menuntut ketiadaan batin. Hati tidak dapat berdiri sendiri kecuali dengan adanya jasad. Kalaulah bukan karena jasad maka hati tidak akan pernah ada. Hati ini adalah cahaya bagi jasad. Ilmu yang oleh sebagain (kaum sufi) disebut ilmu batin adalah ilmu-ilmu yang terkait dengan pembersihan hati. Sementara ilmu zhahir ilmu-ilmu yang secara praktis terkait dengan anggota-anggota tubuh. Seandainya engkau meletakan niat yang baik dalam Hatimu dan Hatimu tersebut bersih dari kotoran-kotoran, namun dalam praktek anggota badan engkau mencuri, berzina, makan harta riba, minum khamr, berbohong, takabur, buruk kata-kata, maka apalah artinya niat baik yang telah engkau letakan dalam Hatimu?! Demikian pula apa bila engkau melaksanakan ibadah kepada Allah dengan sangat tekun, memelihara anggota tubuh dari hal-hal yang haram, berpuasa, bersedekah, bersopan santun kepada sesama, sementara dalam Hatimu engkau meletakkan riya, sombong, supaya dilihat dan mendapat pujian dari orang lain, maka apalah artinya amalan dengan anggota badan yang engkau perbuat tersebut?! Dengan demikian jelas batin adalah intisari dari pada zhahir dan zhahir adalah wadah bagi batin, tidak ada perbedaan pada keduanya”._
Baca Selengkapnya>>>https://nurulhikmah.ponpes.id/ebookmtr/
-----------
*NURUL HIKMAH PRESS*
Penerbit dan Distributor Utama Buku - Buku Islam Karya Dr. H. Kholilurrohman, MA
*WhatsApp : wa.me/6287878023938*
______
*Toko Online:*
*https://shopee.co.id/nurulhikmahpress*
*https://tokopedia.com/nurulhikmahpress*
*https://bukalapak.com/nurulhikmahpress*
_“Janganlah kalian berkata seperti yang dikatakan oleh sebagian orang yang mengaku sufi: “Kita ahli batin dan mereka (ulama syari’at) ahli zhahir”. Karena dalam agama ini keduanya, zhahir dan batin adalah kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Batin adalah inti dari zhahir, dan zhahir adalah wadah bagi batin. Kalaulah tidak ada zhahir tentu tidak akan ada batin. Ketiadaan zhahir pasti menuntut ketiadaan batin. Hati tidak dapat berdiri sendiri kecuali dengan adanya jasad. Kalaulah bukan karena jasad maka hati tidak akan pernah ada. Hati ini adalah cahaya bagi jasad. Ilmu yang oleh sebagain (kaum sufi) disebut ilmu batin adalah ilmu-ilmu yang terkait dengan pembersihan hati. Sementara ilmu zhahir ilmu-ilmu yang secara praktis terkait dengan anggota-anggota tubuh. Seandainya engkau meletakan niat yang baik dalam Hatimu dan Hatimu tersebut bersih dari kotoran-kotoran, namun dalam praktek anggota badan engkau mencuri, berzina, makan harta riba, minum khamr, berbohong, takabur, buruk kata-kata, maka apalah artinya niat baik yang telah engkau letakan dalam Hatimu?! Demikian pula apa bila engkau melaksanakan ibadah kepada Allah dengan sangat tekun, memelihara anggota tubuh dari hal-hal yang haram, berpuasa, bersedekah, bersopan santun kepada sesama, sementara dalam Hatimu engkau meletakkan riya, sombong, supaya dilihat dan mendapat pujian dari orang lain, maka apalah artinya amalan dengan anggota badan yang engkau perbuat tersebut?! Dengan demikian jelas batin adalah intisari dari pada zhahir dan zhahir adalah wadah bagi batin, tidak ada perbedaan pada keduanya”._
Baca Selengkapnya>>>https://nurulhikmah.ponpes.id/ebookmtr/
-----------
*NURUL HIKMAH PRESS*
Penerbit dan Distributor Utama Buku - Buku Islam Karya Dr. H. Kholilurrohman, MA
*WhatsApp : wa.me/6287878023938*
______
*Toko Online:*
*https://shopee.co.id/nurulhikmahpress*
*https://tokopedia.com/nurulhikmahpress*
*https://bukalapak.com/nurulhikmahpress*
...
