Tauhid Corner
563 subscribers
90 photos
38 videos
6 files
770 links
Catatan Teologi Islam Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah

https://linktr.ee/tauhidcorner
Download Telegram
Karena dengan selalu berbuat ketaatan-ketaatan kepada-Nya maka setiap makhluk akan semakin tinggi kemuliaan dan derajatnya bagi Allah.

Kemudian dari pada itu, sesungguhnya para Malaikat hanya mengatur dalam perkara-perkara tertentu saja. Seperti mengatur hujan, angin, tumbuh-tumbuhan atau lainnya. Artinya bahwa para Malaikat tidak mengatur segala sesuatu secara mutlak. Karena pengaturan terhadap segala sesuatu secara mutlak hanya milik Allah saja. Inilah di antara makna yang dimaksud oleh salah satu nama Allah “al-Qayyum”. Artinya, hanya Allah yang mengatur secara mutlakakan segala urusan makhluk-makhluk-Nya. Karena itu, pengaturan para Malaikat terhadap perkara-perkara tertentu tersebut berada dibawah kemutlakan pengaturan dan pengawasan Allah.

Kemudian para Malaikat tersebut oleh Allah diberi kemampuan untuk beralih rupa menjadi bentuk laki-laki yang tampan, tetapi tanpa alat kelamin. Namun mereka tidak akan menjelma menjadi perempuan, atau bentuk-bentuk yang buruk. Selain itu, Allah juga memberi mereka kekuatan yang sangat dahsyat. Tentang Malaikat Jibril, misalkan dinyatakan dalam al-Qur’an:

ذِيْ قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي العَرْشِ مَكِيْن (التكوير:20)

“(Dia Jibril) yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai derajat yang agung menurut Allah”. (QS at-Takwir: 20)

Malaikat Jibril ini dengan hanya satu helai sayapnya pernah mengangkat empat atau lima kota dengan seluruh penduduk yang ada di dalamnya, yaitu kota kaum Nabi Luth. Beliau mengangkat seluruh kota-kota tersebut beserta isinya sampai jauh tinggi hingga mendekati langit pertama, kemudian beliau membalikannya, menjadikan arah bawahnya sebagai arah atas. Semua ini beliau lakukan tanpa rasa lelah dan tanpa kesulitan. Serta masih banyak contoh-contoh lainnya.

Kaedah Penting

Seseorang tidak dibenarkan mancaci maki para Malaikat Allah, baik Malaikat ‘Izra-il maupun Malaikat lainnya. Menghina, merendahkan, melecehkan para Malaikat dapat mengakibatkan kufur, keluar dari Islam (Riddah). Karena seluruh para Malaikat Allah adalah hamba-hamba yang senantiasa saleh dan bertaqwa kepada-Nya. Mereka semua adalah para kekasih Allah (Auliya’ Allah,Ahbab Allah). Seorang muslim yang dicintai oleh Allah adalah yang mencintai para Malaikat-Nya dengan setulus hati, tidak seperti orang-orang Yahudi yang membenci dan memusuhi para Malaikat tersebut.

Semoga Allah menggolongkan kita sebagai hamba-hambanya yang saleh bersama para Nabi-Nya, para Malaikat-Nya dan parawali-Nya. Amin
_
#freetoshare

Follow medsos kami
https://linktr.ee/tauhidcorner
@tauhidcorner | Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!

Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
IMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH
(Bagian 1 / 4) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

Di antara Ushul al-Iman al-Sittah, setelah iman kepada Allah dan iman kepada Malaikat adalah iman kepada kitab-kitab-Nya. Iman kepada kitab-kitab Allah artinya mempercayai dan membenarkan bahwa Allah telah menurunkan beberapa Kitab sebagai wahyu kepada beberapa orang Nabi-Nya. Didalam hal ini, tidak ada keterlibatan, baik dari Nabi yang bersangkutan maupun dari para Malaikat, dalam penyusunan kalimat-kalimat maupun makna-makna bagi kitab-kitab tersebut.

Jumlah kitab-kitab Samawi yang diturunkan kepada para Nabi Allah adalah sebanyak 104 kitab. Sebanyak 50 kitab diantaranya diturunkan kepada Nabi Syits. Beliau adalah putra Nabi Adam yang diangkat oleh Allah sebagai Nabi dan Rasul setelah Nabi Adam wafat. Sebanyak 30 kitab diturunkan kepada Nabi Idris, 10 kitab kepada Nabi Ibrahim, 10 kitab kepada Nabi Musa sebelum diturunkan kitab at-Taurat, kemudian kitab at-Taurat kepada beliau, kitab az-Zabur kepada Nabi Dawud, kitab al-Injil kepada Nabi ‘Isa dan kitab al-Qur’an di turunkan kepada Nabi akhir zaman, Nabi Muhammad.

Adapun para Rasul yang tidak diturunkan kitab-kitab kepada mereka, Allah menurunkan bagi mereka ash-Shuhuf (lembaran-lembaran). Wahb ibn Munabbih, salah seorang ulama kaum Yahudi yang masuk Islam setelah Rasulullah wafat, berkata: “Aku telah membaca tujuh puluh kitab dari kitab-kitab yang telah diturunkan oleh Allah”.

Seluruh para Nabi dan para Rasul Allah menyerukan ajaran tauhid. Menyerukan bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Dan agama seluruh para Nabi tersebut hanya satu, yaitu agama Islam. Semua Nabi tersebut menyeru hanya kepada agama yang satu ini. Tentang hal ini Rasulullah bersabda:

الأنْبِيَاءُ إخْوَةٌلِعَلاَّتٍ دِيْنُهُمْ وَاحِدٌ وَأمَّهَاتُهُمْ شَتَّى (رَوَاهُ الشَّيْخَانِ وَأحْمَدُ وَابْنُ حِبَّانَ وَغَيْرُهُمْ)

“Para Nabi (ibarat) saudara seayah, -artinya- agama mereka satu, dan ibu-ibu mereka (artinya syari’at-syari’at mereka) berbeda-beda”. (HR. al-Bukhari, Muslim, Ahmad ibn Hanbal, Ibn Hibban dan lainnya).

Al-Qur’an adalah kitab terakhir yang di turunkan. Ia adalah kitab yang membawahi kitab-kitab sebelumnya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah QS. al-Ma’idah: 48. Artinya bahwa al-Qur’an menetapkan kebenaran isi kitab-kitab sebelumnya, sekaigus menjelaskan penyelewengan isi dan perubahan lafazh yang dilakukan oleh sebagian orang terhadap kitab-kitab terdahulu tersebut.

