akibat hukum apapun terhadap al Matruk kecuali hanya kebolehan meninggalkan al Matruk dan ketiadaan cela dalam meninggalkan hal tersebut. Sedangkan pengharaman atau pengenaan kemakruhan terhadap al Matruk itu tidak ada padanya, apalagi dalam hal yang tentangnya terdapat dalil umum dan global dari syara' seperti doa misalnya".
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Syarh al Bukhari:
قَالَ ابْنُ بَطَّالٍ: فِعْلُ الرَّسُوْلِ إِذَا تَجَرَّدَ عَنِ القَرَائِنِ –وَكَذَا تَرْكُهُ- لاَ يَدُلُّ عَلَى وُجُوْبٍ وَتَحْرِيْمٍ". (فتح الباري 9/ 14)
Maknanya: “Ibnu Baththal mengatakan: Perbuatan Rasulullah jika tidak ada qarinah lain –demikian pula tark-nya - tidak menunjukkan kewajiban dan keharaman”.
Jadi perkataan al Hafizh Ibnu Hajar " وَكَذَا تَرْكُهُ" menunjukkan bahwa at-Tark saja (Mujarrad at-Tark) tidak menunjukkan pengharaman.
*Masalah Kedua:* “Sebagian kalangan sering mengatakan ketika melihat orang melakukan suatu amalan: Ini tidak ada dalilnya! dengan maksud tidak ada ayat atau hadits khusus yang berbicara tentang masalah tersebut”.
*Jawab:*
Dalam ushul fiqh dijelaskan bahwa jika sebuah ayat atau hadits dengan keumumannya mencakup suatu perkara, itu menunjukkan bahwa perkara tersebut masyru'. Jadi keumuman ayat atau hadits adalah dalil syar'i. Dalil-dalil umum tersebut adalah seperti:
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [سورة الحـجّ
Maknanya: “Dan lakukan kebaikan supaya kalian beruntung” (Q.S. al Hajj: 77)
Jadi dalil yang umum diberlakukan untuk semua cakupannya. Kaedah mengatakan:
" العَامُّ يُعْمَلُ بِهِ فِيْ جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهِ ".
"Dalil yang umum diterapkan (digunakan) dalam semua bagian-bagian (cakupannya)".
Ini sangat bertentangan dengan kebiasaan sebagian orang. Sebagian orang tidak menganggap cukup sebagai dalil dalam suatu masalah tertentu bahwa hal tersebut dicakup oleh keumuman sebuah dalil, mereka selalu menuntut dalil khusus tentang masalah tersebut. Sikap seperti ini sangat berbahaya dan bahkan bisa mengantarkan kepada kekufuran tanpa mereka sadari. Karena jika setiap peristiwa atau masalah disyaratkan untuk dikatakan masyru' dan tidak disebut sebagai bid'ah bahwa ada dalil khusus tentangnya, niscaya akan tidak berfungsi keumuman al Qur'an dan Sunnah dan tidak sah lagi berdalil dengan keumuman tersebut. Ini artinya merobohkan sebagian besar dalil-dalil syar'i dan mempersempit wilayah hukum dan itu artinya bahwa syari'at ini tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan tentang hukum peristiwa-peristiwa yang terus berkembang dengan berkembangnya zaman. Ini semua adalah akibat-akibat yang bisa mengantarkan kepada penghinaan dan pelecehan terhadap syari'at, padahal jelas penghinaan terhadap syari'at merupakan kekufuran yang sangat nyata.
*Kaedah Ke tiga:*
Dalam menetapkan hukum suatu permasalahan tidak diharuskan ada banyak dalil; berupa beberapa ayat atau beberapa hadits misalnya. Jika memang sudah ada satu hadits saja misalnya dan para mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hadits tersebut maka hal itu sudah cukup.
*Kaedah Ke empat:*
Dalam beristidlal sering dijumpai adanya hadits yang diperselisihkan status dan kehujjahannya di kalangan para ulama hadits sendiri. Perbedaan penilaian terhadap suatu hadits inilah salah satu faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama mujtahid. Seandainya bukan karena hal ini, niscaya para ulama tidak akan berbeda pendapat dalam sekian banyak masalah furu’ dalam bab ibadah dan mu’amalah. Oleh karenanya, jika ada hadits yang statusnya masih diperselisihkan di kalangan para ahli maka sah-sah saja jika kita mengikuti salah seorang ulama hadits, apalagi jika yang kita ikuti betul-betul ahli di bidangnya seperti Ibnu Hibban, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al Hakim, al Bayhaqi, an-Nawawi, al Hafizh Ibnu Hajar, as-Sakhawi, as-Suyuthi dan semacamnya. Karena memang menurut para ulama hadits sendiri, Hadits itu ada yang muttafaq ‘ala shihhatihi dan ada yang mukhtalaf fi Shihhatihi .
Dari penjelasan ini diketahui bahwa jika ada sebagian kalangan yang mengira bahwa hanya mereka yang mengetahui hadits yang sahih dan hanya mereka yang memiliki hadi
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Syarh al Bukhari:
قَالَ ابْنُ بَطَّالٍ: فِعْلُ الرَّسُوْلِ إِذَا تَجَرَّدَ عَنِ القَرَائِنِ –وَكَذَا تَرْكُهُ- لاَ يَدُلُّ عَلَى وُجُوْبٍ وَتَحْرِيْمٍ". (فتح الباري 9/ 14)
Maknanya: “Ibnu Baththal mengatakan: Perbuatan Rasulullah jika tidak ada qarinah lain –demikian pula tark-nya - tidak menunjukkan kewajiban dan keharaman”.
Jadi perkataan al Hafizh Ibnu Hajar " وَكَذَا تَرْكُهُ" menunjukkan bahwa at-Tark saja (Mujarrad at-Tark) tidak menunjukkan pengharaman.
*Masalah Kedua:* “Sebagian kalangan sering mengatakan ketika melihat orang melakukan suatu amalan: Ini tidak ada dalilnya! dengan maksud tidak ada ayat atau hadits khusus yang berbicara tentang masalah tersebut”.
*Jawab:*
Dalam ushul fiqh dijelaskan bahwa jika sebuah ayat atau hadits dengan keumumannya mencakup suatu perkara, itu menunjukkan bahwa perkara tersebut masyru'. Jadi keumuman ayat atau hadits adalah dalil syar'i. Dalil-dalil umum tersebut adalah seperti:
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [سورة الحـجّ
Maknanya: “Dan lakukan kebaikan supaya kalian beruntung” (Q.S. al Hajj: 77)
Jadi dalil yang umum diberlakukan untuk semua cakupannya. Kaedah mengatakan:
" العَامُّ يُعْمَلُ بِهِ فِيْ جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهِ ".
"Dalil yang umum diterapkan (digunakan) dalam semua bagian-bagian (cakupannya)".
Ini sangat bertentangan dengan kebiasaan sebagian orang. Sebagian orang tidak menganggap cukup sebagai dalil dalam suatu masalah tertentu bahwa hal tersebut dicakup oleh keumuman sebuah dalil, mereka selalu menuntut dalil khusus tentang masalah tersebut. Sikap seperti ini sangat berbahaya dan bahkan bisa mengantarkan kepada kekufuran tanpa mereka sadari. Karena jika setiap peristiwa atau masalah disyaratkan untuk dikatakan masyru' dan tidak disebut sebagai bid'ah bahwa ada dalil khusus tentangnya, niscaya akan tidak berfungsi keumuman al Qur'an dan Sunnah dan tidak sah lagi berdalil dengan keumuman tersebut. Ini artinya merobohkan sebagian besar dalil-dalil syar'i dan mempersempit wilayah hukum dan itu artinya bahwa syari'at ini tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan tentang hukum peristiwa-peristiwa yang terus berkembang dengan berkembangnya zaman. Ini semua adalah akibat-akibat yang bisa mengantarkan kepada penghinaan dan pelecehan terhadap syari'at, padahal jelas penghinaan terhadap syari'at merupakan kekufuran yang sangat nyata.
*Kaedah Ke tiga:*
Dalam menetapkan hukum suatu permasalahan tidak diharuskan ada banyak dalil; berupa beberapa ayat atau beberapa hadits misalnya. Jika memang sudah ada satu hadits saja misalnya dan para mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hadits tersebut maka hal itu sudah cukup.
*Kaedah Ke empat:*
Dalam beristidlal sering dijumpai adanya hadits yang diperselisihkan status dan kehujjahannya di kalangan para ulama hadits sendiri. Perbedaan penilaian terhadap suatu hadits inilah salah satu faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama mujtahid. Seandainya bukan karena hal ini, niscaya para ulama tidak akan berbeda pendapat dalam sekian banyak masalah furu’ dalam bab ibadah dan mu’amalah. Oleh karenanya, jika ada hadits yang statusnya masih diperselisihkan di kalangan para ahli maka sah-sah saja jika kita mengikuti salah seorang ulama hadits, apalagi jika yang kita ikuti betul-betul ahli di bidangnya seperti Ibnu Hibban, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al Hakim, al Bayhaqi, an-Nawawi, al Hafizh Ibnu Hajar, as-Sakhawi, as-Suyuthi dan semacamnya. Karena memang menurut para ulama hadits sendiri, Hadits itu ada yang muttafaq ‘ala shihhatihi dan ada yang mukhtalaf fi Shihhatihi .
Dari penjelasan ini diketahui bahwa jika ada sebagian kalangan yang mengira bahwa hanya mereka yang mengetahui hadits yang sahih dan hanya mereka yang memiliki hadi
ts yang sahih, hadits yang ada pada mereka saja yang sahih dan semua hadits yang ada pada selain mereka tidak sahih, maka orang seperti ini betul-betul tidak mengerti tentang apa yang dia katakan. Orang seperti ini tidak tahu menahu tentang ilmu hadits dan para ahli hadits yang sebenarnya.
*Kaedah Ke lima:*
Kaedah: ada sebuah kaedah yang sangat penting dalam beristidlal, orang yang tidak mengetahuinya bisa terperosok dalam kesesatan mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah atau sebaliknya. Al Hafizh al Faqih al Khathib al Baghdadi menyebutkan kaedah tersebut dalam kitab al Faqih Wal Mutafaqqih (h. 132):
"وَإِذَا رَوَى الثِّقَةُ الْمَأْمُوْنُ خَبَرًا مُتَّصِلَ الإِسْنَادِ رُدَّ بِأُمُوْرٍ" ثُمَّ قَالَ: "وَالثَّانِيْ أَنْ يُخَالِفَ نَصَّ الْكِتَابِ أَوْ السُّـنَّةِ الْمُتَوَاتِرَةِ فَيُعْلَمُ أَنَّهُ لاَ أَصْلَ لَهُ أَوْ مَنْسُوْخٌ، وَالثَّالِثُ أَنْ يُخَالِفَ الإِجْمَاعَ فَيُسْتَدَلُّ عَلَى أَنَّهُ مَنْسُوْخٌ أَوْ لاَ أَصْلَ لَهُ، لأَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ صَحِيْحًا غَيْرَ مَنْسُوْخٍ وَتُجْمِعُ الأُمَّةُ عَلَى خِلاَفِهِ" ا.هـ.
"Jika seorang perawi yang tsiqah ma'mun (terpercaya) meriwayatkan hadits yang bersambung sanadnya bisa tertolak karena beberapa hal", kemudian beliau mengatakan: "Kedua: hadits tersebut menyalahi nash al Qur'an, hadits mutawatir, sehingga dari sini diketahui bahwa hadits tersebut sebenarnya tidak memiliki asal atau mansukh (telah dihapus dan tidak berlaku lagi). Ketiga: hadits tersebut menyalahi ijma', sehingga itu menjadi petunjuk bahwa hadits tersebut sebenarnya mansukh atau tidak memiliki asal, karena tidak mungkin hadits tersebut sahih dan tidak mansukh lalu ummat sepakat untuk menyalahinya".