Sebagian ahli bid’ah mengatakan tidak akan sampai pahala sesuatu apapun kepada si mayit dari orang lain yang masih hidup, baik doa ataupun yang lainnya. -Perkataan mereka ini bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’-. Seringkali mereka berdalil dengan firman Allah:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (النجم: 39)
_*Dan bahwasanya seorang manusia tiada memiliki selain apa yang telah diusahakannya*_ (QS. an-Najm: 39)
Penafsiran mereka terhadap ayat ini adalah penafsiran yang tidak tepat. Karena maksud ayat ini bukan untuk menjelaskan bahwa seseorang tidak mendapatkan manfaat dari apa yang dikerjakan oleh orang lain, seperti sedekah dan haji yang diperuntukan bagi orang yang telah meninggal. Tapi yang dimaksud ayat ini ialah menafikan kepemilikan terhadap amal orang lain. Artinya, amal seseorang adalah milik dia yang mengerjakankannya, bukan milik orang lain yang tidak mengerjakannya.
Adapun bila seseorang berkehendak memberikan pahala amalnya kepada orang lain, maka itu bukan suatu masalah. Demikian pula jika ia berkehendak memilikinya hanya untuk dirinya sendiri saja, juga terserah. Karena itu dalam ayat QS. an-Najm: 39 di atas Allah tidak mengatakan: “Tidak bermanfaat bagi seseorang kecuali amalnya sendiri”. Tetapi yang dimaksud adalah “Tidak ada kepemilikan bagi seseorang kecuali dari amalnya sendiri”. Lihat penjelasan semacam ini dalam kitab Syarah ash-Shudur, karya al-Imam al-Hafizh as-Suyuthi.
Dalam al-Qur’an secara tegas Allah menyatakan bahwa doa seseorang jika diperuntukan bagi orang lain maka doa tersebut bermanfaat baginya. Baik diperuntukan terhadap yang masih hidup atau bagi yang sudah meninggal. Allah berfirman:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ (الحشر: 10)
_*“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah bagi kami dan bagi saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami”*_ (QS. al-Hasyr: 10)
Juga dalam banyak hadits yang sangat masyhur disebutkan bahwa Rasulullah sering mendoakan ahli kubur. Seperti doa beliau ketika beliau berziarah ke pemakaman al-Baqi’ di Madinah:
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لأَهْلِ بَقِيْعِ الغَرْقَدِ (رواه مسلم)
_*“Ya Allah, ampunilah ahli kubur Baqi’ al-Gharqad”*_ (HR. Muslim)
Dalam riwayat hadits lain, Rasulullah berdoa:
اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا (رواه الترمذيّ والنسائيّ وأبو داود)
_*“Ya Allah, ampunilah orang yang masih hidup di antara kami dan orang yang telah meninggal di antara kami”*_ (HR. at-Turmudzi, an-Nasa-i dan Abu Dawud)
Mereka yang menafikan secara mutlak tentang permasalahan ini adalah golongan Mu’tazilah. Pendapat kaum Mu’tazilah ini telah menyalahi Ijma’ ulama Salaf, karena para ulama salaf telah sepakat dalam membolehkan masalah ini. Salah seorang ulama Salaf terkemuka, al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (W 321 H) dalam risalah akidah Ahlussunnah yang juga dikenal dengan nama Risalah al-‘Akidah ath-Thahawiyyah, menyebutkan secara tegas:
وَفِيْ دُعَاءِ الأَحْيَاءِ وَصَدَقَاتِهِمْ مَنْفَعَةٌ لِلأَمْوَاتِ
_*“Dalam doa dan sedekah orang yang masih hidup terdapat manfaat bagi orang-orang yang sudah meninggal”*_
https://shopee.co.id/product/289903238/4743940928?smtt=0.0.9
*Kholil Abou Fateh*
*_Al-Asy’ari Asy-Syafi’i Ar-Rifa’i Al-Qadiri_
🎉🎉
*Ayo, kita tahlil!!*
*Dalil Sampainya Pahala Amal Shaleh Bagi Mayyit*
-----
*NURUL HIKMAH PRESS*
_al-Asy'ari asy-Syafi'i ar-Rifa'i al-Qadiri_
https://www.facebook.com/nurulhikmahpress/
https://shopee.co.id/nurulhikmahpress
https://tokopedia.com/nurulhikmahpress
https://bukalapak.com/nurulhikmahpress
Sebagian ahli bid’ah mengatakan tidak akan sampai pahala sesuatu apapun kepada si mayit dari orang lain yang masih hidup, baik doa ataupun yang lainnya. -Perkataan mereka ini bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’-. Seringkali mereka berdalil dengan firman Allah:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (النجم: 39)
_*Dan bahwasanya seorang manusia tiada memiliki selain apa yang telah diusahakannya*_ (QS. an-Najm: 39)
Penafsiran mereka terhadap ayat ini adalah penafsiran yang tidak tepat. Karena maksud ayat ini bukan untuk menjelaskan bahwa seseorang tidak mendapatkan manfaat dari apa yang dikerjakan oleh orang lain, seperti sedekah dan haji yang diperuntukan bagi orang yang telah meninggal. Tapi yang dimaksud ayat ini ialah menafikan kepemilikan terhadap amal orang lain. Artinya, amal seseorang adalah milik dia yang mengerjakankannya, bukan milik orang lain yang tidak mengerjakannya.
