Bolehkah Mengucapkan Selamat Datangnya Bulan Ramadhan?
Ramadhan sebentar lagi tiba. Tentunya kita bergembira akan hal ini. Lalu, apakah boleh kita mengucapkan selamat datangnya bulan Ramadhan? Berikut keterangannya.
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi ﷺ bersabda:
قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ يُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَيُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ
“Sungguh telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Allah mewajibkan puasa atas kalian di dalamnya. Pada bulan ini dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka dan dibelenggu setan-setan. Di dalam bulan ini ada sebuah malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang tercegah dari kebaikannya, maka sungguh dia tercegah untuk mendapatkannya.” (HR Ahmad, 12/59; Nasai 4/129. Syaikh Al-Albani berkata: “Hadits Shahih Lighairih”. Lihat Shahih at-Targhib, 1/490, Tamamul Minnah hal.395 keduanya oleh Syaikh Al-Albani rahimahullaah).
Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullaah berkata:
“Sebagian ulama mengatakan, hadits ini adalah dalil bolehnya mengucapkan selamat antara sebagian manusia kepada yang lain berhubungan dengan datangnya bulan Ramadhan. Bagaimana mungkin seorang mukmin tidak bergembira dengan dibukanya pintu surga? Bagaimana tidak bergembira orang yang berbuat dosa dengan ditutupnya pintu neraka? Bagaimana mungkin orang yang berakal tidak bergembira dengan suatu waktu yang saat itu setan dibelenggu, waktu mana yang bisa menyerupai waktu semacam ini?” (Lathaaiful Ma’aarif , hal. 279).
Al-‘Allaamah Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullaah (mantan mufti Kerajaan Saudi Arabia) mengatakan,
رمضان شهر، عظيم شهر مبارك يفرح به المسلمون، وكان النبي ﷺ وأصحابه يفرحون به، وكان النبي ﷺ يبشر أصحابه بذلك، فإذا فرح به المسلمون واستبشروا به وهنأ بعضهم بعضاً في ذلك فلا حرج في ذلك، كما فعله السلف الصالح؛ لأنه شهر عظيم ومبارك، يفرح به لما فيه من تكفير السيئات وحط الخطايا والمسابقة إلى الخيرات في أعمال صالحات أخرى
“Bulan Ramadhan, bulan yang agung yang penuh berkah, yang kaum muslimin bergembira dengannya. Nabi ﷺ dan para sahabat, mereka bergembira dengan kedatangannya. Nabi ﷺ menyampaikan kabar gembira kepada para sahabat akan datangnya bulan Ramadhan. Maka jika kaum muslimin bergembira dan saling menyampaikan kabar gembira ini kepada yang lainnya maka tidak apa-apa. Sebagaimana perbuatan para Salafush Shaleh. Karena Ramadhan adalah bulan yang agung dan berkah. Bergembira dengan kedatangannya, karena di dalamnya dosa-dosa dan kesalahan dihapus, dan berlomba-lomba melakukan kebaikan dalam amal-amal shaleh lainnya. (Lihat https://binbaz.org.sa/fatwas/4784/حكم-التهنىة-بقدوم-رمضان)
Baca selengkapnyha di https://sunnahedu.com/2019/05/05/bolehkah-mengucapkan-selamat-datangnya-bulan-ramadhan/
Ramadhan sebentar lagi tiba. Tentunya kita bergembira akan hal ini. Lalu, apakah boleh kita mengucapkan selamat datangnya bulan Ramadhan? Berikut keterangannya.
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi ﷺ bersabda:
قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ يُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَيُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ
“Sungguh telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Allah mewajibkan puasa atas kalian di dalamnya. Pada bulan ini dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka dan dibelenggu setan-setan. Di dalam bulan ini ada sebuah malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang tercegah dari kebaikannya, maka sungguh dia tercegah untuk mendapatkannya.” (HR Ahmad, 12/59; Nasai 4/129. Syaikh Al-Albani berkata: “Hadits Shahih Lighairih”. Lihat Shahih at-Targhib, 1/490, Tamamul Minnah hal.395 keduanya oleh Syaikh Al-Albani rahimahullaah).
Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullaah berkata:
“Sebagian ulama mengatakan, hadits ini adalah dalil bolehnya mengucapkan selamat antara sebagian manusia kepada yang lain berhubungan dengan datangnya bulan Ramadhan. Bagaimana mungkin seorang mukmin tidak bergembira dengan dibukanya pintu surga? Bagaimana tidak bergembira orang yang berbuat dosa dengan ditutupnya pintu neraka? Bagaimana mungkin orang yang berakal tidak bergembira dengan suatu waktu yang saat itu setan dibelenggu, waktu mana yang bisa menyerupai waktu semacam ini?” (Lathaaiful Ma’aarif , hal. 279).
Al-‘Allaamah Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullaah (mantan mufti Kerajaan Saudi Arabia) mengatakan,
رمضان شهر، عظيم شهر مبارك يفرح به المسلمون، وكان النبي ﷺ وأصحابه يفرحون به، وكان النبي ﷺ يبشر أصحابه بذلك، فإذا فرح به المسلمون واستبشروا به وهنأ بعضهم بعضاً في ذلك فلا حرج في ذلك، كما فعله السلف الصالح؛ لأنه شهر عظيم ومبارك، يفرح به لما فيه من تكفير السيئات وحط الخطايا والمسابقة إلى الخيرات في أعمال صالحات أخرى
“Bulan Ramadhan, bulan yang agung yang penuh berkah, yang kaum muslimin bergembira dengannya. Nabi ﷺ dan para sahabat, mereka bergembira dengan kedatangannya. Nabi ﷺ menyampaikan kabar gembira kepada para sahabat akan datangnya bulan Ramadhan. Maka jika kaum muslimin bergembira dan saling menyampaikan kabar gembira ini kepada yang lainnya maka tidak apa-apa. Sebagaimana perbuatan para Salafush Shaleh. Karena Ramadhan adalah bulan yang agung dan berkah. Bergembira dengan kedatangannya, karena di dalamnya dosa-dosa dan kesalahan dihapus, dan berlomba-lomba melakukan kebaikan dalam amal-amal shaleh lainnya. (Lihat https://binbaz.org.sa/fatwas/4784/حكم-التهنىة-بقدوم-رمضان)
Baca selengkapnyha di https://sunnahedu.com/2019/05/05/bolehkah-mengucapkan-selamat-datangnya-bulan-ramadhan/
TINGKATAN PUASA MENURUT IMAM AL GHAZALI
Hujjatul Islam Abu Hamid Al Ghazali rahimahullaaah adalah nama yang tidak asing lagi bagi kita. Seorang tokoh sufi; ahli dalam bidang ushul fiqih dan filsafat; bermazhab Syafi’iyah dalam fikih, Asy’ariyah dalam aqidah. Salah satu karyanya yang fenomenal adalah kitab Al Ihya
Terlepas dari kekurangan yang ada, kitabnya Al Ihya
Saya rasa cukup tiga paragraf untuk menggambarkan penulis dan kitabnya. Sekarang kita masuk kepada pembahasan dalam Kitab Puasa di kitab Al Ihya` tersebut, yakni tentang maraatibush shaum (tingkatan puasa). Hal inipun disebutkan oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisi Al Hambali secara global di Mukhtashar Minhaajul Qashidin hal. 44 terbitan Maktabah Daarul Bayaan, Beirut.
Abu Hamid Al Ghazali rahimahullaah berkata,
اعلم أن الصوم ثلاث درجات: صوم العموم، وصوم الخصوص، وصوم خصوص الخصوص
“Ketahuilah, bahwa puasa itu ada tiga tingkatan (level): puasa umum, puasa khusus, dan puasa yang lebih khusus lagi.”
Lalu beliau memerincinya.
أما صوم العموم فهو كف البطن والفرج عن قضاء الشهوة
“Puasa umum adalah menahan perut (dari makan dan minum) dan kemaluan dari syahwat.”
وأما صوم الخصوص فهو كف السمع والبصر واللسان واليد والرجل وسائر الجوارح عن الآثام
“Puasa khusus adalah (mengerjakan puasa umum di atas) juga menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki, dan semua anggota badan dari berbuat dosa.”
وأما صوم خصوص الخصوص فصوم القلب عن الصفات الدَنِّيَة، والأفكار الدنيوية
وكفه عما سوى الله عز وجل بالكلية
“Puasa yang lebih khusus lagi maksudnya adalah mempuasakan hati dari sifat-sifat hina dan segala pikiran duniawi serta mencegahnya memikirkan segala hal selain Allah.”
Puasa ketiga ini adalah puasa tingkatannya para nabi, shiddiqin, dan muqarabin. Sedangkan puasa kedua adalah puasanya orang-orang shaleh, puasa tingkatan kedua inilah yang seyogyanya kita tuju untuk mencapainya.
Lalu, Imam Al Ghazali rahimahullaah menjelaskan enam hal untuk mencapai puasa tingkatan kedua. Katanya,
وقد ذكر أن صوم الخصوص – وهو صوم الصالحين – إنما يحصل بستة أمور
“Telah disebutkan bahwa puasa khusus itu adalah puasanya orang-orang shaleh. Sesungguhnya ia dapat dicapai dengan enam perkara.”
Baca selengkapnya
https://sunnahedu.com/2019/05/12/tingkatan-puasa-menurut-imam-al-ghazali/
Hujjatul Islam Abu Hamid Al Ghazali rahimahullaaah adalah nama yang tidak asing lagi bagi kita. Seorang tokoh sufi; ahli dalam bidang ushul fiqih dan filsafat; bermazhab Syafi’iyah dalam fikih, Asy’ariyah dalam aqidah. Salah satu karyanya yang fenomenal adalah kitab Al Ihya
‘ulumuddin.
Di dalamnya banyak dikupas tentang masalah zuhud yang bagus sekali hanya saja kitabnya tersebut dipenuhi dengan hadits-hadits yang tidak ada asal-usulnya. Imam As Subki Asy Syafi’i rahimahullaah dalan Ath Thabaqaat Asy Syafi’iyyah juz 6 hal. 287-288 telah mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam Al Ihya
dan menemukan 943 hadits yang tidak diketahui sanadnya. Abu Fadhl Al Iraqi rahimahullah telah mentakhrij hadits-hadits yang ada dalam Al Ihya didapatkan kebanyakan hadits-hadits tersebut berderajat dhaif (lemah) dan maudhu
(palsu) atau tidak ada asalnya dari Rasulullah shallallaahu ‘alahi wa sallam. Hal ini dapat dimaklmui karena Al Ghazali bukanlah seorang ahli hadits, sebab hidupnya ia dermakan untuk filsafat.Terlepas dari kekurangan yang ada, kitabnya Al Ihya
‘Ulumuddin dijadikan sebagai referensi dalam menulis karya yang berkaitan dengan zuhud, tentunya dengan menyaring hadits-hadits dhaif dan maudhu
. Salah satunya ialah Al Imam Jamaluddin Ibnul Jauzi Al Hambali rahimahullaah dengan karyanya Minhaajul Qashidin. Lalu kitab ini diringkas oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisi Al Hambali, diberi judul Mukhtashar Minhaajul Qashidin.Saya rasa cukup tiga paragraf untuk menggambarkan penulis dan kitabnya. Sekarang kita masuk kepada pembahasan dalam Kitab Puasa di kitab Al Ihya` tersebut, yakni tentang maraatibush shaum (tingkatan puasa). Hal inipun disebutkan oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisi Al Hambali secara global di Mukhtashar Minhaajul Qashidin hal. 44 terbitan Maktabah Daarul Bayaan, Beirut.
Abu Hamid Al Ghazali rahimahullaah berkata,
اعلم أن الصوم ثلاث درجات: صوم العموم، وصوم الخصوص، وصوم خصوص الخصوص
“Ketahuilah, bahwa puasa itu ada tiga tingkatan (level): puasa umum, puasa khusus, dan puasa yang lebih khusus lagi.”
Lalu beliau memerincinya.
أما صوم العموم فهو كف البطن والفرج عن قضاء الشهوة
“Puasa umum adalah menahan perut (dari makan dan minum) dan kemaluan dari syahwat.”
وأما صوم الخصوص فهو كف السمع والبصر واللسان واليد والرجل وسائر الجوارح عن الآثام
“Puasa khusus adalah (mengerjakan puasa umum di atas) juga menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki, dan semua anggota badan dari berbuat dosa.”
وأما صوم خصوص الخصوص فصوم القلب عن الصفات الدَنِّيَة، والأفكار الدنيوية
وكفه عما سوى الله عز وجل بالكلية
“Puasa yang lebih khusus lagi maksudnya adalah mempuasakan hati dari sifat-sifat hina dan segala pikiran duniawi serta mencegahnya memikirkan segala hal selain Allah.”
Puasa ketiga ini adalah puasa tingkatannya para nabi, shiddiqin, dan muqarabin. Sedangkan puasa kedua adalah puasanya orang-orang shaleh, puasa tingkatan kedua inilah yang seyogyanya kita tuju untuk mencapainya.
Lalu, Imam Al Ghazali rahimahullaah menjelaskan enam hal untuk mencapai puasa tingkatan kedua. Katanya,
وقد ذكر أن صوم الخصوص – وهو صوم الصالحين – إنما يحصل بستة أمور
“Telah disebutkan bahwa puasa khusus itu adalah puasanya orang-orang shaleh. Sesungguhnya ia dapat dicapai dengan enam perkara.”
Baca selengkapnya
https://sunnahedu.com/2019/05/12/tingkatan-puasa-menurut-imam-al-ghazali/
sunnahedu.com
Tingkatan Puasa Menurut Imam Al Ghazali - sunnahedu.com
“Ketahuilah, bahwa puasa itu ada tiga tingkatan (level): puasa umum, puasa khusus, dan puasa yang lebih khusus lagi.”
"Puasa 6 hari di bulan Syawal, yg utama ialah dikerjakan secara berurutan setelah hari 'Ied. Orang yg berpuasa Ramadhan lalu diikuti puasa 6 hari ini seperti berpuasa selama setahun."
Imam Ibnu Najjar al-Hambali
( _Muntaha Al-Iradat_ 1/163)
Imam Ibnu Najjar al-Hambali
( _Muntaha Al-Iradat_ 1/163)
"Tidak sah puasa 6 hari bulan Syawal sebelum dia mengqodho' puasa Ramadhannya."
Imam Al-Buhuti al-Hambali
( _Syarh Muntaha Al-Iradat_ )
Imam Al-Buhuti al-Hambali
( _Syarh Muntaha Al-Iradat_ )
"Barangsiapa yang memiliki hutang puasa Ramadhan maka dia harus menggantinya di hari-hari lain, sebagaimana Allah berfirman (yang artinya) ' _maka gantilah di hari-hari yang lain_'
Dan disunnahkan untuk menyegerakan qodho puasa Ramadhan. Berurutan (lebih baik). Penulis kitab _Asy-Syarh_ (Syamsuddin Ibnu Qudamah) berkata: 'Kami tidak mengetahui adanya khilaf dalam mengerjakan puasa ini secara berurutan. Dan dihukumi wajibnya oleh Asy-Sya'bi dan An-Nakhai.' Selesai.
Dan tidak mengapa dikerjakan secara terpisah. Telah berkata Al-Bukhari dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar secara marfu': 'Qodho Ramadhan, jika dia mau dikerjakan secara terpisah dan jika dia mau bisa berurutan.' Riwayat Ad-Daruquthni."
Syaikh Ibnu Dhauyaan al-Hambali
( _Manarus Sabil_ 1/228)
Dan disunnahkan untuk menyegerakan qodho puasa Ramadhan. Berurutan (lebih baik). Penulis kitab _Asy-Syarh_ (Syamsuddin Ibnu Qudamah) berkata: 'Kami tidak mengetahui adanya khilaf dalam mengerjakan puasa ini secara berurutan. Dan dihukumi wajibnya oleh Asy-Sya'bi dan An-Nakhai.' Selesai.
Dan tidak mengapa dikerjakan secara terpisah. Telah berkata Al-Bukhari dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar secara marfu': 'Qodho Ramadhan, jika dia mau dikerjakan secara terpisah dan jika dia mau bisa berurutan.' Riwayat Ad-Daruquthni."
Syaikh Ibnu Dhauyaan al-Hambali
( _Manarus Sabil_ 1/228)
AALU QUDAMAH (KELUARGA QUDAMAH)
Sering kita dengar nama Ibnu Qudamah. Kadang sebagian dari kita menganggap sama antara Ibnu Qudamah penulis kitab Al-Mughni dengan Ibnu Qudamah penulis kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin. Padahal keduanya berbeda.
Setidaknya ada tiga orang ulama yang sama-sama dari Aalu (keluarga) Qudamah. Dua telah disebutkan, dan satu lagi penulis kitab 'Umdatul Ahkam.
Yang pertama bernama Abdillah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi al-Hambali, Abu Muhammad. Gelarnya Al-Imam Al-Muwaffaq atau Muwaffaquddin. Masyhur disebut Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah. Lahir di Jamaili, Nablus Palestina tahun 541 H, wafat di Damaskus tahun 620H. Karya-karyanya antara lain: Lum'atul 'Itiqad, Umdatul Fiqh, Al-Muqni, Al-Kaafi, dan Al-Mughni.
Yang kedua bernama Ahmad bin Abdirrahman bin Abi Umar bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi al-Hambali, Abul Abbas. Gelarnya Al-Imam Al-Allaamah Najmuddin. Biasa dikenal dengan Najmuddin Ibnu Qudamah. Lahir tahun 651 H, wafat 689 H. Salah satu karyanya yang terkenal ialah Mukhtashar Minhajul Qashidin.
Adapun yang ketiga bernama Abdul Ghani bin Abdul Wahid bin Ali bin Surur bin Qudamah al-Maqdisi al-Hambali, Abu Muhammad. Gelarnya Taqiyuddin. Biasa dikenal dengan Abdul Ghani al-Maqdisi. Lahir di Jamaili, Nablus Palestina tahun 541 H, wafat di Mesir tahun 600 H. Karya yang terkenal antara lain: Umdatul Ahkam Sughra dan Umdatul Ahkam Kubra.
Ah! Ada satu lagi yang hampir saya lupa. Sama-sama dari Aalu Qudamah juga. Jadi semuanya empat orang.
Yakni Abdirrahman bin Abi Umar Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi al-Hambali, Abul Faraj. Gelarnya Syamsuddin. Lahir tahun 597 H, wafat tahun 682 H. Karyanya yang sering dijadikan rujukan ahli fiqih ialah Syarhul Kabir kitab penjelasan atas Al-Muqni karya Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah.
Well, Aalu Qudamah adalah keluarga para ulama, ilmu dan ahlinya.
Cepu, 5 Syawwal 1440
Abahnya 'Aashim
Sering kita dengar nama Ibnu Qudamah. Kadang sebagian dari kita menganggap sama antara Ibnu Qudamah penulis kitab Al-Mughni dengan Ibnu Qudamah penulis kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin. Padahal keduanya berbeda.
Setidaknya ada tiga orang ulama yang sama-sama dari Aalu (keluarga) Qudamah. Dua telah disebutkan, dan satu lagi penulis kitab 'Umdatul Ahkam.
Yang pertama bernama Abdillah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi al-Hambali, Abu Muhammad. Gelarnya Al-Imam Al-Muwaffaq atau Muwaffaquddin. Masyhur disebut Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah. Lahir di Jamaili, Nablus Palestina tahun 541 H, wafat di Damaskus tahun 620H. Karya-karyanya antara lain: Lum'atul 'Itiqad, Umdatul Fiqh, Al-Muqni, Al-Kaafi, dan Al-Mughni.
Yang kedua bernama Ahmad bin Abdirrahman bin Abi Umar bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi al-Hambali, Abul Abbas. Gelarnya Al-Imam Al-Allaamah Najmuddin. Biasa dikenal dengan Najmuddin Ibnu Qudamah. Lahir tahun 651 H, wafat 689 H. Salah satu karyanya yang terkenal ialah Mukhtashar Minhajul Qashidin.
Adapun yang ketiga bernama Abdul Ghani bin Abdul Wahid bin Ali bin Surur bin Qudamah al-Maqdisi al-Hambali, Abu Muhammad. Gelarnya Taqiyuddin. Biasa dikenal dengan Abdul Ghani al-Maqdisi. Lahir di Jamaili, Nablus Palestina tahun 541 H, wafat di Mesir tahun 600 H. Karya yang terkenal antara lain: Umdatul Ahkam Sughra dan Umdatul Ahkam Kubra.
Ah! Ada satu lagi yang hampir saya lupa. Sama-sama dari Aalu Qudamah juga. Jadi semuanya empat orang.
Yakni Abdirrahman bin Abi Umar Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi al-Hambali, Abul Faraj. Gelarnya Syamsuddin. Lahir tahun 597 H, wafat tahun 682 H. Karyanya yang sering dijadikan rujukan ahli fiqih ialah Syarhul Kabir kitab penjelasan atas Al-Muqni karya Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah.
Well, Aalu Qudamah adalah keluarga para ulama, ilmu dan ahlinya.
Cepu, 5 Syawwal 1440
Abahnya 'Aashim
(Dan) disunnahkan baginya juga (menjadikan keduanya) yakni tangan (diletakkan di bawah pusar). Ali radhiyallaahu 'anhu: 'Termasuk dari sunnah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah pusar.' Riwayat Ahmad dan Abu Dawud. Maknanya ialah sebagai bentuk ketundukan kepada Allah. (Syarh Muntaha Al Iradat, 1/377) #mazhab_hambali #fikih_hambali
KEBAHAGIAAN ITU ...
Kebahagiaan, itulah yang dicari oleh setiap manusia. Dalam rangka mencari kebahagiaan itu, sebagian orang menempuh cara yang tidak diizinkan oleh syariat. Karena dalam kamusnya hanyalah bagaimana agar bisa bahagia, adapun caranya seperti apa itu nomor dua. Tidak ada yang mengekangnya kecuali hawa nafsu yang membara. Tidak ada yang dijadikannya penunjuk jalan, kecuali setanlah penunjuknya. Setan membuatkan tanda-tanda kebahagiaan bagi mereka, padahal fana. Setan menghiasinya seolah itu surga, padahal neraka.
Adapun orang-orang yang beriman, mereka mengetahui tanda-tanda kebahagiaan. Salah satu dari tanda kebahagiaan itu ialah mengikuti petunjuk Rasul-Nya yang mulia dalam setiap perkara kehidupannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah berkata:
“Sesungguhnya tidak ada kebahagiaan bagi seorang hamba, dan tidak ada keselematan di akhirat kecuali dengan mengikuti rasul-Nya,
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهارُ خالِدِينَ فِيها وَذلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (*) وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خالِداً فِيها وَلَهُ عَذابٌ مُهِينٌ
“Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS An-Nisaa
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطاعَ اللَّهَ
“Barang siapa yang menaati rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (QS An-Nisaa` [4]: 80)
وَما أَرْسَلْنا مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ لِيُطاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جاؤُكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّاباً رَحِيماً (*) فَلا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيما شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجاً مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا
Kebahagiaan, itulah yang dicari oleh setiap manusia. Dalam rangka mencari kebahagiaan itu, sebagian orang menempuh cara yang tidak diizinkan oleh syariat. Karena dalam kamusnya hanyalah bagaimana agar bisa bahagia, adapun caranya seperti apa itu nomor dua. Tidak ada yang mengekangnya kecuali hawa nafsu yang membara. Tidak ada yang dijadikannya penunjuk jalan, kecuali setanlah penunjuknya. Setan membuatkan tanda-tanda kebahagiaan bagi mereka, padahal fana. Setan menghiasinya seolah itu surga, padahal neraka.
Adapun orang-orang yang beriman, mereka mengetahui tanda-tanda kebahagiaan. Salah satu dari tanda kebahagiaan itu ialah mengikuti petunjuk Rasul-Nya yang mulia dalam setiap perkara kehidupannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah berkata:
“Sesungguhnya tidak ada kebahagiaan bagi seorang hamba, dan tidak ada keselematan di akhirat kecuali dengan mengikuti rasul-Nya,
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهارُ خالِدِينَ فِيها وَذلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (*) وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خالِداً فِيها وَلَهُ عَذابٌ مُهِينٌ
“Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS An-Nisaa
[4]: 13 – 14)
Maka menaati Allah dan rasul-Nya merupakan poros kebahagiaan yang berlaku atas setiap perkara dan telah pasti bahwa keselamatan itu yang berasal darinya, bukan dari jalan yang menyimpang.”
Lalu beliau melanjutkan, “Allah Ta’aala telah menciptakan makhluk-Nya untuk beribadah kepada-Nya. Sebagaimana Dia berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS Adz-Dzaariyaat [51]: 56)
Yang dimaksud dengan para hamba itu “menyembah-Ku” adalah dengan menaati-Nya dan rasul-Nya. Tidak ada ibadah kecuali apa-apa yang telah diwajibkan atau mustahab dalam agama Allah. Maka selain itu, merupakan penyimpangan dari jalan-Nya.
Oleh karena itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang amalan tersebut tidak di atas perintah kami, maka amalan itu tertolak.” [1] Diriwayatkan di Shahihayni.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda di hadits Al-‘Irbaad bin Saariyah radhiyallaahu ‘anhu yang dirwayatkan oleh Ahlussunan[2] dan dishahihkan oleh At-Tirmidzi.
“Sesungguhnya barangsiapa dari kalian yang hidup sepeninggalku, akan mendapati perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian memegang sunnahku dan sunnah para khalifah setelahku yang mendapatkan petunjuk. Pegang eratlah hal tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dari perkara baru dalam agama. Karena perkara baru dalam agama adalah bid’ah.” [3]
Dan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan selainnya, bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam khutbahnya,
“Sebaik-baik perkataan adalah firman Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuknya Muhammad. Dan seburuk-buruknya suatu perkara adalah perkara yang diadakan-adakan dalam agama. Dan setiap bid’ah itu sesat.”[4]
Katanya lagi, “Allah Ta’aala telah menyebutkan tentang menaati dan mengikuti rasul-Nya di empat puluh tempat dari Al-Qur
an. Seperti firman-Nya Ta’aala,مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطاعَ اللَّهَ
“Barang siapa yang menaati rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (QS An-Nisaa` [4]: 80)
وَما أَرْسَلْنا مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ لِيُطاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جاؤُكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّاباً رَحِيماً (*) فَلا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيما شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجاً مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا
تَسْلِيماً
“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu. lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An-Nisaa
قُلْ إِنْ ضَلَلْتُ فَإِنَّمَا أَضِلُّ عَلَى نَفْسِي وَإِنِ اهْتَدَيْتُ فَبِمَا يُوحِي إِلَيَّ رَبِّي إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ
“Katakanlah, ‘Jika aku sesat, maka sesungguhnya aku sesat atas kemudaratan diriku sendiri; dan jika aku mendapat petunjuk maka itu adalah disebabkan apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Mahadekat.’” (QS Saba
Maka dengan diutusnya Rasulullah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallamterbedakanlah antara kufur dengan iman, keselamatan dengan malapetaka, kesesatan dengan petunjuk, penduduk surga dengan penduduk neraka, dan orang-orang yang bertakwa dengan orang-orang yang berdosa. Dan tampaklah perbedaan antara jalannya orang-orang yang Allah beri nikmat dari kalangan para nabi, shidiqin, syuhada, dan shalihin; dengan jalannya orang-orang yang dimurkai
“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu. lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An-Nisaa
[4]: 64 – 65)
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kalian berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.’” (QS Ali ‘Imraan [3]: 32)
Dan Allah Ta’aala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah, ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian,’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali ‘Imraan [3]: 31)
Maka dijadikannya kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya mewajibkan dia untuk mengikuti rasul-Nya. Dan dijadikannya mengikuti rasul merupakan sebab Allah mencintai seorang hamba. “
Kemudian beliau rahimahullaahu menyampaikan bahwa, “Allah Ta’aalaberfirman,
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS Asy-Syuura [42]: 52)
Allah mewahyukan kepada rasul-Nya (berupa Al-Qur
an), yang dengannya Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari para hamba-Nya. Sebagaimana Allah Ta’aala berfirman,قُلْ إِنْ ضَلَلْتُ فَإِنَّمَا أَضِلُّ عَلَى نَفْسِي وَإِنِ اهْتَدَيْتُ فَبِمَا يُوحِي إِلَيَّ رَبِّي إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ
“Katakanlah, ‘Jika aku sesat, maka sesungguhnya aku sesat atas kemudaratan diriku sendiri; dan jika aku mendapat petunjuk maka itu adalah disebabkan apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Mahadekat.’” (QS Saba
[34]: 50)
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ (*) يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kalian Rasul Kami, menjelaskan kepada kalian banyak dari isi Al-Kitab yang kalian sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (QS Al-Maa
idah [5]: 15 – 16)Maka dengan diutusnya Rasulullah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallamterbedakanlah antara kufur dengan iman, keselamatan dengan malapetaka, kesesatan dengan petunjuk, penduduk surga dengan penduduk neraka, dan orang-orang yang bertakwa dengan orang-orang yang berdosa. Dan tampaklah perbedaan antara jalannya orang-orang yang Allah beri nikmat dari kalangan para nabi, shidiqin, syuhada, dan shalihin; dengan jalannya orang-orang yang dimurkai
👍1
dan sesat.”
Inilah tanda kebahagiaan seseorang. Dengan mengikuti tanda ini, ia akan terbimbing dan selamat di dunia dan di akhirat. Adapun jika ia mengikuti jalan-jalan selain jalan-Nya, tentu setanlah yang akan membimbingnya dan menjerumuskannya ke dalam api neraka.
Ya Allah! Jadikanah kami orang-orang yang senantiasa mengikuti petunjuk rasul-Mu dan berilah kami keistiqamahan di dalamnya. Serta jauhilah kami dari jalan-jalan setan dan para penyerunya. Aamiin.
Selesai disusun sembari menikmati kopi banaran, akhir Syawal 1440
Abu ‘Aashim Asy-Syibindunji
Artikel: www.sunnahedu.com
Referensi:
Majmuu’atul Fataawaa karya Syaikhul Islam Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyah al-Haraani. Penerbit Darul Hadits, Kairo. Jilid 1 hal. 171 – 172.
Footnote:
[1] Shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (7962), dengan lafaz, “Barangsiapa yang melakukan perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada perintah di dalamnya, maka perkara itu tertolak.” Dari hadits ‘Aa
[3] Shahih. Riwayat Abu Dawud (4607), At-Tirmidzi (2685), Ibnu Maajah (42), Ahmad (4/126), Ad-Daarimi (59), dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (1107). Dishahihkan oleh Al-Albaani dalam Shahiih Abi Daawud.
[4] Shahih. Riwayat Muslim (867), An-Nasaa`i (3/188), Ibnu Maajah (45), dan Ahmad (3/310) semuanya dari hadits Jaabir bin Abdillah radhiyallaahu ‘anhu.
https://sunnahedu.com/2019/06/30/kebahagiaan-itu/
FOLLOW AKUN KAMI
IG | FB | TG | YT : sunnaheduofficial
Website: https://sunnahedu.com
Inilah tanda kebahagiaan seseorang. Dengan mengikuti tanda ini, ia akan terbimbing dan selamat di dunia dan di akhirat. Adapun jika ia mengikuti jalan-jalan selain jalan-Nya, tentu setanlah yang akan membimbingnya dan menjerumuskannya ke dalam api neraka.
Ya Allah! Jadikanah kami orang-orang yang senantiasa mengikuti petunjuk rasul-Mu dan berilah kami keistiqamahan di dalamnya. Serta jauhilah kami dari jalan-jalan setan dan para penyerunya. Aamiin.
Selesai disusun sembari menikmati kopi banaran, akhir Syawal 1440
Abu ‘Aashim Asy-Syibindunji
Artikel: www.sunnahedu.com
Referensi:
Majmuu’atul Fataawaa karya Syaikhul Islam Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyah al-Haraani. Penerbit Darul Hadits, Kairo. Jilid 1 hal. 171 – 172.
Footnote:
[1] Shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (7962), dengan lafaz, “Barangsiapa yang melakukan perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada perintah di dalamnya, maka perkara itu tertolak.” Dari hadits ‘Aa
isyah radhiyallaahu ‘anha.
[2] Yakni para penulis kitab sunan seperti Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasaa
i, dan Ibnu Maajah.[3] Shahih. Riwayat Abu Dawud (4607), At-Tirmidzi (2685), Ibnu Maajah (42), Ahmad (4/126), Ad-Daarimi (59), dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (1107). Dishahihkan oleh Al-Albaani dalam Shahiih Abi Daawud.
[4] Shahih. Riwayat Muslim (867), An-Nasaa`i (3/188), Ibnu Maajah (45), dan Ahmad (3/310) semuanya dari hadits Jaabir bin Abdillah radhiyallaahu ‘anhu.
https://sunnahedu.com/2019/06/30/kebahagiaan-itu/
FOLLOW AKUN KAMI
IG | FB | TG | YT : sunnaheduofficial
Website: https://sunnahedu.com
sunnahedu.com
Kebahagiaan Itu ... - sunnahedu.com
Maka menaati Allah dan rasul-Nya merupakan poros kebahagiaan yang berlaku atas setiap perkara dan telah pasti bahwa keselamatan itu yang berasal darinya, bukan dari jalan yang menyimpang
Wanita Muslimah
SIFAT WANITA MUSLIMAH: IKHLAS DAN JUJUR KEPADA ALLAH
 Abu 'Aashim Nanang Ismail 6 Juli 2019
قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ كَمَا بَدَأَكُمْ تَعُودُونَ
“Katakanlah, “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan.” Dan (katakanlah), “Luruskanlah muka (diri) kalian di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kalian kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kalian pada permulaan (demikian pulalah) kalian akan kembali (kepada-Nya).” (QS Al-A’raf [7]: 29)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullâh berkata,
“Katakanlah, “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan.” (QS Al-A’raf [7]: 29). Yaitu keadilan dan perkara yang lurus. Dan (katakanlah), “Luruskanlah muka (diri) kalian di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kalian kepada-Nya.” (QS Al-A’raf [7]: 29)
Allah memerintahkan kalian agar beristiqamah dalam menyembah-Nya, yaitu dengan mengikuti para rasul yang diperkuat dengan mukjizat-mukjizat dalam menyampaikan apa yang mereka terima dari Allah dan syariat-syariat yang mereka datangkan. Allah memerintahkan kepada kalian untuk ikhlas dalam beribadah hanya untuk-Nya. Karena sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal, melainkan bila di dalam amal itu terhimpun dua rukun berikut, yaitu hendaknya amal dikerjakan secara benar lagi sesuai dengan tuntutan syariat, dan hendaknya amal dikerjakan dengan ikhlas karena Allah bersih dari syirik.”
فَادْعُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya).” (QS Al-Mu’min [40]: 14)
Maksudnya ialah murnikanlah penyembahan dan berdoa itu hanya kepada Allah semata, dan berbedalah dengan orang-orang musyrik dalam sepak terjang dan pendapat mereka.
هُوَ الْحَيُّ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ فَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Dialah Yang Hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (QS Al-Mu’min [40]: 65)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullâh melanjutkan, “Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yakni Dialah Yang Hidup sejak zaman azali dan selama-lamanya, Dia tetap dan tetap Hidup, Dialah Yang Pertama dan Yang Terakhir, dan Yang Mahalahir lagi Mahabathin.
Tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yaitu tiada tandingan dan tiada saingan bagi-Nya. Maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, dengan mengesakan-Nya dan mengakui bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah selain Dia, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS Al-Bayyinah [98]: 5)
Katanya lagi, “Firman-Nya Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
وَما أَرْسَلْنا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (QS Al-Anbiya` [21]: 25)
Karena itulah maka disebutkan dalam firman ayat yang kelima berikutnya:
حُنَفَاءَ
“Dengan lurus.” Yakni menyimpang dari kemusyrikan dan menuju kepada tauhid, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ بَعَثْنا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah
SIFAT WANITA MUSLIMAH: IKHLAS DAN JUJUR KEPADA ALLAH
 Abu 'Aashim Nanang Ismail 6 Juli 2019
قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ كَمَا بَدَأَكُمْ تَعُودُونَ
“Katakanlah, “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan.” Dan (katakanlah), “Luruskanlah muka (diri) kalian di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kalian kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kalian pada permulaan (demikian pulalah) kalian akan kembali (kepada-Nya).” (QS Al-A’raf [7]: 29)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullâh berkata,
“Katakanlah, “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan.” (QS Al-A’raf [7]: 29). Yaitu keadilan dan perkara yang lurus. Dan (katakanlah), “Luruskanlah muka (diri) kalian di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kalian kepada-Nya.” (QS Al-A’raf [7]: 29)
Allah memerintahkan kalian agar beristiqamah dalam menyembah-Nya, yaitu dengan mengikuti para rasul yang diperkuat dengan mukjizat-mukjizat dalam menyampaikan apa yang mereka terima dari Allah dan syariat-syariat yang mereka datangkan. Allah memerintahkan kepada kalian untuk ikhlas dalam beribadah hanya untuk-Nya. Karena sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal, melainkan bila di dalam amal itu terhimpun dua rukun berikut, yaitu hendaknya amal dikerjakan secara benar lagi sesuai dengan tuntutan syariat, dan hendaknya amal dikerjakan dengan ikhlas karena Allah bersih dari syirik.”
فَادْعُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya).” (QS Al-Mu’min [40]: 14)
Maksudnya ialah murnikanlah penyembahan dan berdoa itu hanya kepada Allah semata, dan berbedalah dengan orang-orang musyrik dalam sepak terjang dan pendapat mereka.
هُوَ الْحَيُّ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ فَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Dialah Yang Hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (QS Al-Mu’min [40]: 65)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullâh melanjutkan, “Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yakni Dialah Yang Hidup sejak zaman azali dan selama-lamanya, Dia tetap dan tetap Hidup, Dialah Yang Pertama dan Yang Terakhir, dan Yang Mahalahir lagi Mahabathin.
Tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yaitu tiada tandingan dan tiada saingan bagi-Nya. Maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, dengan mengesakan-Nya dan mengakui bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah selain Dia, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS Al-Bayyinah [98]: 5)
Katanya lagi, “Firman-Nya Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
وَما أَرْسَلْنا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (QS Al-Anbiya` [21]: 25)
Karena itulah maka disebutkan dalam firman ayat yang kelima berikutnya:
حُنَفَاءَ
“Dengan lurus.” Yakni menyimpang dari kemusyrikan dan menuju kepada tauhid, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ بَعَثْنا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah
Allah (saja), dan jauhilah thagut.” (QS An-Nahl [16]: 36)
Dan firman Allah (yang artinya), dan supaya mereka mendirikan shalat.Shalat adalah ibadah badaniyah yang paling mulia. Dan menunaikan zakat.Yaitu memberikan santunan dan kebaikan kepada orang-orang fakir dan orang-orang yang memerlukan pertolongan.
Dan yang demikian itulah agama yang lurus. Yakni agama yang tegak lagi adil, atau maknanya umat yang lurus lagi pertengahan. Banyak dari kalangan para imam —seperti Az-Zuhri dan Asy-Syafi’i— yang menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa amal perbuatan itu termasuk ke dalam iman. Oleh karenanya disebutkan di dalam firman-Nya:
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS Al-Bayyinah [98]: 5)
Dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallâhu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallâhu ‘alayhi wasallam bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung niatya. Dan seseorang akan meraih sesuatu sesuai dengan yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnaya karena dunia yang ingin diperolehnya, atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sekadar mendapatkan yang diniatkannya.” (Shahih. HR Al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 3530)
Wallahu a’alam.
Abu ‘Aashim Nanang Ismail asy-Syibindunji
Referensi:
Shifâtul Mar
Tafsîr Al-Qur
https://sunnahedu.com/2019/07/06/sifat-wanita-muslimah-ikhlas-dan-jujur-kepada-allah/
Dan firman Allah (yang artinya), dan supaya mereka mendirikan shalat.Shalat adalah ibadah badaniyah yang paling mulia. Dan menunaikan zakat.Yaitu memberikan santunan dan kebaikan kepada orang-orang fakir dan orang-orang yang memerlukan pertolongan.
Dan yang demikian itulah agama yang lurus. Yakni agama yang tegak lagi adil, atau maknanya umat yang lurus lagi pertengahan. Banyak dari kalangan para imam —seperti Az-Zuhri dan Asy-Syafi’i— yang menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa amal perbuatan itu termasuk ke dalam iman. Oleh karenanya disebutkan di dalam firman-Nya:
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS Al-Bayyinah [98]: 5)
Dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallâhu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallâhu ‘alayhi wasallam bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung niatya. Dan seseorang akan meraih sesuatu sesuai dengan yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnaya karena dunia yang ingin diperolehnya, atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sekadar mendapatkan yang diniatkannya.” (Shahih. HR Al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 3530)
Wallahu a’alam.
Abu ‘Aashim Nanang Ismail asy-Syibindunji
Referensi:
Shifâtul Mar
ah Al-Muslimah fî Dhau
il Kitâbi was Sunnah karya Ummu Usamah binti ‘Ali al-Abbasiyah. Penerbit Darul Imam Al-Wadi’i, Yaman.Tafsîr Al-Qur
ânul ‘Azhîm karya Al-Hafizh Abul Fida
Ismail bin Katsir. Penerbit Darul Hadits, Kairo.https://sunnahedu.com/2019/07/06/sifat-wanita-muslimah-ikhlas-dan-jujur-kepada-allah/
sunnahedu.com
Sifat Wanita Muslimah: Ikhlas dan Jujur kepada Allah - sunnahedu.com
Allah memerintahkan kalian agar beristiqamah dalam menyembah-Nya, yaitu dengan mengikuti para rasul yang diperkuat dengan mukjizat-mukjizat dalam menyampaikan apa yang mereka terima dari Allah dan syariat-syariat yang mereka datangkan. Allah memerintahkan…