Tauhid Corner
554 subscribers
90 photos
38 videos
6 files
770 links
Catatan Teologi Islam Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah

https://linktr.ee/tauhidcorner
Download Telegram
*Al Imam al Ghazali* mudah–mudahan Allah merahmatinya berkata:*

"لا تصح العبادة إلا بعد معرفة المعبود"

Maknanya:
_“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (Allah) yang wajib disembah”_

Jadi barang siapa yang tidak mengenal Allah dengan menjadikan-Nya memiliki ukuran yang tidak berpenghabisan misalnya maka dia adalah kafir. Dan tidak sah bentuk-bentuk ibadahnya seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya.

*Al Imam Abu Ja'far ath-Thahawi* mudah–mudahan Allah meridlainya  ( 227-321 H) mengatakan :

"تعالـى (يعني الله) عن الحدود والغايات والأركان والأعضاء والأدوات لا تحويه الجهات الست كسائر المبتدعات". 

_"Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut"_

*PENJELASAN :*

*Imam  ath-Thahawi adalah Ahmad bin Muhammad bin Sallamah*, lahir tahun 227 H. Jadi beliau masuk  dalam makna hadits yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam :

" خيـر القرون قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم " رواه الترمذي

Maknanya :
_"Sebaik–baik abad adalah abad-ku, kemudian satu abad setelahnya, kemudian satu abad setelahnya"_ (H.R. at-Tirmidzi)

Beliau menyebutkan perkataan tersebut dalam kitab aqidahnya, yang merupakan penjelasan aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah, yang dianggap baik oleh seluruh ummat dari generasi ke generasi.

Maksud dari Ta'ala (تعالـى ) adalah bahwa Allah maha suci.

Allah maha suci dari Hudud (الحدود) maksudnya bahwa Allah maha suci dari Hadd sama sekali. Hadd adalah benda dan ukuran, besar maupun kecil. Suatu benda pasti berada pada suatu tempat dan arah. Sedangkan Allah maha suci dari berupa benda, berarti Allah ada tanpa tempat. Seandainya Allah adalah benda niscaya akan ada banyak serupa bagi-Nya, padahal Allah ta'ala telah berfirman :

[فلا تضربوا لله الأمثال] (سورة النحل : 74)

Maknanya : 
_"Janganlah kalian membuat serupa-serupa bagi Allah "_ (Q.S. an-Nahl : 74)

Jadi barangsiapa yang mengatakan bahwa Allah memiliki hadd, kita tidak mengetahui hadd tersebut, Allah-lah yang mengetahuinya sungguh dia telah kafir.

Makna (لا تحويه الجهات الست) bahwa Allah mustahil berada di salah satu arah atau di semua arah karena Allah ada tanpa tempat dan arah. Enam arah yang dimaksud adalah adalah atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang.

Maksud dari (كسائر المبتدعات ) adalah bahwa semua makhluk diliputi oleh arah, sedangkan Allah tidak menyerupai makhluk-Nya dari satu segi maupun semua segi dan Allah tidak bisa digambarkan dalam hati dan benak manusia. *Al Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan:*

          "مهما تصورت ببالك فالله بخلاف ذلك" رواه أبو الفضل التميمي

Maknanya:
_"Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang Allah), maka Allah tidak seperti itu"_ (Diriwayatkan oleh Abu al Fadll at-Tamimi).

*Jika ditanyakan:*
_Bagaimana hal demikian itu bisa terjadi (bahwa ada sesuatu yang ada tetapi tidak bisa dibayangkan dan digambarkan dengan benak)?_

*Maka jawabannya adalah:*
Bahwa di antara makhluk ada yang tidak bisa kita bayangkan akan tetapi kita harus beriman dan meyakini adanya. Yaitu bahwa cahaya dan kegelapan keduanya dulu tidak ada. Tidak ada satupun di antara kita yang bisa membayangkan pada dirinya bagaimana ada suatu waktu atau masa yang berlalu tanpa ada cahaya dan kegelapan di dalamnya ?!. Meski demikian kita wajib beriman dan meyakini bahwa  telah ada suatu masa yang berlalu tanpa dibarengi dengan cahaya dan kegelapan, karena Allah ta'ala berfirman :

[وجعل الظلمات والنور] (سورةالأنعام : 1) 

Maknanya:
_"… dan yang telah menjadikan kegelapan dan cahaya"_ (Q.S. al An'am: 1)

yakni menjadikan kegelapan dan cahaya setelah sebelumnya tidak ada.

Jika demikian halnya yang terjadi pada makhluk, maka lebih utama kita beriman dan percaya tentang Allah Yang mengatakan tentang D
zat-Nya ليس كمثله شىء"", jadi Allah tidak tergambar dalam benak dan tidak diliputi oleh akal, Allah ada, maha suci dari bentuk dan ukura, ada tanpa tempat dan arah.

*Al Imam ath-Thahawi juga mengatakan:*

" ومن وصف الله بمعنى من معانـي البشر فقد كفر" 

_"Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir"_

*PENJELASAN :*

Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir. Sifat–sifat manusia banyak sekali. Sifat yang paling menonjol adalah baharu, yakni ada setelah sebelumnya tidak ada. Di antara sifat manusia juga adalah mati, berubah, berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain, bergerak, diam, infi'al (merespon peristiwa dengan kegembiraan atau kesedihan atau semacamnya yang nampak dalam raut muka dan gerakan anggota tubuh), turun dari atas ke bawah, naik dari bawah ke atas, berpindah, memiliki warna, bentuk, panjang, pendek, bertempat pada suatu arah dan tempat, membutuhkan, memperoleh pengetahuan yang baru, terkena lupa, bodoh, duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan jarak, berjarak, menempel, berpisah dan lain–lain. Jadi barangsiapa mensifati Allah dengan salah satu sifat manusia tersebut maka dia telah kafir.



🎦📡 *Abou Fateh YouTube Channel* Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah | Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.youtube.com/c/aboufateh

🌐🕌 *Pondok Pesantren Nurul Hikmah* Untuk Menghafal al-Qur'an Dan Kajian Ilmu Agama Madzhab Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Asuhan Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.nurulhikmah.ponpes.id

📱 *Fb Page :* facebook.com/nurulhikmah.ponpes.id
📷 *Instagram :* instagram.com/nurulhikmah.ponpes.id
🖥 *Twitter :* twitter.com/ppnurulhikmah



📌📌

*ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH*

*APAPUN YANG TERLINTAS DALAM BENAKMU TENTANG ALLAH, MAKA ALLAH TIDAK SEDEMIKIAN ITU*
*Tafsir “al-Ma'iyyah” Pada Hak Allah (Bukan Dalam Makna Menempel; Hati-hati!!!!)*

Oleh : Ustadz Dr. H. Kholilurrohman, MA

Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ (الحديد: 4)

Kata “Ma’akum” dalam ayat ini bukan berarti bahwa Allah menempel, mengiringi, menyatu, atau menetap dengan setiap orang dari kita. Tetapi al-Ma’iyyah di sini adalah dalam pengertian bahwa Allah dengan sifat ilmu-Nya mengetahui dimanapun setiap orang dari kita berada. Artinya, yang dimaksud ayat ini adalah “Ma’iyyah al-‘Ilm”, bukan “Ma’iyyah adz-Dzat Bi adz Dzat”. Terkadang al-Ma’iyyah dapat pula dalam pengertian pertolongan dan perlindungan Allah. Seperti firman-Nya dalam QS. an-Nahl: 128:

إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا (سورة النحل :128)

Al-ma'iyyah dalam ayat ini bukan bahwa Allah menempati makhluk-Nya, menyatu, atau menempel dengannya. Tetapi yang dimaksud adalah bahwa Allah memberikan pertolongan dan perlindungan bagi orang-orang sabar. Seorang yang berkeyakinan bahwa Allah menempel, menyatu, atau berpisah dengan jarak, atau bertempat, maka ia telah menjadi kafir. Karena itu, Allah tidak boleh dikatakan bagi-Nya menempel, atau menyatu dengan alam ini, juga tidak boleh dikatakan terpisah dengan jarak, atau berada di luar alam ini. Allah tidak disifati dengan bentuk, baik ukuran besar atau kecil, panjang atau pendek, di luar atau di dalam, menempel atau terpisah, karena semua itu adalah sifat-sifat benda. Dengan demikian, setiap prasangka atau bayangan yang menyandarkan bentuk dan ukuran kepada Allah, atau menyandarkan sifat-sifat benda kepada-Nya, maka itu semua wajib diusir dan dihilangkan dari benak dan pikiran.

Dahulu, orang-orang Yahudi menyandangkan sifat lelah kepada Allah. Mereka berkata: “Setelah Allah menciptakan langit dan bumi Dia beristirahat dan terlentang karena lelah”. Perkataan semacam ini jelas sebuah kekufuran, karena Allah maha suci dari sifat-sifat benda. Dia maha suci dari sifat-sifat tubuh (al-Infi’alat), seperti lelah, sakit, merasa lezat, dan lainnya. Karena yang mengalami keadaan-keadaan semacam ini pasti sebagai makhluk yang selalu mengalami perubahan. Allah berfirman:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَمَا مَسَّنَا مِنْ لُغُوْبٍ (سورة ق : 38)

“Kami (Allah) telah menciptakan semua langit-langit dan bumi dan segala apa yang berada di antara keduanya dalam enam hari dan tidaklah sekali-kali mendapati Kami oleh kelelahan” (QS. Qaf: 38)

Yang akan merasakan lelah adalah yang melakukan suatu perbuatan dengan perantara anggota-anggota badan. Sedangkan Allah maha suci dari setiap anggota badan. Allah berfirman:

إِنَّ اللهَ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ (غافر : 20)

“Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat”. (QS. Ghafir: 20)

Allah mendengar dan melihat bukan seperti melihat dan mendengar yang ada pada makhluk. Sifat mendengar (as-Sam’u) dan sifat melihat (al-Bashar) pada Allah ada dua sifat-Nya azali yang bukan merupakan sifat-sifat anggota badan. Artinya, bukan dengan telinga, bukan dengan kelopak mata, bukan dengan istilah jarak dekat atau jauh, tidak berhubungan dengan adanya arah, dan tanpa dengan munculnya cahaya dari mata, atau berhembusnya udara.

Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah memiliki telinga maka ia telah kafir, meskipun ia mengatakan bahwa telinga Allah tidak seperti telinga kita. Hal ini berbeda dengan orang yang mengatakan: “Lillahi ‘Ain La Ka A’yunina” atau “Lillahi Yad La Ka Aidina”, (Artinya; “Allah memiliki ‘Ain, tetapi tidak seperti mata kita”, atau “Allah memiliki Yad, tetapi tidak seperti tangan kita). Melainkan bahwa “al-‘Ain” dan “al-Yad” ini adalah sebagai sifat-Nya. Kata “al-‘Ain” dan kata “al-Yad” terdapat penyebutannya di dalam al-Qur’an, dengan demikian keduanya boleh kita nisbatkan kepada Allah tanpa kita memahaminya sebagai anggota-anggota badan. Sedangkan kata “al-Udzun” (telinga) tidak ada penyebutannya dalam nash-nash syari’at dinisbatkan kepada Allah

*(Lebih lengkap tafsir “al-Ma’iyyah” lihat asy-Syarh al-Qawim Fi Hall Alfazh ash-Shirath al-Mustaqim karya al-Hafizh al-Abdari, h. 192,
dan kitab tafsir lainnya)*




🎦📡 *Abou Fateh YouTube Channel* Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah | Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.youtube.com/c/aboufateh

🌐🕌 *Pondok Pesantren Nurul Hikmah* Untuk Menghafal al-Qur'an Dan Kajian Ilmu Agama Madzhab Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Asuhan Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.nurulhikmah.ponpes.id

📱 *Fb Page :* facebook.com/nurulhikmah.ponpes.id
📷 *Instagram :* instagram.com/nurulhikmah.ponpes.id
🖥 *Twitter :* twitter.com/ppnurulhikmah



📌📌

*ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH*

*APAPUN YANG TERLINTAS DALAM BENAKMU TENTANG ALLAH, MAKA ALLAH TIDAK SEDEMIKIAN ITU*
🌼 *Definisi Yang Salah Tentang Syari’at Dan Hakekat | Oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA* 🌼

Ada definisi menyesatkan yang berkembang di sebagaian masyarakat tentang pengertian syari’at dan hakekat. Definisi menyesatkan ini berangkat dari pemahaman membeda-bedakan dalam tataran praktis antara hakikat dan syari’at, atau dalam istilah mereka antara zhahir dan batin. Kesimpulan sesat ini seringkali didasarkan, di antaranya, kepada kisah nabi Musa dan nabi Khadlir. Mereka mengatakan bahwa ahl azh-zhâhir yaitu para ulama syari’at hanya bergelut di medan ilmu-ilmu praktis saja, sementara ahlal-bâthin atau ahl al-haqîqah telah sampai kepada tujuannya. Dan karenanya, ahl al-bâthin ini, -menurut mereka-, tidak lagi membutuhkan kepada ajaran-ajaran syari’at, karena semua amalan syari’at pada dasarnya hanya merupakan sarana atau media belaka dalam usaha mencapai hakikat, sementara mereka telah sampai kepada hakikat tersebut[1].

Keyakinan semacam ini jelas merupakan kesesatan dan kekufuran. Karena Rasulullah tidak datang dengan membawa dua syari’at; syari’at untuk ahlazh-zhâhir dan syari’at untuk ahl al-bâthin. Ajaran yang dibawa Rasulullah ditujukan bagi seluruh manusia tanpa terkecuali. Benar, tujuan dari pengamalan ajaran-ajaran syari’at adalah untuk mencapai derajat ahl al-ma’rifah, ahl al-taqwâ, dan menjadi manusia-manusia yang dicintai oleh Allah (Auliyâ’ Allah). Tetapi derajat agung tersebut tidak akan pernah tercapai kecuali dengan hanya mengikuti ajaran yang telah dibawa oleh Rasulullah. Seorang yang menghabiskan seluruh hidupnya dalam konsentrasi ibadah kepada Allah, namun tidak dengan jalan yang telah diajarkan oleh Rasulullah maka semua amal ibadahnya tersebut hanyalah kesia-siaan belaka.

Simak pernyataan Imam al-Junaid al-Baghdadi:

_“Sesungguhnya kaum yang berpendapat bahwa amalan-amalan syari’at dapat menjadi gugur (karena ketinggian derajat seseorang) adalah pendapat yang menyesatkan. Bagiku seorang yang mencuri atau yang berbuat zina lebih baik dari pada orang yang berpendapat demikian. Sesungguhnya orang-orang yang ‘Ârif Billâh bahwa mereka sampai kepada derajat ma’rifat tersebut adalah karena pengamalan mereka terhadap apa yang telah diperintahkan oleh Allah. Jika aku hidup dalam seribu tahun maka aku tidak akan berbuat kebaikan sedikitpun kecuali didasarkankepada perintah-perintah-Nya”_ [2].

Dalam kesempatan lain Imam al-Junaid berkata:

_“Seluruh jalan menuju Allah tertutup bagi semua makhluk (untuk mencapai ma’rifat Allah), kecuali jalan orang yang benar-benar mengikuti jalan Rasulullah”_ [3].

Imam Ahmad ar-Rifa’i dalam kitab al-Burhân al-Mu’ayyad, menuliskan sebagai berikut:

_“Janganlah kalian berkata seperti yang dikatakan oleh sebagian orang yang mengaku sufi: “Kita ahli batin dan mereka (ulama syari’at) ahli zhahir”. Karena dalam agama ini keduanya, zhahir dan batin adalah kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Batin adalah inti dari zhahir, dan zhahir adalah wadah bagi batin. Kalaulah tidak ada zhahir tentu tidak akan ada batin. Ketiadaan zhahir pasti menuntut ketiadaan batin. Hati tidak dapat berdiri sendiri kecuali dengan adanya jasad. Kalaulah bukan karena jasad maka hati tidak akan pernah ada. Hati ini adalah cahaya bagi jasad. Ilmu yang oleh sebagain (kaum sufi) disebut ilmu batin adalah ilmu-ilmu yang terkait denganpembersihan hati. Sementara ilmu zhahir ilmu-ilmu yang secara praktis terkait dengan anggota-anggota tubuh. Seandainya engkau meletakan niat yang baik dalam Hatimu dan Hatimu tersebut bersih dari kotoran-kotoran, namun dalam praktek anggota badan engkau mencuri, berzina, makan harta riba, minum khamr, berbohong, takabur, buruk kata-kata, maka apalah artinya niat baik yang telah engkau letakan dalam Hatimu?! Demikian pula apa bila engkau melaksanakan ibadah kepada Allah dengan sangat tekun, memelihara anggota tubuh dari hal-hal yang haram, berpuasa, bersedekah, bersopan santun kepada sesama, sementara dalam Hatimu engkau meletakkan riya, sombong, supaya dilihat dan mendapat pujian dari orang lain, maka apalah artinya amalan dengan anggota badan yang engkau perbuat tersebut?! Denga
n demikian jelas batin adalah intisari dari pada zhahir dan zhahir adalah wadah bagi batin, tidak ada perbedaan pada keduanya_ [4].

Membuat dikotomi antara syari’at dan hakekat adalah kesalahan besar. Syari’at dan hakekat adalah laksana dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Tujuan syari’at adalah pencapaian terhadap hakekat. Dan kahekat tidak akan pernah diraih kecuali dengan jalan syari’at. Sebagaian ulama membuat gambaran kesatuan perkara-perkara ini dalam tiga perumpamaan. Pertama; Syari’at diibaratkan sebagai perahu atau sampan. Kedua; Tarekat diibaratkan sebagai lautan. Dan yang terakhir, hakekat diibaratkan sebagai mutiara. Seorang yang hendak meraih mutiara, maka ia harus menaiki perahu dan melewati lautan. Sudah pasti bahwa kedua perantara ini; yaitu perahu dan luatan, adalah keharusan yang tidak boleh dilewatkan bagi yang benar-benar menginginkan mutiara.

Syaikh Zainuddin Ibn‘Ali al-Malibari dalam Nadzam Hidâyah al-Adzkiyâ’ membuatgambaran tersebut sebagai berikut:

فَشَـرِيْعَةٌ كَسَـفِيْنَةٍ وَطَرِيْـقَةٌ        #       كَالْبَـحْرِثُمَّ حَقِيْـقَةٌ دُرٌّ غَـلاَ
مَـنْ رَامَ دُرًّا لِلسَّفِيْنَةِ يَرْكَـبُ        #       وَيَغُـوْصُبَحْـرًا ثُمّ دُرٌّ حَصَلاَ
وَكَذَا الطّرِيْقَةُ وَالْحَقِيْقَةُ يَا أخِيْ        #       مِنْغَيْرِ فِعْلِ شَرِيْعَةٍ لَنْ تُحْصَلاَ[5]

“Syari’at ibarat perahu, tarekat ibarat lautan, dan hakekat ibarat mutiara yang berharga. Siapa yang menginginkan mutiara, maka ia harus menaiki parahu, kemudian menyelam dilautan, maka dia akan meraih mutiara tersebut. Demikian pula tarekat dan hakekat, wahai saudaraku, dengan tanpa pengamalan terhadap syari’at maka hakekat tersebut tidak akan pernah didapatkan”.

Syaikh Nawawi al-Bantani dalam menjelaskan bait di atas mengatakan bahwa tidak ada jalan menuju Allah kecuali dengan melaksanakan tiga unsur yang merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan satu dari lainnya. Pertama; Syari’at; yaitu dengan mengerjakan segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah dan Rasul-Nya. Kedua; Tarekat; ialah menteladani segala prilaku Rasulullah dalam berbagai keadaannya. Ketiga; Hakekat, yaitu buah yang akan dicapai dari perjalan syari’at dan tarekat[6].

Sebagian ulama lain mencontohkan kesatuan tiga unsur  ini dengan sebuah kelapa. Syari’at diibarakan sebagai kulit kelapa, tarekat sebagai daging kelapa dan hakekat sebagai minyak dari inti kelapa. Artinya bahwa perantara-perantara untuk dapat mendapatkan inti kelapa yang berupa minyak adalah keharusan yang tidak mungkin ditinggalkan[7].

Imam Ahmad ar-Rifa’i pada bagian lain dalam kitab al-Burhân al-Mu’ayyad menyatakan bahwa puncak tujuan dari perjalanan kaum sufi adalah sama dengan puncak tujuan dari perjalanan para ulama fiqih atau ulama syari’at. Demikian pula sebaliknya, tujuan utama ulama fiqih adalah juga merupakan tujuan utama para kaum sufi. Kemudian rintangan-rintangan jalan yang dilalui ulama fiqih dalam mencari ilmu adalah juga rintangan yang sama yang dihadapi kaum sufi dalam sulûk mereka. Maka syari’at adalah tarekat, dan tarekat adalah syari’at. Keduanya adalah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, kandungan atau isi dan tujuannya adalah satu. Perbedaan hanya dari segi lafazh saja. Jika seorang sufi mengingkari seorang ahli fiqih (al-faqîh), maka tidak lain sufi tersebut pasti seorang yang tertipu. Demikian sebaliknya, jika seorang ahli fiqih mengingkari seorang sufi maka tidak lain ahli fiqih tersebut pasti seorang yang dijauhkan oleh Allah dari karunia-Nya[8].

Seorang wali Allah, seluhur apapun derajat takwa dan kemuliaan yang telah ia raih, maka kewajiban-kewajiban syari’at akan selalu tetap ada pada pundaknya dan tidak akan pernah gugur darinya. Rasulullah tidak pernah mengajarkan bahwa seseorang bila telah mencapai derajat tinggi maka kewajiban syari’at menjadi gugur darinya. Oleh karenanya, kita tidak menemui satupun keadaan di antara para sahabat nabi di mana kewajiban-kewajiban syari’at telah gugur dari sebagian mereka. Padahal banyak di kalangan sahabat tersebut yang notabene sebagai para wali Allah, bahkan sebagai para wali terkemuka (Kibâral-Auliyâ’). Sahabat
Abu Bakr ash-Shiddiq misalkan, adalah orang yang paling mulia dari seluruh umat Muhammad, pemimpin tertinggi dalam derajat kewalian, dan lebih utama dari seluruh wali Allah yang hidup sesudahnya, bahwa beliau tidak pernah sedikit punmerasa bahwa kewajiban-kewajiban syari’at telah gugur darinya. Dua puluh empat jam dari setiap detik waktunya beliau habiskan dalam ibadah kepada Allah dan dalam menegakkan syari’at Allah. Demikian pula dengan sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab, ‘Utsman ibn ‘Affan, dan ‘Ali ibn Abi Thalib. Karena itu para ulama Ahlussunnah telah bersepakat (Ijma’) bahwa orang yang mengatakan bahwa ibadah dan mujâhadah yang telah mencapai puncak tertingginya dapat menggugurkan ajaran-ajaran syari’at maka orang ini telah keluar dari Islam menjadi kafir[9].

Simak kisah nyata yang terjadi pada Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jailani. Suatu ketika, Syaikh ‘Abd al-Qadir dalam khlawah-nya didatangi Iblis dalam bentuk cahaya. Iblis berkata: “Wahai hambaku, wahai ‘Abd al-Qadir, aku adalah tuhanmu, aku halalkan bagimu segala sesuatu yang telah aku haramkan”. Tanpa berfikir panjang Syaikh ‘Abd al-Qadir menjawab: “Terlaknat engkau wahai Iblis...!”. Syaikh ‘Abd al-Qadir seorang ‘Ârif Billâh, beliau tahu bahwa yang berbicara tersebut adalah Iblis. Karena Allah bukan cahaya atau sinar, Allah tidak berkata-kata dengan suara dan huruf, juga Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, serta karena Allah tidak menghalalkan sesuatu yang telah diharamkannya[10].

Kemudian Imam Ahmad ar-Rifa’i dalam menjelaskan bahwa hukum-hukum syari’at tidak akan pernah gugur dari siapapun menyatakan bahwa seseorang yang memiliki sifat-sifat kewalian bukanlah seperti orang-orang semacam Fir’aun atau semacam Namrud. Orang semacam Fir’aun, -ketika telah meraih apa yang diinginkan- maka berkata: “Anâ Rabbukum al-A’lâ… (Saya adalah tuhan kalian yang maha tinggi)”. Demikian pula kesombongan yang diungkapkan Namrud, dia mengaku sebagai Tuhan. Sikap kufur semacam ini jelas tidak akan pernah ada pada diri seorang wali Allah. Seorang yang dicintai oleh Allah tidak akan pernah berkata “Anâ Allah…”. Bagaimana mungkin seorang sufi dengan gelar “al-Faqîr” mengaku bahwa dirinya Tuhan. Lantas dimanakah letak kefakirannya?! Sementara Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ (فاطر: 15)

“Wahai sekalian manusia, kalian semua adalah orang-orang fakir yang membutuhkan kepada Allah”. (QS.Fâthir: 15).

Kemudian lebih dari pada ini, Rasulullah yang notabene merupakan panutan kaum sufi, dan seorang kekasih Allah yang telah mendapat derajat ma’rifat yang tidak pernah diraih oleh siapapun, beliau tidak pernah mengatakan kata-kata buruk semacam itu. Justru sebaliknya, dengan tegas beliau mengatakan bahwa dirinya berasal dari kalangan manusia. Sebagaimanafirman Allah:

قُلْ إِنَّمَا أَنَابَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ(الكهف: 110)

“Katakanlah -wahai Muhammad- sesungguhnya saya adalah manusia seperti kalian yang diberikan wahyu kepadaku”. (QS. al-Kahfi: 110)

Kemudian dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:

فَإنّيلَسْتُ بِمَلَكٍ إنّمَا أنَا ابْنُ امْرَأةٍ مِنْ قُرَيْشٍ كَانَتْ تَأْكُلُ الْقَدِيْدَ(رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه وَالْحَاكِم)

“Sesungguhnya saya bukanlah malaikat, saya hanyalah seorang anak seorang perempuan dari suku Quraisy; seorang perempuan yang suka makan qadid” (daging yang dijemur). (HR. Ibn Majah dan al-Hakim).

*Catatan Kaki*

[1] Ibn‘Arabi yang oleh sebagian orang dianggap telah membuat dikotomi antara hakekat dan syari’at justru sebaliknya, beliau menentang adanya pemilahan semacam ini. Beliau memandang bahwa hakekat dan syri’at adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Adanya dikotomi semacam ini adalah penyebab utama dari lahirnya faham yang membedakan antara ulama syari’at dan ulama hakekat. Kesimpulan selanjutnya dari faham sesat ini adalah menetapkan adanya perbedaan jalan yang ditempuh oleh dua kubu tersebut. Lebih lengkap ungkapan-ungkapan Ibn ‘Arabi tentang masalah ini lihat pada bab kajian karya-karya Ibn ‘Arabi dari buku ini.

[2] Lihatal-Qusyairi, ar-Risâlah…, h. 430

[3] Ibid

[4] ar-Rifa’i, Maqâl
ât Min al-Burhân…, h. 50-51

[5] Lihat Zainuddin Ibn ‘Ali al-Malibari, Hidâyah al-Adzkiyâ’…, h. 9-12.

[6] al-Bantani, Salâlim al-Fudlalâ’, h. 3.

[7] al-Bakri, Kifâyah al-Atqiyâ’…, h. 9. Perumpamaan - perumpamaan semacam ini banyak disebutkan oleh Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatâwâ al-Hadîtsiyyah, lihat kitab h. 221-222

[8] ar-Rifa’i, Maqâlât Min al-Burhân…, , h. 80-81

[9] Lihat al-Qâdlî‘Iyad, asy-Syifâ Bi Ta’rif Huqûq al-Mushthafâ, j. 2, h. 239

[10] Lihatasy-Sya’rani, ath-Thabaqât…, j. 1, h. 218





🎦📡 *Abou Fateh YouTube Channel* Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah | Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.youtube.com/c/aboufateh

🌐🕌 *Pondok Pesantren Nurul Hikmah* Untuk Menghafal al-Qur'an Dan Kajian Ilmu Agama Madzhab Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Asuhan Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.nurulhikmah.ponpes.id

📱 *Fb Page :* facebook.com/nurulhikmah.ponpes.id
📷 *Instagram :* instagram.com/nurulhikmah.ponpes.id
🖥 *Twitter :* twitter.com/ppnurulhikmah



📌📌

*ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH*

*APAPUN YANG TERLINTAS DALAM BENAKMU TENTANG ALLAH, MAKA ALLAH TIDAK SEDEMIKIAN ITU*
🌼 *Bukti-Bukti Tekstual Kebenaran Akidah Asy’ariyyah Sebagai Akidah Ahlussunnah* 🌼

Oleh : *Dr. H. Kholilurrohman, MA*

*Firman Allah QS. Al Ma’idah: 54*

Dalam al-Qur’an Allah berfirman:  

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ  بِقَوْمٍ  يُحِبُّهُمْ  وَيُحِبُّونَهُ  أَذِلَّةٍ  عَلَى  الْمُؤْمِنِينَ  أَعِزَّةٍ  عَلَى الْكَافِرِينَ  يُجَاهِدُونَ فِي  سَبِيلِ اللهِ  وَلاَ  يَخَافُونَ  لَوْمَةَ  لآَئِمٍ ذَلِكَ  فَضْلُ  اللهِ  يُؤْتِيهِ  مَن  يَشَآءُ  وَاللهُ  وَاسِعٌ  عَلِيمٌ  (المائدة: 54)

Maknanya:

_“Wahai sekalian orang beriman barangsiapa di antara kalian murtad dari agamanya, maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah, mereka adalah orang-orang yang lemah lembut kepada sesama orang mukmin dan sangat kuat -ditakuti- oleh orang-orang kafir. Mereka berjihad dijalan Allah, dan mereka tidak takut terhadap cacian orang yang mencaci”._ *(QS. Al-Ma’idah: 54)*

Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa ketika turun ayat ini, Rasulullah memberitakannya sambil menepuk pundak sahabat *Abu Musa al-Asy’ari*, seraya bersabda: _*“Mereka (kaum tersebut) adalah kaum orang ini!!”*_. Dari hadits ini para ulama menyimpulkan bahwa kaum yang dipuji dalam ayat di atas tidak lain adalah kaum Asy’ariyyah, karena sahabat Abu Musa al-Asy’ari adalah moyang dari al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, sebagaimana telah kita tulis dalam biografi ringkas al-Imâm Abu al-Hasan sendiri.

Dalam penafsiran firman Allah di atas: _“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah...._” (QS. Al-Ma’idah: 54), al-Imâm Mujahid berkata: _“Mereka adalah kaum dari negeri Saba’ (Yaman)”_. Kemudian al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî menambahkan: _“Dan orang-orang Asy’ariyyah adalah kaum yang berasal dari negeri Saba'"_[1].

Lebih dari pada itu Ibn Asakir sendiri dalam kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî telah mengutip pernyataan para ulama hadits terkemuka (Huffâzh al-Hadîts) sebelumnya yang telah menafsirkan ayat tersebut demikian, di antaranya ahli hadits terkemuka al-Imâm al-Hâfizh Abu Bakar al-Bayhaqi penulis kitab Sunan al-Bayhaqi dan berbagai karya besar lainnya.

Al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî menuliskan pernyataan al-Imâm al-Bayhaqi dengan sanad-nya dari Yahya ibn Fadlillah al-Umari, dari Makky ibn Allan, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami al-Hâfizh Abu al-Qasim ad-Damasyqi, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Syaikh Abu Abdillah Muhammad ibn al-Fadl al-Furawy, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami al-Hâfizh Abu Bakar Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Bayhaqi, bahwa ia (al-Bayhaqi) berkata:

_“Sesungguhnya sebagian para Imam kaum Asy’ariyyah -semoga Allah merahmati mereka- mengingatkanku dengan sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Iyadl al-Asy’ari, bahwa ketika turun firman Allah: (Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah) QS. Al-Ma’idah: 54, Rasulullah kemudian berisyarat kepada sahabat Abu Musa al-Asy’ari, seraya berkata: “Mereka adalah kaum orang ini”. Dalam hadits ini terdapat isyarat akan keutamaan dan derajat mulia bagi al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, karena tidak lain beliau adalah berasal dari kaum dan keturunan sahabat Abu Musa al-Asy’ari. Mereka adalah kaum yang diberi karunia ilmu dan pemahaman yang benar. Lebih khusus lagi mereka adalah kaum yang memiliki kekuatan dalam membela sunah-sunnah Rasulullah dan memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka memiliki dalil-dalil yang kuat dalam memerangi bebagai kebatilan dan kesesatan. Dengan demikian pujian dalam ayat di atas terhadap kaum Asy’ariyyah, bahwa mereka kaum yang dicintai Allah dan mencintai Allah, adalah karena telah terbukti bahwa akidah yang mereka yakini sebagai akidah yang hak, dan bahwa ajaran agama yang mereka bawa sebagai ajaran yang benar, serta terbukti bahwa mereka adalah kaum yang memiliki kayakinan yang sangat kuat. Maka siapapun yang di dalam akidahnya mengikuti ajaran-ajaran mereka, artinya dalam konsep meniadakan keserupaan Allah dengan segala makhluk-Ny
a, dan dalam metode memegang teguh al-Qur’an dan Sunnah, sesuai dan sejalan dengan faham-faham Asy’ariyyah maka ia berarti termasuk dari golongan mereka”_[3].

Al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah mengomentari pernyataan al-Imâm al-Bayhaqi di atas, berkata:

_“Kita katakan; -tanpa kita memastikan bahwa ini benar-benar maksud Rasulullah-, bahwa ketika Rasulullah menepuk punggung sahabat Abu Musa al-Asy’ari, sebagaimana dalam hadits di atas, seakan beliau sudah mengisyaratkan akan adanya kabar gembira bahwa kelak akan lahir dari keturunannya yang ke sembilan al-ImâmAbu al-Hasan al-Asy’ari. Sesungguhnya Rasulullah itu dalam setiap ucapannya terdapat berbagai isyarat yang tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang yang mendapat karunia petunjuk Allah. Dan mereka itu adalah orang yang kuat dalam ilmu (ar-Râsikhûn Fi al-‘Ilm) dan memiliki mata hati yang cerah. Firman Allah: “Seorang yang oleh Allah tidak dijadikan petunjuk baginya, maka sama sekali ia tidak akan mendapatkan petunjuk”_ (QS. An-Nur: 40)”[4].

[1] Thabaqât asy-Syafi’iyyah, j. 3, h. 364 mengutip dari Tabyîn Kadzib al-Muftarî.
[2] Ibid.
[3] Tabyîn Kadzib al-Mufarî, h. 49-50. Tulisan Ibn Asakir ini dikutip pula oleh Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 3, h. 362-363
[4] Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 3, h. 363



🎦📡 *Abou Fateh YouTube Channel* Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah | Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.youtube.com/c/aboufateh

🌐🕌 *Pondok Pesantren Nurul Hikmah* Untuk Menghafal al-Qur'an Dan Kajian Ilmu Agama Madzhab Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Asuhan Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.nurulhikmah.ponpes.id

📱 *Fb Page :* facebook.com/nurulhikmah.ponpes.id
📷 *Instagram :* instagram.com/nurulhikmah.ponpes.id
🖥 *Twitter :* twitter.com/ppnurulhikmah



📌📌

*ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH*

*APAPUN YANG TERLINTAS DALAM BENAKMU TENTANG ALLAH, MAKA ALLAH TIDAK SEDEMIKIAN ITU*
https://youtu.be/qJh3CF3EoPk



🎦📡 *Abou Fateh YouTube Channel* Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah | Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.youtube.com/c/aboufateh

🌐🕌 *Pondok Pesantren Nurul Hikmah* Untuk Menghafal al-Qur'an Dan Kajian Ilmu Agama Madzhab Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Asuhan Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.nurulhikmah.ponpes.id

📱 *Fb Page :* facebook.com/nurulhikmah.ponpes.id
📷 *Instagram :* instagram.com/nurulhikmah.ponpes.id
🖥 *Twitter :* twitter.com/ppnurulhikmah



📌📌

*ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH*

*APAPUN YANG TERLINTAS DALAM BENAKMU TENTANG ALLAH, MAKA ALLAH TIDAK SEDEMIKIAN ITU*
*Penting untuk di pahami, semoga bermanfaat.*

Ta'lim Kitab Ash-Shiraath Al-Mustaqiim Karya Syaikh 'Abdullah Al-Harari | Ayat - Ayat Mutasyabihat. Bersama Ustadz Dr. H. Kholilurrohman, MA

https://youtu.be/O9L8d28kFGc



🎦📡 *Abou Fateh YouTube Channel* Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah | Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.youtube.com/c/aboufateh

🌐🕌 *Pondok Pesantren Nurul Hikmah* Untuk Menghafal al-Qur'an Dan Kajian Ilmu Agama Madzhab Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Asuhan Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.nurulhikmah.ponpes.id

📱 *Fb Page :* facebook.com/nurulhikmah.ponpes.id
📷 *Instagram :* instagram.com/nurulhikmah.ponpes.id
🖥 *Twitter :* twitter.com/ppnurulhikmah



📌📌

*ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH*

*APAPUN YANG TERLINTAS DALAM BENAKMU TENTANG ALLAH, MAKA ALLAH TIDAK SEDEMIKIAN ITU*
*Bagian I dari VI*

🌼 *HADITS JIBRIL; DASAR-DASAR IMAN YANG ENAM* 🌼

*IMAN DENGAN ALLAH*

*Oleh :* Dr. H. Kholilurrohman, MA

Dalam QS. al-Ikhlash Allah berfirman:

(قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد (1) اللهُ الصَّمَد (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَد (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أحَد (4) (سورة الاخلاص 1-4)

_“Katakan (wahai Muhammad), Dialah Allah al-Ahad (Tidak terbagi-bagi dan tidak ada sekutu bagi-Nya, baik pada Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, maupun pada perbuatan-Nya). Allah adalah Tuhan yang Maha Kaya (Tidak membutuhkan) kepada semua makhluk-Nya, dan segala sesuatu membutuhkan kepada-Nya. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya (Baik dari satu segi maupun semua segi)”_ *(QS. al-Ikhlas: 1-4)*

Ma’rifatullah adalah berkeyakinan bahwa Allah maha Ada, tidak menyerupai sesuatu apapun dari alam ini. Dia bukan Hajm Katsif; benda yang dapat disentuh oleh tangan, juga bukan Hajm Lathif; benda yang tidak bisa disentuh oleh tangan. Allah bukan sesuatu yang berbentuk, baik bentuk dengan ukuran kecil maupun ukuran besar. Adapun makna “Allahu Akbar” artinya bahwa Allah Maha Besar dan Maha Agung pada derajat-Nya, _*bukan besar dari segi bentuk dan ukuran*_. Allah adalah Dzat yang tidak bisa dibayangkan dalam hati, dan tidak dapat dibayangkan oleh akal pikiran manusia.

*Sifat-Sifat Allah (Tafsir QS. al-Ikhlas)*

Dalam sebuah hadits riwayat al-Hafizh al-Baihaqi dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas bahwa segolongan kaum Yahudi datang kepada Rasulullah. Mereka berkata: “Wahai Muhammad, beritahukan kepada kami sifat Tuhanmu yang engkau sembah!”. Mereka bertanya bukan karena ingin mengetahui hal sebenarnya atau ingin memperoleh petunjuk, tapi hanya sekedar ingin mengingkari lalu mengolok-oloknya. Kemudian turunlah QS. al-Ikhlas ayat 1 hingga ayat 4. Rasulullah bersabda: “Inilah sifat Tuhanku”.

Surat al-Ikhlas ini turun sebagi jawaban atas pertanyaan orang-orang Yahudi tersebut. Meskipun hanya terdiri dari empat ayat yang pendek namun mengandung makna yang sangat luas dan mendalam dalam ketauhidan Allah.

Ayat pertama merupakan ikrar dan penegasan bahwa tidak ada sekutu bagi Allah. Artinya tidak ada keserupaan bagi-Nya. Dia Maha Esa pada dzat-Nya. Makna “Dzat Allah” artinya “hakikat Allah”. Makna “Dzat” di sini bukan dalam pengertian bentuk atau benda. Pengertian bahwa Dzat Allah Esa ialah bahwa Dzat Allah tidak menyerupai dzat-dzat makhluk-Nya. Karena Dzat Allah azali; ada tanpa permulaan, sedangkan dzat-dzat selain-Nya baharu; memiliki permulaan, yaitu ada dari tidak ada. Oleh karena itu, Allah mensifati dzat-Nya sendiri dalam al-Qur’an dengan firman-Nya:

(هُوَ الأوَّلُ (الحديد:4 )

_“Hanya Dia (Allah) al-Awwal (ada tanpa permulaan)”_. *(QS. al-Hadid:4)*

Kemudian Allah maha Esa pada Sifat-Sifat-Nya. Artinya bahwa sifat-sifat Allah tidak menyerupai sifat-sifat makhluk-Nya. Allah berfirman:

(وَللهِ المَثَلُ الأعْلَى (النحل:6 )

_“Dan bagi Allah sifat-sifat yang tidak menyerupai sifat selain-Nya”_. *(QS.an-Nahl: 6)*

Sebagaimana kita wajib meyakini bahwa Dzat Allah Azali; tidak bermula, maka demikian pula dengan semua Sifat-Sifat-Nya, kita wajib meyakini itu semua Azali. Karena mustahil bila ada dzat yang qadim dan azali, sementara sifat-sifat-nya baharu. Karena adanya sifat yang baharu pada suatu dzat menunjukkan bahwa dzat tersebut juga baharu. Dengan demikian mustahil bagi Allah mempunyai sifat-sifat yang baharu. Bila sifat-sifat manusia setiap saat dapat mengalami perubahan, maka tidak demikian halnya dengan sifat-sifat Allah. Dia tidak mengalami perubahan atau perkembangan, tidak bertambah atau berkurang.

Kemudian Allah Maha Esa pada perbuatan-Nya. Artinya, tidak ada dzat yang dapat menciptakan sesuatu dari “tidak ada” menjadi “ada” kecuali Allah saja. Hanya Allah pencipta segala sesuatu. Dia pencipta kebaikan dan kejahatan, keimanan dan kekufuran, keta’atan dan kemaksiatan. Dia pencipta semua benda, mulai dari benda terkecil, yaitu dzarrah; (Ialah benda yang berterbangan terlihat oleh mata dalam sinar matahari), hingga benda yang paling besar, yaitu ‘a
rsy. Dia pencipta segala perbuatan manusia, baik perbuatan yang mengandung unsur ikhtiar (al-Af’al al-Ikhtiyariyyah), seperti makan, minum, dan lainnya, ataupun perbuatan yang tidak mengandung unsur ikhtiar (al-Af’al al-Idlthirariyyah), seperti detak jantung, rasa takut, dan lainnya. Inilah makna yang tersirat dalam firman Allah:

(قُلْ إنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ (الأنعام :152 )

_“Katakanlah (Wahai Muhammad): Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku danmatiku hanyalah milik Allah, Tuhan seluruh alam”_. *(QS. al-An’am:162)*

Shalat dan ibadah adalah dua diantara perbuatan-perbuatan yang mengandung unsur usaha, ikhtiar dan kehendak dari manusia. Sedangkan hidup dan mati adalah sesuatu yang terjadi diluar kehendak manusia, keduanya hanya menjadi wewenang dan kehendak Allah. Dalam doa tersebut ditegaskan bahwa shalat dan ibadah, serta hidup dan mati, pada hakikatnya adalah milik Allah dan hanya dicitakan hanya oleh Allah saja.

Ayat kedua dari surat QS. al-Ikhasdi atas mengandung makna bahwa Allah Maha Kuasa atas seluruh alam ini. Dia tidak membutuhkan kepada sesuatu apapun dari makhluk-Nya. Sebaliknya, seluruh makhluk-Nya selalu membutuhkan kepada-Nya. Allah tidak mengambil manfaat sedikitpun dari perbuatan-perbuatan makhluk-Nya, dan mereka sedikit pun tidak dapat mencelakakan-Nya atau membuat madlarat terhadap-Nya. Seandainya seluruh makhluk ini ta’at kepada Allah, maka hal tersebut tidak akan menambah kekuasaan-Nya dan kemuliaan-Nya sedikitpun. Demikian pula bila seluruh makhluk berbuat maksiat kepada-Nya, maka hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan dan keagungan Allah sedikitpun.
Allah menciptakan para Malaikat bukan untuk mendapatkan bantuan dari mereka. Demikian pula Ia menciptakan ‘arsy bukan untuk menjadikan tempat bagi dzat-Nya, tetapi untuk menampakkan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya. Tentang hal ini al-Imam ‘Ali ibn Abi Thalib berkata:

(إنَّ اللهَ خَلَقَ العَرْشَ إظْهَارًا لِقُدْرَتِهِ وَلَمْ يَتَّخِذْهُ مَكَانًا لِذَاتِهِ (رَوَاهُ أبُو مَنصُورالبَغدَاديّ فِي الفَرْقِ بَيْنَ الفِرَق )

_“Sesungguhnya Allah menciptakan ‘arsy untuk menunjukkan kekuasaan-Nya dan bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya”_. *(Diriwayatkan oleh Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bainal-Firq)[1].*

Ayat ketiga dari QS. al-Ikhlash memberikan penjelasan dalam penafian, peniadaan dan pengingkaran terhadap keyakinan yang menyebutkan bahwa Allah sebagai benda (Jism). Juga bantahan terhadap keyakinan bahwa Allah mempunyai bagian-bagian yang terpisah-pisah dari-Nya. Sekaligus, penjelasan dalam menafikan bahwa Allah sebagai bagian dari sesuatu yang lain.

Dalam ayat ke tiga ini secara jelas dinyatakan bahwa Allah bukan sebagai “asal” atau “bahan” (Walid) bagi sesuatu, dan juga bukan “cabang” (Walad) dari sesuatu yang lain. Ayat ini berisi bantahan terhadap doktrin trinitas yang diyakini orang-orang Nasrani. Doktrin yang menyatakan ada tiga unsur ketuhanan yang kesemuanya kembali pada unsur yang tunggal. Ayat ini juga merupakan bantahan terhadap keyakinan atau doktrin orang-orang Majusi yang menyatakan bahwa tuhan ada dua, yaitu tuhan kebaikan dan tuhan keburukan.

Faham serupa yang tak kalah sesatnya adalah faham yang dianut oleh segolongan orang yang terlena dalam kebodohannya (al-maghrurun). Mereka menganggap bahwa diri mereka adalah kaum Sufi yang telah mencapai derajat “tinggi”. Padahal keyakinan mereka bertentangan dengan ajaran kaum Sufi sejati sendiri. Mereka berkeyakinan bahwa keseluruhan alam ini adalah sebagai Dzat Allah. Dan setiap komponen-komponen yang ada di dalam alam ini adalah bagian-bagian dari Dzat Allah. Keyakinan mereka ini dikenal dengan nama akidah Wahdah al-Wujud. Mereka menganggap bahwa manusia, hewan, Malaikat, tumbuh-tumbuhan, benda mati dan lain sebagainya adalah bagian dari Dzat Allah.

Faham semacam ini telah berkembang di sebagaian kalangan yang mengaku sebagai pengikut tarekat dan pengamal “shalawat” yang menyimpang. Keyakinan Wahdahal-Wujud ini lebih sesat dari pada kekufuran orang-orang Nasrani dan Majusi. Kaum Nasrani berk
eyakinan ada tiga tuhan, kaum Majusi berkeyakinan adanya dua tuhan, sementara mereka yang meyakini Wahdah al-Wujud meyakini bahwa segala sesuatu di alam ini adalah bagian-bagian dari dzat Tuhan. Kekufuran semacam ini jelas lebih buruk dari pada kekufuran kaum Nasrani dan kaum Majusi.

Ada pula faham sesat lainnya, yang juga merupakan kekufuran. Ialah keyakinan yang menyatakan bahwa Allah menyatu dengan sebagian mahluk-Nya. Kaum yang berkeyakinan ini mengatakan: “Apabila seorang hamba telah mencapai derajat ibadah tertentu, maka Allah akan menempati dan menyatu dengan tubuh orang tersebut”. Karenanya, di antara mereka ada yang menyembah sebagian lainnya yang mereka anggap telah sampai padabatasan tersebut dalam ibadahnya tersebut. Keyakinan sesat ini dikenal dengan nama akidah Hulul.

Dua keyakinan di atas, yaitu akidah Wahdahal-Wujud dan Hulul telah meracuni sebagian orang awam yang hanya mengutamakan dzikir tanpa mempelajari akidah yang benar dan cara beragama mereka. Dari sini mereka menganggap bahwa perbuatan mereka adalah jaminan keselamatan di akhirat kelak. Mereka juga menganggap bahwa mereka telah berbuat kebaikan “banyak” dan “besar” tiada tara. Padahal pada hakikatnya mereka tenggelam dalam kekufuran karena keyakinan sesat tersebut.

*Asy-Syekh ‘Abd al-Ghani an-Nabulsi* berkata:

إنَّ اللهَ لاَ يَحُلُّ فِي شَيءٍ وَلاَ يَنْحَلُّ مِنْهُ شَيءٌ وَلاَ يَحُلُّ فِيْهِ شَيءٌ لَيْسَ كَمِثلِهِ شَيءٌ

_“Sesungguhnya Allah tidak bertempat atau menyatu pada sesuatu apapun, dan tidak berpisah dari-Nya sesuatu apapun, serta tidak menyatu dengan-Nya sesuatu apapun. Dia tidak menyerupai segala sesuatu apapun dari makhluk-Nya”_ [2].

*Al-Imam Muhyiddin Ibn al-‘Arabi* berkata:

(مَنْ قَالَ بِالحُلُولِ فَدِيْنُهُ مَعْلُولٌ وَمَا قَالَ بالاتّحَادِ إلاَّ أهْلُ الالْحَاد (ذكَرهُ أبُوالهُدَى الصَّيَّادي فِي رسَالتِهِ

_“Barangsiapa berkata (berkeyakinan) Hulul maka agamanya cacat. Dan tidak menyatakan Ittihad (Wahdah al-Wujud) kecuali golongan yang menyimpang (dari Islam)”_. *(Dituturkan oleh Abu al-Huda al-Shayyadi dalam Risalah-nya)*

Ayat keempat dari QS.al-Ikhlash merupakan penjelasan bahwa Allah tidak meyerupai segala makhluk-Nya. Ayat tersebut merupakan ayat Muhkamat; artinya merupakan ayat yang jelas maknanya dan tidak mengandung faham takwil. Pemaknaan ayat ini sama dengan pemaknaan ayat Muhkamat lainnya, yaitu dalam firman Allah:

(لَيْسَ كَمِثلِهِ شَيءٌ (الشورى:11 )

_“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhlukNya, baik dari satu segi maupun semua segi dan, tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya”_. *(QS.as-Syura: 11)*

Dalam menafsirkan QS. al-Ikhlash: 4 ini, para ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (yaitu segala sesuatu selain Allah) terbagi kepada dua bagian. Yaitu; benda dan sifat benda. Yang pertama; *Benda, terbagi kepada dua bagian*, yaitu:

*1. Hajm Lathif :* Yaitu benda yang *tidak dapat dipegang atau disentuh oleh tangan*. Seperti cahaya, kegelapan, ruh, dan lain sebagainya.

*2. Hajm Katsif :* Yaitu benda yang *dapat dipegang atau disentuh oleh tangan*. Seperti manusia, dan benda-benda padat lainnya.

Adapun yang kedua, yaitu *sifat benda, artinya sifat-sifat dari Hajm Lathif dan sifat-sifat dari Hajm Katsif*. Contohnya bergerak, diam, berubah, bersemayam, duduk, beridiri, terlentang, berada di tempat dan arah (baik atas, bawah, kanan, kiri, depan maupun belakang), turun, naik, panas, dingin, memiliki warna, bentuk, dan sebagainya.

Ayat QS. al-Ikhlash: 4 ini menjelaskan kepada kita bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-Nya. Bahwa Allah bukan sebagai Hajm Lathif, juga bukan sebagai Hajm Katsif, dan bahwa Allah tidak disifati dengan sifat-sifat benda tersebut. Dari ayat ini para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah mengambil dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Karena bila Allah mempunyai tempat dan arah maka berarti Allah mempunyai banyak keserupaan dengan makhluk-Nya, dan mempunyai dimensi, yaitu panjang, lebar, dan kedalaman. Padahal sesuatu yang memiliki dimensi semacam ini pastilah merupakan makhluk, bukan sebagai Tuhan. Mustahil Alla
h membutuhkan kepada yang menjadikan-Nya dalam dimensi tersebut. Karena bila Allah “membutuhkan” maka berarti Allah lemah, dan tidak layak dituhankan.

Di antara Imam terkemuka di kalangan Ahlussunnah, al-Imam Ahmad ibn Hanbal, dan al-Imam Dzu al-Nun al-Mishri yang seorang sufi kenamaan, juga salah seorang murid terkemuka al-Imam Malik ibn Anas, berkata:

مَهْمَا تَصَوَّرْتَ بِبَالِكَ فَاللهُ بِخِلاَفِ ذلِكَ (رَوَاهُ عن الامَام أحْمَد أبُو الفَضْل التَّمِيْميّفِي اعتقاد الامام المُبَجَّل أحمَد بن حَنْبَل وَرَواهُ عنْ ذَي النُّون المِصْريّ الخَطيبُ البَغْدَاديّ في تَاريْخ بَغْدَاد)

_“Apapun yang terlintas dalam benakmu tentang Allah, maka Allah tidak seperti demikian itu”_ . *(Dikutip darial-Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Abu al-Fadl al-Tamimi dalam kitab I'tiqadal-Imam al-Mubajjal Ahmad ibn Hanbal. Dan diriwayatkan dari al-Imam Dzual-Nun al-Mishri oleh al-Hafizh al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh Baghdad)*

Semoga kita termasuk Ahl al-Ma’rifah dan mengimani Allah dengan seteguh-teguhnya keimanan seperti yang telah digariskan Rasulullah dan para sahabatnya. Amin.

[1] al-Farq Bain al-Firaq, h. 333
[2] al-Fath ar-Rabbani, h. 128




🎦📡 *Abou Fateh YouTube Channel* Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah | Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.youtube.com/c/aboufateh

🌐🕌 *Pondok Pesantren Nurul Hikmah* Untuk Menghafal al-Qur'an Dan Kajian Ilmu Agama Madzhab Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Asuhan Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.nurulhikmah.ponpes.id

📱 *Fb Page :* facebook.com/nurulhikmah.ponpes.id
📷 *Instagram :* instagram.com/nurulhikmah.ponpes.id
🖥 *Twitter :* twitter.com/ppnurulhikmah



📌📌

*ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH*

*APAPUN YANG TERLINTAS DALAM BENAKMU TENTANG ALLAH, MAKA ALLAH TIDAK SEDEMIKIAN ITU*
https://youtu.be/QxRwWoDRRUo



🎦📡 *Abou Fateh YouTube Channel* Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah | Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.youtube.com/c/aboufateh

🌐🕌 *Pondok Pesantren Nurul Hikmah* Untuk Menghafal al-Qur'an Dan Kajian Ilmu Agama Madzhab Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Asuhan Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.nurulhikmah.ponpes.id

📱 *Fb Page :* facebook.com/nurulhikmah.ponpes.id
📷 *Instagram :* instagram.com/nurulhikmah.ponpes.id
🖥 *Twitter :* twitter.com/ppnurulhikmah



📌📌

*ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH*

*APAPUN YANG TERLINTAS DALAM BENAKMU TENTANG ALLAH, MAKA ALLAH TIDAK SEDEMIKIAN ITU*
*Bagian II dari VI*

🌼 *HADITS JIBRIL; DASAR-DASAR IMAN YANG ENAM; IMAN DENGAN PARA MALAIKAT* 🌼

*Oleh :* Dr. H. Kholilurrohman, MA



*IMAN KEPADA MALAIKAT*

Dalam al-Qur’an tentang keberadaan para Malaikat, Allah berfirman:

وَإنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِيْنَ كِرَامًا كَاتِبِيْنَ يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ (الانفطار: 10-12)

_*“Sesungguhnya atas kalian ada (Malaikat-Malaikat) yang mengawasi (segala perbuatan), yang mulia dan selalu mencatat (perbuatan-perbuatan tersebut). Mereka mengetahui apa yang kalian kerjakan (baik perbuatan maupun perkataan yang baik dan buruk)”*_ . (QS. al-Infithar:10-12)

Diantara Ushul al-Iman as-Sittah adalah kewajiban beriman kepada para Malaikat Allah. Beriman kepada para Malaik atartinya meyakini bahwa mereka adalah hamba-hamba Allah yang mulia. Para Malaikat tersebut bukan sebagai bintang atau planet-planet yang berada di arah langit. Tetapi mereka adalah para makhluk Allah yang termasuk dari Hajm Lathif (tidak dapat dipegang oleh tangan). Mereka bukan dari jenis laki-laki ataupun perempuan, mereka tidak makan, tidak minum, tidak tidur, tidak nikah, serta tidak berketurunan. Mereka tidak pernah berbuat dosa kepada Allah sedikitpun. Mereka selalu menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah atas mereka. Allahberfirman:

لاَ يَعْصُونَ اللهَ مَا أمَرَهُم وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُوْنَ .(التّحريم: 6)

_*“Mereka tidak pernah bermaksiat (durhaka) kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka, dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”*_ . (QS. at-Tahrim: 6)

Allah menjadikan tabi’at para Malaikat tersebut hanya untuk selalu taat kepada-Nya. Namun begitu, mereka taat bukan karena terpaksa (Majbur), karena mereka memiliki ikhtiar. Akan tetapi ikhtiar mereka, -dengan kehendak Allah-, hanya dalam ketaatan-ketaatan kepada-Nya saja. Maka sama sekali tidak ada ikhtiar pada diri mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan maksiat. Dan mereka sama sekali tidak merasa bosan atau lelah dalam beribadah kepada Allah.

Para Malaikat tersebut tidak boleh disebut sebagai pembantu-pembantu Allah (A’wan Allah). Karena Allah Maha Kaya atas seluruh alam ini. Allah yang menciptakan segala sesuatu maka Allah tidak membutuhkan kepada siapapun dari makhluk-makhluk-Nya ini. Allah berfirman:

فَإنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ العَالَمِيْنَ (ءال عمران :97)

_*“... maka sesungguhnya Allah Maha Kaya atas seluruhalam”*_ . (QS. Ali ‘Imran: 97).

Allah menciptakan para Malaikat bukan untuk mendapatkan bantuan atau mengambil manfa’at dari mereka. Allah menciptakan para Malaikat dengan tujuan berbagai hikmah, baik hikmah tersebut kita ketahui atau tidak. Di antara hikmahnya adalah bahwa para Malaikat tersebut adalah sebagai bukti akan keluasan rahmat-rahmat Allah. Karena sebagian di antara para Malaikat tersebut ada yang mengemban tugas dengan tujuan kemaslahatan dan mempermudah bagi urusan-urusan manusia. Di samping itu, Allah menciptakan para Malaikat tersebut adalah untuk memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya.

Allah menciptakan para Malaikat dari cahaya. Rasulullah bersabda:

خُلِقَتِ المَلاَئِكَةُ مِنْ نُوْرٍ وَخُلِقَ الجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلقَ ءَادَمُ مِمَّا وُصفَلَكُم (رَوَاهُ مُسْلمٌ)

_*“Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api -murni- tidak berasap, dan Adam diciptakan dari apa yang telah diterangkan kepada kalian”*_ . (HR Muslim)

Allah menciptakan para Malaikat dalam bentuk dan ukuran yang sangat besar, serta memiliki sayap-sayap. Malaikat Jibril misalnya, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa beliau mempunyai 600 sayap. Satu sayap Malaikat Jibril ini dapat menutupi ufuk langit, dari sebelah timur hingga sebelah barat. Artinya, satu sayap Malaikat Jibril tersebut dapat menutupi alam dunia ini.

Dijelaskan pula dalam sebuah hadits tentang gambaran besarnya para Malaikat Hamalah al-‘Arsy, yaitu Malaikat-Malaikat pengangkat ‘arsy, bahwa jarak antara cuping telinga dan pundak mereka adalah jarak perjalanan 700 tahun dengan kecepatan terbang seekor burung yang sangat cepat.

Pemimpin secara keseluruhan dari para Malaikat Allaha dalah Malaikat Jibril. Beliau adalah
Malaikat yang paling mulia. Selain Jibril, pemimpin para Malaikat lainnya (Ru-asa’ al-Mala’ikah) adalah Mika-il, ‘Azra-il dan Israfil.

Dari uraian sifat-sifat Malaikat diatas dapat kita ketahui beberapa hal berikut:

*Pertama :*

Cerita yang tersebar mengenai Harut dan Marut, bahwa keduanya turun ke bumi, kemudian terpesona oleh kecantikan seorang wanita bernama al-Zuhrah, lalu keduanya menggoda wanita tersebut, hingga akhirnya berbuat zina dengannya, atau cerita yang menyebutkan bahwa Harut dan Marut terlebih dahulu minum khamr, kemudian berzina dengan wanita tersebut hingga melahirkan seorang anak yang kemudian dibunuh, adalah cerita bohong belaka. Karena sifat-sifat buruk semacam ini bukan sifat-sifat para Malaikat Allah, yang notabene selalu menjalankan perintah-Nya dan tidak pernah durhaka kepada-Nya.

Cerita keji ini bersumber dari orang-orang Yahudi yang memang sangat membenci para Malaikat. Cerita seperti ini jelas bertentangan dengan al-Qur’an, serta menyalahi akal sehat. Karena itu, para ulama kita mengatakan bahwa cerita ini sama sekali tidak berdasar dan boleh diyakini kebenarannya. Pembahasan ini semua telah dijelaskan oleh para ulama tafsir, seperti al-Imam al-Mufassir al-Fakhrurrazi, al-Mufassir al-Baidlawi, al-Mufassir Abu as-Su’ud, al-Mufassir al-Khazin dan lain-lain. Juga telah dijelaskan oleh para ulama hadits, seperti al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab al-Musnad dan kitab ad-Durr al-Mantsur, asy-syekh Muhammad Hut al-Bairuti dalam kitab Asna al-Mathalib, dan oleh para ulama terkemuka lainnya.

*Kedua :*

Bahwa Iblis bukan termasuk golongan Malaikat. Karena dzat dan sifat-sifat Iblis berbeda dengan sifat-sifat Malaikat. Bahkan sifat-sifat Iblis ini bertolak belakang dengan sifat-sifat Malaikat. Hal ini berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:

*1. Iblis adalah termasuk golongan Jin*. Allah berfirman:

إلاَّ إبْليْس كَانَ مِنَ الجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أمْرِ رَبِّهِ (الكهف: 50)

_*“…kecuali Iblis, dia adalah dari golongan jin, makaia mendurhakai perintah Tuhannya…”*_ (QS al-Kahfi: 50)

*2. Iblis adalah makhluk kafir*, seperti pernyataan jelas dalam al-Qur’an:

إلاَّ إبْلِيسَ أبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الكَافِرِيْنَ (البقرة :34)

_*“…kecuali Iblis, ia enggan dan takabur dan iatermasuk golongan yang kafir”*_ . (QS al-Baqarah: 34)

*3. Iblis memiliki keturunan*, sebagaimana firman Allah:

أفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَتَهُ أوْلِيَاءُ مِنْ دُوْنِي (الكهف:50)

_*“…patutkah kamu menjadikannya dan keurunan-keturunannya sebagai pemimpin selain Aku…”*_ (QS al-Kahfi: 50)

*4. Iblis mengaku bahwa dirinya diciptakan oleh Allah dari api*, seperti dijelaskan dalam al-Qur’an:

قَالَ أنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِيْنٍ (الاعراف: 12)

_*“Iblis berkata: Aku lebih baik darinya (Adam), Engkau mencipakanku dari api sedangkan dia Engkau ciptakan ia dari tanah”*_ . (QS.al-A’raf: 12)

Dengan demikian jelaslah bahwa Iblis bukan termasuk golongan Malaikat, karena ia kafir kepada Allah, ia berketurunan, dan ia diciptakan dari api, sementara Malaikat diciptakan dari cahaya.

*Ketiga :*

Pernyataan yang mengatakan bahwa para Malaikat sebagai dari jenis perempuan adalah merupakan perkataan orang-orang kafir. Sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur’an:

إنَّ الّذِيْنَ لاَيُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ المَلاَئِكَةَ تَسْمِيَةَ الأنْثى (النجم:27)

_* “Sesungguhnya orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat (artinya orang-orang kafir), mereka benar-benar menamakan Malaikat dengan nama perempuan”*_. (QS. an-Najm: 27)

Dengan demikian Malaikat bukan dari jenis laki-laki dan bukan pula dari jenis perempuan.

*Tugas-Tugas Para Malaikat*

Jumlah para Malaikat sangat banyak. Tidak ada yang mengetahui jumlah mereka secara pasti kecuali Allah sendiri. Allah berfirman:

وَمَا يَعْلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَ(المدثر: 31)

_*“Dan tidak ada yang mengetahui akan bala tentara (para Malaikat)Tuhanmu (Wahai Muhammad) kecuali Dia sendiri”*_. (QS al-Mudatsir: 31)

Jumlah para Malaikat lebih banyak dari seluruh jumlah manusia, jin, kerikil, dedaunan dan bahkan lebih banyak dari setiap tetes air h
ujan. Mereka adalah para penduduk langit, dari mulai langit pertama hingga langit ke tujuh. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:

مَا فِي السَّمَوَاتِ مَوضِع أرْبَع أصَا بع إلاَّ وَفِيْهِ مَلَكٌ قَائِمٌ أَوْ رَاكِعٌ أوْ سَاجِدٌ. (رَوَاهُالتّرمِذيّ)

_*“Tidaklah ada tempat -kosong- dengan ukuran empat jari tangan di semua lapisan langit, kecuali pada tempat tersebut ada Malaikat yang sedang berdiri, ruku’ atau sujud (artinya semuanya dalam keadaan beribadah kepada Allah)”*_ . (HR Tirmidzi).

Hadits ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa setiap lapis langit dipenuhi oleh para Malaikat Allah. Dengan demikian mustahil jika Allah berada di dalam langit seperti yang diyakini oleh kaum Musyabbihah, atau kaum Wahhabiyyah di masa sekarang. Karena bila demikian maka berarti Allah berdesak-desakan dengan para Malaikat-Nya, dan berarti Allah membutuhkan kepada langit yang notabene sebagai makhluk-Nya sendiri. _Na’udzuBillah._

Dari beberapa ayat al-Qur’an dan hadits Nabi di atas dapat disimpulkan bahwa para Malaikat mempunyai tugas yang beragam. Malaikat Jibril misalnya, ditugaskan untuk menyampaikan wahyu Allah kepada para Nabi dan Rasul-Nya serta menyampaikan perintah-perintah Allah kepada para Malaikat lainnya. Beliau juga ditugaskan mengatur angin, dan membantu para Nabi Allah. Malaikat Mika-il diperintahkan untuk mengatur hujan dan memelihara tumbuh-tumbuhan. Malaikat ‘Azra-il bertugas mencabut nyawa. Malaikat Israfil bertugas meniup sangkakala (at-Tsur). Malaikat Malik sebagi penjaga (Khazin) Neraka. Ada sebagian Malaikat yang bertugas mancatat amal baik dan amal buruk manusia. Ada pula yang bertugas menanyai manusia di kubur, yaitu Malaikat Munkar dan Nakir. Ada yang bertugas menjaga manusia dari gangguan jin. Ada yang bertugas menyampaikan shalawat dan salam umat orang Islam kepada Nabi Muhammad. Ada yang bertugas menjaga surga, membantu orang mukmin dalam peperangan seperti yang terjadi dalam perang Badr, mengatur gunung-gunung, menghibur hati orang-orang mukmin yang berada dalam kesedihan dan kesusahan. Ada pula Malaikat pembawa adzab atau siksa, dan ada pula yang membawa rahmat.

Ketika Rasulullah Mi’raj, beliau menyaksikan al-Baital-Makmur di langit ke tujuh. Al-Bait al-Ma’mur ini adalah rumah yang dimuliakan bagi para penduduk langit (para Malaikat), seperti halnya Ka’bah sebagai rumah yang dimuliakan bagi para penduduk bumi (Manusia dan Jin). Setiap harinya, al-Baital-Ma’mur dimasuki oleh 70.000 Malaikat. Para Malaikat tersebut melaksanakan shalat di dalamnya. Setelah itu kemudian mereka keluar dan tidak akan pernah kembali lagi ke dalamnya selamanya. Artinya para Malaikat dengan jumlah tersebut dalam setiap harinya terus-menerus bergantian.

Kesimpulannya, bahwa Allah menciptakan para Malaikat bukan karena membutuhkan bantuan dari mereka. Dengan demikian *tidak boleh dikatakan :* _*“Jika Allah maha kuasa atas segala sesuatu mengapa Dia memerintahkan para Malaikat untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut?”*_. Karena Allah melakukan terhadap apa yang Ia kehendaki. Allah tidak dipertanyakan kepada-Nya “apa yang Ia berbuat”?! atau “kenapa berbuat demikian”?! Sebaliknya, seluruh hamba yangakan ditanya dan diminta mempertanggungjawabkan perbuatannya masing-masing.

Benar, segala perbuatan Allah tidak lepas berbagai hikmah, baik hikmah yang kita ketahui ataupun tidak. Di antara hikmah pemberian tugas-tugas terhadap para Malaikat tersebut adalah untuk mengangkat derajat mereka. Karena dengan selalu berbuat ketaatan-ketaatan kepada-Nya maka setiap makhluk akan semakin tinggi kemuliaan dan derajatnya bagi Allah.

Kemudian dari pada itu, sesungguhnya para Malaikat hanya mengatur dalam perkara-perkara tertentu saja. Seperti mengatur hujan, angin, tumbuh-tumbuhan atau lainnya. Artinya bahwa para Malaikat tidak mengatur segala sesuatu secara mutlak. Karena pengaturan terhadap segala sesuatu secara mutlak hanya milik Allah saja. Inilah di antara makna yang dimaksud oleh salah satu nama Allah “al-Qayyum”. Artinya, hanya Allah yang mengatur secara mutlak akan segala urusan makhluk-makhluk-Nya. Karena itu, pengaturan para Malai