Adapun bila seseorang berkehendak memberikan pahala amalnya kepada orang lain, maka itu bukan suatu masalah. Demikian pula jika ia berkehendak memilikinya hanya untuk dirinya sendiri saja, juga terserah. Karena itu dalam ayat QS. an-Najm: 39 di atas Allah tidak mengatakan: “Tidak bermanfaat bagi seseorang kecuali amalnya sendiri”. Tetapi yang dimaksud adalah “Tidak ada kepemilikan bagi seseorang kecuali dari amalnya sendiri”. Lihat penjelasan semacam ini dalam kitab Syarah ash-Shudur, karya al-Imam al-Hafizh as-Suyuthi.
Dalam al-Qur’an secara tegas Allah menyatakan bahwa doa seseorang jika diperuntukan bagi orang lain maka doa tersebut bermanfaat baginya. Baik diperuntukan terhadap yang masih hidup atau bagi yang sudah meninggal. Allah berfirman:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ (الحشر: 10)
_*“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah bagi kami dan bagi saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami”*_ (QS. al-Hasyr: 10)
Juga dalam banyak hadits yang sangat masyhur disebutkan bahwa Rasulullah sering mendoakan ahli kubur. Seperti doa beliau ketika beliau berziarah ke pemakaman al-Baqi’ di Madinah:
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لأَهْلِ بَقِيْعِ الغَرْقَدِ (رواه مسلم)
_*“Ya Allah, ampunilah ahli kubur Baqi’ al-Gharqad”*_ (HR. Muslim)
Dalam riwayat hadits lain, Rasulullah berdoa:
اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا (رواه الترمذيّ والنسائيّ وأبو داود)
_*“Ya Allah, ampunilah orang yang masih hidup di antara kami dan orang yang telah meninggal di antara kami”*_ (HR. at-Turmudzi, an-Nasa-i dan Abu Dawud)
Mereka yang menafikan secara mutlak tentang permasalahan ini adalah golongan Mu’tazilah. Pendapat kaum Mu’tazilah ini telah menyalahi Ijma’ ulama Salaf, karena para ulama salaf telah sepakat dalam membolehkan masalah ini. Salah seorang ulama Salaf terkemuka, al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (W 321 H) dalam risalah akidah Ahlussunnah yang juga dikenal dengan nama Risalah al-‘Akidah ath-Thahawiyyah, menyebutkan secara tegas:
وَفِيْ دُعَاءِ الأَحْيَاءِ وَصَدَقَاتِهِمْ مَنْفَعَةٌ لِلأَمْوَاتِ
_*“Dalam doa dan sedekah orang yang masih hidup terdapat manfaat bagi orang-orang yang sudah meninggal”*_
https://shopee.co.id/product/289903238/4743940928?smtt=0.0.9
*Kholil Abou Fateh*
*_Al-Asy’ari Asy-Syafi’i Ar-Rifa’i Al-Qadiri_
🎉🎉
*Ayo, kita tahlil!!*
*Dalil Sampainya Pahala Amal Shaleh Bagi Mayyit*
-----
*NURUL HIKMAH PRESS*
_al-Asy'ari asy-Syafi'i ar-Rifa'i al-Qadiri_
https://www.facebook.com/nurulhikmahpress/
https://shopee.co.id/nurulhikmahpress
https://tokopedia.com/nurulhikmahpress
https://bukalapak.com/nurulhikmahpress
Facebook
Log in to Facebook
Log in to Facebook to start sharing and connecting with your friends, family and people you know.
*Fungsi Akal Sebagai Bukti Bagi Kebenaran Syari’at*
Ialah bahwa akal berfungsi sebagai bukti bagi kebenaran syari’at. Al-Faqih al-’Allamah Syits ibn Ibrahim al-Maliki (w 598 H) berkata:
أهل الحق جمعوا بين المعقول والمنقول أي بين العقل والشرع، واستعانوا في درك الحقائق بمجموعهما فسلكوا طريقًا بين طريقي الإفراط والتفريط، وسنضرب لك مثالاً يقرب من أفهام القاصرين ذَكره العلماء كما أن الله تعالى يضرب الأمثال للناس لعلهم يتذكرون، فنقول لذوي العقول: مثال العقل العين الباصرة، ومثال الشرع الشمس المضيئة، فمن استعمل العقل دون الشرع كان بمنزلة من خرج في الليل الأسود البهيم وفتح بصره يريد أن يدرك المرئيات ويفرق بين المبصَرات فيعرف الخيط الأبيض من الخيط الأسود، والأحمر من الأخضر والأصفر، ويجتهد في تحديق البصر فلا يدرك ما أراد أبدًا مع عدم الشمس المنيرة وإن كان ذا بصر وبصيرة، ومثال من استعمل الشرع دون العقل، مثال من خرج نهارًا جهارًا وهو أعمى أو مغمض العينين، يريد أن يدرك الألوان ويفرق بين الأعراض، فلا يدرك الآخر شيئًا أبدًا، ومثال من استعمل العقل والشرع جميعًا مثال من خرج بالنهار وهو سالم البصر، مفتوح العينين والشمس ظاهرة مضيئة، فما أجدره وأحقه أن يدرك الألوان على حقائقها، ويفرق بين أسودها وأحمرها وأبيضها وأصفرها. اهـ
_*“Golongan yang benar (Ahlul Haq) telah menyatukan antara Ma’qul dan Manqul, artinya antara akal dan syari’at, dalam meraih kebenaran. Mereka mempergunakan keduanya, yang dengan itulah mereka menapaki jalan moderat (pertengahan). Yaitu jalan pertengahan antara sikap berlebihan dan sikap apatis/ masa bodoh (Bayn Thariqay al-Ifrath Wa at-Tafrith). Berikut ini kita berikan contoh sebagai pendekatan bagi orang-orang yang kurang paham; sebagaimana para ulama selalu membuat contoh-contoh untuk tujuan mendekatkan pemahaman, juga sebagaimana Allah dalam Al-Qur’an sering menggambarkan contoh-contoh bagi manusia sebagai pengingat bagi mereka. Kita katakan bagi mereka yang memiliki akal; sesungguhnya perumpamaan akal sebagai mata yang melihat, sementara syari’at sebagai matahari bersinar. Siapa yang mempergunakan akal tanpa mempergunakan syari’at maka layakanya ia seorang yang keluar di malam yang gelap gulita, ia membuka matanya untuk dapat melihat dan agar dapat membedakan antara objek-objek yang ada di hadapannya, ia berusaha untuk dapat membedakan antara benang putih dari benang hitam, antara merah, hijau, dan kuning, dengan usaha kuatnya ia menajamkan pandangan matanya; namun akhirnya dia tidak akan mendapatkan apapun dari yang dia inginkannya, selamanya. Sementara orang yang mempergunakan akal dan syari’at secara bersamaan maka ia seperti orang yang keluar di siang hari dengan pandangan mata yang sehat. Ia membuka kedua matanya di saat matahari memancarkan cahaya dengan terang. Tentu orang seperti ini akan dengan jelas mendapatkan dan membedakan di antara warna-warna dengan sebenar-benarnya. Ia dapat membedakan antara warna hitam, merah, putih, kuning dan lainnya”*_ (1)
Dengan demikian akal memiliki potensi. Dalam Syari’at kita diperintahkan untuk mempergunakannya. Karena itu ada banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintah kita untuk berfikir, mengambil pelajaran dari objek-objek yang ada di sekitar kita, dan bahkan dari diri kita sendiri. Cukup sebagai bukti kuat atas ini adalah bahwa hamper sepertiga kandungan Al-Qur’an berbicara fakta sejarah dari umat-umat Nabi terdahulu. Tidak lain itu semua supaya kita jadikan pelajaran, renungan, dan bahan berfikir. Di sinilah kita diperintahkan untuk mempergunakan akal.