Orang yang tidak mengetahui kaedah ini bisa mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah, seperti sebagian orang yang mengaku mujtahid di masa kini yang mengharamkan bagi perempuan untuk memakai perhiasan emas yang berbentuk lingkaran (adz-Dzahab al Muhallaq) seperti cincin, gelang, kalung, anting dan semacamnya. Pengharaman itu dikarenakan ia menemukan beberapa hadits yang sahih menurutnya yang mengharamkan perhiasan emas tersebut. Padahal hadits-hadits tersebut sebenarnya menyalahi nash al Qur'an seperti firman Allah:
أَوَ مَن يُنَشَّؤُا فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ [سورة الزخرف
Maknanya: "Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran". (Q.S. az-Zukhruf: 18)
Hadits-hadits tersebut juga menyalahi ijma' sehingga dengan begitu diketahui bahwa hadits tersebut telah dinasakh (telah dihapus dan tidak berlaku lagi). Al Hafizh al Bayhaqi mengatakan:
"فَهذِهِ الأَخْبَارُ أَيْ فِيْ الإِبَاحَةِ وَمَا وَرَدَ فِيْ مَعْنَاهَا تَدُلُّ عَلَى إِبَاحَةِ التَّحَلِّيْ بِالذَّهَبِ لِلنِّسَاءِ، وَاسْتَدْلَلْنَا بِحُصُوْلِ الإِجْمَاعِ عَلَى إِبَاحَتِهِ لَهُنَّ عَلَى نَسْخِ الأَخْبَارِ الدَّالَّةِ عَلَى تَحْرِيْمِهِ فِيْهِنَّ خَاصَّةً"ا.هـ.
"Jadi hadits-hadits ini dan semacamnya menunjukkan dibolehkannya berhias dengan emas bagi perempuan, dan kita menjadikan adanya ijma' atas kebolehan permpuan memakai perhiasan emas sebagai dalil bahwa hadits-hadits yang mengharamkan emas bagi perempuan secara khusus telah dinasakh" .
Anehnya, di sisi lain, orang-orang semacam ini ketika bertemu dengan hadits yang bertentangan dengan pendapat mereka, dengan mudah mereka mengklaim bahwa hadits tersebut mansukh atau khusus berlaku bagi Nabi tanpa ada dalil yang menunjukkan nasakh atau-pun khushushiyyah. Tetapi dalam hal yang oleh para ulama ditegaskan ada nasikh mereka tidak mau mengikutinya sambil berlagak menegakkan dan membela sunnah Nabi ?!!.
*Kedah Ke enam:*
Kaedah: Para ulama mujtahid dalam bidang furu’ tidak pernah salah seorang dari mereka mengklaim bahwa dirinya saja yang benar dan selainnya sesat. Mereka tidak pernah mengatakan kepada mujtahid lain yang berbeda pendapat dengan mereka bahwa anda sesat dan haram orang mengikuti anda. Umar bin al Khaththab tidak pernah mengatakan hal itu kepada Ali bin Abi Thalib ketika mereka berbeda pendapat, demikian pula sebaliknya Ali tidak perna
*Kaedah Ke lima:*
Kaedah: ada sebuah kaedah yang sangat penting dalam beristidlal, orang yang tidak mengetahuinya bisa terperosok dalam kesesatan mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah atau sebaliknya. Al Hafizh al Faqih al Khathib al Baghdadi menyebutkan kaedah tersebut dalam kitab al Faqih Wal Mutafaqqih (h. 132):
"وَإِذَا رَوَى الثِّقَةُ الْمَأْمُوْنُ خَبَرًا مُتَّصِلَ الإِسْنَادِ رُدَّ بِأُمُوْرٍ" ثُمَّ قَالَ: "وَالثَّانِيْ أَنْ يُخَالِفَ نَصَّ الْكِتَابِ أَوْ السُّـنَّةِ الْمُتَوَاتِرَةِ فَيُعْلَمُ أَنَّهُ لاَ أَصْلَ لَهُ أَوْ مَنْسُوْخٌ، وَالثَّالِثُ أَنْ يُخَالِفَ الإِجْمَاعَ فَيُسْتَدَلُّ عَلَى أَنَّهُ مَنْسُوْخٌ أَوْ لاَ أَصْلَ لَهُ، لأَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ صَحِيْحًا غَيْرَ مَنْسُوْخٍ وَتُجْمِعُ الأُمَّةُ عَلَى خِلاَفِهِ" ا.هـ.
"Jika seorang perawi yang tsiqah ma'mun (terpercaya) meriwayatkan hadits yang bersambung sanadnya bisa tertolak karena beberapa hal", kemudian beliau mengatakan: "Kedua: hadits tersebut menyalahi nash al Qur'an, hadits mutawatir, sehingga dari sini diketahui bahwa hadits tersebut sebenarnya tidak memiliki asal atau mansukh (telah dihapus dan tidak berlaku lagi). Ketiga: hadits tersebut menyalahi ijma', sehingga itu menjadi petunjuk bahwa hadits tersebut sebenarnya mansukh atau tidak memiliki asal, karena tidak mungkin hadits tersebut sahih dan tidak mansukh lalu ummat sepakat untuk menyalahinya".
Orang yang tidak mengetahui kaedah ini bisa mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah, seperti sebagian orang yang mengaku mujtahid di masa kini yang mengharamkan bagi perempuan untuk memakai perhiasan emas yang berbentuk lingkaran (adz-Dzahab al Muhallaq) seperti cincin, gelang, kalung, anting dan semacamnya. Pengharaman itu dikarenakan ia menemukan beberapa hadits yang sahih menurutnya yang mengharamkan perhiasan emas tersebut. Padahal hadits-hadits tersebut sebenarnya menyalahi nash al Qur'an seperti firman Allah:
أَوَ مَن يُنَشَّؤُا فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ [سورة الزخرف
Maknanya: "Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran". (Q.S. az-Zukhruf: 18)
Hadits-hadits tersebut juga menyalahi ijma' sehingga dengan begitu diketahui bahwa hadits tersebut telah dinasakh (telah dihapus dan tidak berlaku lagi). Al Hafizh al Bayhaqi mengatakan:
"فَهذِهِ الأَخْبَارُ أَيْ فِيْ الإِبَاحَةِ وَمَا وَرَدَ فِيْ مَعْنَاهَا تَدُلُّ عَلَى إِبَاحَةِ التَّحَلِّيْ بِالذَّهَبِ لِلنِّسَاءِ، وَاسْتَدْلَلْنَا بِحُصُوْلِ الإِجْمَاعِ عَلَى إِبَاحَتِهِ لَهُنَّ عَلَى نَسْخِ الأَخْبَارِ الدَّالَّةِ عَلَى تَحْرِيْمِهِ فِيْهِنَّ خَاصَّةً"ا.هـ.
"Jadi hadits-hadits ini dan semacamnya menunjukkan dibolehkannya berhias dengan emas bagi perempuan, dan kita menjadikan adanya ijma' atas kebolehan permpuan memakai perhiasan emas sebagai dalil bahwa hadits-hadits yang mengharamkan emas bagi perempuan secara khusus telah dinasakh" .
Anehnya, di sisi lain, orang-orang semacam ini ketika bertemu dengan hadits yang bertentangan dengan pendapat mereka, dengan mudah mereka mengklaim bahwa hadits tersebut mansukh atau khusus berlaku bagi Nabi tanpa ada dalil yang menunjukkan nasakh atau-pun khushushiyyah. Tetapi dalam hal yang oleh para ulama ditegaskan ada nasikh mereka tidak mau mengikutinya sambil berlagak menegakkan dan membela sunnah Nabi ?!!.
*Kedah Ke enam:*
Kaedah: Para ulama mujtahid dalam bidang furu’ tidak pernah salah seorang dari mereka mengklaim bahwa dirinya saja yang benar dan selainnya sesat. Mereka tidak pernah mengatakan kepada mujtahid lain yang berbeda pendapat dengan mereka bahwa anda sesat dan haram orang mengikuti anda. Umar bin al Khaththab tidak pernah mengatakan hal itu kepada Ali bin Abi Thalib ketika mereka berbeda pendapat, demikian pula sebaliknya Ali tidak perna
h mengatakan hal seperti itu kepada Umar. Demikian pula para ulama ahli ijtihad yang lain seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ibnu al Mundzir, Ibnu Jarir ath-Thabari dan lainnya. Mereka juga tidak pernah melarang orang untuk mengikuti madzhab orang lain selama yang diikuti memang seorang ahli ijtihad. Mereka juga tidak pernah berambisi mengajak semua ummat Islam untuk mengikuti pendapatnya. Mereka tahu betul bahwa perbedaan dalam masalah-masalah furu’ telah terjadi sejak awal di masa para sahabat Nabi dan mereka tidak pernah saling menyesatkan atau melarang orang untuk mengikuti salah satu di antara mereka. Dalam berbeda pendapat, mereka berpegang pada sebuah kaedah yang disepakati :
"لاَ يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ".
“Tidak diingkari orang yang mengikuti salah satu pendapat para mujtahid dalam masalah yang memang diperselisihkan hukumnya (mukhtalaf fih) di kalangan mereka, melainkan yang diingkari adalah orang yang menyalahi para ulama mujtahid dalam masalah yang mereka sepakati hukumnya (mujma’ ‘alayhi)”.
Maksud dari kaedah ini bahwa jika para ulama mujtahid berbeda pendapat tentang suatu permasalahan, ada yang mengatakan wajib, sunnah atau makruh, haram, atau boleh dan tidak boleh, maka tidak dilarang seseorang untuk mengikuti salah satu pendapat mereka. Tetapi jika hukum suatu permasalahan telah mereka sepakati, mereka memiliki pendapat yang sama dan satu tentang masalah tersebut maka tidak diperbolehkan orang menyalahi kesepakatan mereka tersebut dan mengikuti pendapat lain atau memunculkan pendapat pribadi yang berbeda.
=== Referensi====
[1]Lihat as-Suyuthi, al Hawi li al Fataawi (2/210), Risalah Bulugh al Ma’mul fi Khidmah ar-Rasul.
[2] Lebih lanjut lihat Syekh Abdullah al Harari, Sharih al Bayan, 2/20-22
[3] Lihat as-Suyuthi, al Asybaah wa an-Nazha-ir, h. 107, Syekh Yasin al Fadani, al Fawa-id al Janiyyah, h. 579-584.
"لاَ يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ".
“Tidak diingkari orang yang mengikuti salah satu pendapat para mujtahid dalam masalah yang memang diperselisihkan hukumnya (mukhtalaf fih) di kalangan mereka, melainkan yang diingkari adalah orang yang menyalahi para ulama mujtahid dalam masalah yang mereka sepakati hukumnya (mujma’ ‘alayhi)”.
Maksud dari kaedah ini bahwa jika para ulama mujtahid berbeda pendapat tentang suatu permasalahan, ada yang mengatakan wajib, sunnah atau makruh, haram, atau boleh dan tidak boleh, maka tidak dilarang seseorang untuk mengikuti salah satu pendapat mereka. Tetapi jika hukum suatu permasalahan telah mereka sepakati, mereka memiliki pendapat yang sama dan satu tentang masalah tersebut maka tidak diperbolehkan orang menyalahi kesepakatan mereka tersebut dan mengikuti pendapat lain atau memunculkan pendapat pribadi yang berbeda.