Al-Qur’an, tidak seperti kitab-kitab sebelumnya yang telah banyak mengalami penyelewengan-penyelewengan pada isi (makna) dan perubahan-perubahan pada lafazh (at-Tahrif Wa at-tabdil). Kemurnian dan kebenaran al-Qur’an selalu terjaga. Hal ini sebagaimana dijanjikan Allah dalam firman-Nya:

إنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذّكْرَ وَإنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ (الحجر:9)

“Sesungguhnya Kami (Allah) yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami (pula) yang menjaganya”. (QS. al-Hijr: 9)

Adapun kitab at-Taurat dan al-Injil yang sekarang beredar, keduanya telah banyak mengalami penyelewengan makna-makna dan perubahan lafazh-lafazhnya. Orang-orang Yahudi pada awal mulanya hanya merubah dan menyelewengkan makna kitab at-Taurat, tapi pada akhirnya mereka juga merubah dan menyelewengkan lafazh-lafazhnya. Allah berfirman:

فَوَيْلٌ لِلًّذِيْنَ يَكْتُبُوْنَ الكِتَابَ بِأيْدِيْهِمْ ثُمَّ يَقُوْلُوْنَ هَذِهِ مِنْ عِنْدِ اللهِ لِيَشْتَرُوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيْلاً فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أيْدِيْهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُوْنَ (البَقَرَةُ:79)

“Maka celaka besar bagi orang-orang yang menulis at-Taurat dengan tangan mereka sendiri lalu mereka menyatakan: “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka celaka besar bagi mereka akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri dan celaka besar bagi mereka akibat dari apa yang mereka kerjakan”. (QS. al-Baqarah: 79)
Seperti halnya kitab at-Taurat, isi kitab al-Injil-pun telah diselewengkan oleh kaum Nashrani. Hal ini telah dibuktikan dengan banyaknya versi kitab Injil yang beredar. Versi yang satu tidak sama dengan versi lainnya. Bahkan saringkali ditemukan antara satu versi atausatu cetakan bertentangan dalam banyak hal dengan versi atau cetakan lainnya. Kitab-kitab al-Injil yang beragam versi ini antara lain, Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, Injil Yohana dan Injil Barnabas.
_
#freetoshare

Follow medsos kami
https://linktr.ee/tauhidcorner
@tauhidcorner Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!

Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
*IMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH*
(Bagian 2 / 4) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

Perlu diketahui bahwa para pengikut Nabi Musa dan Nabi ‘Isa adalah orang-orang Islam, sebagaimana juga para pengikut Nabi-nabi lainnya. Adapun kaum Yahudi dinamakan dengan “Yahudi” adalah karena setelah beberapa orang pengikut Nabi Musa menyembah anak sapi yang dibuat dari emas oleh seorang bernama Musa as-Samiri, maka Nabi Musa sangat marah kepada mereka karena telah menyembah selain Allah. Kemudian Nabi Musa memilih tujuh puluh orang dari pengikutnya tersebut untuk melakukan tadharr’u (berserahdiri) kepada Allah. Lalu Nabi Musa dengan kepasrahannya yang total kepada Allah berkata:

إنَّا هُدْنَا إلَيْكَ (الأعْرَافُ:156)

“… sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepadaEngkau”. (QS. al-A’raf: 156)

Dengan demikian asal nama “Yahudi” diambil dari perkataan Nabi Musa: “Hudna”, yang artinya kami kembali, artinya kami bertaubat.

Sementara kaum Nashrani dinamakan dengan “Nashrani” adalah karena orang-orang muslim dari pengikut Nabi ‘Isa dahulu merupakan orang-orang yang membela Nabi ‘Isa dalam menegakan agama Islam yang dibawa olehnya (Anshar ‘Isa). Tentang hal ini Allah berfirman:

فلَمَّا أحَسَّ عِيْسَى مِنْ هُمُ الكُفْرَ قَالَ مَنْ أنْصَارِيْ إلىَ اللهِ قالَ الحَوَارِيُّوْنَ نَحْنُ أنْصَارُ اللهِ ءَامَنَّا بِاللهِ وَاشْهَدْ بِأنَّا مُسْلِمُوْنَ (ءَالِ عِمْرَانَ: 52)

“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran Bani Israil, ia berkata: Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah? Para sahabat setianya (al-Hawariyyun) menjawab: Kami adalah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah dan saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Islam”. (QS. Ali ‘Imran: 52).

Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa parapengikut Nabi Musa dahulu yang mendapat sebutan nama Yahudi dan pengikut Nabi ‘Isa dahulu yang mendapat sebutan nama Nashrani, bahwa pada awal mulanya mereka adalah orang-orang Islam. Yaitu ketika mereka masih setia mengikuti ajaran-ajaran Islam yang dibawa Nabi Musa dan Nabi ‘Isa sendiri. Hanya saja beberapa ratus tahun kemudian setelah Nabi Musa wafat, dan setelah nama Yahudi melekat pada diri mereka, banyak dari mereka yang kemudian menyeleweng dari ajaran-ajaran Nabi Musa sendiri.

Demikian pula yang terjadi dengan pengikut Nabi ‘Isa. Setelah lewat sekitar 300 tahun dari diangkatnya beliau oleh Allah ke langit, banyak dari para pengikut Nabi ‘Isa tersebut yang dengan menyandang nama Nashrani telah menyeleweng dari ajaran Nabi ‘Isa sendiri. Dan persisnya, setelah sekitar 500 tahun kemudian orang-orang yang mengaku sebagai pengikut Nabi ‘Isa ini semuanya telah menyeleweng dari ajaran yang dibawa Nabi ‘Isa. Tidak ada seorangpun diantara mereka yang mengikuti ajaran Nabi ‘Isa dengan benar. Karenanya, setelah lewat 500 tahun tersebut tidak ada seorang pun dari mereka yang muslim.

Maka sebelum kemudian Nabi Muhammad diutus oleh Allah sebagai Rasul, secara praktis saat itu tidak ada lagi seorang muslim di atas mukabumi ini. Dengan demikian pengikut murni Nabi Musa yang mendapat sebutan Yahudi dan pengikut murni Nabi ‘Isa yang mendapat sebutan Nashrani sebenarnya mereka adalah orang-orang Islam. Hanya saja ketika sebagian dari mereka atau generasi-generasi setelah mereka menjadi orang-orang kafir kepada Allah, sebutan tersebut masih melekat pada mereka hingga mereka lebih dikenal dengan nama Yahudi dan Nashrani. Karena itu, Ahl al-Kitab, yaitu orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashrani yang mengaku sebagai pengikut ajaran kitab at-Taurat dan kitab al-Injil namun mereka menyeleweng dari keduanya, mereka semua adalah orang-orang yang kafir kepada Allah. Tentang hal ini Allah berfirman:

يَا أهْلَ الكِتَابِ لِمَ تَكْفُرُوْنَ بِآيَاتِ اللهِ وَأنْتُمْ تَشْهَدُوْنَ (ءَالِ عِمْرَانَ:70)

“Wahai Ahl al-Kitab (Yahudi dan Nashrani), mengapa kalian kufur (mengingkari) ayat-ayat Allah, padahal kalian mengetahui (kebenarannya)”. (QS. Ali ‘Imran: 70)
Dalam beberapa kitab tentang sejarah hidup Rasulullah (Sirah Nabawiyyah) diterangkan bahwa Rasulullah menyeru Ahl al-Kitab untuk masuk ke dalam Islam. Ini artinya bahwa mereka adalah orang-orang kafir, karena Rasulullah tidak akan mengajak orang-orang Islam untuk masuk ke dalam Islam kembali. Rasulullah bersabda:

مَا مِنْ يَهُوْدِيٍّ وَلاَ نَصْرَانِيٍّ يَسْمَعُ بِيْ ثُمَّ لاَ يُؤْمِنُ بِيْ وَبِمَا جِئْتُ بِهِ إلاَّ كَانَ مِنْ أصْحَابِ النَّارِ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)

“Tidaklah seorang Yahudi dan Nashrani yang telah mendengar tentang Aku kemudian tidak beriman kepadaku dan kepada (ajaran) yang aku bawa, kecuali ia akan tergolong penduduk neraka”. (HR. Muslim)
_
#freetoshare

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa _share_ jika tulisan ini bermanfaat!*

Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
IMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH
(Bagian 3 / 4) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

Al-Qur’an Kalam Allah

Ketika kita katakan: “al-Qur’an Kalam Allah”, maka dalam pemaknaannya terdapat dua pengertian:

Pertama: al-Qur’an dalam pengertian lafazh-lafazh yang diturunkan (al-Lafzh al-Munazzal), yang ditulis dengan tinta di antara lebaran-lembaran kertas (al-Maktub Bain al-Masha-hif), yang dibaca dengan lisan (al-Maqru’ Bi al-Lisan), dan dihapalkan didalam hati (al-Mahfuzh Fi ash-Shudur). al-Qur’an dalam pengertian ini maka tentunya ia berupa bahasa Arab, tersusun dari huruf-huruf, serta berupa suara saat dibaca.

Kedua: al-Qur’an dalam pengertian Kalam Allah ad-Dzati. Artinya dalam pengertian salah satu sifat Allah yang wajib kita yakini, yaitu sifat al-Kalam. Sifat Kalam Allah ini, sebagaimana seluruh sifat-sifat Allah lainnya, tidak menyerupai makhluk-Nya. Sifat Kalam Allah tanpa permulaan dan tanpa penghabisan, serta tidak menyerupai sifat kalam yang ada pada makhluk. Sifat kalam pada makhluk berupa huruf-huruf, suara dan bahasa. Adapun Kalam Allah bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa.

Al-Qur’an dalam pengertian pertama (al-Lafzh al-Munazzal) maka ia adalah makhluk. Dan al-Qur’an dalam pengertian yang kedua (al-Kalam adz-Dzati) maka jelas ia bukan makhluk. Namun demikian, al-Qur’an baik dalam pengertian pertama maupun dalam pengertian kedua tetap disebut “Kalam Allah”. Kita tidak boleh mengucapkan secara mutlak; “al-Qur’an Makhluk”. Sebab pengertian al-Qur’an ada dua; dalam pengertian al-Lafzh al-Munazzal dan dalam pengertian al-Kalam adz-Dzati, sebagaimana di atas.

Al-Qur’an dalam pengertian pertama adalah sebagai ungkapan dari sifat Kalam Allah adz-Dzati. Maka al-Qur’an yang berupa kitab yang kita baca dan kita hafalkan, tersusun dari huruf-huruf, dan dalam bentuk bahasa Arab, bukan sebagai Kalam Allah al-Dzati (sifat Kalam Allah), melainkan kitabtersebut adalah ungkapan (‘Ibarah) dari Kalam Allah al-Dzati yang bukansuara, bukan huruf-huruf, dan bukan bahasa.

https://linktr.ee/tauhidcorner

Sebagai pendekatan, apabila kita menulis lafazh “Allah” di papan tulis, maka hal itu bukan berarti bahwa “Allah” yang berupa tulisan itu Tuhan yang kita sembah. Melainkan lafazh atau tulisan “Allah” tersebut hanya sebagai ungkapan (‘Ibarah) bagi adanya Tuhan yang wajib kita sembah, yang bernama “Allah”. Demikian pula dengan “al-Qur’an”, ia disebut “Kalam Allah” bukan dalam pengertian bahwa itulah sifat Kalam Allah; berupa huruf-huruf, dan dalam bahasa Arab. Tetapi al-Qur’an yang dalam bentuk huruf-huruf dan dalam bentuk bahasa Arab tersebut adalah sebagai ungkapan dari sifat Kalam Allah adz-Dzati.

Dengan demikian harus dibedakan antara al-Lafzh al-Munazzal dan al-Kalam adz-Dzati. Sebab apa bila tidak dibedakan antara dua perkara ini, maka setiap orang yang mendengar bacaan al-Qur’an akan mendapatkan gelar “Kalimullah” sebagaimana Nabi Musa yang telah mendapat gelar “Kalimullah”. Tentu hal ini menjadi rancu dan tidak dapat diterima. Padahal, Nabi Musa mendapat gelar “Kalimullah” adalah karena beliau pernah mendengar al-Kalam adz-Dzati yang bukan berupa huruf, bukan suara dan bukan bahasa. Dan seandainya setiap orang yang mendengar bacaan al-Qur’an mendapat gelar “Kalimullah” seperti gelar Nabi Musa, maka berarti tidak ada keistimewaan sama sekali bagi Nabi Musa yang telah mendapatkan gelar “Kalimullah” tersebut.

Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّه (التوبة: 6)

“Dan apa bila seseorang dari orang-orang musyrik meminta perlidungan darimu (wahai Muhammad) maka lindungilah ia hingga ia mendengar Kalam Allah”. (QS. at-Taubah: 6)

Dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk memberikan perlidungan kepada seorang musyrik kafir yang diburu oleh kaumnya, jika memang orang musyrik ini meminta perlindungan darinya. Artinya, Orang musyrik ini diberi keamanan untuk hidup di kalangan orang-orang Islam hingga ia mendengar Kalam Allah.
Setelah orang musyrik ini diberi keamanan dan mendengar Kalam Allah, namun ternyata ia tidak masuk Islam, maka ia dikembalikan ke wilayah tempat tinggalnya.

