Maha suci Allah dari segala bentuk, ukuran dan batasan - batasan. Allah maha tinggi bukan dalam segi jarak. Allah maha besar bukan dalam segi ukuran. Simak kajian lengkapnya berikut...
https://youtu.be/_xH3xVIO0GQ
https://youtu.be/_xH3xVIO0GQ
YouTube
Makna Nama Allah Al-'Aliyy Dan Al-Kabir | Majelis Nurul Hikmah - 20 Oktober 2018
Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Fiqh Syafi'iyyah Bersama Dr. H. Kholilurrohman, MA Tempat : Musholla Nurul Hik...
Ummat Islam Indonesia berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah, mengikuti aliran Asy’ariyyah dalam bidang akidah dan Madzhab Syafi’i dalam hukum fiqih. Berikut ini penegasan beberapa ulama Indonesia tentang akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah:
https://nurulhikmah.ponpes.id/2018/10/21/aqidah-ulama-indonesia-allah-ada-tanpa-tempat-mewaspadai-ajaran-wahabi/
https://nurulhikmah.ponpes.id/2018/10/21/aqidah-ulama-indonesia-allah-ada-tanpa-tempat-mewaspadai-ajaran-wahabi/
PONDOK PESANTREN NURUL HIKMAH
AQIDAH ULAMA INDONESIA; ALLAH ADA TANPA TEMPAT (MEWASPADAI AJARAN WAHABI) | Oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA
Ummat Islam Indonesia berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah, mengikuti aliran Asy’ariyyah dalam bidang akidah dan Madzhab Syafi’i dalam hukum fiqih. Berikut ini penegasan beberapa ulama Indonesia tenta…
Memberitakan kepada kami Harun; memberitakan kepada kami Abdah, dari Hisyam bin Urwah, dari ‘Abbad bin Abdillah bin az Zubair, dari Aisyah berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah di hari menjelang wafatnya: “Ya Allah ampunilah bagiku, rahmati diriku, dan pertemukan aku dengan ar Rafiq al A’la”. (Abu Isa at-Tirmidzi berkata: Ini adalah hadits hasan sahih)
Siapa yang di maksud ar Rafiq al A'la? Dan sebagai bantahan terhadap keyakinan sesat kaum Wahabi yang memaknai "ar Rafiq al A'la" sebagai Allah. Simak penjelasan berikut...
https://nurulhikmah.ponpes.id/2018/10/21/makna-ar-rafiq-al-ala-membantah-keyakinan-sesat-wahabi-yang-memaknai-ar-rafiq-al-ala-sebagai-allah/
Siapa yang di maksud ar Rafiq al A'la? Dan sebagai bantahan terhadap keyakinan sesat kaum Wahabi yang memaknai "ar Rafiq al A'la" sebagai Allah. Simak penjelasan berikut...
https://nurulhikmah.ponpes.id/2018/10/21/makna-ar-rafiq-al-ala-membantah-keyakinan-sesat-wahabi-yang-memaknai-ar-rafiq-al-ala-sebagai-allah/
PONDOK PESANTREN NURUL HIKMAH
Makna ar Rafiq al A’la (Membantah Keyakinan Sesat Wahabi Yang Memaknai “ar Rafiq al A’la” Sebagai Allah) | Oleh Dr. H. Kholilurrohman…
سنن الترمذي / كتاب الدعوات / حديث رقم 3418 حَدَّثَنَا هَارُونُ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ عَبَّادِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُ…
Metode cerita Islami bisa dijadikan salah satu alternatif metode pembelajaran dan dakwah yang digunakan dalam penanaman pendidikan agama Islam, penerapan metode tersebut selain bisa cepat menyentuh di hati juga bisa membuat pendengar tidak akan cepat merasa bosan, karena dalam metode cerita Islami pendengar akan mengetahui gambaran tentang kisah para Nabi, sifat-sifat para Nabi atau wali Allah dan orang-orang shaleh terdahulu, yang dapat diambil pelajaran untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun beberapa kisah yang beredar di masyarakat yang disandarkan kepada orang-orang shaleh (wali Allah) terdahulu, bahkan disandarkan kepada sebagian Nabi Allah tidak memiliki dasar yang benar dan bahkan menyalahi sifat-sifat kenabian atau keutamaan orang-orang shaleh. Berikut penjelasan yang benar mengenai beberapa cerita dusta yang tidak memiliki dasar yang di sampaikan oleh Guru Kita Dr. H. Kholilurrahman, MA semoga bermanfaat. Klik link berikut >>>
https://www.youtube.com/watch?v=qvdIWks32Ws
https://www.youtube.com/watch?v=qvdIWks32Ws
YouTube
Membersihkan Cerita Dusta Tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jilani - Nurul Hikmah - 23 Oktober 2018
Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Fiqh Syafi'iyyah Bersama Dr. H. Kholilurrohman, MA Tempat : Musholla Nurul Hik...
Satu lagi kisah dusta tentang Nabi Yusuf 'Alaihissalaam, kisah yang menceritakan bahwa Nabi Yusuf juga berkeinginan untuk berbuat berbuat zina. *Berikut penjelasan kisah yang benar dan juga penafsiran yang benar mengenai Ayat Al-Qur'an terkait kisah tersebut.* Simak kajian berikut yang disampaikan oleh Guru kita Dr. H. Kholilurrohman, MA semoga bermanfaat!
https://youtu.be/RQD0VVbmt-c
https://youtu.be/RQD0VVbmt-c
YouTube
Membersihkan Cerita Dusta Tentang Nabi Yusuf Yang Mengatakan Nabi Yusuf Berkeinginan Berbuat Zina
Majelis Ta'lim Nurul Hikmah - 24 Oktober 2018 ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Matu...
Ingin selamat? Ikuti Aqidah mayoritas umat Rasulullah. Kelompok Ahlussunnah Wal Jama'ah yaitu pengikut Aqidah al-Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan al-Imam Abu Mansur al-Maturidi. Yang sudah turun-temurun ratusan tahun menjadi kelompok terbesar umat Rasulullah. Simak kajian oleh Guru kita Dr. H. Kholilurrohman, MA berikut >>>
https://youtu.be/Z-pUkicqzOM
https://youtu.be/Z-pUkicqzOM
YouTube
Kunci Selamat; Ikut Kelompok Mayoritas Umat Rasulullah AhlussunnahWalJamaah Asy'ariyyah Maturidiyyah
Majelis Ta'lim Nurul Hikmah - 26 Oktober 2018 ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Matu...
Intisari Aqidah Dari Kisah Nabi Yunus Di Telan Ikan Di Bawa Ke Arah Bawah Dasar Laut, Nabi Musa Mendengar Kalam Allah Di Bukit Thursina Dan Peristiwa Di Angkatnya (Mi'raj) Nabi Muhammad Ke Arah Atas; Allah Ada Tanpa Tempat Dan Tanpa Arah. Selengkapnya simak kajian oleh Guru kita Dr. H. Kholilurrohman, MA berikut >>>
https://youtu.be/RHUavNYX6ck
https://youtu.be/RHUavNYX6ck
YouTube
Intisari Aqidah Dari Kisah Nabi Yunus, Nabi Musa Dan Nabi Muhammad; Allah Ada Tanpa Tempat Dan Arah
Majelis Ta'lim Nurul Hikmah - 25 Oktober 2018 ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Matu...