=== Referensi====
[1]Lihat as-Suyuthi, al Hawi li al Fataawi (2/210), Risalah Bulugh al Ma’mul fi Khidmah ar-Rasul.
[2] Lebih lanjut lihat Syekh Abdullah al Harari, Sharih al Bayan, 2/20-22
[3] Lihat as-Suyuthi, al Asybaah wa an-Nazha-ir, h. 107, Syekh Yasin al Fadani, al Fawa-id al Janiyyah, h. 579-584.
*Lokasi Kajian Tauhid Dan Fiqh Bersama Dr. H. Kholilurrohman, MA | Google Map >>> Klik link di bawah, somoga bermanfaat*
Pondok Pesantren Nurul Hikmah - Tangerang :
https://goo.gl/maps/tZKGHMpnTdK2
Musholla Al-Mukhtariyah Karang Tengah Tangerang :
https://goo.gl/maps/THUqfSRmqwn
Masjid Lathiifussalaam (Di dalam Komplek R.S. Bhakti Asih Karang Tengah Tangerang) :
https://goo.gl/maps/9os6JD8QmB52
Masjid Al-Madinah CBD Ciledug Tangerang :
https://goo.gl/maps/1T5L94V6ZUK2
Pondok Pesantren Nurul Hikmah - Tangerang :
https://goo.gl/maps/tZKGHMpnTdK2
Musholla Al-Mukhtariyah Karang Tengah Tangerang :
https://goo.gl/maps/THUqfSRmqwn
Masjid Lathiifussalaam (Di dalam Komplek R.S. Bhakti Asih Karang Tengah Tangerang) :
https://goo.gl/maps/9os6JD8QmB52
Masjid Al-Madinah CBD Ciledug Tangerang :
https://goo.gl/maps/1T5L94V6ZUK2
Nurul Hikmah Mosque
★★★★☆ · Mosque · Jl. Karyawan III
Imam al-Ghazali (w 505 H) dalam al-Arba’în Fî Ushuliddîn; Allah Tidak Boleh Dikatakan Ada Di Semua Tempat Atau Ada Di Mana-Mana
Penjelasan Ulama Ahlussunnah Bahwa Allah Tidak Boleh
Dikatakan Ada Di Semua Tempat Atau Ada Di Mana-Mana
Oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA
Ketahuilah, tidak boleh dikatakan “Allah ada di setiap tempat”, (atau “ada di mana-mana”), walaupun tujuannya untuk mengungkapkan bahwa Allah mengetahui atau menguasai segala sesuatu dari makhluk-makhluk-Nya.
al-Imâm al-Mutakallim Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (w 505 H) dalam bantahan atas keyakinan Jahm ibn Shafwan dan para mengikutnya; yaitu kaum Jahmiyyah, menuliskan sebagai berikut:
"ولا ترتبك في مواقع غلطه، فمنه غلط من قال: إنه في كل مكان. وكل من نسبه إلى مكان أو جهة فقد زلّ فضلّ، ورجع غاية نظره إلى التصرف في محسوسات البهائم، ولم يجاوز الأجسام وعلائقها. وأول درجات الإيمان مجاوزتها، فبه يصير الإنسان إنسانًا فضلاً عن أن يصير مؤمنًا".
“Janganlah engkau ragu dalam banyak kesesatannya (Jahm ibn Shafwan). Di antara kesesatannya; ia mengatakan bahwa Allah berada di semua tempat. Sesungguhnya orang yang menetapkan adanya tempat atau arah bagi Allah adalah orang yang sesat. Seorang yang bekeyakinan semacam itu maka yang ada di dalam pikirannya tidak lain adalah penyerupaan Allah dengan binatang-binatang yang dapat diindra. Ia dengan keyakian sesatnya tersebut tidak akan terlepas dari memikirkan benda-benda dan sifat-sifat benda belaka. Padahal tingkatan paling pertama dalam keimanan yang benar (kepada Allah) adalah melepaskan dan menjauhkan diri dari keyakinan-keyakinan indarwi. Dengan keyakinan yang benar inilah seorang manusia menjadi benar-benar manusia (yang sehat akalnya), dan tentunya yang utama darinya adalah bahwa ia menjadi seorang mukmin”[1].
Anda perhatikan tulisan al-Imâm al-Ghazali di atas, sangat jelas berisi bantahan terhadap orang berkeyakinan bahwa Allah berada di semua tempat. Dengan demikian pernyataan sebagian orang “sok tahu” yang mengatakan bahwa al-Ghazali berkeyakinan Allah berada di semua tempat adalah dusta besar atasnya. Tentang hal ini al-Imâm al-Hâfizh asy-Syaikh Abdullah al-Harari dalam beberapa tulisannya mengingatkan bahwa klaim semacam itu adalah kebohongan yang disandarkan kepada al-Ghazali, termasuk di antaranya beberapa bait sya’ir yang dianggap berasal darinya. al-Hâfizh al-Harari dalam kitab ad-Dalîl al-Qawîm menuliskan sebagai berikut:
"تنبيه: ليحذر من كلمة في أبيات منسوبة للغزالي وليست له، وهي هذا الشطر :"وهو في كلِّ النّواحي لا يَزُول" فإنها مرادفة لقول المعتزلة الله بكل مكان. قال علي الخوّاص :"لا يجوز القول إنه تعالى بكل مكان"
“Peringatan: Waspadai beberapa bait sya’ir yang dianggap berasal dari al-Ghazali, padahal itu semua bukan berasal dari tulisannya, di antaranya bait sya’ir yang mengatakan: “Wa Huwa Fî Kull an-Nawâhî La Yazûl”, (Artinya; Allah berada di semua tempat dan di semua arah, tidak akan pernah hilang). Ini adalah keyakinan sesat kaum Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Allah berada di semua tempat dan semua arah. Al-Imâm Ali al-Khawwash berkata: ”Tidak boleh dikatakan bahwa Allah berada di semua tempat dan semua arah”[2].
Demikian perkataan al-Imâm al-Hâfizh asy-Syaikh Abdullah al-Harari dalam karyanya; ad Dalil al Qawim ‘Ala ash Shirath al Mustaqim, kitab yang sangat bermanfaat berisi penjelasan akidah Ahlussunnah Wal Jam’ah dengan argumen-argumen naqliyyah dan ‘aqliyyah yang sangat kuat. Dengan kitab ini semua faham sesat menjadi terbantahkan, seperti faham para filosof yang mengatakan bahwa alam ini tidak memiliki permulaan (azaly), faham Mu’tazilah, faham Murji’ah, dan faham Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah duduk (bertempat) di arsy, juga mengatakan bahwa Allah memiliki anggota-anggota badan. Allah maha suci dari keyakinan mereka.
[1] al-Arba’în Fî Ushuliddîn, h. 198
[2] ad-Dalîl al-Qawîm, h. 58
Penjelasan Ulama Ahlussunnah Bahwa Allah Tidak Boleh
Dikatakan Ada Di Semua Tempat Atau Ada Di Mana-Mana
Oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA
Ketahuilah, tidak boleh dikatakan “Allah ada di setiap tempat”, (atau “ada di mana-mana”), walaupun tujuannya untuk mengungkapkan bahwa Allah mengetahui atau menguasai segala sesuatu dari makhluk-makhluk-Nya.
al-Imâm al-Mutakallim Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (w 505 H) dalam bantahan atas keyakinan Jahm ibn Shafwan dan para mengikutnya; yaitu kaum Jahmiyyah, menuliskan sebagai berikut:
"ولا ترتبك في مواقع غلطه، فمنه غلط من قال: إنه في كل مكان. وكل من نسبه إلى مكان أو جهة فقد زلّ فضلّ، ورجع غاية نظره إلى التصرف في محسوسات البهائم، ولم يجاوز الأجسام وعلائقها. وأول درجات الإيمان مجاوزتها، فبه يصير الإنسان إنسانًا فضلاً عن أن يصير مؤمنًا".
“Janganlah engkau ragu dalam banyak kesesatannya (Jahm ibn Shafwan). Di antara kesesatannya; ia mengatakan bahwa Allah berada di semua tempat. Sesungguhnya orang yang menetapkan adanya tempat atau arah bagi Allah adalah orang yang sesat. Seorang yang bekeyakinan semacam itu maka yang ada di dalam pikirannya tidak lain adalah penyerupaan Allah dengan binatang-binatang yang dapat diindra. Ia dengan keyakian sesatnya tersebut tidak akan terlepas dari memikirkan benda-benda dan sifat-sifat benda belaka. Padahal tingkatan paling pertama dalam keimanan yang benar (kepada Allah) adalah melepaskan dan menjauhkan diri dari keyakinan-keyakinan indarwi. Dengan keyakinan yang benar inilah seorang manusia menjadi benar-benar manusia (yang sehat akalnya), dan tentunya yang utama darinya adalah bahwa ia menjadi seorang mukmin”[1].
Anda perhatikan tulisan al-Imâm al-Ghazali di atas, sangat jelas berisi bantahan terhadap orang berkeyakinan bahwa Allah berada di semua tempat. Dengan demikian pernyataan sebagian orang “sok tahu” yang mengatakan bahwa al-Ghazali berkeyakinan Allah berada di semua tempat adalah dusta besar atasnya. Tentang hal ini al-Imâm al-Hâfizh asy-Syaikh Abdullah al-Harari dalam beberapa tulisannya mengingatkan bahwa klaim semacam itu adalah kebohongan yang disandarkan kepada al-Ghazali, termasuk di antaranya beberapa bait sya’ir yang dianggap berasal darinya. al-Hâfizh al-Harari dalam kitab ad-Dalîl al-Qawîm menuliskan sebagai berikut:
"تنبيه: ليحذر من كلمة في أبيات منسوبة للغزالي وليست له، وهي هذا الشطر :"وهو في كلِّ النّواحي لا يَزُول" فإنها مرادفة لقول المعتزلة الله بكل مكان. قال علي الخوّاص :"لا يجوز القول إنه تعالى بكل مكان"
“Peringatan: Waspadai beberapa bait sya’ir yang dianggap berasal dari al-Ghazali, padahal itu semua bukan berasal dari tulisannya, di antaranya bait sya’ir yang mengatakan: “Wa Huwa Fî Kull an-Nawâhî La Yazûl”, (Artinya; Allah berada di semua tempat dan di semua arah, tidak akan pernah hilang). Ini adalah keyakinan sesat kaum Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Allah berada di semua tempat dan semua arah. Al-Imâm Ali al-Khawwash berkata: ”Tidak boleh dikatakan bahwa Allah berada di semua tempat dan semua arah”[2].
Demikian perkataan al-Imâm al-Hâfizh asy-Syaikh Abdullah al-Harari dalam karyanya; ad Dalil al Qawim ‘Ala ash Shirath al Mustaqim, kitab yang sangat bermanfaat berisi penjelasan akidah Ahlussunnah Wal Jam’ah dengan argumen-argumen naqliyyah dan ‘aqliyyah yang sangat kuat. Dengan kitab ini semua faham sesat menjadi terbantahkan, seperti faham para filosof yang mengatakan bahwa alam ini tidak memiliki permulaan (azaly), faham Mu’tazilah, faham Murji’ah, dan faham Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah duduk (bertempat) di arsy, juga mengatakan bahwa Allah memiliki anggota-anggota badan. Allah maha suci dari keyakinan mereka.
[1] al-Arba’în Fî Ushuliddîn, h. 198
[2] ad-Dalîl al-Qawîm, h. 58
Islam Tidak Pernah Membenarkan Kebebasan Berakidah
Makna Ayat :
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
(Surat al-Baqoroh: 256)
Jangan di pahami ayat ini sebagai dalil toleransi dalam beraqidah, simak kajian lengkapnya oleh Guru kita Dr. H. Kholilurrohman, MA!
https://www.youtube.com/watch?v=PJ5qaXA6sj4&t=122s&pbjreload=10
Makna Ayat :
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
(Surat al-Baqoroh: 256)
Jangan di pahami ayat ini sebagai dalil toleransi dalam beraqidah, simak kajian lengkapnya oleh Guru kita Dr. H. Kholilurrohman, MA!
https://www.youtube.com/watch?v=PJ5qaXA6sj4&t=122s&pbjreload=10
YouTube
Islam Tidak Pernah Membenarkan Kebebasan Berakidah | Majelis Ta'lim Nurul Hikmah - 31 Oktober 2018
Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Fiqh Syafi'iyyah Bersama Dr. H. Kholilurrohman, MA Tempat : Musholla Nurul Hik...
SALAH SATU AKAR TERORISME; KARENA SALAH PAHAM TERHADAP KANDUNGAN QS. AL-MA'IDAH : 44. Waspada, jangan sampai anda terjebak...!!! | Oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA
Firman Allah yang dimaksud adalah:
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون (المائدة: 44)
Para ulama kita menyatakan bahwa ayat di atas tidak boleh dimaknai secara harfiyah. Sebab mengambil faham harfiyah; dengan memaknai makna zhairnya akan menghasilkan bumerang. Artinya, klaim "kafir" secara mutlak terhadap orang yang tidak memakai hukum Allah akan kembali kepada dirinya sendiri. Artinya sadar atau tidak sadar ia akan mengkafirkan dirinya sendiri, karena seorang muslim siapapun dia, [kecuali para Nabi dalam masalah ajaran agama], akan jatuh dalam dosa dan maksiat. Artinya, ketika orang muslim tersebut melakukan dosa dan maksiat berarti ia sedang tidak melaksanakan hukum Allah. Lalu, apakah hanya karena dosa dan maksiat, bahkan bila dosa tersebut dalam kategori dosa kecil sekalipun, ia dihukumi sebagai orang kafir?! Bila demikian berarti semenjak dimulainya sejarah kehidupan manusia tidak ada seorangpun yang beragama Islam, sebab siapapun manusianya pasti berbuat dosa dan maksiat. karenanya, firman Allah di atas tidak boleh dipahami secara harfiyah "Barangsiapa tidak memakai hukum Allah maka ia adalah orang kafir", pemahaman harfiyah semacam ini salah dan menyesatkan.
Al-Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya dalam penjelasan ayat ini menyatakan bahwa ayat ini mengandung takwil sebagaimana dinyatakan oleh sahabat Abdullah ibn Abbas dan sahabat al-Bara’ ibn Azib. Al-Qurthubi menuliskan sebagai berikut:
“Seluruh ayat ini turun di kalangan orang-orang kafir (Yahudi). Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam Shahih Muslim dari hadits sahabat al-Bara’ ibn Azib. Adapun seorang muslim, walaupun ia melakukan dosa besar [selama ia tidak menghalalkannya], maka ia tetap dihukumi sebagai orang Islam, tidak menjadi kafir. Kemudian menurut satu pendapat lainnya; bahwa dalam ayat di atas terdapat makna tersembunyi (izhmar), yang dimaksud ialah: ”Barang siapa tidak memakai hukum Allah, karena menolak al-Qur’an dan mengingkarinya, maka ia digolongkan sebagai orang-orang kafir”. Sebagaimana hal ini telah dinyatakan dari Rasullah oleh sahabat Abdullah ibn Abbas dan Mujahid. Inilah yang dimaksud dengan ayat tersebut” [al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 6, h. 190].
Selain penafsiran sahabat Abdullah ibn Abbas dan al-Bara’ ibn Azib di atas, terdapat banyak penafsiran serupa dari para sahabat lainnya. Di antaranya penafsiran Abdullah ibn Mas’ud dan al-Hasan yang menyebutkan bahwa ayat tersebut berlaku umum bagi orang-orang Islam, orang-orang Yahudi maupun orang-orang kafir, dalam pengertian bahwa siapapun yang tidak memakai hukum Allah dengan menyakini bahwa perbuatan tersebut adalah sesuatu yang halal maka ia telah menjadi kafir. Adapun seorang muslim yang berbuat dosa atau tidak memakai hukum Allah dengan tetap menyakini bahwa hal tersebut suatu dosa yang haram dikerjakan maka ia digolongkan sebagai muslim fasik. Dan seorang muslim fasik semacam ini berada di bawah kehendak Allah; antara diampuni atau tidak.
Pendapat lainnya dari al-Imam al-Sya’bi menyebutkan bahwa ayat ini khusus tentang orang-orang Yahudi. Pendapat ini juga dipilih oleh al-Nahhas. Alasan pendapat ini ialah;
Bahwa pada permulaan ayat ini yang dibicarakan adalah orang-orang Yahudi, yaitu pada firman Allah; “Lilladzin Hadu…”. Dengan demikian maka dlamir [kata ganti] yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi, bukan orang-orang Islam.
Bahwa pada ayat sesudah ayat ini, yaitu pada ayat 45, adalah firman Allah; “Wa Katabna ‘Alaihim…”. Ayat 45 ini telah disepakati oleh para ahli tafsir, bahwa dlamir yang ada di dalamnya yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi. Dengan demikian jelas antara ayat 44 dan 45 memiliki korelasi kuat bahwa yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi [sebagaimana hal ini dapat dipahami dengan ’Ilm Munasabat al-Ayat].
Firman Allah yang dimaksud adalah:
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون (المائدة: 44)
Para ulama kita menyatakan bahwa ayat di atas tidak boleh dimaknai secara harfiyah. Sebab mengambil faham harfiyah; dengan memaknai makna zhairnya akan menghasilkan bumerang. Artinya, klaim "kafir" secara mutlak terhadap orang yang tidak memakai hukum Allah akan kembali kepada dirinya sendiri. Artinya sadar atau tidak sadar ia akan mengkafirkan dirinya sendiri, karena seorang muslim siapapun dia, [kecuali para Nabi dalam masalah ajaran agama], akan jatuh dalam dosa dan maksiat. Artinya, ketika orang muslim tersebut melakukan dosa dan maksiat berarti ia sedang tidak melaksanakan hukum Allah. Lalu, apakah hanya karena dosa dan maksiat, bahkan bila dosa tersebut dalam kategori dosa kecil sekalipun, ia dihukumi sebagai orang kafir?! Bila demikian berarti semenjak dimulainya sejarah kehidupan manusia tidak ada seorangpun yang beragama Islam, sebab siapapun manusianya pasti berbuat dosa dan maksiat. karenanya, firman Allah di atas tidak boleh dipahami secara harfiyah "Barangsiapa tidak memakai hukum Allah maka ia adalah orang kafir", pemahaman harfiyah semacam ini salah dan menyesatkan.
Al-Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya dalam penjelasan ayat ini menyatakan bahwa ayat ini mengandung takwil sebagaimana dinyatakan oleh sahabat Abdullah ibn Abbas dan sahabat al-Bara’ ibn Azib. Al-Qurthubi menuliskan sebagai berikut:
“Seluruh ayat ini turun di kalangan orang-orang kafir (Yahudi). Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam Shahih Muslim dari hadits sahabat al-Bara’ ibn Azib. Adapun seorang muslim, walaupun ia melakukan dosa besar [selama ia tidak menghalalkannya], maka ia tetap dihukumi sebagai orang Islam, tidak menjadi kafir. Kemudian menurut satu pendapat lainnya; bahwa dalam ayat di atas terdapat makna tersembunyi (izhmar), yang dimaksud ialah: ”Barang siapa tidak memakai hukum Allah, karena menolak al-Qur’an dan mengingkarinya, maka ia digolongkan sebagai orang-orang kafir”. Sebagaimana hal ini telah dinyatakan dari Rasullah oleh sahabat Abdullah ibn Abbas dan Mujahid. Inilah yang dimaksud dengan ayat tersebut” [al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 6, h. 190].
Selain penafsiran sahabat Abdullah ibn Abbas dan al-Bara’ ibn Azib di atas, terdapat banyak penafsiran serupa dari para sahabat lainnya. Di antaranya penafsiran Abdullah ibn Mas’ud dan al-Hasan yang menyebutkan bahwa ayat tersebut berlaku umum bagi orang-orang Islam, orang-orang Yahudi maupun orang-orang kafir, dalam pengertian bahwa siapapun yang tidak memakai hukum Allah dengan menyakini bahwa perbuatan tersebut adalah sesuatu yang halal maka ia telah menjadi kafir. Adapun seorang muslim yang berbuat dosa atau tidak memakai hukum Allah dengan tetap menyakini bahwa hal tersebut suatu dosa yang haram dikerjakan maka ia digolongkan sebagai muslim fasik. Dan seorang muslim fasik semacam ini berada di bawah kehendak Allah; antara diampuni atau tidak.
Pendapat lainnya dari al-Imam al-Sya’bi menyebutkan bahwa ayat ini khusus tentang orang-orang Yahudi. Pendapat ini juga dipilih oleh al-Nahhas. Alasan pendapat ini ialah;
Bahwa pada permulaan ayat ini yang dibicarakan adalah orang-orang Yahudi, yaitu pada firman Allah; “Lilladzin Hadu…”. Dengan demikian maka dlamir [kata ganti] yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi, bukan orang-orang Islam.
Bahwa pada ayat sesudah ayat ini, yaitu pada ayat 45, adalah firman Allah; “Wa Katabna ‘Alaihim…”. Ayat 45 ini telah disepakati oleh para ahli tafsir, bahwa dlamir yang ada di dalamnya yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi. Dengan demikian jelas antara ayat 44 dan 45 memiliki korelasi kuat bahwa yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi [sebagaimana hal ini dapat dipahami dengan ’Ilm Munasabat al-Ayat].
Kemudian diriwayatkan bahwa sahabat Hudzifah ibn al-Yaman suatu ketika ditanya tentang ayat 44 ini; “Apakah yang dimaksud oleh ayat ini adalah Bani Isra’il?” sahabat Hudzaifah menjawab menjawab; “Benar, ayat itu tentang Bani Isra’il”.
Sementara menurut al-Imam Thawus [murid Abdullah ibn Abbas] bahwa yang dimaksud “kufur” dalam ayat 44 ini bukan pengertian kufur yang mengeluarkan seseorang dari Islam, tetapi yang dimaksud “kufur” disini adalah dosa besar. Tentu berbeda, masih menurut Imam Thawus, dengan apa bila seseorang membuat hukum dari dirinya sendiri kemudian ia meyakini bahwa hukumnya tersebut adalah hukum Allah [atau lebih baik dari hukum Allah], maka orang semacam ini telah jatuh dalam kufur; yang telah benar-benar mengeluarkannya dari Islam.
Al-Imam Abu Nashr al-Qusyairi, [dan Jumhur Ulama] berkata bahwa pendapat yang menyatakan orang yang tidak memakai hukum Allah maka ia telah menjadi kafir adalah pendapat kaum Khawarij. [Kelompok Khawarij terbagi kepada beberapa sub sekte. Salah satunya sekte bernama al-Baihasiyyah. Kelompok ini mengatakan bahwa siapa saja yang tidak memakai hukum Allah, walaupun dalam masalah kecil, maka ia telah menjadi kafir; keluar dari Islam].
Dalam kitab al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, al-Imam al-Hakim meriwayatkan dari sahabat Abdullah ibn Abbas dalam mengomentari tiga ayat dari surat al-Ma’idah (ayat 44, 45 dan 46) di atas, bahwa Abdullah ibn Abbas berkata:
“Yang dimaksud kufur dalam ayat tersebut bukan seperti yang dipahami oleh mereka [kaum Khawarij], bukan kufur dalam pengertian keluar dari Islam. Tetapi firman Allah: “Fa Ula-ika Hum al-Kafirun” adalah dalam pengertian bahwa hal tersebut [tidak memakai hukum Allah] adalah merupakan dosa besar”.
Artinya, bahwa dosa besar tersebut seperti dosa kufur dalam keburukan dan kekejiannya, namun demikian bukan berarti benar-benar dalam makna kufur keluar dari Islam. Pemahaman semacam ini seperti sebuah hadits dari Rasulullah, bahwa ia bersabda:
سباب المسلم فسوق وقتاله كفر (رواه أحمد)
(Mencaci-maki muslim adalah perbuatan fasik dan membunuhnya/memeranginya adalah perbuatan “kufur”). HR. Ahmad.
“Kufur” yang dimaksud dalam hadits ini bukan pengertian keluar dari Islam. Bukan artinya; bila dua orang muslim saling bunuh, maka yang membunuhnya menjadi kafir. Bukankah ”hukum bunuh” itu sendiri salah satu yang disyari’atkan oleh Allah, misalkan terhadap para pelaku zina muhsan [yang telah memliki pasangan], hukum qishas; bunuh dengan bunuh, memerangi kaum bughat [orang-orang Islam yang memberontak], dan lain-lain. Apakah kemudian mereka yang memberlakukan hukum bunuh tersebut telah menjadi kafir??!! Tentu tidak, karena nyatanya jelas mereka sedang memberlakukan hukum Allah.
Oleh karenanya peperangan sesama orang Islam sudah terjadi dari semenjak masa sahabat dahulu [lihat misalkan antara kelompok sahabat Ali ibn Abi Thalib, sebagai khalifah yang sah saat itu, dengan kelompok Mu’awiyah], dan kejadian semacam ini terus berlanjut hingga sekarang. Apakah kemudian orang-orang mukmin yang berperang atau saling bunuh sesama mereka tersebut menjadi kafir; keluar dari Islam??! Siapa yang berani mengkafirkan sahabat Ali ibn Abi Thalib, Ammar ibn Yasir, az-Zubair ibn al-Awwam, Thalhah ibn Ubadillah, Siti Aisyah [yang notabene Istri Rasulullah], dan para sahabat lainnya yang terlibat dalam perang tersebut??!! Orang yang berani mengkafirkan mereka maka dia sendiri yang kafir. Kemudian dari pada itu, dalam al-Qur’an Allah berfirman:
وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا (الحجرات: 9)
Dalam ayat ini dengan sangat jelas disebutkan: “Apa bila ada dua kelompok mukmin saling membunuh....”, artinya sangat jelas bahwa Allah tetap menyebut dua kelompok mukmin yang saling membunuh tersebut sebagai orang-orang mukmin; bukan orang kafir.
Sementara menurut al-Imam Thawus [murid Abdullah ibn Abbas] bahwa yang dimaksud “kufur” dalam ayat 44 ini bukan pengertian kufur yang mengeluarkan seseorang dari Islam, tetapi yang dimaksud “kufur” disini adalah dosa besar. Tentu berbeda, masih menurut Imam Thawus, dengan apa bila seseorang membuat hukum dari dirinya sendiri kemudian ia meyakini bahwa hukumnya tersebut adalah hukum Allah [atau lebih baik dari hukum Allah], maka orang semacam ini telah jatuh dalam kufur; yang telah benar-benar mengeluarkannya dari Islam.
Al-Imam Abu Nashr al-Qusyairi, [dan Jumhur Ulama] berkata bahwa pendapat yang menyatakan orang yang tidak memakai hukum Allah maka ia telah menjadi kafir adalah pendapat kaum Khawarij. [Kelompok Khawarij terbagi kepada beberapa sub sekte. Salah satunya sekte bernama al-Baihasiyyah. Kelompok ini mengatakan bahwa siapa saja yang tidak memakai hukum Allah, walaupun dalam masalah kecil, maka ia telah menjadi kafir; keluar dari Islam].
Dalam kitab al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, al-Imam al-Hakim meriwayatkan dari sahabat Abdullah ibn Abbas dalam mengomentari tiga ayat dari surat al-Ma’idah (ayat 44, 45 dan 46) di atas, bahwa Abdullah ibn Abbas berkata:
“Yang dimaksud kufur dalam ayat tersebut bukan seperti yang dipahami oleh mereka [kaum Khawarij], bukan kufur dalam pengertian keluar dari Islam. Tetapi firman Allah: “Fa Ula-ika Hum al-Kafirun” adalah dalam pengertian bahwa hal tersebut [tidak memakai hukum Allah] adalah merupakan dosa besar”.
Artinya, bahwa dosa besar tersebut seperti dosa kufur dalam keburukan dan kekejiannya, namun demikian bukan berarti benar-benar dalam makna kufur keluar dari Islam. Pemahaman semacam ini seperti sebuah hadits dari Rasulullah, bahwa ia bersabda:
سباب المسلم فسوق وقتاله كفر (رواه أحمد)
(Mencaci-maki muslim adalah perbuatan fasik dan membunuhnya/memeranginya adalah perbuatan “kufur”). HR. Ahmad.
“Kufur” yang dimaksud dalam hadits ini bukan pengertian keluar dari Islam. Bukan artinya; bila dua orang muslim saling bunuh, maka yang membunuhnya menjadi kafir. Bukankah ”hukum bunuh” itu sendiri salah satu yang disyari’atkan oleh Allah, misalkan terhadap para pelaku zina muhsan [yang telah memliki pasangan], hukum qishas; bunuh dengan bunuh, memerangi kaum bughat [orang-orang Islam yang memberontak], dan lain-lain. Apakah kemudian mereka yang memberlakukan hukum bunuh tersebut telah menjadi kafir??!! Tentu tidak, karena nyatanya jelas mereka sedang memberlakukan hukum Allah.
Oleh karenanya peperangan sesama orang Islam sudah terjadi dari semenjak masa sahabat dahulu [lihat misalkan antara kelompok sahabat Ali ibn Abi Thalib, sebagai khalifah yang sah saat itu, dengan kelompok Mu’awiyah], dan kejadian semacam ini terus berlanjut hingga sekarang. Apakah kemudian orang-orang mukmin yang berperang atau saling bunuh sesama mereka tersebut menjadi kafir; keluar dari Islam??! Siapa yang berani mengkafirkan sahabat Ali ibn Abi Thalib, Ammar ibn Yasir, az-Zubair ibn al-Awwam, Thalhah ibn Ubadillah, Siti Aisyah [yang notabene Istri Rasulullah], dan para sahabat lainnya yang terlibat dalam perang tersebut??!! Orang yang berani mengkafirkan mereka maka dia sendiri yang kafir. Kemudian dari pada itu, dalam al-Qur’an Allah berfirman:
وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا (الحجرات: 9)
Dalam ayat ini dengan sangat jelas disebutkan: “Apa bila ada dua kelompok mukmin saling membunuh....”, artinya sangat jelas bahwa Allah tetap menyebut dua kelompok mukmin yang saling membunuh tersebut sebagai orang-orang mukmin; bukan orang kafir.
Yang ironis adalah ayat 44 QS. Al-Ma’idah ini oleh beberapa komunitas yang mengaku gerakan keislaman seringkali dipakai untuk mengklaim kafir terhadap orang-orang yang tidak memakai hukum Allah, termasuk klaim kafir terhadap orang yang hidup dalam suatu negara yang tidak memakai hukum Islam. Bahkan mereka juga mengklaim bahwa negara tersebut sebagai Dar Harb atau Dar al Kufr. Klaim ini termasuk di antaranya mereka sematkan kepada negara Indonesia. pertanyaannya; negara manakah yang secara murni memberlakukan hukum Islam??
Sayyid Quthub dalam karyanya “Fi Zhilal al-Qur’an” menyatakan bahwa masa sekarang tidak ada lagi orang Islam yang hidup di dunia ini, karena tidak ada satupun negara yang memakai hukum Allah. Menurutnya suatu negara yang tidak memakai hukum Allah waluapun dalam masalah sepele maka pemerintahan negara tersebut dan rakyat yang ada di dalamnya adalah orang-orang kafir. Kondisi semacam ini menurutnya tak ubah seperti kehidupan masa jahiliyah dahulu sebelum kedatangan Islam. Pernyataan Sayyid Quthub ini banyak terulang dalam karyanya; Fi Zhilal al-Qur’an. Lihat misalkan j. 2, h. 590, dan h. 898/ j. 2, Juz 6, h. 898/ j. 2, h. 1057/ j. 2, h. 1077/ j. 2, h. 841/ j. 2, h. 972/ j. 2, h. 1018/ j. 4, h. 1945 dan dalam beberapa tempat lainnya. Juga ia sebutkan dalam karyanya yang lain, seperti Ma’alim Fi al-Thariq, h. 5-6/ h. 17-18
Terakhir, saya kutip tulisan A. Maftuh Abegebriel yang menyimpulkan bahwa kekeliruan dalam memahami QS. al-Ma'idah: 44 tersebut adalah salah satu akar teologis dan politis dari berkembangnya gerakan radikal di beberapa negara timur tengah, seperti gerakan Ikhwan al-Muslimin pasca kepempinan dan wafatnya Syaikh Hasan al-Banna (Rahimahullah). Padahal di negara Mesir, yang merupakan basis awal gerakan al-Ikhwan al-Muslimun, belakangan menolak keras kelompok yang dianggap ekstrim ini bahkan memejarakan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Faham Sayyid Quthub di atas seringkali dijadikan “ajaran dasar” oleh banyak gerakan, seperti Syabab Muhammad, Jama’ah al-Takfir Wa al-Hijrah, Jama’ah al-Jihad, al-Jama’ah al-Islamiyyah dan banyak lainnya. Muara semua gerakan tersebut adalah menggulingkan kekuasan setempat dan mengklaim mereka sebagai orang-orang kafir dengan alasan tidak memakai hukum Islam. [Lebih luas tentang ini baca di antaranya; A. Maftuh Abegebriel, Fundamentalisme Islam; Akar teologis dan politis (Negara Tuhan; The Thematic Incyclopaedia), h. 459-555]. karenanya oleh beberapa kalangan, Sayyid Quthub dianggap sebagai orang yang menghidupkan kembali faham sekte al-Baihasiyyah di atas.
Sekali lagi, anda jangan memahami ayat di atas secara harfiyah. karena bila anda memahami secara harfiyah maka berarti sama saja anda menanamkan "akar terorisme" pada diri anda...!!! Hati-hati...!!!
Sayyid Quthub dalam karyanya “Fi Zhilal al-Qur’an” menyatakan bahwa masa sekarang tidak ada lagi orang Islam yang hidup di dunia ini, karena tidak ada satupun negara yang memakai hukum Allah. Menurutnya suatu negara yang tidak memakai hukum Allah waluapun dalam masalah sepele maka pemerintahan negara tersebut dan rakyat yang ada di dalamnya adalah orang-orang kafir. Kondisi semacam ini menurutnya tak ubah seperti kehidupan masa jahiliyah dahulu sebelum kedatangan Islam. Pernyataan Sayyid Quthub ini banyak terulang dalam karyanya; Fi Zhilal al-Qur’an. Lihat misalkan j. 2, h. 590, dan h. 898/ j. 2, Juz 6, h. 898/ j. 2, h. 1057/ j. 2, h. 1077/ j. 2, h. 841/ j. 2, h. 972/ j. 2, h. 1018/ j. 4, h. 1945 dan dalam beberapa tempat lainnya. Juga ia sebutkan dalam karyanya yang lain, seperti Ma’alim Fi al-Thariq, h. 5-6/ h. 17-18
Terakhir, saya kutip tulisan A. Maftuh Abegebriel yang menyimpulkan bahwa kekeliruan dalam memahami QS. al-Ma'idah: 44 tersebut adalah salah satu akar teologis dan politis dari berkembangnya gerakan radikal di beberapa negara timur tengah, seperti gerakan Ikhwan al-Muslimin pasca kepempinan dan wafatnya Syaikh Hasan al-Banna (Rahimahullah). Padahal di negara Mesir, yang merupakan basis awal gerakan al-Ikhwan al-Muslimun, belakangan menolak keras kelompok yang dianggap ekstrim ini bahkan memejarakan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Faham Sayyid Quthub di atas seringkali dijadikan “ajaran dasar” oleh banyak gerakan, seperti Syabab Muhammad, Jama’ah al-Takfir Wa al-Hijrah, Jama’ah al-Jihad, al-Jama’ah al-Islamiyyah dan banyak lainnya. Muara semua gerakan tersebut adalah menggulingkan kekuasan setempat dan mengklaim mereka sebagai orang-orang kafir dengan alasan tidak memakai hukum Islam. [Lebih luas tentang ini baca di antaranya; A. Maftuh Abegebriel, Fundamentalisme Islam; Akar teologis dan politis (Negara Tuhan; The Thematic Incyclopaedia), h. 459-555]. karenanya oleh beberapa kalangan, Sayyid Quthub dianggap sebagai orang yang menghidupkan kembali faham sekte al-Baihasiyyah di atas.
Sekali lagi, anda jangan memahami ayat di atas secara harfiyah. karena bila anda memahami secara harfiyah maka berarti sama saja anda menanamkan "akar terorisme" pada diri anda...!!! Hati-hati...!!!
Sering kita mendengar perkataan “Saya mah orang bodoh, gak tau, taunya segitu-gitu doang…Kalo gak tau mah kan di maafin”
Jangan mengiria, karena kebodahan atau ketidaktahuan kita tentang perkara-perkara Ilmu pokok Agama dapat menyebabkan kita dimaafkan atau selamat dan tidak mau belajar Ilmu-Ilmu Agama
Karena Allah dan Rasul-Nya telah menyampaikan tentang kewajiban mempelajari Ilmu-Ilmu Agama. Bahkan, satu-satunya do’a yang Rasulullah minta kepada Allah yaitu “Tambahkanlah Ilmu-Ilmu Agama kepadaku”
Simak kajian oleh Guru kita Dr. H. Kholilurrohman, MA berikut >>>
https://youtu.be/UYZWo86yUjw
Jangan mengiria, karena kebodahan atau ketidaktahuan kita tentang perkara-perkara Ilmu pokok Agama dapat menyebabkan kita dimaafkan atau selamat dan tidak mau belajar Ilmu-Ilmu Agama
Karena Allah dan Rasul-Nya telah menyampaikan tentang kewajiban mempelajari Ilmu-Ilmu Agama. Bahkan, satu-satunya do’a yang Rasulullah minta kepada Allah yaitu “Tambahkanlah Ilmu-Ilmu Agama kepadaku”
Simak kajian oleh Guru kita Dr. H. Kholilurrohman, MA berikut >>>
https://youtu.be/UYZWo86yUjw
YouTube
Kebodohan Dalam Ilmu-Ilmu Pokok Agama Tidak Dimaafkan | Majelis Ta'lim Nurul Hikmah - 1 Nov 2018
Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Fiqh Syafi'iyyah Bersama Dr. H. Kholilurrohman, MA Tempat : Musholla Nurul Hik...
Jangan biarkan channel-channel yang berisikan konten video tentang aqidah sesat kaum _mujassim dan musyabbih_ dan kelompok aqidah sesat lainnya menempati posisi teratas hasil pencarian kata “aqidah”, “tauhid” dan kata kunci lainnya mengenai ilmu-ilmu pokok agama Islam di YouTube.
Mari dukung dan viralkan salah satu channel yang berisi konten-konten tentang kajian aqidah tauhid ahlussunnah wal jama’ah Asy’ariyyah Maturidiyyah di bawah asuhan Guru kita Dr. H. Kholilurrohman, MA (Abou Fateh) dan channel-channel YouTube lainnya yang berisi konten-konten Aqidah Tauhid Ahlussunnah Wal jama’ah yang benar >>> _*Allah Maha Suci Dari Segala Bentuk Dan Sifat Benda Atau Makhluk-Nya. Apapun Yang Terlintas Dalam Benakmu Tentang Allah Maka Allah Tidak Seperti Demikian Itu. Allah Ada Tanpa Tempat Dan Tanpa Arah*_
*Klik Link di bawah :*
*Abou Fateh YouTube Channel :*
https://m.youtube.com/c/aboufateh?sub_confirmation=1
*Klik subscribe/berlangganan!*
*Klik like/suka!*
*Berkomentar dan Sebarkan video yang bermanfaat!*
========================
Pondok Pesantren Nurul Hikmah Untuk Menghafal al-Qur'an Dan Kajian Ilmu Agama Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Fiqh Syafi'iyyah Diampu oleh Ustadz Dr. H. Kholilurrohman, MA
Informasi lebih lanjut kunjungi :
https://nurulhikmah.ponpes.id
Facebook Page :
https://facebook.com/nurulhikmah.ponpes.id
Mari dukung dan viralkan salah satu channel yang berisi konten-konten tentang kajian aqidah tauhid ahlussunnah wal jama’ah Asy’ariyyah Maturidiyyah di bawah asuhan Guru kita Dr. H. Kholilurrohman, MA (Abou Fateh) dan channel-channel YouTube lainnya yang berisi konten-konten Aqidah Tauhid Ahlussunnah Wal jama’ah yang benar >>> _*Allah Maha Suci Dari Segala Bentuk Dan Sifat Benda Atau Makhluk-Nya. Apapun Yang Terlintas Dalam Benakmu Tentang Allah Maka Allah Tidak Seperti Demikian Itu. Allah Ada Tanpa Tempat Dan Tanpa Arah*_
*Klik Link di bawah :*
*Abou Fateh YouTube Channel :*
https://m.youtube.com/c/aboufateh?sub_confirmation=1
*Klik subscribe/berlangganan!*
*Klik like/suka!*
*Berkomentar dan Sebarkan video yang bermanfaat!*
========================
Pondok Pesantren Nurul Hikmah Untuk Menghafal al-Qur'an Dan Kajian Ilmu Agama Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Fiqh Syafi'iyyah Diampu oleh Ustadz Dr. H. Kholilurrohman, MA
Informasi lebih lanjut kunjungi :
https://nurulhikmah.ponpes.id
Facebook Page :
https://facebook.com/nurulhikmah.ponpes.id
YouTube
Abou Fateh
Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Fiqh Syafi'iyyah
*Bukti Aqidah Imam Abu Hanifah "ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH" | Oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA*
*Terjemah:*
Lima: Apa yang beliau (Imam Abu Hanifah) tunjukan –dalam catatannya–: “Dalam Kitab al-Fiqh al-Absath bahwa ia (Imam Abu Hanifah) berkata: *Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum menciptakan segala makhluk, Dia ada sebelum ada tempat, sebelum segala ciptaan, sebelum segala sesuatu”. Dialah yang mengadakan/menciptakan segala sesuatu dari tidak ada, oleh karenanya maka tempat dan arah itu bukan sesuatu yang qadim (artinya keduanya adalah makhluk/ciptaan Allah).* Dalam catatan Imam Abu Hanifah ini terdapat pemahaman2 penting:
Terdapat argumen bahwa seandainya Allah berada pada tempat dan arah maka berarti tempat dan arah tersebut adalah sesuatu yang qadim (tidak memiliki permulaan), juga berarti bahwa Allah adalah benda (memiliki bentuk dan ukuran). Karena pengertian “tempat” adalah sesuatu/ruang kosong yang diwadahi oleh benda, dan pengertian “arah” adalah puncak/akhir penghabisan dari tujuan suatu isyarat dan tujuan dari sesuatu yang bergerak. Dengan demikian maka arah dan tempat ini hanya berlaku bagi sesuatu yang merupakan benda dan yang memiliki bentuk dan ukuran saja; dan ini adalah perkara mustahil atas Allah (artinya Allah bukan benda) sebagaimana telah dijelaskan dalam penjelasan yang lalu. Oleh karena itulah beliau (Imam Abu Hanifah berkata: “Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum menciptakan segala makhluk, Dia ada sebelum ada tempat, sebelum segala ciptaan, sebelum segala sesuatu sesuatu”.
Sementara apa yang disangkakan oleh Ibn Taimiyah bahwa arsy adalah sesuatu yang qadim (tidak bermula) adalah pendapat SESAT, sebagaimana kesesatan ini telah dijelaskan dalam Kitab Syarh al-Aqa’id al-‘Adludliyyah.
Sebagai jawaban bahwa Allah tidak dikatakan di dalam alam adalah oleh karena mustahil Allah berada di dalam susuatu yang notabene makhluk-Nya. Dan bahwa Allah tidak dikatakan di luar alam adalah oleh karena Allah ada (tanpa permulaan) sebelum adanya segala makhluk, dan Dia ada sebelum adanya segala tempat dan arah. Karena itulah beliau (Imam Abu Hanifah berkata: “Dia (Allah) adalah Pencipta segala sesuatu”.
*Keterangan:*
Kitab ini berjudul Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imam adalah karya Imam al-Bayyadli. Isinya adalah penjelasan aqidah yang diyakini oleh Imam Abu Hanifah sesuai risalah2 yang ditulis oleh Imam Abu Hanifah sendiri.
*Terjemah:*
Lima: Apa yang beliau (Imam Abu Hanifah) tunjukan –dalam catatannya–: “Dalam Kitab al-Fiqh al-Absath bahwa ia (Imam Abu Hanifah) berkata: *Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum menciptakan segala makhluk, Dia ada sebelum ada tempat, sebelum segala ciptaan, sebelum segala sesuatu”. Dialah yang mengadakan/menciptakan segala sesuatu dari tidak ada, oleh karenanya maka tempat dan arah itu bukan sesuatu yang qadim (artinya keduanya adalah makhluk/ciptaan Allah).* Dalam catatan Imam Abu Hanifah ini terdapat pemahaman2 penting:
Terdapat argumen bahwa seandainya Allah berada pada tempat dan arah maka berarti tempat dan arah tersebut adalah sesuatu yang qadim (tidak memiliki permulaan), juga berarti bahwa Allah adalah benda (memiliki bentuk dan ukuran). Karena pengertian “tempat” adalah sesuatu/ruang kosong yang diwadahi oleh benda, dan pengertian “arah” adalah puncak/akhir penghabisan dari tujuan suatu isyarat dan tujuan dari sesuatu yang bergerak. Dengan demikian maka arah dan tempat ini hanya berlaku bagi sesuatu yang merupakan benda dan yang memiliki bentuk dan ukuran saja; dan ini adalah perkara mustahil atas Allah (artinya Allah bukan benda) sebagaimana telah dijelaskan dalam penjelasan yang lalu. Oleh karena itulah beliau (Imam Abu Hanifah berkata: “Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum menciptakan segala makhluk, Dia ada sebelum ada tempat, sebelum segala ciptaan, sebelum segala sesuatu sesuatu”.
Sementara apa yang disangkakan oleh Ibn Taimiyah bahwa arsy adalah sesuatu yang qadim (tidak bermula) adalah pendapat SESAT, sebagaimana kesesatan ini telah dijelaskan dalam Kitab Syarh al-Aqa’id al-‘Adludliyyah.
Sebagai jawaban bahwa Allah tidak dikatakan di dalam alam adalah oleh karena mustahil Allah berada di dalam susuatu yang notabene makhluk-Nya. Dan bahwa Allah tidak dikatakan di luar alam adalah oleh karena Allah ada (tanpa permulaan) sebelum adanya segala makhluk, dan Dia ada sebelum adanya segala tempat dan arah. Karena itulah beliau (Imam Abu Hanifah berkata: “Dia (Allah) adalah Pencipta segala sesuatu”.
*Keterangan:*
Kitab ini berjudul Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imam adalah karya Imam al-Bayyadli. Isinya adalah penjelasan aqidah yang diyakini oleh Imam Abu Hanifah sesuai risalah2 yang ditulis oleh Imam Abu Hanifah sendiri.
*Fungsi Akal Sebagai Bukti Kebenaran Syari’at | Oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA*
Al-Faqîh asy-Syaikh Syits ibn Ibrahim al-Maliki (w 598 H) berkata:
"أهل الحق جمعوا بين المعقول والمنقول أي بين العقل والشرع، واستعانوا في درك الحقائق بمجموعهما فسلكوا طريقًا بين طريقي الإفراط والتفريط، وسنضرب لك مثالاً يقرب من أفهام القاصرين ذَكره العلماء كما أن الله تعالى يضرب الأمثال للناس لعلهم يتذكرون، فنقول لذوي العقول: مثال العقل العين الباصرة، ومثال الشرع الشمس المضيئة، فمن استعمل العقل دون الشرع كان بمنزلة من خرج في الليل الأسود البهيم وفتح بصره يريد أن يدرك المرئيات ويفرق بين المبصَرات فيعرف الخيط الأبيض من الخيط الأسود، والأحمر من الأخضر والأصفر، ويجتهد في تحديق البصر فلا يدرك ما أراد أبدًا مع عدم الشمس المنيرة وإن كان ذا بصر وبصيرة، ومثال من استعمل الشرع دون العقل، مثال من خرج نهارًا جهارًا وهو أعمى أو مغمض العينين، يريد أن يدرك الألوان ويفرق بين الأعراض، فلا يدرك الآخر شيئًا أبدًا، ومثال من استعمل العقل والشرع جميعًا مثال من خرج بالنهار وهو سالم البصر، مفتوح العينين والشمس ظاهرة مضيئة، فما أجدره وأحقه أن يدرك الألوان على حقائقها، ويفرق بين أسودها وأحمرها وأبيضها وأصفرها".
_“Golongan yang benar (Ahlul Haq) telah menyatukan antara Ma’qûl dan Manqûl, -atau antara akal dan syari’at- dalam meraih kebenaran. Mereka mempergunakan keduanya, yang dengan itulah mereka menapaki jalan moderat; jalan antara tidak berlebihan dan tidak teledor (Bayn Tharîqay al-Ifrâth Wa at-Tafrîth). Berikut ini kita berikan contoh sebagai pendekatan bagi orang-orang yang kurang paham; sebagaimana para ulama selalu membuat contoh-contoh untuk tujuan mendekatkan pemahaman, juga sebagaimana Allah dalam al-Qur’an sering menggambarkan contoh-contoh bagi manusia sebagai pengingat bagi mereka. Kita katakan bagi mereka yang memiliki akal; sesungguhnya perumpamaan akal sebagai mata yang melihat, sementara syari’at sebagai matahari bersinar. Siapa yang mempergunakan akal tanpa mempergunakan syari’at maka layakanya ia seorang yang keluar di malam yang gelap gulita, ia membuka matanya untuk dapat melihat dan dapat membedakan antara objek-objek yang ada di hadapannya, ia berusaha untuk dapat membedakan antara benang putih dari benang hitam, antara merah, hijau, dan kuning, dengan usaha kuatnya ia menajamkan pandangan; namun akhirnya dia tidak akan mendapatkan apapun yang dia inginkan, selamanya. Sementara orang yang mempergunakan akal dan syari’at secara bersamaan maka ia seperti orang yang keluar di siang hari dengan pandangan mata yang sehat, ia membuka kedua matanya di saat matahari memancarkan cahaya dengan terang, sudah tentu orang seperti ini akan secara jelas mendapatkan dan membedakan di antara warna-warna dengan sebenar-benarnya, ia dapat membedakan antara warna hitam, merah, putih, kuning dan lainnya”[1]._
Maka segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kita termasuk orang-orang yang menapaki jalan ini (menyatukan antara ma’qûl dengan manqûl); dan inilah jalan yang lurus, jalan Allah yang jelas. Siapa yang melenceng dari jalan ini maka ia akan jatuh dalam jalan setan yang bercabang-cabang dari berbagai arahnya; kanan dan kiri. Allah berfirman:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ (الأنعام: 153)
_“Dan sesungguhnya ini jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan tersebut, dan janganlah mengikuti jalan-jalan sesat yang banyak maka kalian akan tercerai-berai dari dari jalan-Nya”_ (QS. Al-An’am: 153)”.
Dari sini diketahui dengan jelas bahwa kaum Musyabbihah Mujassimah adalah kaum yang sesat dalam akidah mereka, mereka tidak sejalan dengan ajaran-ajaran syari’at dan jalan logika sehat; ketika mereka mengatakan bahwa Allah duduk di arsy, atau kadang mereka berkata: Allah bertempat atau bersemayam di arsy. Bahkan sebagian dari mereka ada yang berkata bahwa Allah menyisakan bagian sedikit dari arsy untuk Ia dudukan Nabi Muhammad bersama-Nya di hari kiamat nanti. Termasuk dalam hal ini perkataan sesat mereka yang menyebutkan bahwa Dzat Allah bertempat di atas arsy tanpa menempel dengan arsy itu sendiri. Lebih parah lagi; ada sebagian mereka berkata bahwa Allah meletakan kaki-Nya di neraka Jahann
Al-Faqîh asy-Syaikh Syits ibn Ibrahim al-Maliki (w 598 H) berkata:
"أهل الحق جمعوا بين المعقول والمنقول أي بين العقل والشرع، واستعانوا في درك الحقائق بمجموعهما فسلكوا طريقًا بين طريقي الإفراط والتفريط، وسنضرب لك مثالاً يقرب من أفهام القاصرين ذَكره العلماء كما أن الله تعالى يضرب الأمثال للناس لعلهم يتذكرون، فنقول لذوي العقول: مثال العقل العين الباصرة، ومثال الشرع الشمس المضيئة، فمن استعمل العقل دون الشرع كان بمنزلة من خرج في الليل الأسود البهيم وفتح بصره يريد أن يدرك المرئيات ويفرق بين المبصَرات فيعرف الخيط الأبيض من الخيط الأسود، والأحمر من الأخضر والأصفر، ويجتهد في تحديق البصر فلا يدرك ما أراد أبدًا مع عدم الشمس المنيرة وإن كان ذا بصر وبصيرة، ومثال من استعمل الشرع دون العقل، مثال من خرج نهارًا جهارًا وهو أعمى أو مغمض العينين، يريد أن يدرك الألوان ويفرق بين الأعراض، فلا يدرك الآخر شيئًا أبدًا، ومثال من استعمل العقل والشرع جميعًا مثال من خرج بالنهار وهو سالم البصر، مفتوح العينين والشمس ظاهرة مضيئة، فما أجدره وأحقه أن يدرك الألوان على حقائقها، ويفرق بين أسودها وأحمرها وأبيضها وأصفرها".
_“Golongan yang benar (Ahlul Haq) telah menyatukan antara Ma’qûl dan Manqûl, -atau antara akal dan syari’at- dalam meraih kebenaran. Mereka mempergunakan keduanya, yang dengan itulah mereka menapaki jalan moderat; jalan antara tidak berlebihan dan tidak teledor (Bayn Tharîqay al-Ifrâth Wa at-Tafrîth). Berikut ini kita berikan contoh sebagai pendekatan bagi orang-orang yang kurang paham; sebagaimana para ulama selalu membuat contoh-contoh untuk tujuan mendekatkan pemahaman, juga sebagaimana Allah dalam al-Qur’an sering menggambarkan contoh-contoh bagi manusia sebagai pengingat bagi mereka. Kita katakan bagi mereka yang memiliki akal; sesungguhnya perumpamaan akal sebagai mata yang melihat, sementara syari’at sebagai matahari bersinar. Siapa yang mempergunakan akal tanpa mempergunakan syari’at maka layakanya ia seorang yang keluar di malam yang gelap gulita, ia membuka matanya untuk dapat melihat dan dapat membedakan antara objek-objek yang ada di hadapannya, ia berusaha untuk dapat membedakan antara benang putih dari benang hitam, antara merah, hijau, dan kuning, dengan usaha kuatnya ia menajamkan pandangan; namun akhirnya dia tidak akan mendapatkan apapun yang dia inginkan, selamanya. Sementara orang yang mempergunakan akal dan syari’at secara bersamaan maka ia seperti orang yang keluar di siang hari dengan pandangan mata yang sehat, ia membuka kedua matanya di saat matahari memancarkan cahaya dengan terang, sudah tentu orang seperti ini akan secara jelas mendapatkan dan membedakan di antara warna-warna dengan sebenar-benarnya, ia dapat membedakan antara warna hitam, merah, putih, kuning dan lainnya”[1]._
Maka segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kita termasuk orang-orang yang menapaki jalan ini (menyatukan antara ma’qûl dengan manqûl); dan inilah jalan yang lurus, jalan Allah yang jelas. Siapa yang melenceng dari jalan ini maka ia akan jatuh dalam jalan setan yang bercabang-cabang dari berbagai arahnya; kanan dan kiri. Allah berfirman:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ (الأنعام: 153)
_“Dan sesungguhnya ini jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan tersebut, dan janganlah mengikuti jalan-jalan sesat yang banyak maka kalian akan tercerai-berai dari dari jalan-Nya”_ (QS. Al-An’am: 153)”.
Dari sini diketahui dengan jelas bahwa kaum Musyabbihah Mujassimah adalah kaum yang sesat dalam akidah mereka, mereka tidak sejalan dengan ajaran-ajaran syari’at dan jalan logika sehat; ketika mereka mengatakan bahwa Allah duduk di arsy, atau kadang mereka berkata: Allah bertempat atau bersemayam di arsy. Bahkan sebagian dari mereka ada yang berkata bahwa Allah menyisakan bagian sedikit dari arsy untuk Ia dudukan Nabi Muhammad bersama-Nya di hari kiamat nanti. Termasuk dalam hal ini perkataan sesat mereka yang menyebutkan bahwa Dzat Allah bertempat di atas arsy tanpa menempel dengan arsy itu sendiri. Lebih parah lagi; ada sebagian mereka berkata bahwa Allah meletakan kaki-Nya di neraka Jahann
am, Na’ûdzu billâh. Serta berbagai keyakinan sesat mereka lainnya dalam akidah tasybîh dan tajsîm dengan menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan dengan mengikuti prasangka yang mereka khayalkan.
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kita di atas jalan Ahlussunnah Wal Jama’ah; kelompok lurus dan moderat sebagai kelompok yang selamat (al-Firqah an-Nâjiyah), kaum yang ketika berbicara dalam masalah-masalah tauhid mereka menjadikan akal sehat sebagai bukti bagi kebenaran teks-teks syari’at yang datang dari Allah dan Rasul-Nya.
_*[1] Hazz al Ghalashim Fi Ifham al Mukhashim, h. 94*_
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kita di atas jalan Ahlussunnah Wal Jama’ah; kelompok lurus dan moderat sebagai kelompok yang selamat (al-Firqah an-Nâjiyah), kaum yang ketika berbicara dalam masalah-masalah tauhid mereka menjadikan akal sehat sebagai bukti bagi kebenaran teks-teks syari’at yang datang dari Allah dan Rasul-Nya.
_*[1] Hazz al Ghalashim Fi Ifham al Mukhashim, h. 94*_
*al-Muhaddits al-Faqîh al-Imâm asy-Syaikh Abdullah al-Harari; ALLAH ADA TANPA TEMPAT | Oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA*
al-Muhaddits al-Faqîh al-Imâm al-‘Allâmah asy-Syaikh Abdullah al-Harari yang dikenal dengan sebutan al-Habasyi dalam banyak karyanya menuliskan bahwa orang yang berkeyakinan Allah berada pada tempat dan arah maka ia telah menjadi kafir, di antaranya beliau sebutkan dalam karyanya berjudul ash-Shirâth al-Mustaqîm sebagai berikut:
"وحكم من يقول:"إنّ الله تعالى في كل مكان أو في جميع الأماكن" التكفير إذا كان يفهم من هذه العبارة أنَّ الله بذاته منبثٌّ أو حالٌّ في الأماكن، أما إذا كان يفهم من هذه العبارة أنه تعالى مسيطر على كل شىءٍ وعالمٌ بكل شىء فلا يكفر. وهذا قصدُ كثير ممن يلهج بهاتين الكلمتين، ويجب النهي عنهما في كل حال"
_*“Hukum orang yang berkata: “Allâh Fi Kulli Makân” atau berkata “Allâh Fi Jami’ al-Amâkin” (Allah berada pada semua tempat) adalah dikafirkan; jika ia memahami dari ungkapannya tersebut bahwa Dzat Allah menyebar atau menyatu pada seluruh tempat. Adapun jika ia memahami dari ungkapannya tersebut bahwa Allah menguasai segala sesuatu dan mengetahui segala sesuatu maka orag ini tidak dikafirkan. Pemahaman yang terakhir ini adalah makna yang dimaksud oleh kebanyakan orang yang mengatakan dua ungkapan demikian. Namun begitu, walau bagaimanapun dan dalam keadaan apapun kedua ungkapan semacam ini harus dicegah”*_[1].
Dalam kitab yang sama, al-Imâm al-Hâfizh asy-SyaikhAbdullah juga menuliskan sebagai berikut:
"ويكفر من يعتقد التحيُّز لله تعالى، أو يعتقد أن الله شىءٌ كالهواء أو كالنور يملأ مكانًا أو غرفة أو مسجدًا، ونسمّي المساجد بيوت الله لا لأن الله يسكنها بل لأنها أماكن يُعْبَدُ الله فيها. وكذلك يكفر من يقول (الله يسكن قلوب أوليائه) إن كان يفهم الحلولَ. وليس المقصود بالمعراج وصول الرسول إلى مكان ينتهي وجود الله تعالى إليه ويكفر من اعتقد ذلك، إنما القصدُ من المعراج هو تشريف الرسول صلى الله عليه وسلم باطلاعه على عجائب في العالم العلويّ، وتعظيمُ مكانته ورؤيتُه للذات المقدس بفؤاده من غير أن يكون الذات في مكانٍ"
_*“Orang yang berkeyakinan Allah berada pada tempat maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula menjadi kafir orang yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda seperti udara, atau seperti sinar yang menempati suatu tempat, atau menempati ruangan, atau menempati masjid. Adapaun bahwa kita menamakan masjid-masjid dengan “Baitullâh” (rumah Allah) bukan berarti Allah bertempat di dalamnya, akan tetapi dalam pengertian bahwa masjid-masjid tersebut adalah tempat menyembah (beribadah) kapada Allah. Demikian pula menjadi kafir orang yang berkata: “Allâh Yaskun Qulûb Awliyâ-ih” (Allah bertempat di dalam hati para wali-Nya) jika ia berpaham hulûl. Adapun maksud dari Mi’raj bukan untuk tujuan Rasulullah sampai ke tempat di mana Allah berada padanya. Orang yang berkeyakinan semacam ini maka ia telah menjadi kafir. Sesungguhnya tujuan Mi’raj adalah untuk memuliakan Rasulullah dengan diperlihatkan kepadanya akan keajaiban-keajaiban yang ada di alam atas, dan untuk tujuan mengagungkan derajat Rasulullah dengan diperlihatkan kepadanya akan Dzat Allah yang maha suci dengan hatinya dari tanpa adanya Dzat Allah tersebut pada tempat”[2].*_
*[1] ash-Shirât al-Mustaqîm, h. 26*
*[2] Ibid.*
al-Muhaddits al-Faqîh al-Imâm al-‘Allâmah asy-Syaikh Abdullah al-Harari yang dikenal dengan sebutan al-Habasyi dalam banyak karyanya menuliskan bahwa orang yang berkeyakinan Allah berada pada tempat dan arah maka ia telah menjadi kafir, di antaranya beliau sebutkan dalam karyanya berjudul ash-Shirâth al-Mustaqîm sebagai berikut:
"وحكم من يقول:"إنّ الله تعالى في كل مكان أو في جميع الأماكن" التكفير إذا كان يفهم من هذه العبارة أنَّ الله بذاته منبثٌّ أو حالٌّ في الأماكن، أما إذا كان يفهم من هذه العبارة أنه تعالى مسيطر على كل شىءٍ وعالمٌ بكل شىء فلا يكفر. وهذا قصدُ كثير ممن يلهج بهاتين الكلمتين، ويجب النهي عنهما في كل حال"
_*“Hukum orang yang berkata: “Allâh Fi Kulli Makân” atau berkata “Allâh Fi Jami’ al-Amâkin” (Allah berada pada semua tempat) adalah dikafirkan; jika ia memahami dari ungkapannya tersebut bahwa Dzat Allah menyebar atau menyatu pada seluruh tempat. Adapun jika ia memahami dari ungkapannya tersebut bahwa Allah menguasai segala sesuatu dan mengetahui segala sesuatu maka orag ini tidak dikafirkan. Pemahaman yang terakhir ini adalah makna yang dimaksud oleh kebanyakan orang yang mengatakan dua ungkapan demikian. Namun begitu, walau bagaimanapun dan dalam keadaan apapun kedua ungkapan semacam ini harus dicegah”*_[1].
Dalam kitab yang sama, al-Imâm al-Hâfizh asy-SyaikhAbdullah juga menuliskan sebagai berikut:
"ويكفر من يعتقد التحيُّز لله تعالى، أو يعتقد أن الله شىءٌ كالهواء أو كالنور يملأ مكانًا أو غرفة أو مسجدًا، ونسمّي المساجد بيوت الله لا لأن الله يسكنها بل لأنها أماكن يُعْبَدُ الله فيها. وكذلك يكفر من يقول (الله يسكن قلوب أوليائه) إن كان يفهم الحلولَ. وليس المقصود بالمعراج وصول الرسول إلى مكان ينتهي وجود الله تعالى إليه ويكفر من اعتقد ذلك، إنما القصدُ من المعراج هو تشريف الرسول صلى الله عليه وسلم باطلاعه على عجائب في العالم العلويّ، وتعظيمُ مكانته ورؤيتُه للذات المقدس بفؤاده من غير أن يكون الذات في مكانٍ"
_*“Orang yang berkeyakinan Allah berada pada tempat maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula menjadi kafir orang yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda seperti udara, atau seperti sinar yang menempati suatu tempat, atau menempati ruangan, atau menempati masjid. Adapaun bahwa kita menamakan masjid-masjid dengan “Baitullâh” (rumah Allah) bukan berarti Allah bertempat di dalamnya, akan tetapi dalam pengertian bahwa masjid-masjid tersebut adalah tempat menyembah (beribadah) kapada Allah. Demikian pula menjadi kafir orang yang berkata: “Allâh Yaskun Qulûb Awliyâ-ih” (Allah bertempat di dalam hati para wali-Nya) jika ia berpaham hulûl. Adapun maksud dari Mi’raj bukan untuk tujuan Rasulullah sampai ke tempat di mana Allah berada padanya. Orang yang berkeyakinan semacam ini maka ia telah menjadi kafir. Sesungguhnya tujuan Mi’raj adalah untuk memuliakan Rasulullah dengan diperlihatkan kepadanya akan keajaiban-keajaiban yang ada di alam atas, dan untuk tujuan mengagungkan derajat Rasulullah dengan diperlihatkan kepadanya akan Dzat Allah yang maha suci dengan hatinya dari tanpa adanya Dzat Allah tersebut pada tempat”[2].*_
*[1] ash-Shirât al-Mustaqîm, h. 26*
*[2] Ibid.*
Dengan bangga, bukan karena sombong, aku katakan; "Dalam aqidah aku seorang Asy'ariy Maturidiy, dalam fiqh aku seorang Syafi'iy, dan dalam tarekat aku seorang Qadiriy dan Rifa'iy".
Simak, like, subscribe, dan share. Semoga bermanfaat
https://youtu.be/FHYuq3u4_88
Simak, like, subscribe, dan share. Semoga bermanfaat
https://youtu.be/FHYuq3u4_88
YouTube
Kalimat Dzikir لا إله إلا الله; Tidak Boleh Dipisah Antara Nafi Dan Itsbat Dalam Pelafalannya
Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Fiqh Syafi'iyyah Bersama Dr. H. Kholilurrohman, MA
Tempat :
Musholla Nurul Hikmah
Jln. Karyawan III Rt. 04 Rw. 09
Kel. Karang Tengah Kec. Karang Tengah
Kota Tangerang - Banten…
Tempat :
Musholla Nurul Hikmah
Jln. Karyawan III Rt. 04 Rw. 09
Kel. Karang Tengah Kec. Karang Tengah
Kota Tangerang - Banten…
(Masalah): Jika timbul pernyataan; tidak terdapat hadits yang memberitakan bahwa Rasulullah telah mengajarkan Ilmu Kalam kepada para sahabatnya. Demikian juga tidak ada berita yang menyebutkan bahwa di antara para sahabat Nabi ada yang menggeluti ilmu ini, atau mengajarkannya kepada orang lain di bawah mereka. Bukankah ilmu ini baru muncul setelah habis periode sahabat?! Seandainya ilmu ini sangat penting maka tentu akan banyak digeluti oleh para sahabat dan para tabi’in, juga oleh para ulama sesudah mereka?!
Klik link di bawah untuk mengetahui jawaban atas permasalahan tersebut. Semoga bermanfaat!
https://nurulhikmah.ponpes.id/2018/11/08/urgensi-ilmu-kalam-ahlussunnah-wal-jamaah-oleh-dr-h-kholilurrohman-ma/
Klik link di bawah untuk mengetahui jawaban atas permasalahan tersebut. Semoga bermanfaat!
https://nurulhikmah.ponpes.id/2018/11/08/urgensi-ilmu-kalam-ahlussunnah-wal-jamaah-oleh-dr-h-kholilurrohman-ma/
PONDOK PESANTREN NURUL HIKMAH
Urgensi Ilmu Kalam Ahlussunnah Wal Jama’ah | Oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA
Sesungguhnya ilmu mengenal Allah dan mengenal sifat-sifat-Nya adalah ilmu paling agung dan paling utama, serta paling wajib untuk didahulukan mempelajarinya atas seluruh ilmu lainnya, karena penget…