*(1) Hazz al Ghalashim Fi Ifham al Mukhashim, h. 94*
*Kholilurrohman Abu Fateh*
_al-Asy'ari asy-Syafi'i ar-Rifa'i al-Qadiri_
______
📡📡
*Media Sosial:*
*youtube.com/ustadzkholilaboufateh*
*fb.me/tauhidcorner*
*instagram.com/tauhidcorner*
*anchor.fm/ustadzkholilaboufateh*
*t.me/Kholilaboufateh*
*https://nurulhikmah.ponpes.id*
______
*NURUL HIKMAH PRESS*
Penerbit dan Distributor Utama Buku - Buku Islam Karya Dr. H. Kholilurrohman, MA
*WhatsApp:*
*wa.me/6287878023938*
*Toko Online:*
*https://shopee.co.id/nurulhikmahpress*
*https://tokopedia.com/nurulhikmahpress*
*https://bukalapak.com/nurulhikmahpress*
Ialah bahwa akal berfungsi sebagai bukti bagi kebenaran syari’at. Al-Faqih al-’Allamah Syits ibn Ibrahim al-Maliki (w 598 H) berkata:
أهل الحق جمعوا بين المعقول والمنقول أي بين العقل والشرع، واستعانوا في درك الحقائق بمجموعهما فسلكوا طريقًا بين طريقي الإفراط والتفريط، وسنضرب لك مثالاً يقرب من أفهام القاصرين ذَكره العلماء كما أن الله تعالى يضرب الأمثال للناس لعلهم يتذكرون، فنقول لذوي العقول: مثال العقل العين الباصرة، ومثال الشرع الشمس المضيئة، فمن استعمل العقل دون الشرع كان بمنزلة من خرج في الليل الأسود البهيم وفتح بصره يريد أن يدرك المرئيات ويفرق بين المبصَرات فيعرف الخيط الأبيض من الخيط الأسود، والأحمر من الأخضر والأصفر، ويجتهد في تحديق البصر فلا يدرك ما أراد أبدًا مع عدم الشمس المنيرة وإن كان ذا بصر وبصيرة، ومثال من استعمل الشرع دون العقل، مثال من خرج نهارًا جهارًا وهو أعمى أو مغمض العينين، يريد أن يدرك الألوان ويفرق بين الأعراض، فلا يدرك الآخر شيئًا أبدًا، ومثال من استعمل العقل والشرع جميعًا مثال من خرج بالنهار وهو سالم البصر، مفتوح العينين والشمس ظاهرة مضيئة، فما أجدره وأحقه أن يدرك الألوان على حقائقها، ويفرق بين أسودها وأحمرها وأبيضها وأصفرها. اهـ
_*“Golongan yang benar (Ahlul Haq) telah menyatukan antara Ma’qul dan Manqul, artinya antara akal dan syari’at, dalam meraih kebenaran. Mereka mempergunakan keduanya, yang dengan itulah mereka menapaki jalan moderat (pertengahan). Yaitu jalan pertengahan antara sikap berlebihan dan sikap apatis/ masa bodoh (Bayn Thariqay al-Ifrath Wa at-Tafrith). Berikut ini kita berikan contoh sebagai pendekatan bagi orang-orang yang kurang paham; sebagaimana para ulama selalu membuat contoh-contoh untuk tujuan mendekatkan pemahaman, juga sebagaimana Allah dalam Al-Qur’an sering menggambarkan contoh-contoh bagi manusia sebagai pengingat bagi mereka. Kita katakan bagi mereka yang memiliki akal; sesungguhnya perumpamaan akal sebagai mata yang melihat, sementara syari’at sebagai matahari bersinar. Siapa yang mempergunakan akal tanpa mempergunakan syari’at maka layakanya ia seorang yang keluar di malam yang gelap gulita, ia membuka matanya untuk dapat melihat dan agar dapat membedakan antara objek-objek yang ada di hadapannya, ia berusaha untuk dapat membedakan antara benang putih dari benang hitam, antara merah, hijau, dan kuning, dengan usaha kuatnya ia menajamkan pandangan matanya; namun akhirnya dia tidak akan mendapatkan apapun dari yang dia inginkannya, selamanya. Sementara orang yang mempergunakan akal dan syari’at secara bersamaan maka ia seperti orang yang keluar di siang hari dengan pandangan mata yang sehat. Ia membuka kedua matanya di saat matahari memancarkan cahaya dengan terang. Tentu orang seperti ini akan dengan jelas mendapatkan dan membedakan di antara warna-warna dengan sebenar-benarnya. Ia dapat membedakan antara warna hitam, merah, putih, kuning dan lainnya”*_ (1)
Dengan demikian akal memiliki potensi. Dalam Syari’at kita diperintahkan untuk mempergunakannya. Karena itu ada banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintah kita untuk berfikir, mengambil pelajaran dari objek-objek yang ada di sekitar kita, dan bahkan dari diri kita sendiri. Cukup sebagai bukti kuat atas ini adalah bahwa hamper sepertiga kandungan Al-Qur’an berbicara fakta sejarah dari umat-umat Nabi terdahulu. Tidak lain itu semua supaya kita jadikan pelajaran, renungan, dan bahan berfikir. Di sinilah kita diperintahkan untuk mempergunakan akal.
*(1) Hazz al Ghalashim Fi Ifham al Mukhashim, h. 94*
*Kholilurrohman Abu Fateh*
_al-Asy'ari asy-Syafi'i ar-Rifa'i al-Qadiri_
______
📡📡
*Media Sosial:*
*youtube.com/ustadzkholilaboufateh*
*fb.me/tauhidcorner*
*instagram.com/tauhidcorner*
*anchor.fm/ustadzkholilaboufateh*
*t.me/Kholilaboufateh*
*https://nurulhikmah.ponpes.id*
______
*NURUL HIKMAH PRESS*
Penerbit dan Distributor Utama Buku - Buku Islam Karya Dr. H. Kholilurrohman, MA
*WhatsApp:*
*wa.me/6287878023938*
*Toko Online:*
*https://shopee.co.id/nurulhikmahpress*
*https://tokopedia.com/nurulhikmahpress*
*https://bukalapak.com/nurulhikmahpress*
YouTube
Ustadz Kholil Abou Fateh
Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Fiqh Syafi'iyyah
*Nama-Nama Dan Sifat-Sifat Allah Adalah Tawqifiyyah*
Para ulama Ahlussunnah sepakat bahwa nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah tawqifiyyah. Artinya bahwa nama-nama dan sifat-sifat Allah hanya ditetapkan oleh Syara’. Yaitu ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan oleh Rasulullah dalam Hadits-Hadits yang sahih. Tidak ditetapkan dengan jalan Ijtihad. Pendapat ini banyak diungkapkan oleh para ulama kita. Diantaranya oleh Syekh Ibrahim al-Laqqani dalam Jawharah at-Tawhid;
*واختير أن اسماه توقيفية * كذا الصفات فاحفظ السمعية*
*“Dan pendapat yang dipilih adalah bahwa Nama-Nama Allah adalah Tauqifiyyah. Demikian pula Sifat-Sifat-Nya. Maka hafalkan olehmu apa yang datang secara sam’i (datang dalam ketetapan Syara’)”.*
Para ulama kita mengatakan bahwa dalam menetapkan sifat-sifat bagi Allah adalah hanya dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan oleh Rasulullah dalam Hadits-Hadits yang sahih. Ini artinya; lafazh-lafazh yang disandarkan kepada Allah yang berlaku dalam makna idhafat (penyandaran) saja maka itu semua tidak boleh ditetapkan sebagai Sifat-Sifat bagi-Nya. Al-Hafizh Ibnul Jawzi dalam bantahan terhadap kaum Musyabbihah Mujassimah berkata:
أنهم سموا الأخبار أخبار صفات، وإنما هي إضافات، وليس كل مضاف صفة، فإنه قال سبحانه وتعالى: ونفخت فيه من روحي (سورة الحجر: 29) وليس لله صفة تسمى روحا، فقد ابتدع من سمى المضاف صفة. اهـ (1)
*”Mereka selalu menamakan setiap teks yang memberitakan tentang Allah sebagai sifat-sifat-Nya. Padahal tujuan teks-teks tersebut hanya untuk mengungkapkan penyandaran saja (al-Idlafah). [Artinya penyandaran sesuatu kepada nama Allah untuk menunjukan bahwa Allah memuliakan perkara tersebut]. Padahal tidak setiap bentuk Idlafah itu dalam pengertian sifat. Contoh, firman Allah tentang Nabi Isa:*
*وَنَفَخْتُ فيْه مِنْ رُوْحِي (سورة الحجر: 29)*
*Kata “من روحي” dalam ayat ini tidak boleh dipahami bahwa Allah memiliki sifat yang disebut dengan “ruh” [lalu sebagian ruh tersebut adalah bagian dari Nabi Isa yang ditiupkan kepadanya]. (Tetapi yang dimaksud adalah bahwa ruh tersebut adalah ruh yang dimuliakan oleh Allah). Barangsiapa memahami bahwa setiap Idlafah itu sebagai sifat maka dia seorang yang telah sesat dan ahli bid’ah”.*
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa tidak setiap segala yang disandarkan kepada Allah, baik dalam teks-teks Al-Qur’an atau Hadits-Hadits Nabi dapat disebut sebagai sifat Bagi-Nya. Kesimpulan ini harus dipahami dengan benar. Karena jika tidak maka seseorang akan menetapkan segala apapun bagi Allah dengan dalih ada penyebutannya dalam Al-Qur’an dan Hadits, walaupun itu sifat-sifat benda, seperti gerak, turun, naik, bentuk, ukuran, tempat, arah, anggota-anggota badan, dan lainnya. Na’udzu Billah.
______
*(1) Ibnul Jawzi, Daf’u Syubah at-Tasybih, h. 5*
*Kholilurrohman Abu Fateh*
_al-Asy'ari asy-Syafi'i ar-Rifa'i al-Qadiri_
______
📡📡
*Media Sosial:*
*youtube.com/ustadzkholilaboufateh*
*fb.me/tauhidcorner*
*instagram.com/tauhidcorner*
*anchor.fm/ustadzkholilaboufateh*
*t.me/Kholilaboufateh*
*https://nurulhikmah.ponpes.id*
______
*NURUL HIKMAH PRESS*
Penerbit dan Distributor Utama Buku - Buku Islam Karya Dr. H. Kholilurrohman, MA
*WhatsApp:*
*wa.me/6287878023938*
*Toko Online:*
*https://shopee.co.id/nurulhikmahpress*
*https://tokopedia.com/nurulhikmahpress*
*https://bukalapak.com/nurulhikmahpress*
Para ulama Ahlussunnah sepakat bahwa nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah tawqifiyyah. Artinya bahwa nama-nama dan sifat-sifat Allah hanya ditetapkan oleh Syara’. Yaitu ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan oleh Rasulullah dalam Hadits-Hadits yang sahih. Tidak ditetapkan dengan jalan Ijtihad. Pendapat ini banyak diungkapkan oleh para ulama kita. Diantaranya oleh Syekh Ibrahim al-Laqqani dalam Jawharah at-Tawhid;
*واختير أن اسماه توقيفية * كذا الصفات فاحفظ السمعية*
*“Dan pendapat yang dipilih adalah bahwa Nama-Nama Allah adalah Tauqifiyyah. Demikian pula Sifat-Sifat-Nya. Maka hafalkan olehmu apa yang datang secara sam’i (datang dalam ketetapan Syara’)”.*
Para ulama kita mengatakan bahwa dalam menetapkan sifat-sifat bagi Allah adalah hanya dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan oleh Rasulullah dalam Hadits-Hadits yang sahih. Ini artinya; lafazh-lafazh yang disandarkan kepada Allah yang berlaku dalam makna idhafat (penyandaran) saja maka itu semua tidak boleh ditetapkan sebagai Sifat-Sifat bagi-Nya. Al-Hafizh Ibnul Jawzi dalam bantahan terhadap kaum Musyabbihah Mujassimah berkata:
أنهم سموا الأخبار أخبار صفات، وإنما هي إضافات، وليس كل مضاف صفة، فإنه قال سبحانه وتعالى: ونفخت فيه من روحي (سورة الحجر: 29) وليس لله صفة تسمى روحا، فقد ابتدع من سمى المضاف صفة. اهـ (1)
*”Mereka selalu menamakan setiap teks yang memberitakan tentang Allah sebagai sifat-sifat-Nya. Padahal tujuan teks-teks tersebut hanya untuk mengungkapkan penyandaran saja (al-Idlafah). [Artinya penyandaran sesuatu kepada nama Allah untuk menunjukan bahwa Allah memuliakan perkara tersebut]. Padahal tidak setiap bentuk Idlafah itu dalam pengertian sifat. Contoh, firman Allah tentang Nabi Isa:*
*وَنَفَخْتُ فيْه مِنْ رُوْحِي (سورة الحجر: 29)*
*Kata “من روحي” dalam ayat ini tidak boleh dipahami bahwa Allah memiliki sifat yang disebut dengan “ruh” [lalu sebagian ruh tersebut adalah bagian dari Nabi Isa yang ditiupkan kepadanya]. (Tetapi yang dimaksud adalah bahwa ruh tersebut adalah ruh yang dimuliakan oleh Allah). Barangsiapa memahami bahwa setiap Idlafah itu sebagai sifat maka dia seorang yang telah sesat dan ahli bid’ah”.*
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa tidak setiap segala yang disandarkan kepada Allah, baik dalam teks-teks Al-Qur’an atau Hadits-Hadits Nabi dapat disebut sebagai sifat Bagi-Nya. Kesimpulan ini harus dipahami dengan benar. Karena jika tidak maka seseorang akan menetapkan segala apapun bagi Allah dengan dalih ada penyebutannya dalam Al-Qur’an dan Hadits, walaupun itu sifat-sifat benda, seperti gerak, turun, naik, bentuk, ukuran, tempat, arah, anggota-anggota badan, dan lainnya. Na’udzu Billah.
______
*(1) Ibnul Jawzi, Daf’u Syubah at-Tasybih, h. 5*
*Kholilurrohman Abu Fateh*
_al-Asy'ari asy-Syafi'i ar-Rifa'i al-Qadiri_
______
📡📡
*Media Sosial:*
*youtube.com/ustadzkholilaboufateh*
*fb.me/tauhidcorner*
*instagram.com/tauhidcorner*
*anchor.fm/ustadzkholilaboufateh*
*t.me/Kholilaboufateh*
*https://nurulhikmah.ponpes.id*
______
*NURUL HIKMAH PRESS*
Penerbit dan Distributor Utama Buku - Buku Islam Karya Dr. H. Kholilurrohman, MA
*WhatsApp:*
*wa.me/6287878023938*
*Toko Online:*
*https://shopee.co.id/nurulhikmahpress*
*https://tokopedia.com/nurulhikmahpress*
*https://bukalapak.com/nurulhikmahpress*
YouTube
Ustadz Kholil Abou Fateh
Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Fiqh Syafi'iyyah
______
📡📡
*Media Sosial:*
youtube.com/ustadzkholilaboufateh
fb.me/tauhidcorner
instagram.com/tauhidcorner
anchor.fm/ustadzkholilaboufateh
t.me/Kholilaboufateh
https://nurulhikmah.ponpes.id
______
*NURUL HIKMAH PRESS*
Penerbit dan Distributor Utama Buku - Buku Islam Karya Dr. H. Kholilurrohman, MA
*WhatsApp:*
*wa.me/6287878023938*
*Toko Online:*
*https://shopee.co.id/nurulhikmahpress*
*https://tokopedia.com/nurulhikmahpress*
*https://bukalapak.com/nurulhikmahpress*
📡📡
*Media Sosial:*
youtube.com/ustadzkholilaboufateh
fb.me/tauhidcorner
instagram.com/tauhidcorner
anchor.fm/ustadzkholilaboufateh
t.me/Kholilaboufateh
https://nurulhikmah.ponpes.id
______
*NURUL HIKMAH PRESS*
Penerbit dan Distributor Utama Buku - Buku Islam Karya Dr. H. Kholilurrohman, MA
*WhatsApp:*
*wa.me/6287878023938*
*Toko Online:*
*https://shopee.co.id/nurulhikmahpress*
*https://tokopedia.com/nurulhikmahpress*
*https://bukalapak.com/nurulhikmahpress*