*Aqidah Imam Syafi'i (w 204 H); Allah Ada Tanpa Tempat Dan Tanpa Arah.* Oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA
Imam asy-Syafi’i Muhammad ibn Idris (w 204 H), seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Syafi’i, berkata:
*إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)*
*“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (LIhat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24).*
Dalam salah satu kitab karnya; al-Fiqh al-Akbar[selain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi'i juga menuliskan Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar], Imam asy-Syafi’i berkata:
*واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه الأكبر، ص13)*
*“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).*
Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Imam asy-Syafi’i berkata:
*إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات (الفقه الأكبر، ص 13)*
*“Ini termasuk ayat mutasyâbihât. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak --secara mendetail-- membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh. Kewajiban atas orang ini --dan semua orang Islam-- adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).*
Secara panjang lebar dalam kitab yang sama, Imam asy-Syafi’i membahas bahwa adanya batasan (bentuk) dan penghabisan adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah. Karena pengertian batasan (al-hadd; bentuk) adalah ujung dari sesuatu dan penghabisannya. Dalil bagi kemustahilan hal ini bagi Allah adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa bentuk, maka demikian pula Dia tetap ada tanpa penghabisan dan tanpa bentuk. Karena setiap sesuatu yang memiliki bentuk dan penghabisan secara logika dapat dibenarkan bila sesuatu t
Imam asy-Syafi’i Muhammad ibn Idris (w 204 H), seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Syafi’i, berkata:
*إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)*
*“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (LIhat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24).*
Dalam salah satu kitab karnya; al-Fiqh al-Akbar[selain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi'i juga menuliskan Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar], Imam asy-Syafi’i berkata:
*واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه الأكبر، ص13)*
*“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).*
Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Imam asy-Syafi’i berkata:
*إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات (الفقه الأكبر، ص 13)*
*“Ini termasuk ayat mutasyâbihât. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak --secara mendetail-- membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh. Kewajiban atas orang ini --dan semua orang Islam-- adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).*
Secara panjang lebar dalam kitab yang sama, Imam asy-Syafi’i membahas bahwa adanya batasan (bentuk) dan penghabisan adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah. Karena pengertian batasan (al-hadd; bentuk) adalah ujung dari sesuatu dan penghabisannya. Dalil bagi kemustahilan hal ini bagi Allah adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa bentuk, maka demikian pula Dia tetap ada tanpa penghabisan dan tanpa bentuk. Karena setiap sesuatu yang memiliki bentuk dan penghabisan secara logika dapat dibenarkan bila sesuatu t
ersebut menerima tambahan dan pengurangan, juga dapat dibenarkan adanya sesuatu yang lain yang serupa dengannya. Kemudian dari pada itu “sesuatu” yang demikian ini, secara logika juga harus membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk dan batasan tersebut, dan ini jelas merupakan tanda-tanda makhluk yang nyata mustahil bagi Allah.
SAYA TEGASKAN: Imam asy-Syafi’i, seorang Imam mujtahid yang madzhabnya tersebar di seluruh pelosok dunia, telah menetapkan dengan jelas bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, maka bagi siapapun yang bukan seorang mujtahid tidak selayaknya menyalahi dan menentang pendapat Imam mujtahid. Sebaliknya, seorang yang tidak mencapai derajat mujtahid ia wajib mengikuti pendapat Imam mujtahid.
Jangan pernah sedikitpun anda meyakini keyakinan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), seperti keyakinan kaum Musyabbihah, (sekarang Wahhabiyyah) yang menetapkan bahwa Allah bertempat di atas arsy. Bahkan mereka juga mengatakan Allah bertempat di langit. Ada di dua tempat?! Heh!!! Padahal mereka yakin bahwa arsy dan langit adalah makhluk Allah. Na’udzu Billahi Minhum.....
SAYA TEGASKAN: Imam asy-Syafi’i, seorang Imam mujtahid yang madzhabnya tersebar di seluruh pelosok dunia, telah menetapkan dengan jelas bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, maka bagi siapapun yang bukan seorang mujtahid tidak selayaknya menyalahi dan menentang pendapat Imam mujtahid. Sebaliknya, seorang yang tidak mencapai derajat mujtahid ia wajib mengikuti pendapat Imam mujtahid.
Jangan pernah sedikitpun anda meyakini keyakinan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), seperti keyakinan kaum Musyabbihah, (sekarang Wahhabiyyah) yang menetapkan bahwa Allah bertempat di atas arsy. Bahkan mereka juga mengatakan Allah bertempat di langit. Ada di dua tempat?! Heh!!! Padahal mereka yakin bahwa arsy dan langit adalah makhluk Allah. Na’udzu Billahi Minhum.....
*Allah Bukan Benda Dan Tidak Disifati Dengan Sifat-Sifat Benda | Oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA*
Boigrafi Penulis : https://nurulhikmah.ponpes.id/biografi-pengasuh/
Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَـمِيًّا (سورة مريم : 65)
“Apakah engkau mengetahui adanya keserupaan bagi-Nya? (artinya engkau tidak akan menemukan keserupaan bagi Allah)”. (QS. Maryam: 65)
Sesungguhnya keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat adalah aqidah Nabi Muhammad, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka. Mereka dikenal dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah; ialah kelompok mayoritas ummat yang merupakan al-Firqah an-Nâjiyah (golongan yang selamat). Dalil atas keyakinan ini selain ayat di atas adalah firman Allah:
ليْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ (سورة الشورى: 11)
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya, dan tidak ada sesuatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya”. (QS. as-Syura: 11)
Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al-Qur’an dalam menerangkan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (segala sesuatu selain Allah) terbagi kepada dua bagian; yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi-bagi lagi karena telah mencapai batas terkecil (para ulama kita menyebutnya dengan al-Jawhar al-Fard), dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian (al-Jism). Benda yang terakhir ini (al-Jism) terbagi menjadi dua macam;
1. Jism Lathîf; yaitu benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya.
2. Jism Katsîf; yaitu benda yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.
Sedangkan sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-Nya, Dia bukan sebagai al-Jawhar al-Fard, bukan Jism Lathîf, dan juga bukan Jism Katsîf, serta Dia tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti Ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan kedalaman), sedangkan sesuatu yang demikian itu maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya pada dimensi tersebut.
Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:
كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَىءٌ غَيْـرُهُ (رواه البخاري والبيهقي وابن الجارود)
“Allah ada pada azal (ada tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (HR. al-Bukhari, al-Bayhaqi dan Ibn al-Jarud)
Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat, arah dan lainnya. Artinya bahwa Allah ada sebelum Dia menciptakan tempat dan arah, dengan demikian maka Dia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Dia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan tanpa arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk). Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah begitu pula akal menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah. Sebagaimana ditegaskan juga oleh sahabat Ali ibn Abi Thalib -semoga ridla Allah selalu tercurah atasnya-:
كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ
“Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat, dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) ada seperti semula; tanpa tempat”. (Dituturkan oleh Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitab al-Farq Bayn al-Firaq, h. 333).
Imam al-Bayhaqi (w 458 H) dalam kitab al-Asmâ Wa ash-Shifât, hlm. 506, berkata:
“Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasul
Boigrafi Penulis : https://nurulhikmah.ponpes.id/biografi-pengasuh/
Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَـمِيًّا (سورة مريم : 65)
“Apakah engkau mengetahui adanya keserupaan bagi-Nya? (artinya engkau tidak akan menemukan keserupaan bagi Allah)”. (QS. Maryam: 65)
Sesungguhnya keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat adalah aqidah Nabi Muhammad, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka. Mereka dikenal dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah; ialah kelompok mayoritas ummat yang merupakan al-Firqah an-Nâjiyah (golongan yang selamat). Dalil atas keyakinan ini selain ayat di atas adalah firman Allah:
ليْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ (سورة الشورى: 11)
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya, dan tidak ada sesuatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya”. (QS. as-Syura: 11)
Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al-Qur’an dalam menerangkan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (segala sesuatu selain Allah) terbagi kepada dua bagian; yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi-bagi lagi karena telah mencapai batas terkecil (para ulama kita menyebutnya dengan al-Jawhar al-Fard), dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian (al-Jism). Benda yang terakhir ini (al-Jism) terbagi menjadi dua macam;
1. Jism Lathîf; yaitu benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya.
2. Jism Katsîf; yaitu benda yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.
Sedangkan sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-Nya, Dia bukan sebagai al-Jawhar al-Fard, bukan Jism Lathîf, dan juga bukan Jism Katsîf, serta Dia tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti Ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan kedalaman), sedangkan sesuatu yang demikian itu maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya pada dimensi tersebut.
Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:
كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَىءٌ غَيْـرُهُ (رواه البخاري والبيهقي وابن الجارود)
“Allah ada pada azal (ada tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (HR. al-Bukhari, al-Bayhaqi dan Ibn al-Jarud)
Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat, arah dan lainnya. Artinya bahwa Allah ada sebelum Dia menciptakan tempat dan arah, dengan demikian maka Dia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Dia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan tanpa arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk). Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah begitu pula akal menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah. Sebagaimana ditegaskan juga oleh sahabat Ali ibn Abi Thalib -semoga ridla Allah selalu tercurah atasnya-:
كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ
“Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat, dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) ada seperti semula; tanpa tempat”. (Dituturkan oleh Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitab al-Farq Bayn al-Firaq, h. 333).
Imam al-Bayhaqi (w 458 H) dalam kitab al-Asmâ Wa ash-Shifât, hlm. 506, berkata:
“Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasul
PONDOK PESANTREN NURUL HIKMAH
BIOGRAFI PENGASUH
Dr. H. Kholilurrohman Abu Fateh, lahir di Subang 15 November 1975, Dosen Unit Kerja Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (DPK/Diperbantukan di Program Pasca Sarjana PTIQ Jakar…
ullah:
أنْتَ الظّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَىءٌ وَأنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَىءٌ (رَوَاهُ مُسلم وَغيـرُه)
“Engkau wahai Allah azh-Zhâhir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya) tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau wahai Allah al-Bâthin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu (HR. Muslim dan lainnya)”. Jika tidak ada sesuatu apapun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa tempat”.
Imam as-Sajjâd Zayn al-Abidin Ali ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib (w 94 H) -semoga ridla Allah selalu tercurah atas mereka- berkata:
أنْتَ اللهُ الّذِيْ لاَ يَحْوِيْكَ مَكَانٌ (رواه الحافظ الزبيدي)
“Engkaulah wahai Allah yang tidak diliputi oleh tempat”. (Diriwayatkan oleh al-Hâfizh az-Zabidi dalam Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn Bi Syarh Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua perawinya adalah Ahl al-Bayt; keturunan Rasulullah).
Adapun ketika seseorang menghadapkan kedua telapak tangan ke arah langit ketika berdoa maka hal ini tidak menandakan bahwa Allah berada di arah langit, akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana apabila seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap ke ka’bah maka hal ini tidak berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena ka’bah adalah kiblat shalat. Penjelasan seperti ini telah dituturkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti Imam al-Mutawalli (w 478 H) dalam kitabnya al-Ghun-yah, Imam al-Ghazali (w 505 H) dalam kitabnya Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, Imam an-Nawawi (w 676 H) dalam kitabnya Syarh Shahîh Muslim, Imam Taqiyyuddin as-Subki (w 756 H) dalam kitab as-Sayf ash-Shaqîl, dan masih banyak lagi.
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga ridla Allah selalu tercurah atasnya- (w 321 H) berkata:
تَعَالَـى (يَعْنِي اللهَ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَاْلغَايَاتِ وَاْلأرْكَانِ وَالأعْضَاءِ وَالأدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ
“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, artinya bahwa Allah tidak berukuran), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang); Dia tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi oleh enam arah penjuru tersebut”.
Perkataan Imam Abu Ja’far ath-Thahawi ini merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan ulama Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah). Diambil dalil dari perkataan tersebut bahwasannya bukanlah maksud dari Mi’raj bahwa Allah berada di arah atas lalu Nabi Muhammad naik ke arah sana untuk bertemu dengan-Nya, melainkan maksud Mi’raj adalah untuk memuliakan Rasulullah dan memperlihatkan kepadanya keajaiban-keajaiban makhluk Allah sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur'an surat al-Isra ayat 1.
Dengan demikian tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu tempat, atau disemua tempat, atau ada di mana-mana. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu arah atau semua arah penjuru. Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari (w 324 H) -semoga ridla Allah selalu tercurah atasnya- berkata:
إنَّ اللهَ لاَ مَكَانَ لَهُ (رواه البيهقي في الأسماء والصفات)
“Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat”. (Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asmâ’ Wa ash-Shifât).
Imam al-Asy’ari juga berkata: “Tidak boleh dikatakan bahwa Allah di satu tempat atau di semua tempat”. Perkataan Imam al-Asy’ari ini dinukil oleh Imam Ibn Furak (w 406 H) dalam kitab al-Mujarrad. Syekh Abd al-Wahhab asy-Sya’rani (w 973 H) dalam kitab al-Yawâqît Wa al-Jawâhir menukil perkataan Syekh Ali al-Khawwash, berkata: “Tidak boleh dikatakan Allah ada di mana-mana”. Maka aqidah yang wajib diyakini adalah bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat.
Perkataan Imam ath-Thahawi di atas juga merupakan bantahan terhadap pengikut paham Wahdah al-Wujud; mereka yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-makhluk-Nya, juga sebagai
أنْتَ الظّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَىءٌ وَأنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَىءٌ (رَوَاهُ مُسلم وَغيـرُه)
“Engkau wahai Allah azh-Zhâhir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya) tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau wahai Allah al-Bâthin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu (HR. Muslim dan lainnya)”. Jika tidak ada sesuatu apapun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa tempat”.
Imam as-Sajjâd Zayn al-Abidin Ali ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib (w 94 H) -semoga ridla Allah selalu tercurah atas mereka- berkata:
أنْتَ اللهُ الّذِيْ لاَ يَحْوِيْكَ مَكَانٌ (رواه الحافظ الزبيدي)
“Engkaulah wahai Allah yang tidak diliputi oleh tempat”. (Diriwayatkan oleh al-Hâfizh az-Zabidi dalam Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn Bi Syarh Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua perawinya adalah Ahl al-Bayt; keturunan Rasulullah).
Adapun ketika seseorang menghadapkan kedua telapak tangan ke arah langit ketika berdoa maka hal ini tidak menandakan bahwa Allah berada di arah langit, akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana apabila seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap ke ka’bah maka hal ini tidak berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena ka’bah adalah kiblat shalat. Penjelasan seperti ini telah dituturkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti Imam al-Mutawalli (w 478 H) dalam kitabnya al-Ghun-yah, Imam al-Ghazali (w 505 H) dalam kitabnya Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, Imam an-Nawawi (w 676 H) dalam kitabnya Syarh Shahîh Muslim, Imam Taqiyyuddin as-Subki (w 756 H) dalam kitab as-Sayf ash-Shaqîl, dan masih banyak lagi.
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga ridla Allah selalu tercurah atasnya- (w 321 H) berkata:
تَعَالَـى (يَعْنِي اللهَ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَاْلغَايَاتِ وَاْلأرْكَانِ وَالأعْضَاءِ وَالأدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ
“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, artinya bahwa Allah tidak berukuran), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang); Dia tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi oleh enam arah penjuru tersebut”.
Perkataan Imam Abu Ja’far ath-Thahawi ini merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan ulama Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah). Diambil dalil dari perkataan tersebut bahwasannya bukanlah maksud dari Mi’raj bahwa Allah berada di arah atas lalu Nabi Muhammad naik ke arah sana untuk bertemu dengan-Nya, melainkan maksud Mi’raj adalah untuk memuliakan Rasulullah dan memperlihatkan kepadanya keajaiban-keajaiban makhluk Allah sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur'an surat al-Isra ayat 1.
Dengan demikian tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu tempat, atau disemua tempat, atau ada di mana-mana. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu arah atau semua arah penjuru. Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari (w 324 H) -semoga ridla Allah selalu tercurah atasnya- berkata:
إنَّ اللهَ لاَ مَكَانَ لَهُ (رواه البيهقي في الأسماء والصفات)
“Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat”. (Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asmâ’ Wa ash-Shifât).
Imam al-Asy’ari juga berkata: “Tidak boleh dikatakan bahwa Allah di satu tempat atau di semua tempat”. Perkataan Imam al-Asy’ari ini dinukil oleh Imam Ibn Furak (w 406 H) dalam kitab al-Mujarrad. Syekh Abd al-Wahhab asy-Sya’rani (w 973 H) dalam kitab al-Yawâqît Wa al-Jawâhir menukil perkataan Syekh Ali al-Khawwash, berkata: “Tidak boleh dikatakan Allah ada di mana-mana”. Maka aqidah yang wajib diyakini adalah bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat.
Perkataan Imam ath-Thahawi di atas juga merupakan bantahan terhadap pengikut paham Wahdah al-Wujud; mereka yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-makhluk-Nya, juga sebagai
bantahan atas pengikut paham Hulul; mereka yang berkeyakinan bahwa Allah menempati sebagian makhluk-Nya. Dua keyakinan ini adalah keyakinan kufur dengan Ijma’ (konsensus) seluruh orang Islam sebagaimana dikatakan oleh Imam as-Suyuthi (w 911 H) dalam kitab al-Hâwî Li al-Fatâwî, dan Imam lainnya. Para Imam panutan kita dari ahli tasawuf sejati seperti Imam al-Junaid al-Baghdadi (w 297 H), Imam Ahmad ar-Rifa’i (w 578 H), Syekh Abd al-Qadir al-Jailani (w 561 H) dan semua Imam tasawwuf sejati; mereka semua selalu mengingatkan orang-orang Islam dari para pendusta yang menjadikan tarekat dan tasawuf sebagai wadah untuk meraih dunia, padahal mereka berkeyakinan Wahdah al-Wujud dan atau Hulul.
Dengan demikian keyakinan ummat Islam dari kalangan Salaf dan Khalaf telah sepakat bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Sementara keyakinan sebagian orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya; seperti mereka yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas arsy adalah keyakinan sesat. Keyakinan ini adalah penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, karena duduk adalah salah satu sifat manusia. Para ulama Salaf telah sepakat bahwa siapa yang mensifati Allah dengan satu sifat di antara sifat-sifat manusia maka ia telah keluar dari Islam, sebagaimana hal ini telah dituliskan oleh Imam al-Muhaddits as-Salafi Abu Ja’far ath-Thahawi (w 321 H) dalam kitab aqidahnya yang dikenal dengan nama al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah”, beliau berkata:
وَمَنْ وَصَفَ اللهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِي اْلبَشَرِ فَقَدْ كَفَر
“Barang siapa mensifati Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia maka ia telah kafir”.
Padahal telah diketahui bahwa beribadah kepada Allah hanya sah dilakukan oleh orang yang meyakini bahwa Allah dan tidak menyerupakan-Nya dengan sesuatu apapun dari makhluk-Nya. Imam al-Ghazali berkata:
لاَ تَصِحُّ اْلعِبَادَةُ إلاّ بَعْدَ مَعْرِفَةِ الْمَعْبُوْدِ
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (Allah) yang wajib disembah”.
Hal itu karena beriman kepada Allah dengan benar adalah syarat diterimanya amal saleh seseorang, tanpa beriman kepada Allah dengan benar maka segala bentuk amal saleh tidak akan diterima oleh Allah.
Dengan demikian keyakinan ummat Islam dari kalangan Salaf dan Khalaf telah sepakat bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Sementara keyakinan sebagian orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya; seperti mereka yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas arsy adalah keyakinan sesat. Keyakinan ini adalah penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, karena duduk adalah salah satu sifat manusia. Para ulama Salaf telah sepakat bahwa siapa yang mensifati Allah dengan satu sifat di antara sifat-sifat manusia maka ia telah keluar dari Islam, sebagaimana hal ini telah dituliskan oleh Imam al-Muhaddits as-Salafi Abu Ja’far ath-Thahawi (w 321 H) dalam kitab aqidahnya yang dikenal dengan nama al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah”, beliau berkata:
وَمَنْ وَصَفَ اللهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِي اْلبَشَرِ فَقَدْ كَفَر
“Barang siapa mensifati Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia maka ia telah kafir”.
Padahal telah diketahui bahwa beribadah kepada Allah hanya sah dilakukan oleh orang yang meyakini bahwa Allah dan tidak menyerupakan-Nya dengan sesuatu apapun dari makhluk-Nya. Imam al-Ghazali berkata:
لاَ تَصِحُّ اْلعِبَادَةُ إلاّ بَعْدَ مَعْرِفَةِ الْمَعْبُوْدِ
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (Allah) yang wajib disembah”.
Hal itu karena beriman kepada Allah dengan benar adalah syarat diterimanya amal saleh seseorang, tanpa beriman kepada Allah dengan benar maka segala bentuk amal saleh tidak akan diterima oleh Allah.
*Pelajaran Penting: Mengenal Sebab Kesesatan Aqidah Tasybih; Dari Tulisan Imam Ibn al-Jauzi (Waspadai Ajaran Wahhabi, Sebarkan!!) | Oleh Dr. H. Khlolilurrohman, MA*
al-Hâfizh Ibn al-Jauzi menuliskan bahwa sebab kerancuan sebagian orang yang mengaku bermadzhab Hanbali dalam akidah mereka hingga mereka dicap sebagai golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya (ahl al-tasybîh) adalah karena beberapa hal berikut;
Pertama: Mereka selalu menamakan setiap teks yang dinisbatkan kepada Allâh sebagai sifat-sifatnya (Akhbâr al-Shifât). Padahal tidak semua teks yang dinisbatkan kepada Allâh merupakan sifat-sifat-Nya. Bisa jadi penisbatan tersebut hanya penisbatan mudlâf dan mudlâf ilaih. Dan tidak semua nisbat idlafâh semacam ini bermakna sifat. Seperti dalam firman Allâh tentang nabi Adam: “Wa Nafakhtu Fîhi Min Rûhî…”. QS. Shad: 72. Ayat ini maknannya bukan berari Allâh memiliki sifat ruh yang kemudian sebagian ruh tersebut ditiupkan kepada nabi Adam. Tapi makna ayat yang dimaksud adalah idlâfah tasyrîf; artinya ruh tersebut adalah ruh yang dimuliakan oleh Allâh. Dengan demikian jelas salah bila setiap ayat dalam bentuk mudlaf dan mudlaf ilaih dianggap sebagai pengertian sifat.
Ke dua: Mereka selalu berkata bahwa teks-teks al-Qur’ân atau hadits tersebut adalah bagian dari teks-teks mutasyâbihât yang tidak diketahui maknanya kecuali oleh Allâh. Kemudian mereka berkata; Kewajiban kita hanya memaknai dan memberlakukan teks-teks tersebut sesuai zhahirnya. Pernyataan mereka ini adalah pernyataan yang sangat aneh. Mereka mengatakan bahwa teks-teks tersebut tidak diketahui oleh siapapun kecuali oleh Allâh, namun pada saat yang sama mereka memaknai teks-teks tersebut dengan makna zhahirnya. Padahal lafazh “yad” dalam bahasa Arab makna zhahirnya adalah “tangan”, yang berupa jari-jemari, daging, tulang darah dan lainnya. Kemudian lafazh “’ain” makna zhahirnya tidak lain adalah mata. Juga lafazh “istawa” makna zhahirnya adalah duduk dan bertempat. Atau lafazh “yanzil” yang makna zhahirnya adalah turun dalam arti berpindah tempat dari atas ke bawah. Apakah makna-makna zhahir semacam ini sesuai begi keagungan Allâh?! Bila tidak, lantas mengapa dikatakan bahwa kita harus memberlakukannya sesuai makna zhahirnya?!
Ke tiga: Mereka selalu menetapkan sifat-sifat bagi Allâh dengan sekehendak mereka sendiri. Setiap teks yang ada kaitannya dengan Allâh seringkali diklaim oleh mereka sebagai sifat-sifat-Nya. Padahal sifat-sifat bagi Allâh tidak boleh ditetapkan kecuali dengan adanya dalil-dalil yang pasti atas hal tersebut.
Ke empat: Mereka tidak membeda-bedakan dalam menetapkan sifat bagi Allâh antara hadits yang mashur dengan hadits yang tidak shahih. Hadits yang mashur contohnya hadîts al-nuzûl; “Yanzil Rabbunâ Ilâ al-Samâ’ al-Dunyâ…”. Contoh hadits yang tidak shahih seperti hadits yang mengatakan: “Raitu Rabbî Fî Ahsan al-Shûrah…”. Mereka memandang bahwa kedua hadits tersebut merupakan hadits-hadist tentang sifat Allâh. Dan kerananya mereka kemudian menetapkan dengan landasan dua hadits tersebut adanya sifat “turun” dan “bentuk” bagi Allâh.
Ke lima: Mereka tidak membeda-bedakan antara hadits marfû’ yang bersambung hingga Rasulullah dan hadits mauqûf yang hanya bersambung sampai kepada para sahabat, bahkan juga membedakannya dengan hadits maqthû’ yang hanya bersambung hingga tabi’in saja. Baik hadits marfû’, hadits mauqûf atau hadits maqthû’ oleh mereka dapat dijadikan dalil dalam menetapkan sifat-sifat bagi Allâh.
Ke enam: Yang aneh dari mereka, beberapa teks al-Qur’ân atau hadits yang terkait dengan masalah ini dipahami dengan takwil, namun dalam teks-teks lain mereka memaknainya dengan makna-makna zhahir. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki keteguhan keyakinan. Seperti sebuah hadits yang berbunyi: “Wa Man Atânî Yamsyî, Ataituh Harwalah…”, mereka memaknai hadits ini dengan mentakwilnya. Maksud kandungan hadits ini, menurut mereka sebagai perumpamaan atau pendekatan kenikmatan kenikmatan dan karunia yang dianugerahkan oleh Allâh kepada hamba-hamba-Nya. Lantas di mana konsistensi mereka dalam memegang makna zhahir teks?! Padahal
al-Hâfizh Ibn al-Jauzi menuliskan bahwa sebab kerancuan sebagian orang yang mengaku bermadzhab Hanbali dalam akidah mereka hingga mereka dicap sebagai golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya (ahl al-tasybîh) adalah karena beberapa hal berikut;
Pertama: Mereka selalu menamakan setiap teks yang dinisbatkan kepada Allâh sebagai sifat-sifatnya (Akhbâr al-Shifât). Padahal tidak semua teks yang dinisbatkan kepada Allâh merupakan sifat-sifat-Nya. Bisa jadi penisbatan tersebut hanya penisbatan mudlâf dan mudlâf ilaih. Dan tidak semua nisbat idlafâh semacam ini bermakna sifat. Seperti dalam firman Allâh tentang nabi Adam: “Wa Nafakhtu Fîhi Min Rûhî…”. QS. Shad: 72. Ayat ini maknannya bukan berari Allâh memiliki sifat ruh yang kemudian sebagian ruh tersebut ditiupkan kepada nabi Adam. Tapi makna ayat yang dimaksud adalah idlâfah tasyrîf; artinya ruh tersebut adalah ruh yang dimuliakan oleh Allâh. Dengan demikian jelas salah bila setiap ayat dalam bentuk mudlaf dan mudlaf ilaih dianggap sebagai pengertian sifat.
Ke dua: Mereka selalu berkata bahwa teks-teks al-Qur’ân atau hadits tersebut adalah bagian dari teks-teks mutasyâbihât yang tidak diketahui maknanya kecuali oleh Allâh. Kemudian mereka berkata; Kewajiban kita hanya memaknai dan memberlakukan teks-teks tersebut sesuai zhahirnya. Pernyataan mereka ini adalah pernyataan yang sangat aneh. Mereka mengatakan bahwa teks-teks tersebut tidak diketahui oleh siapapun kecuali oleh Allâh, namun pada saat yang sama mereka memaknai teks-teks tersebut dengan makna zhahirnya. Padahal lafazh “yad” dalam bahasa Arab makna zhahirnya adalah “tangan”, yang berupa jari-jemari, daging, tulang darah dan lainnya. Kemudian lafazh “’ain” makna zhahirnya tidak lain adalah mata. Juga lafazh “istawa” makna zhahirnya adalah duduk dan bertempat. Atau lafazh “yanzil” yang makna zhahirnya adalah turun dalam arti berpindah tempat dari atas ke bawah. Apakah makna-makna zhahir semacam ini sesuai begi keagungan Allâh?! Bila tidak, lantas mengapa dikatakan bahwa kita harus memberlakukannya sesuai makna zhahirnya?!
Ke tiga: Mereka selalu menetapkan sifat-sifat bagi Allâh dengan sekehendak mereka sendiri. Setiap teks yang ada kaitannya dengan Allâh seringkali diklaim oleh mereka sebagai sifat-sifat-Nya. Padahal sifat-sifat bagi Allâh tidak boleh ditetapkan kecuali dengan adanya dalil-dalil yang pasti atas hal tersebut.
Ke empat: Mereka tidak membeda-bedakan dalam menetapkan sifat bagi Allâh antara hadits yang mashur dengan hadits yang tidak shahih. Hadits yang mashur contohnya hadîts al-nuzûl; “Yanzil Rabbunâ Ilâ al-Samâ’ al-Dunyâ…”. Contoh hadits yang tidak shahih seperti hadits yang mengatakan: “Raitu Rabbî Fî Ahsan al-Shûrah…”. Mereka memandang bahwa kedua hadits tersebut merupakan hadits-hadist tentang sifat Allâh. Dan kerananya mereka kemudian menetapkan dengan landasan dua hadits tersebut adanya sifat “turun” dan “bentuk” bagi Allâh.
Ke lima: Mereka tidak membeda-bedakan antara hadits marfû’ yang bersambung hingga Rasulullah dan hadits mauqûf yang hanya bersambung sampai kepada para sahabat, bahkan juga membedakannya dengan hadits maqthû’ yang hanya bersambung hingga tabi’in saja. Baik hadits marfû’, hadits mauqûf atau hadits maqthû’ oleh mereka dapat dijadikan dalil dalam menetapkan sifat-sifat bagi Allâh.
Ke enam: Yang aneh dari mereka, beberapa teks al-Qur’ân atau hadits yang terkait dengan masalah ini dipahami dengan takwil, namun dalam teks-teks lain mereka memaknainya dengan makna-makna zhahir. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki keteguhan keyakinan. Seperti sebuah hadits yang berbunyi: “Wa Man Atânî Yamsyî, Ataituh Harwalah…”, mereka memaknai hadits ini dengan mentakwilnya. Maksud kandungan hadits ini, menurut mereka sebagai perumpamaan atau pendekatan kenikmatan kenikmatan dan karunia yang dianugerahkan oleh Allâh kepada hamba-hamba-Nya. Lantas di mana konsistensi mereka dalam memegang makna zhahir teks?! Padahal
jelas secara zhahir makna hadits tersebut: “Siapa yang mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari keci…”.
Ke tujuh: Mereka seringkali memberlakukan makna-makna indrawi dalam memahami teks-teks tersebut. Ini ditandai dengan adalanya lafazh-lafazh yang sering kali mereka tambahkan terhadap teks-teks tersebut. Seperti seringkali mereka berkata: “Yanzil Bi Dzâtih…” (Allah turun dengan Dzat-Nya), “Yanzil Wa Yatahawwal…” (Allah turun dan bergerak), “Istawâ Bi Ma’nâ al-Haqîqah…” (Allah benar-benar bertempat/bersemayam) dan tambahan lafazh lainnya. Lalu untuk mengecoh orang-orang awam mereka berkata: “Lâ Kamâ Na’qil…” (Tidak seperti yang kita pikirkan). Terkadang mereka juga berkata: “Lahû Yad Lâ Ka al-Aidî…” (Allah memilki tangan tapai tidak seperti semua tangan), “Lahû ‘Ain Lâ Kasâ’ir al-A’yun…” (Allah punya mata tapi tidak seperti setiap mata), “Lahû Qadam Lâ Kasâ’ir al-Aqdâm…” (Allah memiliki kaki tapi tidak seperti setiap kaki). Yang tersisa bagi mereka adalah untuk mengatakan: “Huwa Insân Lâ Kasâ’ir al-Nâs…” (Allah adalah manusia tatapi tidak seperti seluruh manusia). Adakah tauhid dalam keyakinan orang-orang semacam ini?? (Penjelasan lebih luas lihat Ibn al-Jauzi, Daf’u Syubah at-Tasybih Bi Akaff at-Tanzih, h. 11-12).
Catatan:
Ibn al-Jauzi adalah al-Imam al-Hafizh Abdurrahman ibn Abi al-Hasan al-Jauzi (w 597 H), Imam Ahlussunnah terkemuka, ahli hadits, ahli tafsir, dan seorang teolog (ahli ushul) terdepan. Beliau bermadzhab Hanbali, dan apa yang beliau tuliskan dalam karya beliau di atas adalah keyakinan para ulama madzhab Hanbli terkemuka. Adapaun orang-orang Wahabi bahwa mereka mengaku bermadzhab Hanbali adalah BOHONG BESAR....baik di dalam aqidah maupun fiqih kaum Wahabi ini bukan di atas madzhab Hanbali; madzhab mereka adalah madzhab WAHABI..!!!
Awas salah; beda antara Ibn al-Jauzi dengan Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Adapun ibn Qayyim al-Jauziyyah ini adalah Muhammad ibn Abi Bakr az-Zar’i (w 751 H) murid dari Ibn Taimiyah yang dalam keyakinannya persis sama dengan Ibn Taimiyah sendiri; dua-duanya orang sesat dan menyesatkan.
Ingat-ingat neeeh...!!! Keduanya jauh berbeda; yang pertama (Ibn al-Jauzi) Imam Ahlussunnah terkemuka, sementara yang kedua (Ibn Qayyim al-Jauziyyah) adalah murid Ibn Taimiyah; yang dalam keyakinannya persis sama dengan kayakinan tasybih Ibn Taimiyah.
sekali lagi... Awas salah!! Ibn Qayyim; murid Ibn Taimiyah ini di antara keyakinannya yang juga persis keyakinan gurunya; 1. Orang yang tawassul dengan Nabi atau orang-orang saleh adalah orang musyrik, 2. Perjalanan untuk ziarah ke makam Rasulullah adalah perjanan maksiat, 3. Berkeyakinan Allah duduk di atas arsy, 4. Berkeyakinan bahwa neraka akan punah dan siksaan terhadap orang-orang kafir di dalamnya akan habis, dan berbagai lainnya. Bukan isapan jempol, ini semua ada datanya, bahkan dia tuliskan dalam karya-karyanya sendiri...
Ingat... Aqidah Rasulullah, para sahabatnya, dan aqidah mayoritas umat Islam, kaum Ahlussunnah wal Jama'ah adalah ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH.
Ke tujuh: Mereka seringkali memberlakukan makna-makna indrawi dalam memahami teks-teks tersebut. Ini ditandai dengan adalanya lafazh-lafazh yang sering kali mereka tambahkan terhadap teks-teks tersebut. Seperti seringkali mereka berkata: “Yanzil Bi Dzâtih…” (Allah turun dengan Dzat-Nya), “Yanzil Wa Yatahawwal…” (Allah turun dan bergerak), “Istawâ Bi Ma’nâ al-Haqîqah…” (Allah benar-benar bertempat/bersemayam) dan tambahan lafazh lainnya. Lalu untuk mengecoh orang-orang awam mereka berkata: “Lâ Kamâ Na’qil…” (Tidak seperti yang kita pikirkan). Terkadang mereka juga berkata: “Lahû Yad Lâ Ka al-Aidî…” (Allah memilki tangan tapai tidak seperti semua tangan), “Lahû ‘Ain Lâ Kasâ’ir al-A’yun…” (Allah punya mata tapi tidak seperti setiap mata), “Lahû Qadam Lâ Kasâ’ir al-Aqdâm…” (Allah memiliki kaki tapi tidak seperti setiap kaki). Yang tersisa bagi mereka adalah untuk mengatakan: “Huwa Insân Lâ Kasâ’ir al-Nâs…” (Allah adalah manusia tatapi tidak seperti seluruh manusia). Adakah tauhid dalam keyakinan orang-orang semacam ini?? (Penjelasan lebih luas lihat Ibn al-Jauzi, Daf’u Syubah at-Tasybih Bi Akaff at-Tanzih, h. 11-12).
Catatan:
Ibn al-Jauzi adalah al-Imam al-Hafizh Abdurrahman ibn Abi al-Hasan al-Jauzi (w 597 H), Imam Ahlussunnah terkemuka, ahli hadits, ahli tafsir, dan seorang teolog (ahli ushul) terdepan. Beliau bermadzhab Hanbali, dan apa yang beliau tuliskan dalam karya beliau di atas adalah keyakinan para ulama madzhab Hanbli terkemuka. Adapaun orang-orang Wahabi bahwa mereka mengaku bermadzhab Hanbali adalah BOHONG BESAR....baik di dalam aqidah maupun fiqih kaum Wahabi ini bukan di atas madzhab Hanbali; madzhab mereka adalah madzhab WAHABI..!!!
Awas salah; beda antara Ibn al-Jauzi dengan Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Adapun ibn Qayyim al-Jauziyyah ini adalah Muhammad ibn Abi Bakr az-Zar’i (w 751 H) murid dari Ibn Taimiyah yang dalam keyakinannya persis sama dengan Ibn Taimiyah sendiri; dua-duanya orang sesat dan menyesatkan.
Ingat-ingat neeeh...!!! Keduanya jauh berbeda; yang pertama (Ibn al-Jauzi) Imam Ahlussunnah terkemuka, sementara yang kedua (Ibn Qayyim al-Jauziyyah) adalah murid Ibn Taimiyah; yang dalam keyakinannya persis sama dengan kayakinan tasybih Ibn Taimiyah.
sekali lagi... Awas salah!! Ibn Qayyim; murid Ibn Taimiyah ini di antara keyakinannya yang juga persis keyakinan gurunya; 1. Orang yang tawassul dengan Nabi atau orang-orang saleh adalah orang musyrik, 2. Perjalanan untuk ziarah ke makam Rasulullah adalah perjanan maksiat, 3. Berkeyakinan Allah duduk di atas arsy, 4. Berkeyakinan bahwa neraka akan punah dan siksaan terhadap orang-orang kafir di dalamnya akan habis, dan berbagai lainnya. Bukan isapan jempol, ini semua ada datanya, bahkan dia tuliskan dalam karya-karyanya sendiri...
Ingat... Aqidah Rasulullah, para sahabatnya, dan aqidah mayoritas umat Islam, kaum Ahlussunnah wal Jama'ah adalah ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH.
*Beberapa Masalah Terkait Kaedah Dalam _Istinbath_ Dan _Istidlal_ | Oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA*
*Masalah Pertama:*
Perkataan yang sering dikemukakan oleh sebagian orang ketika membid’ahkan suatu amalan: “Itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabat, mereka tidak pernah melakukannya, seandainya itu perkara baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.
*Jawab:* Ketika Nabi tidak melakukan suatu perkara -dalam istilah ilmu Ushul Fiqh disebut at-Tark- mengandung beberapa kemungkinan selain tahrim (pengharaman). Mungkin saja Nabi tidak melakukan suatu perkara hanya karena tidak terbiasa, atau karena lupa atau karena memang tidak terpikirkan sama sekali oleh beliau, atau karena takut hal tersebut difardlukan atas umatnya sehingga memberatkan atau karena hal tersebut sudah masuk dalam keumuman sebuah ayat atau hadits atau kemungkinan-kemungkinan yang lain. Jelas bahwa tidak mungkin Nabi bisa melakukan semua hal yang dianjurkan, karena begitu sibuknya beliau dengan tugas-tugas dakwah, kemasyarakatan atau kenegaraan. Jadi hanya karena Nabi tidak melakukan sesuatu lalu sesuatu itu diharamkan, ini adalah istinbath yang keliru.
Demikian juga ketika para ulama salaf tidak melakukan suatu hal itu mengandung beberapa kemungkinan. Mungkin saja mereka tidak melakukannya karena kebetulan saja, atau karena menganggapnya tidak boleh atau menganggapnya boleh tetapi ada yang lebih afdlal sehingga mereka melakukan yang lebih afdlal…dan beberapa kemungkinan lain. Jika demikian halnya at-Tark (tidak melakukan) saja tidak bisa dijadikan dalil, karena kaedah mengatakan:
مَا دَخَلَهُ الاحْتِمَالُ سَقَطَ بِهِ الاسْتِدْلاَلُ
Maknanya: "Dalil yang mengandung beberapa kemungkinan tidak bisa lagi dijadikan dalil (untuk salah satu kemungkinan saja tanpa ada dalil lain)".
Oleh karena itu al Imam asy-Syafi'i mengatakan:
كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَّلَفُ
Maknanya: "Setiap perkara yang memiliki sandaran dari syara' bukanlah bid'ah meskipun tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf".
Jadi perlu diketahui bahwa ada sebuah kaedah ushul fiqh:
تَرْكُ الشَّىْءِ لاَ يَدُلُّ عَلَى مَنْعِهِ
Maknanya: "Tidak melakukan sesuatu tidak menunjukkan bahwa sesuatu tersebut terlarang".
At-Tark yang dimaksud adalah ketika Nabi tidak melakukan sesuatu atau salaf tidak melakukan sesuatu, tanpa ada hadits atau atsar lain yang melarang (untuk melakukan) sesuatu (yang ditinggalkan) tersebut yang menunjukkan keharaman atau kemakruhannya. Jadi at-Tark saja tidak menunjukkan keharaman sesuatu. At-Tark saja jika tidak disertai nash lain yang menunjukkan bahwa al matruk dilarang bukanlah dalil bahwa sesuatu itu haram, paling jauh itu menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu itu boleh. Sedangkan bahwa sesuatu itu dilarang tidak bisa dipahami dari at-Tark saja, tetapi harus diambil dari dalil lain yang menunjukkan pelarangan, jika tidak ada berarti tidak terlarang dengan dalil at-Tark saja.
Perlu diketahui bahwa pengharaman sesuatu hanya bisa diambil dari salah satu di antara tiga hal: ada Nahy (larangan), atau lafazh tahrim atau dicela dan diancam pelaku suatu perbuatan dengan dosa atau siksa. Karena at-Tark tidak termasuk dalam tiga hal ini berarti at-tark bukan dalil pengharaman. Karena itulah Allah berfirman:
وَمَآءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا )سورة الحشر(
Maknanya: "Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…" (Q.S. al Hasyr: 7)
Allah tidak menyatakan:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا تَرَكَهُ فَانْتَهُوْا عَنْهُ
Maknanya: "Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang ditinggalkannya maka tinggalkanlah".
Imam Abu Sa'id ibn Lubb mengatakan:
فَالتَّرْكُ لَيْسَ بِمُوْجِبٍ لِحُكْمٍ فِي ذَلِكَ الْمَتْرُوْكِ إِلاَّ جَوَازَ التَّرْكِ وَانْتِفَاءَ الْحَرَجِ فِيْهِ، وَأَمَّا تَحْرِيْمٌ أَوْ لُصُوْقُ كَرَاهِيَةٍ بِالْمَتْرُوْكِ فَلاَ، وَلاَ سِيَّمَا فِيْمَا لَهُ أَصْلٌ جُمْلِيٌّ مُتَقَرِّرٌ مِنَ الشَّرْعِ كَالدُّعَاءِ
Maknanya: "Jadi at-Tark tidak memiliki
*Masalah Pertama:*
Perkataan yang sering dikemukakan oleh sebagian orang ketika membid’ahkan suatu amalan: “Itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabat, mereka tidak pernah melakukannya, seandainya itu perkara baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.
*Jawab:* Ketika Nabi tidak melakukan suatu perkara -dalam istilah ilmu Ushul Fiqh disebut at-Tark- mengandung beberapa kemungkinan selain tahrim (pengharaman). Mungkin saja Nabi tidak melakukan suatu perkara hanya karena tidak terbiasa, atau karena lupa atau karena memang tidak terpikirkan sama sekali oleh beliau, atau karena takut hal tersebut difardlukan atas umatnya sehingga memberatkan atau karena hal tersebut sudah masuk dalam keumuman sebuah ayat atau hadits atau kemungkinan-kemungkinan yang lain. Jelas bahwa tidak mungkin Nabi bisa melakukan semua hal yang dianjurkan, karena begitu sibuknya beliau dengan tugas-tugas dakwah, kemasyarakatan atau kenegaraan. Jadi hanya karena Nabi tidak melakukan sesuatu lalu sesuatu itu diharamkan, ini adalah istinbath yang keliru.
Demikian juga ketika para ulama salaf tidak melakukan suatu hal itu mengandung beberapa kemungkinan. Mungkin saja mereka tidak melakukannya karena kebetulan saja, atau karena menganggapnya tidak boleh atau menganggapnya boleh tetapi ada yang lebih afdlal sehingga mereka melakukan yang lebih afdlal…dan beberapa kemungkinan lain. Jika demikian halnya at-Tark (tidak melakukan) saja tidak bisa dijadikan dalil, karena kaedah mengatakan:
مَا دَخَلَهُ الاحْتِمَالُ سَقَطَ بِهِ الاسْتِدْلاَلُ
Maknanya: "Dalil yang mengandung beberapa kemungkinan tidak bisa lagi dijadikan dalil (untuk salah satu kemungkinan saja tanpa ada dalil lain)".
Oleh karena itu al Imam asy-Syafi'i mengatakan:
كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَّلَفُ
Maknanya: "Setiap perkara yang memiliki sandaran dari syara' bukanlah bid'ah meskipun tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf".
Jadi perlu diketahui bahwa ada sebuah kaedah ushul fiqh:
تَرْكُ الشَّىْءِ لاَ يَدُلُّ عَلَى مَنْعِهِ
Maknanya: "Tidak melakukan sesuatu tidak menunjukkan bahwa sesuatu tersebut terlarang".
At-Tark yang dimaksud adalah ketika Nabi tidak melakukan sesuatu atau salaf tidak melakukan sesuatu, tanpa ada hadits atau atsar lain yang melarang (untuk melakukan) sesuatu (yang ditinggalkan) tersebut yang menunjukkan keharaman atau kemakruhannya. Jadi at-Tark saja tidak menunjukkan keharaman sesuatu. At-Tark saja jika tidak disertai nash lain yang menunjukkan bahwa al matruk dilarang bukanlah dalil bahwa sesuatu itu haram, paling jauh itu menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu itu boleh. Sedangkan bahwa sesuatu itu dilarang tidak bisa dipahami dari at-Tark saja, tetapi harus diambil dari dalil lain yang menunjukkan pelarangan, jika tidak ada berarti tidak terlarang dengan dalil at-Tark saja.
Perlu diketahui bahwa pengharaman sesuatu hanya bisa diambil dari salah satu di antara tiga hal: ada Nahy (larangan), atau lafazh tahrim atau dicela dan diancam pelaku suatu perbuatan dengan dosa atau siksa. Karena at-Tark tidak termasuk dalam tiga hal ini berarti at-tark bukan dalil pengharaman. Karena itulah Allah berfirman:
وَمَآءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا )سورة الحشر(
Maknanya: "Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…" (Q.S. al Hasyr: 7)
Allah tidak menyatakan:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا تَرَكَهُ فَانْتَهُوْا عَنْهُ
Maknanya: "Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang ditinggalkannya maka tinggalkanlah".
Imam Abu Sa'id ibn Lubb mengatakan:
فَالتَّرْكُ لَيْسَ بِمُوْجِبٍ لِحُكْمٍ فِي ذَلِكَ الْمَتْرُوْكِ إِلاَّ جَوَازَ التَّرْكِ وَانْتِفَاءَ الْحَرَجِ فِيْهِ، وَأَمَّا تَحْرِيْمٌ أَوْ لُصُوْقُ كَرَاهِيَةٍ بِالْمَتْرُوْكِ فَلاَ، وَلاَ سِيَّمَا فِيْمَا لَهُ أَصْلٌ جُمْلِيٌّ مُتَقَرِّرٌ مِنَ الشَّرْعِ كَالدُّعَاءِ
Maknanya: "Jadi at-Tark tidak memiliki