Kemudian, yang dimaksud bahwa orang musyrik tersebut “mendengar Kalam Allah” adalah mendengar bacaan kitab al-Qur’an yang berupa lafazh-lafazh dalam bentuk bahasa Arab (al-Lafzh al-Munazzal), bukan dalam pengertian mendengar al-Kalam adz-Dzati. Sebab jika yang dimaksud mendengar al-Kalam adz-Dzati maka berarti sama saja antara orang musyrik tersebut dengan Nabi Musa yang telah mendapatkan gelar “Kalimullah”. Dan bila demikian maka berarti orang musyrik tersebut juga mendaptkan gelar “Kalimullah”, persis seperti Nabi Musa. Tentunya hal ini tidak bisa dibenarkan.
_
#freetoshare

Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!

Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
IMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH
(Bagian 4 / 4) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

Diantara dalil lainnya yang menguatkan bahwa al-Kalam adz-Dzati bukan berupa huruf-huruf, bukan suara, dan bukan bahasa adalah firman Allah:

وَهُوَ أسْرَعُ الحَاسِبِيْنَ (الأنْعَامُ:62)

“… dan Dia Allah yang menghisab paling cepat”. (QS.al-An’am: 62)

Pada hari kiamat kelak, Allah akan menghisab seluruh hamba-Nya dari bangsa manusia dan jin. Allah akan memperdengarkan kalam-Nya kepada setiap orang dari mereka. Dan mereka akan memahami dari kalam Allah tersebut pertanyaan-pertanyaan tentang segala apa yang telah mereka kerjakan, segala apa yang mereka katakan, dan apa yang mereka yakini ketika mereka hidup di dunia. Rasulullah bersabda:

مَا مِنْكُمْ مِنُ أحَدٍ إلاَّ سَيُكَلِّمُهُ رَبُّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تُرْجُمَانُ (رَوَاهُ البُخَارِيُّ)

“Setiap orang akan Allah perdengarkan Kalam-Nya kepadanya (menghisabnya) pada hari kiamat, tidak ada penerjemah antara dia dengan Allah”. (HR. al-Bukhari)

Allah akan menghisab seluruh hamba-Nya dalam waktu yang sangat singkat. Seandainya Allah menghisab mereka dengan suara, susunan huruf, dan dengan bahasa, maka Allah akan membutuhkan waktu beratus-ratus ribu tahun untuk menyelesaikan hisab tersebut, karena makhluk Allah sangat banyak. Kaum Ya’juj dan Ma’juj saja jumlah mereka 100 kalilipat dari jumlah seluruh manusia, bahkan dalam satu riwayat disebutkan jumlah mereka 1000 kali lipat dari jumlah manusia. Belum lagi bangsa jin yang sebagian mereka hidup hingga ribuan tahun. Manusia sendiri, sebelum umat Nabi Muhammad ada yang mencapai umurnya hingga 2000 tahun, ada yang berumur hingga 1000 tahun, dan ada pula yang hanya 100 tahun. Kelak mereka semua akan dihisab, bukan hanya dalam urusan perkataan atau ucapan saja, tapi juga menyangkut segala perbuatan dan keyakinan-keyakinan mereka. Seandainya Kalam Allah berupa suara, huruf, dan bahasa maka dalam menghisab semua makhluk tersebut Allah akan membutuhkan kepada waktu yang sangat panjang. Karena dalam penggunaan huruf-huruf dan bahasa jelas membutuhkan kepada waktu. Huruf berganti huruf, kemudian kata menyusul kata, dan demikian seterusnya. Dan bila demikian maka maka berarti Allah bukan sebagai Asra’ al-Hasibin (Penghisab yang paling cepat), tapi sebaliknya; Abtha’ al-Hasibin (Penghisab yang paling lambat). Tentunya hal ini mustahil bagi Allah.

Dalam ayat lain Allah berfirman:

إنَّمَا أمْرُهُ إذَا أرَادَ شَيْئًا أنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ (يس: 82)

Maknanya ayat ini bukan berarti bahwa setiap Allah berkehendak menciptakan sesuatu, maka dia berkata: “Kun”, dengan huruf “Kaf” dan “Nun” yang artinya “Jadilah…!”. Karena seandainya setiap berkehendak menciptakan sesuatu Allah harus berkata “Kun”, maka dalam setiap saat perbuatan-Nya tidak ada yang lain kecuali hanya berkata-kata: “kun, kun, kun…”. Hal ini tentu mustahil atas Allah. Karena sesungguhnya dalam waktu yang sesaat saja bagi kita, Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu yang tidak terhitung jumlanya. Deburan ombak di lautan, rontoknya dedaunan, tetesan air hujan, tumbuhnya tunas-tunas, kelahiran bayi manusia, kelahiran anak hewan dari induknya, letusan gunung, sakitnya manusia dan kematiannya, serta berbagai peristiwa lainnya, semua itu adalah hal-hal yang telah dikehendaki Allah dan merupakan ciptaan-Nya. Semua perkara tersebut bagi kita terjadi dalam hitungan yang sangat singkat, bisa terjadi secara beruntun bahkan bersamaan.

Adapun sifat perbuatan Allah sendiri (Shifat al-Fi’il) tidak terikat oleh waktu. Allah menciptakan segala sesuatu, sifat perbuatan-Nya atau sifat menciptakan-Nya tersebut tidak boleh dikatakan “dimasa lampau”, “di masa sekarang”, atau “di masa mendatang”. Sebab perbuatan Allah itu azali, tidak seperti perbuatan makhluk yang baharu. Perbuatan Allah tidak terikat oleh waktu, dan tidak dengan mempergunakan alat-alat. Benar, segala kejadian yang terjadi pada alam ini semuanya baharu, semuanya diciptakan oleh Allah, namun sifat perbuatan Allah atau sifat menciptakan Allah (Shifat al-Fi’il) tidak boleh dikatakan baharu.
Kemudian dari pada itu, kata “Kun” adalah bahasa Arab yang merupakan ciptaan Allah (al-Makhluk). Sedangkan Allah adalah Pencipta (Khaliq) bagi segala bahasa. Maka bagaimana mungkin Allah sebagai al-Khaliq membutuhkan kepada ciptaan-Nya sendiri (al-Makhluq)?! Seandainya Kalam Allah merupakan bahasa, tersusun dari huruf-huruf, dan merupakan suara, maka berarti sebelum Allah menciptakan bahasa Dia diam; tidak memiliki sifat Kalam, dan Allah baru memiliki sifat Kalam setelah Dia menciptakan bahasa-bahasa tersebut. Bila seperti ini maka berarti Allah baharu, persis seperti makhluk-Nya, karena Dia berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Tentu hal seperti ini mustahil atas Allah.

Dengan demikian makna yang benar dari ayat dalam QS. Yasin: 82 diatas adalah sebagai ungkapan bahwa Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu tanpa lelah, tanpa kesulitan, dan tanpa ada siapapun yang dapat menghalangi-Nya. Dengan kata lain, bahwa bagi Allah sangat mudah untuk menciptakan segala sesuatu yang Ia kehendaki, sesuatu tersebut dengan cepat akan terjadi, tanpa ada penundaan sedikitpun dari waktu yang Ia kehendakinya.
_
#freetoshare

Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!

Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
Ta'alluq Sifat Qudrah dan Iradah Allah hanya kepada perkara-perkara jaiz 'aqli saja.

Jika ditanya:
Mampukah Allah menciptakan Allah yang lain?

Jawab:
👇🏻👇🏻
https://vt.tiktok.com/ZSYggcfyG/
IMAN DENGAN PARA RASUL ALLAH
(Bagian 1 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

Dalam al-Qur’an Alah berfirman:

ءَامَنَ الرّسُولُ بِمَا أنْزِلَ إلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالمُؤمِنُونَ كُلٌّ ءَامَنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ (البقرة:285)

“Rasulullah (Muhammad) telah beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan kepadanya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya, (mereka mengatakan), kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari Rasul-rasul-Nya”. (QS. al-Baqarah: 285)

Diantara dasar-dasar iman yang enam (Ushul al-Iman as-Sittah) setelah iman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, dan kitab-kitab-Nya adalah iman kepada Rasul-rasul Allah. Iman kepada para Rasul artinya meyakini bahwa Allah telah memilih mereka untuk mengemban tugas kenabian dan menyampaikan misi kerasulan, dan bahwa Allah telah memuliakan mereka dengan wahyu sebagai petunjuk dari-Nya untuk para hamba-Nya, serta meyakini bahwa Allah telah memberikan kepada mereka beberapa kekuatan sebagai mu’jizat sehingga mereka mampu melaksanakan tugas-tugasnya tersebut.

Kemudian yang dimaksud beriman kepada para Rasul Allah artinya mencakup juga beriman kepada para Nabi yang bukan sebagai Rasul. Dengan demikian, iman kepada para Rasul Allah adalah mempercayai utusan-utusan Allah, baik yang sebagai Rasul, maupun yang hanya Nabi saja. Adapun Nabi yang sekaligus sebagai Rasul pertama adalah Adam, dan Nabi serta Rasul terakhir adalah Nabi Muhammad -‘Alaihimash-Shalah Wa as-Salam–.

Para Nabi dan Rasul diutus oleh Allah merupakan karunia dan rahmat dari-Nya bagi para hamba-Nya. Karena dengan akal semata manusia tidak akan mampu mengetahui perkara-perkara yang bisa menyelamatkannya di akhirat kelak. Maka dengan diutusnya para Nabi dan Rasul, menjadi dapat diperoleh maslahat-maslahat yang pokok bagi manusia, karena memang manusia sangat membutuhkan kepada kehadiran para Nabi dan para Rasul.
_
#freetoshare

Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!

Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
Media is too big
VIEW IN TELEGRAM
Aqidah 50 Perkara | Aqidatul Khamsin | Aqidah Seket
IMAN DENGAN PARA RASUL ALLAH
(Bagian 2 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

Kenabian (An-Nubuwwah)

Kata an-Nubuwwah berasal dari kata an-naba’ yang berarti kabar atau berita, karena kenabian adalah penyampaian berita atau pemberitaan dari Allah. Atau kata tersebut berasal dari kata an-Nabwah yang bererti ar-Rif’ah yang berarti ketinggian, karena memang derajat para Nabi sangat tinggi dan mulia. Kerasulan adalah derajat yang paling tinggi dan mulia. Tidak ada derajat amal ibadah, keta’atan, kemuliaan, dan kehormatan menurut Allah yang melebihi diatas kerasulan.

Kenabian tidak dapat diperoleh dengan jalan ibadah yang sungguh-sungguh, dengan memperbanyak amal saleh, maupun dengan memperindah akhlak. Kenabian bukan sesuatu yang bisa diperoleh dengan jalan usaha dan upaya (Ghair Muktasab). Kenabian adalah murni pemilihan dan pemberian Allah kepada beberapa hamba-Nya yang Ia kehendaki. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

يُؤْتِي الحِكْمَةَمَنْ يَشَاءُ (البقرة: 269)

“Allah menganugerahkan al-Hikmah kepada siapa saja yang Ia kehendaki”.(QS. al-Baqarah: 269).

Yang dimaksud al-Hikmah dalam ayat tersebut adalah “an-Nubuwwah Wa ar-Risalah”, artinya kenabian dan kerasulan. Demikian ditafsirkan oleh sahabat ‘Abdullah ibn Mas’ud, sebagaimana dikutip oleh al-Imam Ibn Furak kitab al-Mujarrad.

Para Nabi dan para Rasul pasti lebih sempurna dan lebih unggul dari pada para umat Nabi dan Rasul itu sendiri (Mursal Ilaihim), baik dalam segi kecerdasan, keutamaan, pengetahuan, kesalehan, sifat iffah (kejauhandari maksiat), keberanian, kedermawanan, kezuhudan, dan dalam berbagai hal lainnya. Allah berfirman:

إنَّ اللهَ اصْطَفَى ءَادَمَ وَنُوحًا وَءَالَ إبْرَاهِيْمَ وَءَالَ عِمْرَانَ عَلَى العَالَمِيْنَ (ءال عمران: 33)

“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat”. (QS. Ali Imran: 33)

Nabi tidak ada yang seorang perempuan, atau yang berstatus sebagai budak atau hamba sahaya. Seorang Nabi harus sempurna memiliki panca indra, karena hal ini sangat perlu dalam mengemban tugas risalah dan segala hal yang berkaitan dengannya. Rasulullah bersabda:

مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيًّا إلاّ حَسَنَ الوَجْهِ حََسَنَ الصَّوْتِ وَإنَّ نَبِيَّكُمْ أحْسَنُهُمْ وَجْهًا وَأحْسَنُهُمْ صَوتًا (رَوَاهُ التِّرمذِيُّ)

“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan ia bagus wajahnya, dan indah suaranya, dan sesungguhnya Nabi kalian (Muhammad) adalah yang paling tampan wajahnya dan paling indah suaranya diantara mereka”. (HR. at-Tirmidzi).
_
#freetoshare

Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

Jangan lupa _share_ jika tulisan ini bermanfaat!

Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
Selagi stok masih ada, silahkan pesan bagi yang berminat:

Penjelasan Lengkap Allah Ada Tanpa Tempat dan Tanpa Arah dari Para Ulama Ahlussunah Lintas Masa >>> https://id.shp.ee/pUo4jSA

Shopee : https://shopee.co.id/nurulhikmahpress
WhatsApp : https://wa.me/c/6287878023938
*IMAN DENGAN PARA RASUL ALLAH*
(Bagian 3 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

*Perbedaan Nabi Dan Rasul*

Nabi dan Rasul sama-sama menerima wahyu dari Allah, dan kedua diperintah untuk menyampaikan wahyu tersebut. Artinya, baik Nabi maupun Rasul wajib bertabligh. Adapun perbedaan antara Nabi dan Rasul adalah sebagai berikut:

A. Rasul ialah seorang yang menerima wahyu dari Allah yang menghapus (Nasikh) sebagian hukum-hukum syari’at Rasul sebelumnya, atau ia membawa hukum-hukum yang baru sama sekali. Artinya membawa hukum-hukum yang belum pernah dibawa oleh Rasul-Rasul sebelumnya. Sedangkan seorang Nabi yang bukan Rasul ialah seorang yang menerima wahyu dari Allah dan datang dengan mengikuti syari’at Rasul sebelumnya.

Keduanya, baik Rasul maupun yang Nabi saja wajib bertabligh kepada umat. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:

الأنبيَاءُ إخْوَةٌ لِعَلاّتٍ دِيْنُهُمْ وَاحِدٌ وَأمَّهَاتُهُمْ شَتَّى (رَوَاهُ الشّيْخَان)

“Para nabi (bagaikan) saudara seayah, -artinya- agama mereka satu (yaitu Islam) dan ibu-ibu mereka (artinya syari’at-syari’at mereka) berbeda-beda”. (HR. al-Bukhari, Muslim, Ibn Hibban, Ahmad ibn Hanbal dan lainnya).

https://linktr.ee/tauhidcorner

Contoh perbedaan hukum-hukum syari’at; di dalam syari’at Nabi Ya’qub diperbolehkan seorang laki-laki menikahi dua perempuan bersaudara sekaligus. Sedangkan hal ini diharamkan di dalam syari’at Nabi Muhammad.

B. Kerasulan berlaku di kalangan manusia dan Malaikat, sedangkan kenabian hanya berlaku dikalangan manusia saja. Allah berfirman:

اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ (الحج: 75)

“Allah memilih utusan-utusan-Nya (para Rasul-Nya) dari kalangan Malaikat dan dari kalangan manusia”. (QS. al-Hajj: 75)

Rasuldari kalangan Malaikat di antaranya seperti Jibril. Beliau bertugas untuk menyampaikan perintah-perintah Allah kepada para Malaikat lainnya, di samping manyampaikan wahyu-wahyu Allah kepada para Nabi dan para Rasul dari kalangan manusia.

Seperti halnya para Rasul, para Nabi juga diperintah untuk bertabligh. Artinya diperintah untuk menyampaikan apa yang diwahyukan oleh Allah kepada mereka bagi segenap manusia. Dengan demikian bukan hanya para Rasul saja yang wajib bertabligh, tapi juga para Nabi. Inilah pemahaman yang sesuai dengan nash-nash al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah. Karena di antara hikmah diangkatnya seseorang menjadi Nabi adalah untuk menyebarkan petunjuk yang ia terima kepada umat. Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukan bahwa para Nabi diperintahkan untuk bertabligh. Diantaranya firman Allah:

وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا أَخَذْنَا أَهْلَهَا بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَضَّرَّعُونَ (الأعراف: 94)

“Kami (Allah) tidak-lah mengutus seorang Nabi-pun kepada suatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan Nabi itu) melainkan kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendah kandiri”. (QS al-A’raf: 94)

Makna “al-Irsal” (pengutusan) terhadap seorang Nabi yang disebutkan dalam ayat di atas artinya pengutusan untuk bertabligh dan menyeru kepada segenap umat untuk menyembah Allah.

Dari sini kita dapat tarik kesimpulan bahwa sebagian definisi tentang Nabi dan Rasul yang berkembang di sebagian masyarakat kita, mengatakan: “Seorang Rasul mendapatkan wahyu dan wajib atau diperintah bertabligh, sedangkan seorang Nabi menerima wahyu tetapi tidak diperintah dan tidak wajib untuk bertabligh” adalah definisi yang tidak sejalan dengan nash-nash al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah.

Dalam ayat lain Allahberfirman:

وَكَمْ أَرْسَلْنَا مِنْ نَبِيٍّ فِي الْأَوَّلِينَ، وَمَا يَأْتِيهِمْ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ (الزخرف: 6-7)

“Alangkah banyak Nabi-Nabi yang telah Kami utus kepada umat-umat terdahulu. Dan tidak ada seorang Nabi-pun yang datang kepada mereka kecuali mereka selalu memperolok-oloknya”. (QS. az-Zukhruf: 6-7).
Ayat ini dengan jelas memberikan pemahaman bahwa para Nabi wajib melakukan tabligh. Yaitu wajib menyampaikan apa yang diwahyukan oleh Allah kepada mereka bagi segenap umat. Selain dua ayat ini, masih banyak ayat-ayat lainnya yang menunjukan hal tersebut. Seperti di antaranya dalam QS. al-Hajj: 52, QS. Saba’:34, dan lainnya.

Inilah keterangan tentang perbedaan antara Nabi dan Rasul yang telah ditegaskan oleh para ulama Muhaqqiqin, seperti al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam Kitab Ushuluddin [1], al-Imam al-Baidlawi dalam Tafsir al-Baidlawi [2], al-Imam al-Qunawi dalam Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah [3], al-‘Allamah al-Bayyadli dalam kitab Isyarat al-Maram Min ‘Ibaratal-Imam [4], al-Imam al-Munawi dalam kitab al-Faidl al-Qadir [5], dan oleh para ulama terkemuka lainnya.

Ini adalah pemahaman yang sesuai bagi derajat kenabian. Karena itu kita meyakini sepenuhnya bahwa semua Nabi diperintah untuk mengemban tugas kenabian dan mereka semua telah menunaikan tugas tersebut dengan sangat baik dan sempurna. Bukankah termasuk di antara sifat-saifat para Nabi adalah tabligh?! Bila seorang muslim biasa saja, -yang bukan sebagai Nabi juga bukan seorang Rasul-, telah diwajibkan dan diperintah untuk bertabligh, yaitu mengajak kepada perkara-perkara yang diperintahkan oleh Allah (al-Ma’ruf) dan mencegah dari perkara-perkara yang dilarang oleh Allah (al-Munkar), maka terlebih lagi bagi seorang yang diangkat menjadi Nabi, tentunya kewajiban bertabligh tersebut sudah pasti ada.
_
#freetoshare

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa _share_ jika tulisan ini bermanfaat!*

Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
*IMAN DENGAN PARA RASUL ALLAH*
(Bagian 4 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

*Jumlah Para Nabi Dan Rasul*

Para ulama berbeda pendapat tentang menetapkan jumlah bagi para Nabi dan Rasul, sebagai berikut:

1. Sebagian ulama berpendapat bahwa jumlah para Nabi adalah 124.000 (seratus dua puluh empat ribu) Nabi. Dan sebanyak 313 orang dari jumlah tersebut adalah sekaligus memiliki predikat sebagai Rasul. Keterangan ini berdasarkan kepada sebuah hadits riwayat Ibn Hibban dari sahabat Abu Dzarr, dari Rasulullah.

2. Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa yang benar kita tidak harus memastikan jumlah tertentu bagi jumlah para Nabi tersebut. Karena dengan menentukan jumlah tertentu dikhawatirkan akan memasukkan yang bukan bagian dari mereka, atau sebaliknya, tidak memasukkan yang sebenarnya bagian dari mereka. Adapun hadits riwayat Ibn Hibban di atas menurut pendapat kedua ini adalah hadits yang masih diperselisihkan tentang keshahihannya (Mukhtalaf Fi Shihhatih).

Nabi dan Rasul pertama adalah Nabi Adam, dan Nabi serta Rasul terakhir adalah Nabi Muhammad -‘Alaihim ash-Shalah Wa as-Salam-. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Adam bukan seorang Nabi dan Rasul, atau mengatakan bahwa Adam adalah seorang Nabi saja, bukan seorang Rasul, adalah pendapat sesat dan batil [6].

Secara umum para Rasul lebih utama dari pada Nabi yang bukan Rasul. Ada lima orang Nabi yang paling utama, mereka adalah; Muhammad, Ibrahim, Musa, ‘Isa, dan Nuh. Dan yang paling utama diantara mereka adalah Nabi Muhammad. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa sahabat Abu Hurairah berkata:

خِيَارُ الأنْبِيَاءِ خَمْسَةٌ مُحَمَّدٌ وَإبْرَاهِيْمُ وَمُوْسَى وَعِيْسَى وَنُوْحٌ وَخِيَارُهُمْ مُحَمَّدٌ (صَلّى اللهُ عَليه وسَلّم)

“Para Nabi pilihan (diantara nabi yang lain) adalah Muhammad, Ibrahim, Musa, Isa, Nuh (dengan urutan seperti ini) dan yang paling utama diantara mereka adalah Muhammad”.

Kelima Nabi tersebut dikenal dengan sebutan ‘Ulul ‘Azmi al-Khamsah. Disebut demikian karena mereka telah mencapai puncak kesabaran dan keteguhan dalam memegang teguh ajaran-ajaran Islam dan dalam berdakwah kepadanya. Adapun mengutamakan sebagian Nabi atas sebagian yang lainnya tanpa didasarkan kepada nash-nash yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan hadits maka hal itu tidak dibenarkan.

Kemudian, dua puluh lima Nabi yang disebutkan dalam al-Qur’an kebanyakan mereka adalah sebagai Rasul, dan ada beberapa saja yang bukan Rasul.
__
[6] Sebagian orang dari kaum Wahhabiyyah mengingkari kenabian dan kerasulan Nabi Adam. Mereka mengatakan bahwa Rasul pertama adalah Nuh. Ini adalah pendapat sesat dan menyesatkan. Pendapat ini tertulis dalam buku mereka berjudul “al-Iman Bi al-Anbiya’ Bi Jumlatihim”, h. 15
_
#freetoshare

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa _share_ jika tulisan ini bermanfaat!*

Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
*IMAN DENGAN PARA RASUL ALLAH*
(Bagian 5 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

*Pembenaran Terhadap Semua Nabi Dan Rasul*

Semua Nabi membawa misi pembenaran terhadap semua Nabi-Nabi Allah sebelumnya. Artinya, semua Nabi dan Rasul datang dengan membawa prinsip dan misi yang sama. Yaitu membawa misi mentauhidkan Allah, dan datang dengan membawa satu agama yaitu agama Islam.Nabi Muhammad bukan sebagai Nabi pertama yang membawa agama Islam, melainkan beliau datang untuk memperbaharui dakwah kepada agama Allah tersebut. Karena itu semua Nabi beragama Islam. Nabi Adam seorang muslim, Nabi Ibrahim muslim, Nabi Musa muslim, Nabi ‘Isa muslim, dan seluruh Nabi Allah adalah orang-orang Islam. Perbedaan diantara para Nabi tersebut hanya pada syari’at yang mereka bawa. Tentang hal ini secara eksplisit al-Qur’an menyebutkan:

مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (ءال عمران: 67)

“Ibrahim bukanlah seorang yang memeluk agama orang-orang Yahudi dan Nasrani, melainkania adalah seorang muslim, dan tidak-lah ia termasuk orang-orang yang musyrik”.(QS. Ali ‘Imran: 67)

Atas dasar ini maka kita wajib membenarkan semua para Nabi dan Rasul yang telah diutus oleh Allah. Semua Nabi Allah, yaitu seseorang yang mengaku sebagai Nabi dimasa berlakunya kemungkinan itu yaitu sebelum diutusnya Nabi terakhir; Nabi Muhammad, dibenarkan pengakuannya bila ia menunjukkan mukjizat sebagai bukti kebenarannya, juga mereka semua dibenarkan karena semuanya datang dengan membawa agama Islam. Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi ‘Isa, dan seluruh Nabi lainnya, semuanya wajib dibenarkan sebagai Nabi-Nabi Allah karena semuanya datang dengan membawa agama Islam, yang inti ajarannya adalah mentauhidkan Allah.

Inilah yang dimaksud “persaksian” Nabi Muhammad dan seluruh orang Islam dalam al-Qur’an yang terdapat pada QS. al-Baqarah: 285, yang telah disebutkan pada awal tema ini: “Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya, (mereka mengatakan), kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari Rasul-rasul-Nya”.

Kandungan ayat ini sama sekali bukan merupakan pengakuan, pembenaran, atau legitimasi bagi apa yang diyakini oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani di masa sekarang. Karena mereka telah menyelewengkan agama Islam dan ajara-ajaran yang telah dibawa oleh Nabi Musa dan Nabi ‘Isa. Karena itu, menyatukan agama Yahudi, agama Nasrani dan agama Islam di dalam satu rumpun, sebagai “Agama Monotheisme”, atau sebagai agama-agama yang menyeru kepada mentauhidkan Allah, adalah pendapat yang sama sekali tidak berdasar. Karena pada kenyataannnya hanya agama Islam saja yang masih murni dan konsisten menyeru kepada mentuhidkan Allah.

Dengan demikian tidak boleh dikatakan bahwa agama samawi ada tiga; Islam, Yahudi, dan Nasrani. Karena agama samawi hanya satu, yaitu agama Islam. Tidak boleh kita mengatakan “al-Adyan as-Samawiyyah” (agama-agama samawi), tetapi yang benar adalah “ad-Dinas-Samawi”, karena hanya agama Islam agama yang diridlai oleh Allah dan dibawa oleh seluruh Nabi dan para Rasul-Nya.
_
#freetoshare

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
https://linktr.ee/tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa _share_ jika tulisan ini bermanfaat!*

Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
*Kabar Gembira Bagi Kaum Asy'ariyyah dari Rasulullah | Firman Allah QS. Al Ma’idah: 54*

Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآَئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَآءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (المائدة: 54)

Maknanya:
*“Wahai sekalian orang beriman barangsiapa di antara kalian murtad dari agamanya, maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah, mereka adalah orang-orang yang lemah lembut kepada sesama orang mukmin dan sangat kuat -ditakuti- oleh orang-orang kafir. Mereka berjihad dijalan Allah, dan mereka tidak takut terhadap cacian orang yang mencaci”. (QS. Al-Ma’idah: 54).*

Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa ketika turun ayat ini, *Rasulullah memberitakannya sambil menepuk pundak sahabat Abu Musa al-Asy’ari, seraya bersabda: “Mereka (kaum tersebut) adalah kaum orang ini!!”*. *Dari hadits ini para ulama menyimpulkan bahwa kaum yang dipuji dalam ayat di atas tidak lain adalah kaum Asy’ariyyah, karena sahabat Abu Musa al-Asy’ari adalah moyang dari al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari,* sebagaimana telah kita tulis dalam biografi ringkas al-Imâm Abu al-Hasan sendiri.

Dalam penafsiran firman Allah di atas: *“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah....”* (QS. Al-Ma’idah: 54), al-Imâm Mujahid berkata: *“Mereka adalah kaum dari negeri Saba’ (Yaman)”*. Kemudian al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî menambahkan: *“Dan orang-orang Asy’ariyyah adalah kaum yang berasal dari negeri Saba’”*[1].

Penafsiran ayat di atas bahwa kaum yang dicintai Allah dan mencintai Allah tersebut adalah kaum Asy’ariyyah telah dinyatakan pula oleh para ulama terkemuka dari para ahli hadits. Lebih dari cukup bagi kita bahwa hal itu telah dinyatakan oleh orang sekelas al-Imâm al-Hâfizh Ibn Asakir dalam kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî. Beliau adalah seorang ahli hadits terkemuka (Afdlal al-Muhaditsîn) di seluruh daratan Syam pada masanya. Al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah menuliskan: “Ibn Asakir adalah termasuk orang-orang pilihan dari umat ini, baik dalam ilmunya, agamanya, maupun dalam hafalannya. Setelah al-Imâm ad-Daraquthni tidak ada lagi orang yang sangat kuat dalam hafalan selain Ibn Asakir. Semua orang sepakat dalam hal ini, baik mereka yang sejalan dengan Ibn Asakir sendiri, atau mereka yang memusuhinya”[2].

Lebih dari pada itu Ibn Asakir sendiri dalam kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî telah mengutip pernyataan para ulama hadits terkemuka (Huffâzh al-Hadîts) sebelumnya yang telah menafsirkan ayat tersebut demikian, di antaranya ahli hadits terkemuka al-Imâm al-Hâfizh Abu Bakar al-Bayhaqi penulis kitab Sunan al-Bayhaqi dan berbagai karya besar lainnya.

Al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî menuliskan pernyataan al-Imâm al-Bayhaqi dengan sanad-nya dari Yahya ibn Fadlillah al-Umari, dari Makky ibn Allan, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami al-Hâfizh Abu al-Qasim ad-Damasyqi, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Syaikh Abu Abdillah Muhammad ibn al-Fadl al-Furawy, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami al-Hâfizh Abu Bakar Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Bayhaqi, bahwa ia (al-Bayhaqi) berkata:

“Sesungguhnya sebagian para Imam kaum Asy’ariyyah -semoga Allah merahmati mereka- mengingatkanku dengan sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Iyadl al-Asy’ari, bahwa ketika turun firman Allah: (Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah) QS. Al-Ma’idah: 54, Rasulullah kemudian berisyarat kepada sahabat Abu Musa al-Asy’ari, seraya berkata: “Mereka adalah kaum orang ini”. Dalam hadits ini terdapat isyarat akan keutamaan dan derajat mulia bagi al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, karena tidak lain beliau adalah berasal dari kaum dan keturunan sahabat Abu Musa al-Asy’ari.
Mereka adalah kaum yang diberi karunia ilmu dan pemahaman yang benar. Lebih khusus lagi mereka adalah kaum yang memiliki kekuatan dalam membela sunah-sunnah Rasulullah dan memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka memiliki dalil-dalil yang kuat dalam memerangi bebagai kebatilan dan kesesatan. Dengan demikian pujian dalam ayat di atas terhadap kaum Asy’ariyyah, bahwa mereka kaum yang dicintai Allah dan mencintai Allah, adalah karena telah terbukti bahwa akidah yang mereka yakini sebagai akidah yang hak, dan bahwa ajaran agama yang mereka bawa sebagai ajaran yang benar, serta terbukti bahwa mereka adalah kaum yang memiliki kayakinan yang sangat kuat. Maka siapapun yang di dalam akidahnya mengikuti ajaran-ajaran mereka, artinya dalam konsep meniadakan keserupaan Allah dengan segala makhluk-Nya, dan dalam metode memegang teguh al-Qur’an dan Sunnah, sesuai dan sejalan dengan faham-faham Asy’ariyyah maka ia berarti termasuk dari golongan mereka”[3].

https://linktr.ee/tauhidcorner

Al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah mengomentari pernyataan al-Imâm al-Bayhaqi di atas, berkata:

“Kita katakan; -tanpa kita memastikan bahwa ini benar-benar maksud Rasulullah-, bahwa *ketika Rasulullah menepuk punggung sahabat Abu Musa al-Asy’ari, sebagaimana dalam hadits di atas, seakan beliau sudah mengisyaratkan akan adanya kabar gembira bahwa kelak akan lahir dari keturunannya yang ke sembilan al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Sesungguhnya Rasulullah itu dalam setiap ucapannya terdapat berbagai isyarat yang tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang yang mendapat karunia petunjuk Allah. Dan mereka itu adalah orang yang kuat dalam ilmu (ar-Râsikhûn Fi al-‘Ilm) dan memiliki mata hati yang cerah.* Firman Allah: “Seorang yang oleh Allah tidak dijadikan petunjuk baginya, maka sama sekali ia tidak akan mendapatkan petunjuk” (QS. An-Nur: 40)”[4].

*---Catatan Kaki---*
[1] Thabaqât asy-Syafi’iyyah, j. 3, h. 364 mengutip dari Tabyîn Kadzib al-Muftarî.
[2] Ibid.
[3] Tabyîn Kadzib al-Mufarî, h. 49-50. Tulisan Ibn Asakir ini dikutip pula oleh Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 3, h. 362-363
[4] Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 3, h. 363

_______
#freetoshare
Follow medsos kami @tauhidcorner
https://linktr.ee/tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube
Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!
Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk