Tauhid Corner
554 subscribers
90 photos
38 videos
6 files
770 links
Catatan Teologi Islam Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah

https://linktr.ee/tauhidcorner
Download Telegram
IMAN DENGAN ALLAH
(Bagian 7)

******************
Dalam menafsirkan QS. al-Ikhlash: 4 ini, para ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (yaitu segala sesuatu selain Allah) terbagi kepada dua bagian. Yaitu; benda dan sifat benda. Yang pertama; Benda, terbagi kepada dua bagian, yaitu:

1. Hajm Lathif : Yaitu benda yang tidak dapat dipegang atau disentuh oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, dan lain sebagainya.

2. Hajm Katsif : Yaitu benda yang dapat dipegang atau disentuh oleh tangan, seperti manusia, dan benda-benda padat lainnya.

Adapun yang kedua, yaitu sifat benda, artinya sifat-sifat dari Hajm Lathif dan sifat-sifat dari Hajm Katsif, contoh; gerak, diam, berubah, bersemayam, duduk, beridiri, terlentang, berada di tempat dan arah (baik atas, bawah, kanan, kiri, depan maupun belakang), turun, naik, panas, dingin, memiliki warna, bentuk, dan sebagainya.

Ayat QS. al-Ikhlash: 4 ini menjelaskan kepada kita bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-Nya. Bahwa Allah bukan sebagai Hajm Lathif, juga bukan sebagai
Hajm Katsif, dan bahwa Allah tidak disifati dengan sifat-sifat benda tersebut.

Dari ayat ini para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah mengambil dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Karena bila Allah
mempunyai tempat dan arah maka berarti Allah mempunyai banyak keserupaan dengan makhluk-Nya, dan mempunyai dimensi, yaitu panjang, lebar, dan kedalaman. Padahal sesuatu yang memiliki dimensi semacam itu pastilah merupakan makhluk, bukan Tuhan. Mustahil Allah membutuhkan kepada yang menjadikan-Nya dalam dimensi tersebut. Karena bila Allah “membutuhkan” maka berarti Allah lemah, dan tidak layak dituhankan.

Di antara Imam terkemuka di kalangan Ahlussunnah, al-Imam Ahmad ibn Hanbal, dan al-Imam Dzunnun al-Mishri yang seorang sufi kenamaan, juga salah seorang murid terkemuka al-Imam Malik ibn Anas, berkata:

ﻣَﻬْﻤَﺎ ﺗَﺼَﻮَّﺭْت ببالك ﻓَﺎﻟﻠﻪُ ﺑِﺨِﻼَﻑِ ﺫﻟِﻚَ ‏( ﺭَﻭَﺍﻩُ ﻋﻦ ﺍﻻﻣَﺎﻡ ﺃﺣْﻤَﺪ ﺃﺑُﻮ ﺍﻟﻔَﻀْﻞ التميمي في كتابه ﺍﻋﺘﻘﺎﺩ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﺍﻟﻤُﺒَﺠَّﻞ ﺃﺣﻤَﺪ ﺑﻦ ﺣَﻨْﺒَﻞ، ﻭَﺭَﻭﺍﻩُ ﻋﻦْ ﺫَﻱ ﺍﻟﻨُّﻮﻥ ﺍﻟﻤِﺼْﺮي اﻟﺨَﻄﻴﺐُ ﺍﻟﺒَﻐْﺪَﺍﺩﻱّ ﻓﻲ ﺗَﺎﺭﻳْﺦ ﺑَﻐْﺪَﺍﺩ )

“Apapun yang terlintas dalam benakmu tentang Allah, maka Allah tidak seperti demikian itu”. (Dikutip dari al-Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Abu al-Fadl al-Tamimi dalam kitab I'tiqadal-Imam al-Mubajjal Ahmad ibn Hanbal. Dan diriwayatkan dari al-Imam Dzunnun al-Mishri oleh al-Hafizh al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab
Tarikh Baghdad).

Semoga kita termasuk Ahl al-Ma’rifah dan mengimani Allah dengan seteguh-teguhnya keimanan seperti yang telah digariskan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Amin.

******************
Silahkan bergabung di channel telegram. Semoga bermanfaat.

Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA

https://t.me/Kholilaboufateh/3
Dari al-Syahrastani: ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANP ARAH
******************

al-Imâm al-Syaikh Muhammad ibn Abd al-Karim al-Syahrastani al-Syafi’i (w 548 H), penulis kitab fenomenal tentang firqah-firqah dalam Islam berjudul al-Milal Wa al-Nihal, dalam salah satu karyanya berjudul Nihayah al-Aqdam Fi 'Ilm al-Kalam menuliskan sebagai berikut:

ﻓﻤﺬﻫﺐ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺤﻖ ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻻ ﻳﺸﺒﻪ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺨﻠﻮﻗﺎﺕ ﻭﻻ ﻳﺸﺒﻬﻪ ﺷﻰﺀ ﻣﻨﻬﺎ ﺑﻮﺟﻪ ﻣﻦ ﻭﺟﻮﻩ ﺍﻟﻤﺸﺎﺑﻬﺔ ﻭﺍﻟﻤﻤﺎﺛﻠﺔ " ﻟَﻴْﺲَ ﻛَﻤِﺜْﻠِﻪِ ﺷَﻲْﺀٌ ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟﺴَّﻤِﻴﻊُ ﺍﻟﺒَﺼِﻴﺮُ " ‏( ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﺸﻮﺭﻯ 11/ ‏) . ﻓﻠﻴﺲ ﺍﻟﺒﺎﺭﻯﺀ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﺑﺠﻮﻫﺮ ﻭﻻ ﺟﺴﻢ ﻭﻻ ﻋﺮﺽ ﻭﻻ ﻓﻲ ﻣﻜﺎﻥ ﻭﻻ ﻓﻲ ﺯﻣﺎﻥ "

“Madzhab kelompok yang Haq adalah bahwa Allah tidak menyerupai suatu apapun dari para makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya secara mutlak dalam segala segi, (sebagaimana firman-Nya): ليس كمثله شيىء وهو السميع البصير (QS. As-Syura: 11), maka Allah bukan jawhar (benda terkecil yg tidak dapat terbagi-bagi), Dia bukan tubuh, dan sifat-Nya bukan sifat benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa zaman/waktu”ً. ﴾Nihâyah al-Aqdâm, h. 103﴿.

******************
Silahkan bergabung di channel telegram sy. Semoga bermanfaat.

Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA

https://t.me/Kholilaboufateh/3
Metode yang benar dalam meraih ilmu agama; melestarikan tradisi ulama salaf saleh
******************

Sanad adalah mata rantai orang-orang yang membawa sebuah disiplin ilmu (Silsilah ar-Rijâl) . Mata rantai ini terus bersambung satu sama lainnya hingga kepada pembawa awal ilmu-ilmu itu sendiri; yaitu Rasulullah. Integritas sanad dengan ilmu-ilmu Islam tidak dapat terpisahkan. Sanad dengan ilmu-ilmu keislaman laksana paket yang merupakan satu kesatuan. Seluruh disiplin ilmu-ilmu Islam dipastikan memiliki sanad. Dan Sanad inilah yang menjamin keberlangsungan dan kemurnian ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islam sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat syari’at itu sendiri; Allah dan Rasul-Nya.
Di antara sebab “kebal” ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah dari berbagai usaha luar yang hendak merusaknya adalah karena keberadaan sanad. Hal ini berbeda dengan ajaran-ajaran atau syari’at nabi-nabi sebelum nabi Muhammad. Adanya berbagai perubahan pada ajaran-ajaran mereka, bahkan mungkin hingga terjadi pertentangan ajaran antara satu masa dengan masa lainnya setelah ditinggal oleh nabi-nabi yang bersangkutan, adalah karena tidak memiliki sanad. Karena itu para ulama menyatakan bahwa sanad adalah salah satu “keistimewaaan” yang dikaruniakan oleh Allah kepada umat nabi Muhammad, di mana hal tersebut tidak dikaruniakan oleh Allah terhadap umat-umat nabi sebelumnya. Dengan jaminan sanad ini pula kelak kemurnian ajaran-ajaran Rasulullah akan terus berlangsung hingga datang hari kiamat[1].
Tentang pentingnya sanad, Imam Ibn Sirin, seorang ulama terkemuka dari kalangan tabi’in, berkata:

ﺇﻥّ ﻫَﺬَﺍ ﺍْﻟﻌِﻠْﻢَ ﺩِﻳْﻦٌ ﻓَﺎﻧْﻈُﺮُﻭﺍ ﻋَﻤّﻦْ ﺗَﺄﺧُﺬُﻭْﻥُ ﺩِﻳْﻨَﻜُﻢْ ‏( ﺭَﻭَﺍﻩُ ﻣُﺴْﻠِﻢٌ ﻓِﻲ ﻣُﻘَﺪِّﻣَﺔِ ﺍﻟﺼّﺤِﻴْﺢ )

“Sesungguhnya ilmu -agama- ini adalah agama, maka lihatkan oleh kalian dari manakah kalian mengambil agama kalian”. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam mukadimah kitab Shahîh- nya).
Imam ‘Abdullah ibn al-Mubarak berkata:

ﺍﻹﺳْﻨَﺎﺩُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺪّﻳْﻦِ ﻟَﻮْ ﻻَ ﺍﻹﺳْﻨَﺎﺩُ ﻟَﻘَﺎﻝَ ﻣَﻦْ ﺷَﺎﺀَ ﻣَﺎ ﺷَﺎﺀَ

“Sanad adalah bagian dari agama, jika bukan karena sanad maka setiap orang benar-benar akan berkata -tentang urusan agama- terhadap apapun yang ia inginkan”[2].

Pentingnya sanad tidak hanya berlaku khusus dalam disiplin hadits, atau ilmu-ilmu hadits saja, tetapi berlaku dalam seluruh ilmu-ilmu agama. Perhatikan perkataan Ibn Sirin di atas, beliau tidak mengatakan khusus dalam masalah hadits saja, tetapi beliau mengatakan “al-‘Ilm” artinya secara mutlak mencakup seluruh ilmu-ilmu agama. Pemahaman ini pula tersirat dalam perkataan Imam Abdullah ibn al-Mubarak.

******************
Catatan lengkap buka link ini http://allahadatanpatempat.blogspot.co.id/2013/01/metode-yang-benar-dalam-meraih-ilmu.html?m=0#

******************
Channel telegram sy. Silahkan bergabung. Semoga bermanfaat.

Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA

https://t.me/Kholilaboufateh/3
Kholil Abou Fateh:
IMAN DENGAN QADLA DAN QADAR
(Bagian 1)
**********

Imam dengan Qadla dan Qadar adalah pembahasan akhir dari pembahasan pokok-pokok keimanan yang enam (Ushul al-Iman as-Sittah). Dengan pembahasan ini semoga kita dapat memahami makna Qadla dan Qadar Allah dengan keimanan yang benar-benar kuat. Karena sekarang ini telah timbul beberapa orang bahkan beberapa kelompok yang mengingkari Qadla dan Qadar, dan berusaha mengkaburkannya, baik melalui tulisan-tulisan,maupun di bangku-bangku kuliah. Semoga kita selamat dari kekufuran. Amin.

Tentang kewajiban iman dengan Qadla dan Qadar, dalam sebuah hadits shahih Rasulullah bersabda:

ﺍﻹﻳْﻤَﺎﻥُ ﺃﻥْ ﺗُﺆﻣِﻦَ ﺑﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﻣَﻼَﺋﻜِﺘَﻪِ ﻭَﻛُﺘُﺒﻪِ ﻭَﺭُﺳُﻠِﻪِ ﻭَﺍﻟﻴَﻮْﻡِ ﺍﻵﺧِﺮِ ﻭَﺗُﺆْﻣِﻦَ ﺑِﺎﻟﻘَﺪَﺭِ ﺧَﻴْﺮِﻩِ ﻭَﺷَﺮّﻩِ ‏( ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ )

“Iman ialah engkau percaya dengan Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan engkau percaya kepada Qadar Allah, yang baik maupun yang buruk”. (HR. Muslim).

Al-Qadla maknanya al-Khalqu, artinya penciptaan. Dan al-Qadar maknanya at-Tadbir, artinya pengaturan (ketentuan/ketetapan). Secara istilah al-Qadar artinya ketentuan Allah atas segala sesuatu sesuai dengan pengetahuan (al-‘Ilm) dan kehendak-Nya yang azali (yg tidak bermula), di mana sesuatu tersebut kemudian terjadi pada waktu yang telah ditentukan dan dikehendaki oleh-Nya terhadap kejadiannya.

**********
Silahkan bergabung di Channel telegram sy. Semoga bermanfaat.

Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA

https://t.me/Kholilaboufateh/3
IMAN DENGAN QADLA DAN QADAR
(Bagian 2)
******************

Penggunaan kata “al-Qadar” terbagi kepada dua bagian.

Pertama; bisa bermaksud bagi sifat “Taqdir” Allah, yaitu sifat menentukan oleh Allah terhadap segala sesuatu yang Dia kehendakinya. al-Qadar dalam pengertian sifat Taqdir Allah ini tidak boleh kita sifati dengan keburukan dan kejelekan. Karena sifat menentukan Allah terhadap segala sesuatu bukan suatu keburukan atau kejelekan, tapi sifat menentukan Allah terhadap segala sesuatu yang Dia kehendakinya adalah sifat yang baik dan sempurna, sebagaimana sifat-sifat Allah lainnya. Sifat-sifat Allah tersebut tidak boleh dikatakan buruk, kurang, atau sifat-sifat jelek lainnya.

Kedua; kata al-Qadar dapat bermaksud bagi segala sesuatu yang terjadi pada makhluk, atau disebut dengan al-Maqdur. Al-Qadar dalam pengertian al-Maqdur ini ialah mencakup segala apapun yang terjadi pada seluruh makhluk ini; dari keburukan dan kebaikan, kesalehan dan kejahatan, keimanan dan kekufuran, ketaatan dan kemaksiatan, dan lain-lain. Makna yang kedua inilah yang maksud dengan hadits Jibril di atas;

وتؤمن بالقدر خيره وشره

Bahwa di antara pokok keimanan adalah beriman dengan al-Qadar, yang baiknya dan yang buruknya. Al-Qadar dalam hadits ini adalah dalam pengertian al-Maqdur.

Pemisahan makna antara sifat Taqdir Allah dengan al-Maqdur adalah sebuah kemestian. Hal ini karena sesuatu yang disifati dengan baik dan juga buruk, atau baik dan jahat, adalah hanya pada makhluk saja. Artinya, siapa yang melakukan kebaikan maka perbuatannya tersebut disebut “baik”, dan siapa yang melakukan keburukan maka perbuatannya tersebut disebut “buruk”. Dan penyebutan “baik dan buruk” seperti ini hanya berlaku pada makhluk saja. Adapun sifat Taqdir Allah, yaitu sifat menentukan Allah terhadap segala sesuatu yang Dia kehendaki maka sifat-Nya ini tidak boleh dikatakan buruk. Sifat Taqdir Allah, sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain, adalah sifat yang baik dan sempurna, ia tidak boleh dikatakan buruk atau jahat.

Dengan demikian, bila seorang hamba melakukan keburukan, maka itu adalah perbuatan dan sifat yang buruk dari hamba itu sendiri. Adapun Taqdir Allah terhadap keburukan yang terjadi pada hamba itu bukan berarti Allah menyukai dan memerintahkan kepada keburukan tersebut. Begitu pula, Allah yang menciptakan kejahatan, bukan berarti Allah jahat. Inilah yang dimaksud bahwa kehendak Allah meliputi segala perbuatan hamba, terhadap yang baik maupun yang buruk.

******************
Silahkan bergabung di Channel telegram sy. Semoga bermanfaat.

Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA

https://t.me/Kholilaboufateh/3
Channel name was changed to «Tawhid Corner»
IMAN DENGAN QADLA DAN QADAR
(Bagian 3)
******************

Segala perbuatan yang terjadi pada alam ini, baik kekufuran dan keimanan, ketaatan dan kemaksiatan, dan berbagai hal lainnya, semunya terjadi dengan kehendak dan dengan penciptaan Allah. Hal ini menunjukan kesempurnaan Allah, serta menunjukan keluasan dan ketercakupan kekuasaan dan kehendak-Nya atas segala sesuatu. Karena bila seandainya pada makhluk ini terjadi sesuatu yang tidak dikehendaki kejadiannya oleh Allah, maka berarti hal itu menafikan sifat ketuhanan-Nya, karena dengan demikian berarti Allah kehendak dikalahkan oleh kehendak makhluk-Nya. Ini adalah sesuatu yang mustahil terjadi. Karena itu dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:

ﻣَﺎ ﺷَﺎﺀَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻛﺎَﻥَ ﻭَﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﺸَﺄﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ‏( ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ )

“Apa yang dikehendaki oleh Allah -akan kejadiannya- pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehandaki oleh-Nya maka tidak akan pernah terjadi”. (HR. Abu Dawud).

Dengan demikian segala apapun yang dikehendaki oleh Allah terhadap kejadiannya maka semua itu pasti terjadi. Karena bila ada sesuatu yang terjadi di luar kehendak-Nya, maka hal itu menunjukkan akan kelemahan. Sedangkan sifat lemah itu mustahil atas Allah. Bukankah Allah maha kuasa?! Maka di antara bukti kekuasaannya adalah bahwa segala sesuatu yang dikehendaki-Nya pasti terlaksana. Oleh karena itu, dari sudut pandang syara’ dan akal, terjadinya segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah adalah perkara yang wajib, artinya wajib adanya dan pasti terjadi. Dalam hal ini Allah berfirman:

ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﻏَﺎﻟِﺐٌ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻣْﺮِﻩِ ‏( ﻳﻮﺳﻒ : 21 )

_“Allah maha mengalahkan (menang) di atas segala urusann-Nya”. (Artinya, segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah pasti akan terjadi, tidak ada siapapun yang menghalangi-Nya). (QS. Yusuf: 21)_

Allah menghendaki orang-orang mukmin dengan ikhtiar mereka untuk beriman kepada-Nya, maka mereka menjadi orang-orang yang beriman. Dan Allah menghendaki orang-orang kafir dengan ikhtiar mereka untuk kufur kepada-Nya, maka mereka semua menjadi orang-orang yang kafir. Seandainya Allah berkehendak semua makhluk-Nya beriman kepada-Nya, maka mereka semua pasti beriman kepada-Nya. Allah berfirman:

ﻭَﻟَﻮْ ﺷَﺎﺀَ ﺭَﺑُّﻚَ ﻟَﺂَﻣَﻦَ ﻣَﻦْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻛُﻠُّﻬُﻢْ ﺟَﻤِﻴﻌًﺎ ‏( ﻳﻮﻧﺲ : 99 )

_“Dan seandainya Tuhanmu (Wahai Muhammad) berkehendak, niscaya seluruh yang ada di bumi ini akan beriman”. (QS. Yunus: 99)._

Tetapi Allah tidak menghendaki semuanya beriman kepada-Nya. Namun demikian Allah memerintah mereka semua untuk beriman kepada-Nya. Maka di sini harus dipahami, bahwa “kehendak Allah” dan “perintah Allah” adalah dua hal berbeda. Tidak segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah adalah sesuatu yang diperintah oleh-Nya. Dan tidak segala sesuatu yang diperintah oleh Allah adalah sesuatu yang dikehendaki oleh-Nya.
Perkataan sebagian orang “Segala sesuatu adalah atas perintah Allah”, atau “Banyak sekali perbuatan kita yang tidak dikehendaki oleh Allah (maksudnya kemaksiatan-kemaksiatan)”, adalah perkataan yang salah. Karena Allah tidak memerintahkan kepada perbuatan-perbuatan maksiat atau kekufuran. Namun demikian, kejadian kemasiatan atau kekufuran tersebut adalah dengan kehendak Allah.

Perkataan yang benar ialah; Segala sesuatu yang terjadi di alam ini adalah dengan kehendak Allah, dengan _Taqdir_-Nya dan dengan Ilmu-Nya. Kebaikan terjadi dengan kehendak Allah, dengan _Taqdir_-Nya, dan dengan Ilmu-Nya, serta kebaikan ini juga dengan perintah-Nya, _mahabbah-Nya_, dan dengan keridlaan-Nya. Sementara keburukan terjadi dengan kehendak Allah, dengan _Taqdir_-Nya, dan dengan Ilmu-Nya, tapi tidak dengan perintah-Nya, tidak dengan _mahabbah_-Nya, dan tidak dengan keridlaan-Nya.

******************
Tawhid Corner, Catatan Teologi Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah, Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA.

Silahkan bergabung
https://t.me/Kholilaboufateh
Dari Imam al Qurthubi: "AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TAMPA ARAH"
******************

Ahli tafsir terkemuka di kalangan Ahlussunnah, al-Imâm al-Mufassir Muhammad ibn Ahmad al-Anshari al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya yang sangat terkenal; al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân atau yang lebih dikenal dengan nama Tafsir al-Qurthubi, menuliskan sebagai berikut:

" ﻭ " ﺍﻟﻌﻠﻲّ " ﻳﺮﺍﺩ ﺑﻪ ﻋﻠﻮ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﻭﺍﻟﻤﻨﺰﻟﺔ ﻻ ﻋﻠﻮ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ، ﻷﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻨﺰﻩ ﻋﻦ ﺍﻟﺘﺤﻴﺰ "

“Nama Allah “al-‘Aliyy” adalah dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan bukan dalam ketinggian tempat, karena Allah maha suci dari bertempat”[1].

Pada bagian lain dalam kitab yang sama al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:

" ﻭﻣﻌﻨﻰ " ﻓَﻮْﻕَ ﻋِﺒَﺎﺩِﻩِ " ﻓﻮﻗﻴﺔ ﺍﻻﺳﺘﻌﻼﺀ ﺑﺎﻟﻘﻬﺮ ﻭﺍﻟﻐﻠﺒﺔ ﻋﻠﻴﻬﻢ، ﺃﻱ ﻫﻢ ﺗﺤﺖ ﺗﺴﺨﻴﺮﻩ ﻻ ﻓﻮﻗﻴﺔ ﻣﻜﺎﻥ "

“Makna Firman-Nya: “Fawqa ‘Ibâdih...” (QS. al-An’am: 18) , adalah dalam pengertian Fawqiyyah al-Istîlâ’ Bi al-Qahr Wa al-Ghalabah; artinya bahwa para hamba berada dalam kekuasaan-Nya, bukan dalam pengertian fawqiyyah al-makan , (tempat yang tinggi)”[2].

Masih dalam kitabnya yang sama al-Imâm al-Qurthubi juga menuliskan sebagai berikut:

" ﻭﺍﻟﻘﺎﻋﺪﺓ ﺗﻨﺰﻳﻬﻪ - ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ - ﻋﻦ ﺍﻟﺤﺮﻛﺔ ﻭﺍﻻﻧﺘﻘﺎﻝ ﻭﺷﻐﻞ ﺍﻷﻣﻜﻨﺔ "

“Kaedah -yang harus kita pegang teguh-: Allah maha suci dari gerak, berpindah-pindah, dan maha suci dari berada pada tempat”[3].

Lalu dalam menafsirkan firman Allah:

ﺃَﻭْ ﻳَﺄْﺗِﻲَ ﺭَﺑُّﻚَ ﺃَﻭْ ﻳَﺄْﺗِﻲ ﺑَﻌْﺾُ ﺀَﺍﻳَﺎﺕِ ﺭَﺑِّﻚَ ‏( ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ : 158 )

al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:

" ﻭﻟﻴﺲ ﻣﺠﻴﺌﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺣﺮﻛﺔ ﻭﻻ ﺍﻧﺘﻘﺎﻻ ﻭﻻ ﺯﻭﺍﻻ ﻷﻥ ﺫﻟﻚ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻜﻮﻥ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﺠﺎﺋﻲ ﺟﺴﻤﺎ ﺃﻭ ﺟﻮﻫﺮﺍ "

“Yang dimaksud dengan al-Majî’ pada hak Allah adalah bukan dalam pengertian gerak, bukan pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, bukan pula dalam pengertian condong, karena sifat-sifat seperti demikian itu hanya terjadi pada sesuatu yang merupakan Jism atau Jawhar ”[4].

Pada bagian lain dalam menafsirkan firman Allah tentang Nabi Yunus:

ﻭَﺫَﺍ ﺍﻟﻨُّﻮﻥِ ﺇِﺫ ﺫَّﻫَﺐَ ﻣُﻐَﺎﺿِﺒًﺎ ﻓَﻈَﻦَّ ﺃَﻥ ﻟَّﻦ ﻧَّﻘْﺪِﺭَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻓَﻨَﺎﺩَﻯ ﻓِﻲ ﺍﻟﻈُّﻠُﻤَﺎﺕِ ﺃَﻥ ﻵﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻵ ﺃَﻧﺖَ ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺇِﻧِّﻲ ﻛُﻨﺖُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤِﻴﻦَ ‏( ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ : 87 )

al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:

" ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻤﻌﺎﻟﻲ : ﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ " ﻻ ﺗﻔﻀﻠﻮﻧﻲ ﻋﻠﻰ ﻳﻮﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺘّﻰ " ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﻓﺈﻧﻲ ﻟﻢ ﺃﻛﻦ ﻭﺃﻧﺎ ﻓﻲ ﺳﺪﺭﺓ ﺍﻟﻤﻨﺘﻬﻰ ﺑﺄﻗﺮﺏ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻨﻪ ﻭﻫﻮ ﻓﻲ ﻗﻌﺮ ﺍﻟﺒﺤﺮ ﻓﻲ ﺑﻄﻦ ﺍﻟﺤﻮﺕ . ﻭﻫﺬﺍ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﺒﺎﺭﻯﺀ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﻟﻴﺲ ﻓﻲ ﺟﻬﺔ "

“Abu al-Ma’ali berkata: Sabda Rasulullah berbunyi
“Lâ Tufadl-dlilûnî ‘Alâ Yûnus Ibn Mattâ” memberikan pemahaman bahwa Nabi Muhammad yang diangkat hingga ke Sidrah al-Muntaha tidak boleh dikatakan lebih dekat kepada Allah dibanding Nabi Yunus yang berada di dalam perut ikan besar yang kemudian dibawa hingga ke kedalaman lautan. Ini menunjukan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah”[5].

Kemudian dalam menafsirkan firman Allah:

ﻭَﺟَﺂﺀَ ﺭَﺑُّﻚَ ﻭَﺍﻟْﻤَﻠَﻚُ ﺻَﻔًّﺎ ﺻَﻔًّﺎ ‏( ﺍﻟﻔﺠﺮ : 22 )

al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:

" ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺟﻞ ﺛﻨﺎﺅﻩ ﻻ ﻳﻮﺻﻒ ﺑﺎﻟﺘﺤﻮﻝ ﻣﻦ ﻣﻜﺎﻥ ﺇﻟﻰ ﻣﻜﺎﻥ، ﻭﺃﻧَّﻰ ﻟﻪ ﺍﻟﺘﺤﻮﻝ ﻭﺍﻻﻧﺘﻘﺎﻝ ﻭﻻ ﻣﻜﺎﻥ ﻟﻪ ﻭﻻ ﺃﻭﺍﻥ، ﻭﻻ ﻳﺠﺮﻱ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻗﺖ ﻭﻻ ﺯﻣﺎﻥ، ﻷﻥ ﻓﻲ ﺟﺮﻳﺎﻥ ﺍﻟﻮﻗﺖ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺸﻰﺀ ﻓﻮﺕ ﺍﻷﻭﻗﺎﺕ، ﻭﻣﻦ ﻓﺎﺗﻪ ﺷﻰﺀ ﻓﻬﻮ ﻋﺎﺟﺰ "

“Allah yang maha Agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain, karena mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau berpindah. Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk”[6].

Kemudian dalam menafsirkan firman Allah:

ﺀَﺃَﻣِﻨﺘُﻢ ﻣَّﻦ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺂﺀِ ﺃَﻥ ﻳَﺨْﺴِﻒَ ﺑِﻜُﻢُ ﺍْﻷَﺭْﺽَ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻫِﻲَ ﺗَﻤُﻮﺭُ ‏( ﺍﻟﻤﻠﻚ : 16)

al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:

" ﻭﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﻬﺎ ﺗﻮﻗﻴﺮﻩ ﻭﺗﻨﺰﻳﻬﻪ ﻋﻦ ﺍﻟﺴﻔﻞ ﻭﺍﻟﺘﺤﺖ، ﻭﻭﺻﻔﻪ ﺑﺎﻟﻌﻠﻮِّ ﻭﺍﻟﻌﻈﻤﺔ ﻻ ﺑﺎﻷﻣﺎﻛﻦ ﻭﺍﻟﺠﻬﺎﺕ ﻭﺍﻟﺤﺪﻭﺩ ﻷﻧﻬﺎ ﺻﻔﺎﺕ ﺍﻷﺟﺴﺎﻡ . ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺗﺮﻓﻊ ﺍﻷﻳﺪﻱ ﺑﺎﻟﺪﻋﺎﺀ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻷﻥ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻣﻬﺒﻂ ﺍﻟﻮﺣﻲ ﻭﻣﻨﺰﻝ ﺍﻟﻘﻄﺮ ﻭﻣﺤﻞ ﺍﻟﻘُﺪﺱ ﻭﻣﻌﺪﻥ ﺍﻟﻤﻄﻬﺮﻳﻦ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ، ﻭﺍﻟﻴﻬﺎ ﺗﺮﻓﻊ ﺃﻋﻤﺎﻝ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ، ﻭﻓﻮﻗﻬﺎ ﻋﺮﺷﻪ ﻭﺟﻨﺘﻪ، ﻛﻤﺎ ﺟﻌﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻜﻌﺒﺔ ﻗِﺒﻠﺔ ﻟﻠﺪﻋﺎﺀ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ، ﻭﻷﻧﻪ ﺧﻠﻖ ﺍﻷﻣﻜﻨﺔ ﻭﻫﻮ ﻏﻴﺮ ﻣﺤﺘﺎﺝ ﺇﻟﻴﻬﺎ، ﻭﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺃﺯﻟﻪ ﻗﺒﻞ ﺧﻠﻖ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻭﺍﻟﺰﻣﺎﻥ ﻭﻻ ﻣﻜﺎﻥ ﻟﻪ ﻭﻻ ﺯﻣﺎﻥ، ﻭﻫﻮ ﺍﻵﻥ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻛﺎﻥ "

“Yang dimaksud oleh ayat ini adalah keagungan Allah dan kesucian-Nya dari a
rah bawah. Dan makna dari sifat Allah al-‘Uluww adalah dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan bukan dalam pengertian tempat-tempat, atau arah-arah, juga bukan dalam pengertian batasan-batasan, karena sifat-sifat seperti demikian itu adalah sifat-sifat benda. Adapun bahwa kita mengangkat tangan ke arah langit dalam berdoa adalah karena langit tempat turunnya wahyu, tempat turunnya hujan, tempat yang dimuliakan, juga tempat para Malaikat yang suci, serta ke sanalah segala kebaikan para hamba diangkat, hingga ke arah arsy dan ke arah surga. Hal ini sebagaimana Allah menjadikan Ka’bah sebagai kiblat dalam doa dan shalat kita (bukan artinya Allah di dalam Ka’bah). Karena sesungguhnya Allah yang menciptakan segala tempat maka Dia tidak membutuhkan kepada ciptaannya tersebut. Sebelum menciptakan tempat dan zaman, Allah ada tanpa permulaan (Azaliy) , tanpa tempat, dan tanpa zaman. Dan Dia sekarang setelah menciptakan tempat dan zaman tetap ada sebagaimana sifat-Nya yang Azaliy tanpa tempat dan tanpa zaman”[7].

Referensi

[1] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 3, h. 278, QS. al-Baqarah: 255
[2] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 6, h. 399, QS. al-An’am: 18
[3] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 6, h. 390, QS. al-An’am: 3
[4] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 7, h. 148, QS. al-An’am: 158
[5] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 11, h. 333-334, QS. al-Anbiya’: 87
[6] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 20, h. 55, QS. al-Fajr: 22
[7] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 18, h. 216, QS. al-Mulk: 16

******************
Join us on telegram channel.

*Tawhid Corner, Catatan Teologi Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah, Asy'ariyyah Maturidiyyah*

Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
(Catatan 1) Membongkar Kesesatan Ahmad Ibn Taimiyah; Imam Wahabi
******************
*Pendahuluan*

Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan atas Sayyidina Muhammad, keluarga dan para sahabatnya yang baik dan suci.

Allah ta’ala berfirman:
(Maknanya) : “ Kalian adalah sebaik–baik umat yang dikeluarkan untuk manusia, menyeru kepada al Ma’ruf (hal-hal yang diperintahkan Allah) dan mencegah dari al Munkar (hal-hal yang dilarang Allah).” (Q.S. Ali ‘Imran: 110)

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

ﻣَﻦْ ﺭَﺃَﻯ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣُﻨْﻜَﺮًﺍ ﻓَﻠْﻴُﻐَﻴِّﺮْﻩُ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺴْﺘَﻄِﻊْ ﻓَﺒِﻠِﺴَﺎﻧِﻪِ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺴْﺘَﻄِﻊْ ﻓَﺒِﻘَﻠْﺒِﻪِ ﻭَﺫﻟِﻚَ ﺃَﺿْﻌَﻒُ ﺍﻹِﻳْﻤَﺎﻥِ ‏( ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ )

Maknanya: “Barangsiapa di antara kalian mengetahui suatu perkara munkar, hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu, hendaklah ia merubahnya dengan lisannya, jika ia tidak mampu, hendaklah ia mengingkari dengan hatinya. Dan hal itu (yang disebut terakhir) paling sedikit buah dan hasilnya; dan merupakan hal yang diwajibkan atas seseorang ketika ia tidak mampu mengingkari dengan tangan dan lidahnya.” (H.R. Muslim)

Syari'at telah menyeru untuk mengajak kepada al ma’ruf, yaitu hal-hal yang diperintahkan Allah dan mencegah hal-hal yang munkar, yang diharamkan oleh Allah, menjelaskan kebathilan sesuatu yang bathil dan kebenaran perkara yang haqq. Pada masa kini, banyak orang yang mengeluarkan fatwa tentang agama, sedangkan fatwa-fatwa tersebut sama sekali tidak memiliki dasar dalam Islam. Karena itu perlu ditulis sebuah buku untuk menjelaskan yang haqq dari yang bathil, yang benar dari yang tidak benar.

Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh al Imam Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam memperingatkan masyarakat dari orang yang menipu ketika menjual makanan. Al Bukhari juga meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam mengatakan tentang dua orang yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin: “Saya mengira bahwa si fulan dan si fulan tidak mengetahui sedikitpun tentang agama kita ini.”
Kepada seorang khathib, yang mengatakan:

ﻣَﻦْ ﻳُﻄِﻊِ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟَﻪُ ﻓَﻘَﺪْ ﺭَﺷَﺪَ ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﻌْﺼِﻬِﻤَﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﻏَﻮَﻯ

Maknanya : "Barang siapa mentaati Allah dan Rasul-Nya maka ia telah mendapatkan petunjuk, dan barang siapa bermaksiat kepada keduanya maka ia telah melakukan kesalahan."

Rasulullah menegurnya dengan mengatakan:

ﺑِﺌْﺲَ ﺍﻟْﺨَﻄِﻴْﺐُ ﺃَﻧْﺖَ

Maknanya: "Seburuk-buruk khathib adalah engkau” (H.R. Ahmad), ini dikarenakan khathib tersebut menggabungkan antara Allah dan Rasul-Nya dalam satu
dlamir (kata ganti) dengan mengatakan ( ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﻌْﺼِﻬِﻤَﺎ ). Kemudian Rasulullah berkata kepadanya: “katakanlah:

ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﻌْﺺِ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟَﻪُ

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam tidak membiarkan perkara sepele ini, meski tidak mengandung unsur kufur atau syirik. Jika demikian halnya, bagaimana mungkin beliau akan tinggal diam dan membiarkan orang-orang yang menyelewengkan ajaran-ajaran agama dan menyebarkan penyelewengan-penyelewengan tersebut di tengah-tengah masyarakat. Tentunya orang semacam ini lebih harus diwaspadai dan dijelaskan kepada masyarakat bahaya dan kesesatannya.

******************
Join us on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
(Catatan 2) Membongkar Kesesatan Ahmad Ibn Taimiyah; Imam Wahabi
******************
Siapakah Ahlussunnah
Wal Jama’ah?
******************
Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan mayoritas umat Muhammad. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam dasar-dasar aqidah. Merekalah yang dimaksud oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam:

.. ﻓَﻤَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺑُﺤْﺒُﻮْﺣَﺔَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻓَﻠْﻴَﻠْﺰَﻡِ ﺍﻟْﺠَﻤَﺎﻋَﺔَ ‏( ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻭﺻﺤّﺤﻪ ﻭﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻭﻗﺎﻝ ﺣﺪﻳﺚ ﺣﺴﻦ ﺻﺤﻴﺢ )

Maknanya: "…maka barang siapa yang menginginkan tempat lapang di surga hendaklah berpegang teguh pada al Jama’ah; yakni berpegang teguh pada aqidah al Jama’ah.” (Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim, dan at-Tirmidzi mengatakan hadits hasan shahih)

Setelah tahun 260 H menyebarlah bid’ah Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya. Maka dua Imam yang agung Abu al Hasan al Asy’ari (W. 324 H) dan Abu Manshur al Maturidi (W. 333 H) -semoga Allah meridlai keduanya- menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al Qur’an dan al hadits) dan ‘aqli (argumen rasional) disertai dengan bantahan-bantahan terhadap kesesatan-kesesatan Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya, sehingga Ahlussunnah Wal Jama’ah dinisbatkan kepada keduanya. Ahlussunnah akhirnya dikenal dengan nama al Asy’ariyyun (para pengikut al Asy’ari) dan al Maturidiyyun (para pengikut al Maturidi).

Jalan yang ditempuh oleh al Asy’ari dan al Maturidi dalam pokok-pokok aqidah adalah sama dan satu.
Al Hafizh Murtadla az-Zabidi (W. 1205 H) dalam al Ithaf , juz II hal. 6, mengatakan: “Pasal Kedua: "Jika dikatakan Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah al Asy’ariyah dan al Maturidiyyah.” Mereka adalah ratusan juta ummat Islam (golongan mayoritas). Mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, para pengikut madzhab Maliki, para pengikut madzab Hanafi dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al Hanabilah).

Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah memberitahukan bahwa mayoritas ummatnya tidak akan tersesat. Alangkah beruntungnya orang yang senantiasa mengikuti mereka.
Maka diwajibkan untuk penuh perhatian dan keseriusan dalam mengetahui aqidah al Firqah an-Najiyah yang merupakan golongan mayoritas, karena ilmu aqidah adalah ilmu yang paling mulia disebabkan ia menjelaskan pokok atau dasar agama.

Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wasallam ditanya tentang sebaik-baik perbuatan, beliau menjawab:

ﺇِﻳْـﻤَﺎﻥٌ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟِﻪِ ‏( ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ )

Maknanya: “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” (H.R. al Bukhari)

********
catatan lengkap buka link berikut https://mobile.facebook.com/notes/aqidah-ahlussunnah-allah-ada-tanpa-tempat/catatan-2-membongkar-kesesatan-ahmad-ibn-taimiyah-imam-wahabi/609985102351736?_rdc=1&_rdr

******************
Join us on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
(Catatan 3) Membongkar Kesesatan Ahmad Ibn Taimiyah; Imam Wahabi
******************
Sekilas Tentang Ibnu Taimiyah (661-728 H)
******************

Ahmad ibn Taimiyah lahir di Harran, Syiria, di tengah keluarga berilmu yang bermadzhab Hanbali. Ayahnya adalah seorang yang berperawakan tenang. Beliau dihormati oleh para ulama Syam dan para pejabat pemerintah sehingga mereka mempercayakan beberapa jabatan ilmiah kepadanya untuk membantunya. Setelah ayahnya wafat, Ibnu Taimiyah menggantikan posisinya. Orang-orang yang selama ini mempercayai ayahnya, menghadiri majelisnya guna mendorong dan memotivasinya dalam meneruskan tugas-tugas ayahnya dan memujinya. Namun pujian tersebut ternyata justru membuat Ibnu Taimiyah terlena dan tidak menyadari motif sebenarnya di balik pujian tersebut. Ibnu Taimiyah mulai menyebarkan satu demi satu bid’ah-bid’ahnya hingga para ulama dan pejabat yang dulu memujinya tersebut mulai menjauhinya satu persatu.

Ibnu Taimiyah meskipun tersohor dan memiliki banyak karangan dan pengikut, namun sesungguhnya ia adalah seperti yang dinyatakan oleh al Hafizh al Faqih Waliyyuddin al ‘Iraqi (W. 862 H):

“Ibnu Taimiyah telah menyalahi Ijma’ dalam banyak permasalahan, kira-kira sekitar 60 masalah, sebagian dalam masalah Ushul ad-Din (pokok-pokok agama) dan sebagian berkenaan dengan masalah-masalah furu’ ad-Din (cabang-cabang agama), Ibnu Taimiyah dalam masalah-masalah tersebut mengeluarkan pendapat lain; yang berbeda setelah terjadi ijma’ tentangnya.”

Berbagai kalangan orang awam dan yang lainpun mulai terpengaruh dan mengikuti Ibnu Taimiyah sehingga ulama-ulama di masa Ibnu Taimiyah mulai angkat bicara dan membantah pendapat-pendapatnya serta memasukkannya dalam kelompok para para ahli bid’ah.

Di antara yang membantah Ibnu Taimiyah adalah al Imam al Hafizh Taqiyyuddin Ali bin Abd al Kafi as-Subki (W. 756 H) dalam karyanya ad-Durrah al Mudliyyah fi ar-Radd 'ala Ibn Taimiyah, beliau mengatakan:

“Amma ba’du. Ibnu Taimiyah benar-benar telah membuat bid’ah-bid’ah dalam dasar-dasar keyakinan (Ushul al 'Aqa-id), ia telah meruntuhkan tonggak-tonggak dan sendi-sendi Islam setelah ia sebelum ini bersembunyi di balik kedok mengikuti al Qur’an dan as-Sunnah. Pada zhahirnya ia mengajak kepada kebenaran dan menunjukkan kepada jalan surga, ternyata kemudian ia bukan melakukan ittiba’
(mengikuti sunnah, ulama Salaf dan konsensus ulama) tetapi justru membuat bid’ah-bid’ah baru, ia menyempal dari ummat muslim dengan menyalahi Ijma’ mereka dan ia juga mengatakan tentang Allah perkataan yang mengandung tajsim (meyakini Allah adalah jisim; benda yang memiliki ukuran dan dimensi) dan ketersusunan (tarkib) bagi Dzat Allah”.

******************
Catatan masih panjang, buka link berikut https://mobile.facebook.com/notes/aqidah-ahlussunnah-allah-ada-tanpa-tempat/catatan-3-membongkar-kesesatan-ahmad-ibn-taimiyah-imam-wahabi/609985802351666?_rdc=1&_rdr

******************
******************
Join us on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
(Catatan 4) Membongkar Kesesatan Ahmad Ibn Taimiyah; Imam Wahabi
******************
Komentar Sebagian Ulama Ahlussunnah Tentang Ibnu Taimiyah
******************

Al Hafizh Ibnu Hajar (W. 852 H) menukil dalam kitab ad-Durar al Kaminah juz I, hal. 154-155 bahwa para ulama menyebut Ibnu Taimiyah dengan tiga sebutan: Mujassim, Zindiq, Munafiq .

Ibnu Hajar menyatakan; Ibnu Taimiyah menyalahkan sayyidina ‘Umar ibn al Khaththab –semoga Allah meridlainya-, dia menyatakan tentang sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq – semoga Allah meridlainya - bahwa beliau masuk Islam di saat tua renta dan tidak menyadari betul apa yang beliau katakan (layaknya seorang pikun). Sayyidina Utsman ibn ‘Affan –semoga Allah meridlainya- , -masih kata Ibnu Taimiyah- mencintai dan gandrung harta dunia dan sayyidina 'Ali ibn Abi Thalib –semoga Allah meridlainya- , -menurutnya- salah dan menyalahi nash al Qur’an dalam 17 permasalahan, 'Ali menurut Ibnu Taimiyah tidak pernah mendapat pertolongan dari Allah ke manapun beliau pergi, dia sangat gandrung dan haus kekuasaan dan dia masuk Islam di waktu kecil padahal anak kecil itu Islamnya tidak sah.

Ibnu Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam karyanya
Hasyiyah al Idlah fi Manasik al Hajj Wa al 'Umrah li an-Nawawi, hal. 214 menyatakan tentang pendapat Ibnu Taimiyah yang mengingkari kesunnahan safar (perjalanan) untuk ziarah ke makam Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wasallam:

ﻭَﻻَ ﻳُﻐْـﺘَﺮُّ ﺑِﺈِﻧْﻜَﺎﺭِ ﺍﺑْﻦِ ﺗَﻴْﻤِﻴَﺔَ ﻟِﺴَﻦِّ ﺯِﻳَﺎﺭَﺗِﻪِ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻋَﺒْﺪٌ ﺃَﺿَﻠَّﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻛَﻤَﺎ ﻗَﺎﻟَﻪُ ﺍﻟﻌِﺰُّ ﺍﺑْﻦُ ﺟَﻤَﺎﻋَﺔَ، ﻭَﺃَﻃَﺎﻝَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺮَّﺩِّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺘَّﻘِﻲُّ ﺍﻟﺴُّﺒْﻜِﻲُّ ﻓِﻲ ﺗَﺼْﻨِﻴْﻒٍ ﻣُﺴْﺘَﻘِﻞٍّ، ﻭَﻭُﻗُﻮْﻋُﻪُ ﻓِﻲ ﺣَﻖِّ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍلله ﻟَﻴْﺲَ ﺑِﻌَﺠَﺐٍ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻭَﻗَﻊَ ﻓِﻲ ﺣَﻖِّ ﺍﻟﻠﻪِ، ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻪُ ﻭَﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻋَﻤَّﺎ ﻳَﻘُﻮْﻝُ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤُﻮْﻥَ ﻭَﺍﻟْﺠَﺎﺣِﺪُﻭْﻥَ ﻋُﻠُﻮًّﺍ ﻛَﺒِﻴْﺮًﺍ، ﻓَﻨَﺴَﺐَ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺍﻟﻌَﻈَﺎﺋِﻢَ ﻛَﻘَﻮْﻟِﻪِ ﺇِﻥَّ ﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﺟِﻬَﺔً ﻭَﻳَﺪًﺍ ﻭَﺭِﺟْﻼً ﻭَﻋَﻴْﻨًﺎ ﻭَﻏَﻴْﺮَ ﺫﻟِﻚَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻘَﺒَﺎﺋِﺢِ ﺍﻟﺸَّﻨِﻴْﻌَﺔِ، ﻭَﻟَﻘَﺪْ ﻛَﻔَّﺮَﻩُ ﻛَﺜِﻴْﺮٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ، ﻋَﺎﻣَﻠَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺑِﻌَﺪْﻟِﻪِ ﻭَﺧَﺬَﻝَ ﻣُﺘَّﺒِﻌِﻴْﻪِ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﻧَﺼَﺮُﻭْﺍ ﻣَﺎ ﺍﻓْﺘَﺮَﺍﻩُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺸَّﺮِﻳْﻌَﺔِ ﺍﻟﻐَﺮَّﺍﺀِ .

"Janganlah tertipu dengan pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah, karena sesungguhnya ia adalah seorang hamba yang disesatkan oleh Allah seperti dikatakan oleh al ‘Izz ibn Jama’ah. At-Taqiyy as-Subki dengan panjang lebar juga telah membantahnya dalam sebuah tulisan tersendiri. Perkataan Ibnu Taimiyah yang berisi celaan dan penghinaan terhadap Rasulullah Muhammad ini tidaklah aneh karena dia bahkan telah mencaci Allah, Maha Suci Allah dari perkataan orang-orang kafir dan atheis. Ibnu Taimiyah menisbatkan hal-hal yang tidak layak bagi Allah, ia menyatakan Allah memiliki arah, yad, rijl, ‘ayn (dengan makna anggota badan) dan hal-hal buruk yang lain. Karenanya, Ibnu Taimiyah telah dikafirkan oleh banyak para ulama, semoga Allah memperlakukannya dengan keadilan-Nya dan tidak menolong pengikutnya yang mendukung dusta-dusta yang dilakukannya terhadap Syari’at Allah yang mulia ini.”

******************
Catatan masih panjang, buka link berikut https://mobile.facebook.com/notes/aqidah-ahlussunnah-allah-ada-tanpa-tempat/catatan-4-membongkar-kesesatan-ahmad-ibn-taimiyah-imam-wahabi/609986269018286?_rdc=1&_rdr

******************
******************
Join us on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
(Catatan 5) Membongkar Kesesatan Ahmad Ibn Taimiyah; Imam Wahabi
******************
Para Ulama, Ahli Fiqh Dan Para Qadli Yang Mendebat Atau Membantah Ibnu Taimiyah
******************

Berikut adalah nama-nama para ulama yang semasa dengan Ibnu Taimiyah (W. 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta menyerang pendapat-pendapatnya. Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:

Al Qadli al Mufassir Badruddin Muhammad ibn Ibrahim ibn Jama’ah asy-Syafi’i (W. 733 H).

Al Qadli Muhammad ibn al Hariri al Anshari al Hanafi.

Al Qadli Muhammad ibn Abu Bakr al Maliki

Al Qadli Ahmad ibn ‘Umar al Maqdisi al Hanbali. Dengan fatwa empat Qadli (hakim) dari empat madzhab ini, Ibnu Taimiyah dipenjara pada tahun 726 H. Peristiwa ini diuraikan dalam ‘Uyun at-Tawarikh karya Ibnu Syakir al Kutubi, Najm al Muhtadi wa Rajm al Mu’tadi karya Ibn al Mu’allim al Qurasyi.

Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah an-Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin.

Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan biografi Syekh Shalih ini dalam ad-Durar al Kaminah.

Syekh Kamaluddin Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalam Tuffah al Arwah Wa Fattah al Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.

Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surruji al Hanafi (W. 710 H) dalam I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.

******************

Catatan masih sangat panjang, silahkan buka link berikut https://mobile.facebook.com/notes/aqidah-ahlussunnah-allah-ada-tanpa-tempat/catatan-5-membongkar-kesesatan-ahmad-ibn-taimiyah-imam-wahabi/609987102351536?_rdc=1&_rdr

******************
******************
Join us on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
(Catatan 6) Membongkar Kesesatan Ahmad Ibn Taimiyah; Imam Wahabi
******************
Beberapa Penyimpangan Ibnu Taimiyah (Tokoh Panutan Wahhabi)
******************

Berikut ini beberapa penyimpangan Ibnu Taimiyah dalam bidang akidah dan lainnya, di antaranya adalah:

Ibnu Taimiyah meyakini jenis alam adalah azali seperti halnya Allah azali.
( Muwafaqah Sharih al Ma’qul Li Shahih al Manqul 1/64, 1/245, 2/75, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah 1/109, 224, Naqd Mara-tib al Ijma’ 168,
Syarh Hadits ‘Imran bin Hushain 193, Majmu’ al Fatawa 18/239, Syarh Hadits an-Nuzul 161, al Fataawa 6/300, Majmu’ah Tafsir 12-13).

******************
Bantahan:

Az-Zarkasyi dalam Tasynif al Masa-mi’ menegaskan:

ﻭَﻫﺬَﺍ ﺍﻟﻌَﺎﻟَﻢُ ﺑَﺠُﻤْﻠَﺘِﻪِ ﻋُﻠْﻮِﻳُّﻪُ ﻭَﺳُﻔْﻠِﻴُّﻪُ ﺟَﻮَﺍﻫِﺮُﻩُ ﻭَﺃَﻋْﺮَﺍﺿُﻪُ ﻣُﺤْﺪَﺙٌ ﺃَﻱْ ﺑِﻤَﺎﺩَّﺗِﻪِ ﻭَﺻُﻮْﺭَﺗِﻪِ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﺪَﻣًﺎ ﻓَﺼَﺎﺭَ ﻣَﻮْﺟُﻮْﺩًﺍ، ﻭَﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺇِﺟْﻤَﺎﻉُ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻤِﻠَﻞِ ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﺨَﺎﻟِﻒْ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻔَﻼَﺳِﻔَﺔُ ﻭَﻣِﻨْﻬُﻢْ ﺍﻟﻔَﺎﺭَﺍﺑِﻲْ ﻭَﺍﺑْﻦُ ﺳِـﻴْﻨَﺎ ﻗَﺎﻟُﻮْﺍ ﺇِﻧَّﻪُ ﻗَﺪِﻳْﻢٌ ﺑِﻤَﺎﺩَّﺗِﻪِ ﻭَﺻُﻮْﺭَﺗِﻪِ، ﻭَﻗِﻴْﻞَ ﻗَﺪِﻳْﻢُ ﺍﻟْﻤَﺎﺩَّﺓِ ﻣُﺤْﺪَﺙُ ﺍﻟﺼُّﻮْﺭَﺓِ، ﻭَﺣَﻜَﻰ ﺍﻹِﻣَﺎﻡُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﻄَﺎﻟِﺐِ ﻗَﻮْﻻً ﺭَﺍﺑِﻌًﺎ ﺑِﺎﻟﻮَﻗْﻒِ ﻭَﻋَﺪَﻡِ ﺍﻟﻘَﻄْﻊِ ﻭَﻋَﺰَﺍﻩُ ﻟِﺠَﺎﻟِﻴْﻨُﻮْﺱ " ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ : " ﻭَﻛُﻞُّ ﻫﺬِﻩِ ﺍﻷَﻗْﻮَﺍﻝِ ﺑَﺎﻃِﻠَﺔٌ، ﻭَﻗَﺪْ ﺿَﻠَّﻠَﻬُﻢُ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤُﻮْﻥَ ﻓِﻲ ﺫﻟِﻚَ ﻭَﻛَﻔَّﺮُﻭْﻫُﻢْ ﻭَﻗَﺎﻟُﻮْﺍ : ﻣَﻦْ ﺯَﻋَﻢَ ﺃَﻧَّﻪُ ﻗَﺪِﻳْﻢٌ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﺧْﺮَﺟَﻪُ ﻋَﻦْ ﻛَﻮْﻧِﻪِ ﻣَﺨْﻠُﻮْﻗًﺎ ﻟﻠﻪِ .

“ Dan alam ini seluruhnya; alam atas, alam bawah, jawahir dan ‘aradlnya adalah baharu (makhluk), yakni jenis dan masing-masing individunya, semuanya tadinya tidak ada kemudian ada, hal ini disepakati semua agama dan tidak ada yang menyalahinya kecuali para filsuf, yang di antara mereka adalah al Farabi dan Ibnu Sina, mereka mengatakan alam itu qadim (ada tanpa permulaan) dengan jenis dan masing-masing individunya, ada juga yang mengatakan: jenisnya qadim dan masing-masing individunya baharu. Dalam al Mathalib ar-Razi menceritakan pendapat ke empat, yaitu tawaqquf dan tidak memastikan alam baharu atau qadim, pendapat ini dinisbatkan oleh ar-Razi kepada Galinous ”, kemudian az-Zarkasyi menegaskan: “ Pendapat-pendapat ini semuanya batil, dan ummat Islam telah menyesatkan dan mengkafirkan mereka dalam masalah ini, ummat Islam menyatakan: barang siapa mengatakan bahwa alam itu qadim maka ia telah mengeluarkan alam dari status diciptakan (makhluk) oleh Allah .”

Al Qadli ‘Iyadl dalam asy-Syifa menyatakan:

ﻭَﻛَﺬﻟِﻚَ ﻧَﻘْﻄَﻊُ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻔْﺮِ ﻣَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﺑِﻘِﺪَﻡِ ﺍﻟﻌَﺎﻟَﻢِ ﺃَﻭْ ﺑَﻘَﺎﺋِﻪِ ﺃَﻭْ ﺷَﻚَّ ﻓِﻲ ﺫﻟِﻚَ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺬْﻫَﺐِ ﺑَﻌْﺾِ ﺍﻟﻔَﻼَﺳِﻔَﺔِ ﻭَﺍﻟﺪَّﻫْﺮِﻳَّﺔِ .

“Demikian pula kita memastikan kekafiran orang yang meyakini keqadiman alam dan kekalnya alam atau ragu dalam masalah ini seperti aliran sebagian para filsuf dan golongan Dahriyyah .”

Al Imam as-Subki menegaskan:

ﺍﻋْﻠَﻢْ ﺃَﻥَّ ﺣُﻜْﻢَ ﺍﻟْﺠَﻮَﺍﻫِﺮِ ﻭَﺍﻷَﻋْﺮَﺍﺽِ ﻛُﻠِّﻬَﺎ ﺍﻟْﺤُﺪُﻭْﺙُ، ﻓَﺈِﺫًﺍ ﺍﻟﻌَﺎﻟَﻢُ ﻛُﻠُّﻪُ ﺣَﺎﺩِﺙٌ، ﻭَﻋَﻠَﻰ ﻫﺬَﺍ ﺇِﺟْﻤَﺎﻉُ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﺑَﻞْ ﻭَﻛُﻞِّ ﺍﻟْﻤِﻠَﻞِ، ﻭَﻣَﻦْ ﺧَﺎﻟَﻒَ ﻓِﻲ ﺫﻟِﻚَ ﻓَﻬُﻮَ ﻛَﺎﻓِﺮٌ ﻟِﻤُﺨَﺎﻟَﻔَﺔِ ﺍﻹِﺟْﻤَﺎﻉِ ﺍﻟﻘَﻄْﻌِﻲِّ .

“Ketahuilah bahwa hukum Jawahir dan A’radl semuanya adalah huduts, jadi alam seluruhnya baharu, hal ini disepakati (ijma’) oleh ummat Islam bahkan semua agama, barang siapa menyalahi dalam masalah ini maka dia telah kafir karena menyalahi ijma’ yang qath’i .”

Hal yang sama ditegaskan oleh al Hafizh Ibn Daqiq al ‘Id, al Hafizh Zaynuddin al ‘Iraqi, al Hafizh Ibnu Hajar dan lainnya.[1]

Al Hafizh az-Zabidi dalam Syarh al Ihya’ menegaskan:

ﻭَﻣِﻦْ ﺫﻟِﻚَ ﻗَﻮْﻟُﻬُﻢْ ﺑِﻘِﺪَﻡِ ﺍﻟﻌَﺎﻟَﻢِ ﻭَﺃَﺯَﻟِﻴَّـﺘِﻪِ، ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﺬْﻫَﺐْ ﺃَﺣَﺪٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﺇِﻟَﻰ ﺷَﻰْﺀٍ ﻣِﻦْ ﺫﻟِﻚَ .

“Di antaranya adalah pendapat para filsuf bahwa alam qadim dan azali, karena sama sekali tidak ada seorang-pun dari ummat Islam yang mengikuti pendapat tersebut”.

******************
Catatan masih panjang, buka link berikut https://m.facebook.com/notes/aqidah-ahlussunnah-allah-ada-tanpa-tempat/catatan-6-membongkar-kesesatan-ahmad-ibn-taimiyah-imam-wahabi/609991869017726

******************
on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
(Catatan 7) Membongkar Kesesatan Ahmad Ibn Taimiyah; Imam Wahabi
******************

Ibnu Taimiyah meyakini berlakunya sifat-sifat baharu bagi Allah. ( Muwafaqah Sharih al Ma’qul Li Shahih al Manqul 1/64, 142, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah 1/210, 224, Majmu’ al Fatawa 6/299,
Majmu’ah Tafsir hal. 309, 312-314)
******************

Bantahan:

Al Imam Abu al Muzhaffar al Asfarayini menegaskan:[1]

" ﻫُﻮَ ﺃَﻥْ ﺗَﻌْﻠَﻢَ ﺃَﻥَّ ﺍﻟْﺤَﻮَﺍﺩِﺙَ ﻻَ ﻳَﺠُﻮْﺯُ ﺣُﻠُﻮْﻟُﻬَﺎ ﻓِﻲ ﺫَﺍﺗِـﻪِ ﻭَﺻِﻔَﺎﺗِـﻪِ ﻷَﻥَّ ﻣَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻣَﺤَﻼًّ ﻟِﻠْﺤَﻮَﺍﺩِﺙِ ﻟَﻢْ ﻳَﺨْﻞُ ﻣِﻨْﻬَﺎ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻟَﻢْ ﻳَﺨْﻞُ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻣُﺤْﺪَﺛًﺎ ﻣِﺜْﻠَﻬَﺎ ،
ﻭَﻟِﻬﺬَﺍ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﺨَﻠِﻴْﻞُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓُ ﻭَﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ : ﻓَﻠَﻤَّﺂ ﺃَﻓَﻞَ ﻗَﺎﻝَ ﻵﺃُﺣِﺐُّ ﺍْﻷَﻓِﻠِﻴﻦَ ‏[ ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ 76: ‏] ﺑَﻴَّﻦَ ﺑِﻪِ ﺃَﻥَّ ﻣَﻦْ ﺣَﻞِّ ﺑِﻪِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﻌَﺎﻧِﻲ ﻣَﺎ ﻳُﻐَﻴِّﺮُﻩُ ﻣِﻦْ ﺣَﺎﻝٍ ﺇِﻟَﻰ ﺣَﺎﻝٍ ﻛَﺎﻥَ ﻣُﺤْﺪَﺛًﺎ ﻻَ ﻳَﺼِﺢُّ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮْﻥَ ﺇِﻟـﻬًﺎ .”

“ Yaitu engkau mesti tahu bahwa sesuatu yang baharu (makhluk) mustahil bertempat pada Dzat dan sifat-sifat-Nya, karena sesuatu yang menjadi tempat perkara-perkara baharu tidak akan pernah sepi (kosong) darinya, dan jika tidak pernah terlepas darinya maka ia baharu seperti halnya perkara-perkara tersebut, oleh karenanya al Khalil Ibrahim ‘alayhissalam berkata: “Aku tidak meyakini sebagai tuhan perkara-perkara yang terbenam.” Al Khalil menegaskan bahwa perkara yang berlaku padanya sesuatu yang merubahnya dari satu keadaan ke keadaan lain maka ia baharu dan tidak sah menjadi tuhan".

Az-Zarkasyi dalam Tasynif al Masa-mi’ menegaskan:

ﻭَﻗَﺪْ ﺑَﺮْﻫَﻦَ ﺍﻷَﺋِﻤَّﺔُ ﻋَﻠَﻰ ﺣُﺪُﻭْﺛِﻪِ ﺍﻟﺒَﺮَﺍﻫِﻴْﻦَ ﺍﻟﻘَﺎﻃِﻌَﺔَ، ﻭَﻣِﻨْﻬَﺎ ﺃَﻧَّﻪُ ﻳَﺘَﻐَﻴَّﺮُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺼِّﻔَﺎﺕُ ﻭَﻳَﺨْﺮُﺝُ ﻣِﻦْ ﺣَﺎﻝٍ ﺇِﻟَﻰ ﺣَﺎﻝٍ ﻭَﻫُﻮَ ﺀَﺍﻳَـﺔُ ﺍﻟْﺤُﺪُﻭْﺙِ، ﻭَﺍﻗْﺘَـﻔَﻮْﺍ ﻓِﻲ ﺫﻟِﻚَ ﻃَﺮِﻳْﻘَﺔَ ﺍﻟْﺨَﻠِﻴْﻞِ ﺻَﻠَﻮَﺍﺕُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺳَﻤَّﺎﻫَﺎ ﺣُﺠَّﺔً ﻭَﺃَﺛْﻨَﻰ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ، ﻓَﺎﺳْﺘَﺪَﻝَّ ﺑِﺄُﻓُﻮْﻝِ ﺍﻟﻜَﻮَﺍﻛِﺐِ ﻭَﺷُﺮُﻭْﻗِﻬَﺎ ﻭَﺯَﻭَﺍﻟِﻬَﺎ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻋْﺘِﺪَﺍﻟِﻬَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺣُﺪُﻭْﺛِﻬَﺎ، ﻭَﺍﺳْﺘَﺪَﻝَّ ﺑِﺤُﺪُﻭْﺙِ ﺍﻵﻓِﻞِ ﻋَﻠَﻰ ﻭُﺟُﻮْﺩِ ﺍﻟْﻤُﺤْﺪِﺙِ، ﻭَﺍﻟْﺤُﻜْﻢُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺴَّﻤﻮَﺍﺕِ ﻭَﺍﻷَﺭْﺽِ ﺑِﺤُﻜْﻢِ ﺍﻟﻨَّـﻴِّﺮَﺍﺕِ ﺍﻟﺜَّﻼَﺙِ ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟْﺤُﺪُﻭْﺙُ ﻃَﺮْﺩًﺍ ﻟِﻠﺪَّﻟِﻴْﻞِ ﻓِﻲ ﻛُﻞِّ ﻣَﺎ ﻫُﻮَ ﻣَﺪْﻟُﻮْﻟُﻪُ ﻟِﺘَﺴَﺎﻭِﻳْﻬَﺎ ﻓِﻲ ﻋِﻠَّﺔِ ﺍﻟْﺤُﺪُﻭْﺙِ ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟْﺠِﺴْﻤَﺎﻧِﻴَّﺔُ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻭَﺟَﺐَ ﺍﻟﻘَﻀَﺎﺀُ ﺑِﺤُﺪُﻭْﺙِ ﺟِﺴْﻢٍ ﻣِﻦْ ﺣَﻴْﺚُ ﺇِﻧَّﻪُ ﺟِﺴْﻢٌ ﻭَﺟَﺐَ ﺍﻟﻘَﻀَﺎﺀُ ﺑِﺤُﺪُﻭْﺙِ ﻛُﻞِّ ﺟِﺴْﻢٍ ﻭَﻫﺬَﺍ ﻫُﻮَ ﺍﻟْﻤَﻘْﺼُﻮْﺩُ ﻣِﻦْ ﻃَﺮْﺩِ ﺍﻟﺪَّﻟِﻴْﻞِ .

“Para ulama telah membuktikan kebaharuan alam dengan bukti-bukti yang qath’i, di antaranya bahwa alam itu berlaku baginya sifat-sifat yang berubah dan berganti keadaannya dari satu keadaan ke keadaan lain dan itu adalah ciri kebaharuan (kemakhlukan). Dalam hal ini mereka mengikuti metode al Khalil Ibrahim –Shalawatullah ‘alayhi-, karena Allah menamakan metode tersebut sebagai hujjah dan Allah memujinya. Al Khalil berdalil dengan terbenam dan terbitnya bintang-bintang dan tergelincirnya bintang setelah sebelumnya tegak bahwa itu semua menunjukan bahwa bintang-bintang tersebut baharu, dan ketika sesuatu yang terbenam itu baharu berarti ada yang memunculkannya. Ini berarti bahwa status langit dan bumi sama dengan bintang, bulan dan matahari tersebut yaitu sama-sama baharu, sebagai bentuk berlakunya dalil tersebut pada semua madlulnya karena langit, bumi, bintang, bulan dan matahari sama alasan kebaharuannya, yaitu kebendaannya (masing-masing sama-sama memiliki ukuran), jadi wajib diputuskan jika setiap jism pasti baharu dari sisi bahwa ia jisim maka wajib dikatakan bahwa setiap jisim itu baharu, inilah yang dimaksud Thard ad-Dalil (pemberlakuan secara konsisten terhadap dalil pada semua cakupannya)”.

******************
Catatan masih panjang, buka link ini https://m.facebook.com/notes/aqidah-ahlussunnah-allah-ada-tanpa-tempat/catatan-7-membongkar-kesesatan-ahmad-ibn-taimiyah-imam-wahabi/609993482350898

******************
******************
Join us on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
Ahli hadits terkemuka di daratan Maroko, al-Muhaddits al-Ghumari (w 1413 H), dalam Qashash al-Anbiya'; ALLAH ADA TEMPAT
******************

Ahli hadits terkemuka di daratan Maroko, asy-Syaikh al-‘Allâmah al-Muhaddits Abdullah ibn Muhammad ibn ash-Shiddiq al-Ghumari (w 1413 H) dalam karyanya berjudul Qashash al-Anbiyâ’ menuliskan sebagai berikut:

" ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺷﻰﺀ ﻏﻴﺮﻩ، ﻓﻠﻢ ﻳﻜﻦ ﺯﻣﺎﻥ ﻭﻻ ﻣﻜﺎﻥ ﻭﻻ ﻗﻄﺮ ﻭﻻ ﺃﻭﺍﻥ، ﻭﻻ ﻋﺮﺵ ﻭﻻ ﻣﻠﻚ، ﻭﻻ ﻛﻮﻛﺐ ﻭﻻ ﻓﻠﻚ، ﺛﻢ ﺍﻭﺟﺪ ﺍﻟﻌﺎﻟﻢ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺍﺣﺘﻴﺎﺝ ﺇﻟﻴﻪ، ﻭﻟﻮ ﺷﺎﺀ ﻣﺎ ﺃﻭﺟﺪﻩ . ﻓﻬﺬﺍ ﺍﻟﻌﺎﻟﻢ ﻛﻠﻪ ﺑﻤﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺟﻮﺍﻫﺮ ﻭﺃﻋﺮﺍﺽ ﺣﺎﺩﺙ ﻋﻦ ﻋﺪﻡ، ﻟﻴﺲ ﻓﻴﻪ ﺷﺎﺋﺒﺔ ﻣﻦ ﻗِﺪﻡ، ﺣﺴﺒﻤﺎ ﺍﻗﺘﻀﺘﻪ ﻗﻀﺎﻳﺎ ﺍﻟﻌﻘﻮﻝ، ﻭﺃﻳﺪﺗﻪ ﺩﻻﺋﻞ ﺍﻟﻨﻘﻮﻝ، ﻭﺃﺟﻤﻊ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻤِﻠِّﻴُّﻮْﻥ ﻗﺎﻃﺒﺔ ﺇﻻ ﺷُﺬﺍﺫﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﻔﻼﺳﻔﺔ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﺑﻘﺪﻡ ﺍﻟﻌﺎﻟﻢ، ﻭﻫﻢ ﻛﻔﺎﺭ ﺑﻼ ﻧﺰﺍﻉ "

“Allah ada tanpa permulaan dan tidak ada suatu apapun selain-Nya, tidak ada waktu, tidak ada tempat, tidak ada arah, tidak ada zaman, tidak ada arsy, tidak ada Malaikat, tidak ada bintang-bintang, dan tidak ada cakrawala. Kemudian Allah menciptakan alam ini tanpa sedikitpun Dia membutuhkan kepadanya. Jika Allah berkehendak untuk tidak menciptakannya maka alam ini tidak akan pernah ada. Dengan demikian alam ini dengan segala sesuatu yang ada padanya dari segala benda dan sifat benda adalah makhluk Allah, semua itu baharu; ada dari tidak ada. Tidak ada sedikitpun dari bagian alam tersebut memiliki sifat Qidam (tidak bermula) sebagaimana perkara ini telah ditetapkan oleh oleh argumen-argumen akal sehat dan dalil-dali syara’ yang kuat. Kecuali kelompok kecil saja yaitu kaum filsafat yang mengatakan bahwa alam ini qadim; tidak memiliki permulaan. Dan mereka yang berpendapat demikian adalah orang-orang kafir sebagimana telah disepakati di kalangan ulama haq tanpa ada perbedaan pendapat sedikitpun di antara mereka” (Qashash al-Anbiyâ’, h. 11).
Imam Ibnu Hibban (w 354 H) berkeyakinan ALLAH ADA TANPA TEMPAT
******************

Al-Hâfizh al-Imâm Muhammad ibn Hibban (w 354 H), penulis kitab hadits yang sangat mashur; Shahîh Ibn Hibbân , dalam pembukaan salah satu kitab karyanya; at-Tsiqât, menuliskan sebagai berikut:

" ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﺍﻟﺬﻱ ﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﺣﺪ ﻣﺤﺪﻭﺩ ﻓﻴﺤﺘﻮﻯ، ﻭﻻ ﻟﻪ ﺃﺟﻞ ﻣﻌﺪﻭﺩ ﻓﻴﻔﻨﻰ، ﻭﻻ ﻳﺤﻴﻂ ﺑﻪ ﺟﻮﺍﻣﻊ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻭﻻ ﻳﺸﺘﻤﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﺗﻮﺍﺗﺮ ﺍﻟﺰﻣﺎﻥ "

“Segala puji bagi Allah, Dzat yang bukan merupakan benda yang memiliki ukuran. Dia tidak terikat oleh hitungan waktu maka Dia tidak punah. Dia tidak diliputi oleh semua arah dan tempat. Dan Dia tidak terikat oleh perubahan zaman” (at-Tsiqât, j. 1, h. 1).

Dalam kitab yang lain Ibn Hibban menuliskan:

" ﻛﺎﻥ - ﺍﻟﻠﻪ - ﻭﻻ ﺯﻣﺎﻥ ﻭﻻ ﻣﻜﺎﻥ "

“Allah ada tanpa permulaan, Allah ada sebelum ada tempat dan waktu” (Shahîh Ibn Hibbân, j. 8, h. 4).

******************
******************
Join us on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
(Catatan 8) Membongkar Kesesatan Ahmad Ibn Taimiyah; Imam Wahabi
******************
Ibnu Taimiyah meyakini bahwa Allah adalah jism.
(Syarh Hadits an-Nuzul hal. 80, Muwafaqah Sharih al Ma’qul Li Shahih al Manqul 1/162, 148, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah 1/197, 180, 204, Majmu’ al Fatawa 4/152, Bayan Talbis al Jahmiyyah 1/101)
******************
Bantahan:
Al Imam Abu Hanifah dalam al Fiqh al Akbar menyatakan:

ﻭَﻫُﻮَ ﺷَﻰْﺀٌ ﻻَ ﻛَﺎﻷَﺷْﻴَﺎﺀِ، ﻭَﻣَﻌْﻨَﻰ ﺍﻟﺸَّﻰْﺀِ ﺇِﺛْـﺒَﺎﺗُـﻪُ ﺑِﻼَ ﺟِﺴْﻢٍ ﻭَﻻَ ﺟَﻮْﻫَﺮٍ ﻭَﻻَ ﻋَﺮَﺽٍ، ﻭَﻻَ ﺣَﺪَّ ﻟَـﻪُ ﻭَﻻَ ﺿِﺪَّ ﻟَﻪُ ﻭَﻻَ ﻧِﺪَّ ﻟَﻪُ ﻭَﻻَ ﻣِﺜْﻞَ ﻟَﻪُ .

“Allah adalah sesuatu yang ada tapi tidak seperti semua yang ada, makna syai’ adalah menetapkan adanya Allah tanpa berupa jism, jauhar dan ‘aradl, tidak berlaku hadd bagi-Nya, tidak ada lawan, bandingan dan serupa bagi-Nya .”

Al Imam asy-Syafi’i menegaskan:[1]

ﺍَﻟْﻤُﺠَﺴِّﻢُ ﻛَﺎﻓِﺮٌ .

“al Mujassim (orang yang meyakini bahwa Allah adalah jism) maka ia telah keluar dari Islam .”

Al Imam Abu al Fadll Abdul Wahid ibn Abdul Aziz at-Tamimi al Baghdadi menegaskan:[2]

ﻭَﺃَﻧْﻜَﺮَ ﺃَﺣْﻤَﺪُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦْ ﻳَﻘُﻮْﻝُ ﺑِﺎﻟْﺠِﺴْﻢِ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺇِﻥَّ ﺍﻷَﺳْﻤَﺎﺀَ ﻣَﺄْﺧُﻮْﺫَﺓٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺸَّﺮِﻳْﻌَﺔِ ﻭَﺍﻟﻠُّﻐَﺔِ، ﻭَﺃَﻫْﻞُ ﺍﻟﻠُّﻐَﺔِ ﻭَﺿَﻌُﻮْﺍ ﻫﺬَﺍ ﺍﻻﺳْﻢَ ﻋَﻠَﻰ ﺫِﻱْ ﻃُﻮْﻝٍ ﻭَﻋَﺮْﺽٍ ﻭَﺳَﻤْﻚٍ ﻭَﺗَﺮْﻛِﻴْﺐٍ ﻭَﺻُﻮْﺭَﺓٍ ﻭَﺗَﺄْﻟِﻴْﻒٍ ﻭَﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﺧَﺎﺭِﺝٌ ﻋَﻦْ ﺫﻟِﻚَ ﻛُﻠِّﻪِ، ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﺠُﺰْ ﺃَﻥْ ﻳُﺴَﻤَّﻰ ﺟِﺴْﻤًﺎ ﻟِﺨُﺮُﻭْﺟِﻪِ ﻋَﻦْ ﻣَﻌْﻨَﻰ ﺍﻟْﺠِﺴْﻤِﻴَّﺔِ، ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﺠِﺊْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺸَّﺮِﻳْﻌَﺔِ ﺫﻟِﻚَ ﻓَﺒَﻄَﻞَ .

“Ahmad mengingkari orang yang mengatakan bahwa Allah adalah jism, Ahmad menegaskan bahwa nama-nama itu diambil dari syari’at dan bahasa, ahli bahasa membuat nama ini (jism) untuk sesuatu yang memiliki panjang, lebar, tebal, ketersusunan, rupa dan gambar serta keterbentukan, dan Allah maha suci dari itu semua maka Allah tidak boleh dinamakan jism karena Allah maha suci dari semua makna-makna kejisiman tersebut, dan penamaan Allah dengan jism tidak ada dalam syari’at sehingga batil-lah penamaan tersebut”.

Imam Ahmad bin Hanbal juga berkata:

ﻣَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺟِﺴْﻢٌ ﻻَ ﻛَﺎﻷَﺟْﺴَﺎﻡِ ﻛَﻔَﺮَ .

“Orang yang berkata bahwa Allah adalah benda yang tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir” (Riwayat al Hafizh Badruddin az-Zarkasyi dalam Tasyniif al Masaami’ ).

Para ulama pendiri madzhab empat sepakat untuk menafikan bahwa Allah jism sebagaimana ditegaskan oleh al Qarafi, Ibnu Hajar al Haytami dan lainnya.[3]

Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam kitabnya an-Nawadir menegaskan:

ﻣَﻦْ ﺍﻋْﺘَﻘَﺪَ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺟِﺴْﻢٌ ﻓَﻬُﻮَ ﻏَﻴْﺮُ ﻋَﺎﺭِﻑٍ ﺑِﺮَﺑِّـﻪِ ﻭَﺇِﻧَّـﻪُ ﻛَﺎﻓِﺮٌ ﺑِـﻪِ .

“Barang siapa meyakini bahwa Allah adalah jism maka ia tidak mengenal tuhannya dan kafir terhadap-Nya .”

Al Kamal Ibnu al Humam menyatakan:[4]

ﻣَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺟِﺴْﻢٌ ﻻَ ﻛَﺎﻷَﺟْﺴَﺎﻡِ ﻛَﻔَﺮَ .

“Orang yang berkata bahwa Allah adalah benda yang tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir.”
Pernyataan yang sama juga ditegaskan oleh al A-midi dalam al Mana-ih , Ibnu Balban ad-Dimasyqi al Hanbali dalam Mukhtasar al Ifa-dat (hal. 490), Syaikhul Azhar Syekh Salim al Bisyri, Syekh Salamah al Qudla’i dalam
Furqan al Qur’an (hal.100) dan lainnya.

Catatan Kaki
[1] Al Hafizh as-Suyuthi, al Asybah Wa an-Nazha-ir , hal. 273.
[2] Abu al Fadll at-Tamimi, I’tiqad al Imam al Mubajjal Ahmad ibn Hanbal, hal.7-8. Pernyataan Imam Ahmad ini juga disebutkan oleh al Bayhaqi dalam Manaqib Ahmad dan lainnya.
[3] Lihat Ibnu Hajar al Haytami asy-Syafi’i, al Minhaj al Qawim , hal.64.
[4] Al Kamal ibnu al Humam, Fath al Qadir , bab al Imamah, jilid I.
******************

******************
Join us on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
Kaedah2 untuk memahami makna bid'ah. Lengkap, catatan panjang. Baca yg sabar dan teliti. bermanfaat in sya Allah.
******************

Al-Imam asy-Syafi’i berkata :

ﺍﻟْﻤُﺤْﺪَﺛَﺎﺕُ ﻣِﻦَ ﺍْﻷُﻣُﻮْﺭِ ﺿَﺮْﺑَﺎﻥِ : ﺃَﺣَﺪُﻫُﻤَﺎ : ﻣَﺎ ﺃُﺣْﺪِﺙَ ِﻣﻤَّﺎ ﻳُﺨَﺎﻟـِﻒُ ﻛِﺘَﺎﺑًﺎ ﺃَﻭْ ﺳُﻨَّﺔً ﺃَﻭْ ﺃَﺛﺮًﺍ ﺃَﻭْ ﺇِﺟْﻤَﺎﻋًﺎ ، ﻓﻬَﺬِﻩِ ﺍْﻟﺒِﺪْﻋَﺔُ ﺍﻟﻀَّﻼَﻟـَﺔُ، ﻭَﺍﻟﺜَّﺎﻧِﻴَﺔُ : ﻣَﺎ ﺃُﺣْﺪِﺙَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻻَ ﺧِﻼَﻑَ ﻓِﻴْﻪِ ﻟِﻮَﺍﺣِﺪٍ ﻣِﻦْ ﻫﺬﺍ ، ﻭَﻫَﺬِﻩِ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٌ ﻏَﻴْﺮُ ﻣَﺬْﻣُﻮْﻣَﺔٍ ‏( ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲّ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ " ﻣﻨﺎﻗﺐ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲّ )

“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).

******************
catatan lengkap buka link berikut https://mobile.facebook.com/note.php?note_id=112546762095575&_rdc=1&_rdr

******************
******************
Join us on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh