Berkata Ibnu Hani: "Aku bertanya tentang takbir pada shalat 'Ied."
Beliau menjawab: "Bertakbir tujuh kali di rakaat pertama dan lima kali di rakaat kedua."
Aku bertanya: "Apa yang dibaca di antara takbir tersebut?"
Beliau menjawab: "Tasbih, tahlil, dan shalawat atas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam." (Masaa-il Ibn Hhaani, 466)
Beliau menjawab: "Bertakbir tujuh kali di rakaat pertama dan lima kali di rakaat kedua."
Aku bertanya: "Apa yang dibaca di antara takbir tersebut?"
Beliau menjawab: "Tasbih, tahlil, dan shalawat atas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam." (Masaa-il Ibn Hhaani, 466)
Berkata Abu Bakr ibn Abi Dun-yaa, "Aku bertanya kepada Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy-Syaibani, tentang apa yang dibaca di antara takbir dalam shalat 'Ied."
Beliau menjawab: "Memuji Allah 'Azza wa Jalla dan shalawat atas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam." (Thabaqaat Al-Hanaabilah, 2/42)
Berkata Ali bin Ahmad al-Anmathi, "Ahmad bin Hanbal ditanya, "Apa yang sepatutnya diucapkan seseorang ketika di antara takbir shalat 'Ied?"
Beliau menjawab:
"سبحان الله، والحمد لله، ولا إله إلا الله، والله أكبر، اللهم صل على محمد وعلى آل محمد، واغفر لنا وارحمنا
dan itulah yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu." (Thabaqaat Al-Hanaabilah, 2/117)
Beliau menjawab: "Memuji Allah 'Azza wa Jalla dan shalawat atas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam." (Thabaqaat Al-Hanaabilah, 2/42)
Berkata Ali bin Ahmad al-Anmathi, "Ahmad bin Hanbal ditanya, "Apa yang sepatutnya diucapkan seseorang ketika di antara takbir shalat 'Ied?"
Beliau menjawab:
"سبحان الله، والحمد لله، ولا إله إلا الله، والله أكبر، اللهم صل على محمد وعلى آل محمد، واغفر لنا وارحمنا
dan itulah yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu." (Thabaqaat Al-Hanaabilah, 2/117)
Memberi Ucapan Selamat Hari Raya Menurut Imam Ahmad radhiyallahu 'anhu
Abu Dawud berkata: "Imam Ahmad ditanya tentang ucapan
تقبل الله منا ومنك
di hari raya.
Beliau menjawab: Aku berharap hal tersebut tidak masalah." (Masaa-il Abii Daawud, 436)
Dalam Masaa-il Ibnu Hani (673) terkait pertanyaan yang sama, Imam Ahmad menjawab: "Jawab -ucapan selamat hari raya dari mereka- dan jika engkau memulainya terlebih dahulu maka tidak masalah."
Diriwayatkan pula dari Harb tentang pertanyaan yang sama, Imam Ahmad menjawab: "Tidak masalah, riwayatnya Ahli Syam dari Abi Umamah."
Beliau ditanya: "Apa tidak makruh mengucapkan hal tersebut di hari raya?"
Jawabnya: "Tidak." (Al-Mughni, 3/294 dan Ma'uunah Uuliin Nuhhaa, 2/526)
Abu Dawud berkata: "Imam Ahmad ditanya tentang ucapan
تقبل الله منا ومنك
di hari raya.
Beliau menjawab: Aku berharap hal tersebut tidak masalah." (Masaa-il Abii Daawud, 436)
Dalam Masaa-il Ibnu Hani (673) terkait pertanyaan yang sama, Imam Ahmad menjawab: "Jawab -ucapan selamat hari raya dari mereka- dan jika engkau memulainya terlebih dahulu maka tidak masalah."
Diriwayatkan pula dari Harb tentang pertanyaan yang sama, Imam Ahmad menjawab: "Tidak masalah, riwayatnya Ahli Syam dari Abi Umamah."
Beliau ditanya: "Apa tidak makruh mengucapkan hal tersebut di hari raya?"
Jawabnya: "Tidak." (Al-Mughni, 3/294 dan Ma'uunah Uuliin Nuhhaa, 2/526)
1. Sering kita dengar nama Ibnu Qudamah. Kadang sebagian dari kita menganggap sama antara Ibnu Qudamah penulis kitab Al-Mughni dengan Ibnu Qudamah penulis kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin. Padahal keduanya berbeda.
2. Setidaknya ada tiga orang ulama yang sama-sama dari Aalu (keluarga) Qudamah. Dua telah disebutkan, dan satu lagi penulis kitab 'Umdatul Ahkam.
3. Pertama Abdillah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi al-Hambali, Abu Muhammad. Gelarnya Al-Muwaffaq. Lahir di Jamaili Palestina 541H, wafat di Damaskus 620H. Karya2 a.l. Lum'atul 'Itiqad, Umdatul Fiqh, Al-Muqni, Al-Kaafi, dan Al-Mughni.
4. Kedua Ahmad bin Abdirrahman bin Abi Umar bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi al-Hambali, Abul Abbas. Gelarnya Najmuddin. Lahir 651 H, wafat 689 H. Salah satu karyanya yang terkenal ialah Mukhtashar Minhajul Qashidin.
5. Ketiga Abdul Ghani bin Abdul Wahid bin Ali bin Surur bin Qudamah al-Maqdisi al-Hambali, Abu Muhammad. Gelarnya Taqiyuddin. Lahir di Jamaili Palestina 541 H, wafat di Mesir 600 H. Karyanya a.l. Umdatul Ahkam Sughra dan Umdatul Ahkam Kubra.
6. Ah! Ada satu lagi yang hampir saya lupa. Sama-sama dari Aalu Qudamah juga. Jadi semuanya empat orang.
7. Yakni Abdirrahman bin Abi Umar Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi al-Hambali, Abul Faraj. Gelarnya Syamsuddin. Lahir 597 H, wafat tahun 682 H. Karya yang terkenal Syarhul Kabir penjelasan atas Al-Muqni karya Al-Muwaffaq.
8. Well, Aalu Qudamah adalah keluarga para ulama, ilmu dan ahlinya.
#mazhab_hambali #fikih_hambali #ulama_hambali
Source: Catatan lama saya di Twitter.
2. Setidaknya ada tiga orang ulama yang sama-sama dari Aalu (keluarga) Qudamah. Dua telah disebutkan, dan satu lagi penulis kitab 'Umdatul Ahkam.
3. Pertama Abdillah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi al-Hambali, Abu Muhammad. Gelarnya Al-Muwaffaq. Lahir di Jamaili Palestina 541H, wafat di Damaskus 620H. Karya2 a.l. Lum'atul 'Itiqad, Umdatul Fiqh, Al-Muqni, Al-Kaafi, dan Al-Mughni.
4. Kedua Ahmad bin Abdirrahman bin Abi Umar bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi al-Hambali, Abul Abbas. Gelarnya Najmuddin. Lahir 651 H, wafat 689 H. Salah satu karyanya yang terkenal ialah Mukhtashar Minhajul Qashidin.
5. Ketiga Abdul Ghani bin Abdul Wahid bin Ali bin Surur bin Qudamah al-Maqdisi al-Hambali, Abu Muhammad. Gelarnya Taqiyuddin. Lahir di Jamaili Palestina 541 H, wafat di Mesir 600 H. Karyanya a.l. Umdatul Ahkam Sughra dan Umdatul Ahkam Kubra.
6. Ah! Ada satu lagi yang hampir saya lupa. Sama-sama dari Aalu Qudamah juga. Jadi semuanya empat orang.
7. Yakni Abdirrahman bin Abi Umar Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi al-Hambali, Abul Faraj. Gelarnya Syamsuddin. Lahir 597 H, wafat tahun 682 H. Karya yang terkenal Syarhul Kabir penjelasan atas Al-Muqni karya Al-Muwaffaq.
8. Well, Aalu Qudamah adalah keluarga para ulama, ilmu dan ahlinya.
#mazhab_hambali #fikih_hambali #ulama_hambali
Source: Catatan lama saya di Twitter.
Yusuf bin Asbath berkata: Sufyan berkata, "Kami tidak pernah melihat zuhud yang lebih sedikit dibanding zuhud dalam hal kepemimpinan.
Engkau bisa melihat orang yang zuhud dalam harta, pakaian, dan makanan. Tapi jika sudah dipersengketakan dalam masalah kepemimpinan, maka dia pun membela atau memusuhi atas dasar itu." (Al Wara' no. 349)
Ya Rabb ...
Lindungilah kami dari fitnah kepemimpinan.
Engkau bisa melihat orang yang zuhud dalam harta, pakaian, dan makanan. Tapi jika sudah dipersengketakan dalam masalah kepemimpinan, maka dia pun membela atau memusuhi atas dasar itu." (Al Wara' no. 349)
Ya Rabb ...
Lindungilah kami dari fitnah kepemimpinan.
USHUL ISTINBATH MADZHAB HANBALI
Sumber hukum menurut Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu adalah sebagai berikut:
PERTAMA
Nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah)
Maksudnya ialah nash-nash Al-Qur’anul Karim dan sunnah yang shahih, dan menurut Imam Ahmad rahimahullahu keduanya berada dalam satu urutan dari segi penjelasan hukum syar’i. Meskipun nash-nash Al-Qur’an menurutnya lebih didahulukan daripada nash-nash sunnah dari segi i’tibar (pertimbangan hukum).
Dan jika mendapati sebuah nash, maka ia berfatwa dengan konteksnya, dan tidak berpaling pada amal, pendapat atau qiyas yang bertentangan dengannya, tidak juga kepada perkataan sahabat dan selain sahabat yang bertentangan, tidak juga kepada pendapat yang belum diketahui apakah ada yang menentangnya atau tidak, karena menurutnya ia bukanlah ijma’. (Lihat: ‘Ilamul Muwaqqi’in karya Ibnul Qayyim, 1/29 – 30; Al-Madkhal ila Madzhab al-Imam Ahmad, hal. 48; Ushul Madzhab Al-Imam Ahmad, hal. 106).
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/26/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-1/
KEDUA
Ijma’
Yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat ini pada masa tertentu atas permasalahan syar’i setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat: Raudhatun Nadhir karya Ibnu Qudamah, 1/423; dan Al-Kaukab Al-Munir, 1/219).
Ijma’ adalah salah satu ushul istinbath menurut Imam Ahmad rahimahullahu dan beliau sudah menashkan penggunaannya sebagaimana dinukilkan oleh murid-murid dan pengikutnya.
Al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullahu berkata, “Ijma’ adalah hujjah yang qath’i, yang mengharuskan merujuk padanya, serta haram untuk menyalahinya. Dan umat tidak dibenarkan bersepakat atas hal yang salah.
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/26/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-2/
KETIGA
Fatwa Sahabat Jika Tidak Ada yang Menentangnya
Jika Imam Ahmad rahimahullahu menemukan fatwa dari beberapa sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak diketahui ada yang menentangnya, maka ia menggunakannya dan tidak beralih pada yang lain, dan ia mendahulukannya atas pendapat, amal –bisa jadi yang dimaksud di sini ialah amal penduduk Madina–, qiyas, hadits mursal, dan hadits dhaif; bahkan sebagian pengikutnya menganggapnya sebagai ijma. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqh karya Al-Qadhi Abu Ya’la, 4/1170).
Abu Daud as-Sijistani rahimahullahu berkata, “Ahmad bin Hanbal rahimhullahu berkata: ‘Aku tidaklah memberikan jawaban atas sebuah permasalahan kecuali dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika aku menemukan jalan untuk itu, atau dari sahabat, atau dari tabi’in.
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/27/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-3/
KEEMPAT
Mengambil Hadits Mursal dan Lemah sebagai Dalil Jika Tidak Ada Dalil yang Menyanggah Persoalan Tersebut
Hadits mursl adalah hadits yang sanad terakhirnya setelah tabi’in terputus. Atau apa yang dinisbatkan olrh tabi’in kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; di mana seorang tabi’in mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda”. Dan ini adalah pengertian hadits mursal menurut ahli hadits.
Sedangkan menurut ahli ushul fiqih; hadits mursal berlaku baik untuk hadits yang perawinya kalangan tabi’in maupun selain tabi’in. Mereka berpendapat bahwa hadits mursal ialah seseorang selain Nabi shallallahu ‘aaihi wa sallam pada setiap masa mengatakan: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda”. (Lihat: At-Tahbir Syarh at-Tahrir, 5/2136; Syarh al-Kaukab al-Munir, 2/574; dan sebagainya).
Dan yang dimaksud dengan hadits dhaif (lemah) adaah hadits yang sisi kelemahannya tidak parah; yang mana ia tidak bathil, tidak munkar, serta tidak ada unsur kebohongan di dalamnya.
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/27/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-4/
KELIMA
Qiyas
Dan qiyas yang diakui Imam Ahmad rahimahullahu adalah qiyas masalah furu’ pada permasalahan pokok yang ada nashnya jika menyerupainya dalam segala hal, dan disebut dnegan qiyyas ‘illah. Imam Ahmad mengatakan dalam riwayat Al-Hasan bin Hasan: “Qiyas adalah menganalogikan sesuatu kepada hukum pokok jika semisal dengannya dalam segala hal.” (Lihat: Al-Musawwadah, hal. 7
Sumber hukum menurut Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu adalah sebagai berikut:
PERTAMA
Nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah)
Maksudnya ialah nash-nash Al-Qur’anul Karim dan sunnah yang shahih, dan menurut Imam Ahmad rahimahullahu keduanya berada dalam satu urutan dari segi penjelasan hukum syar’i. Meskipun nash-nash Al-Qur’an menurutnya lebih didahulukan daripada nash-nash sunnah dari segi i’tibar (pertimbangan hukum).
Dan jika mendapati sebuah nash, maka ia berfatwa dengan konteksnya, dan tidak berpaling pada amal, pendapat atau qiyas yang bertentangan dengannya, tidak juga kepada perkataan sahabat dan selain sahabat yang bertentangan, tidak juga kepada pendapat yang belum diketahui apakah ada yang menentangnya atau tidak, karena menurutnya ia bukanlah ijma’. (Lihat: ‘Ilamul Muwaqqi’in karya Ibnul Qayyim, 1/29 – 30; Al-Madkhal ila Madzhab al-Imam Ahmad, hal. 48; Ushul Madzhab Al-Imam Ahmad, hal. 106).
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/26/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-1/
KEDUA
Ijma’
Yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat ini pada masa tertentu atas permasalahan syar’i setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat: Raudhatun Nadhir karya Ibnu Qudamah, 1/423; dan Al-Kaukab Al-Munir, 1/219).
Ijma’ adalah salah satu ushul istinbath menurut Imam Ahmad rahimahullahu dan beliau sudah menashkan penggunaannya sebagaimana dinukilkan oleh murid-murid dan pengikutnya.
Al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullahu berkata, “Ijma’ adalah hujjah yang qath’i, yang mengharuskan merujuk padanya, serta haram untuk menyalahinya. Dan umat tidak dibenarkan bersepakat atas hal yang salah.
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/26/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-2/
KETIGA
Fatwa Sahabat Jika Tidak Ada yang Menentangnya
Jika Imam Ahmad rahimahullahu menemukan fatwa dari beberapa sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak diketahui ada yang menentangnya, maka ia menggunakannya dan tidak beralih pada yang lain, dan ia mendahulukannya atas pendapat, amal –bisa jadi yang dimaksud di sini ialah amal penduduk Madina–, qiyas, hadits mursal, dan hadits dhaif; bahkan sebagian pengikutnya menganggapnya sebagai ijma. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqh karya Al-Qadhi Abu Ya’la, 4/1170).
Abu Daud as-Sijistani rahimahullahu berkata, “Ahmad bin Hanbal rahimhullahu berkata: ‘Aku tidaklah memberikan jawaban atas sebuah permasalahan kecuali dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika aku menemukan jalan untuk itu, atau dari sahabat, atau dari tabi’in.
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/27/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-3/
KEEMPAT
Mengambil Hadits Mursal dan Lemah sebagai Dalil Jika Tidak Ada Dalil yang Menyanggah Persoalan Tersebut
Hadits mursl adalah hadits yang sanad terakhirnya setelah tabi’in terputus. Atau apa yang dinisbatkan olrh tabi’in kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; di mana seorang tabi’in mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda”. Dan ini adalah pengertian hadits mursal menurut ahli hadits.
Sedangkan menurut ahli ushul fiqih; hadits mursal berlaku baik untuk hadits yang perawinya kalangan tabi’in maupun selain tabi’in. Mereka berpendapat bahwa hadits mursal ialah seseorang selain Nabi shallallahu ‘aaihi wa sallam pada setiap masa mengatakan: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda”. (Lihat: At-Tahbir Syarh at-Tahrir, 5/2136; Syarh al-Kaukab al-Munir, 2/574; dan sebagainya).
Dan yang dimaksud dengan hadits dhaif (lemah) adaah hadits yang sisi kelemahannya tidak parah; yang mana ia tidak bathil, tidak munkar, serta tidak ada unsur kebohongan di dalamnya.
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/27/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-4/
KELIMA
Qiyas
Dan qiyas yang diakui Imam Ahmad rahimahullahu adalah qiyas masalah furu’ pada permasalahan pokok yang ada nashnya jika menyerupainya dalam segala hal, dan disebut dnegan qiyyas ‘illah. Imam Ahmad mengatakan dalam riwayat Al-Hasan bin Hasan: “Qiyas adalah menganalogikan sesuatu kepada hukum pokok jika semisal dengannya dalam segala hal.” (Lihat: Al-Musawwadah, hal. 7
👍1
32).
Dan di antara riwayat yang dinukil dari Imam Ahmad rahimahullahu tentang amal dengan qiyas dan dianggap sebagai hujjah adalah pernyataannya dalam riwayat Bakr bin Muhammad dari ayahnya: “Seseorang tidak bisa melepas kebutuhannya akan qiyas. Seorang hakim dan imam yang dihadapkan pada sebuah permasalahan, hendaknya dia menghimpun manusia dan mengambil qiyas dan mengambil kemripan dalam persoalan, sebagaimana yang ditulis oleh Umar radhiallahu ‘anhu kepada Syuraih: “Qiyaskanlah berbagai perkara”. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqih, 4/1280).
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/27/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-5/
KEENAM
Istihsan
Adalah meninggalkan keniscayaan qiyas kepada dalil yang menurut seorang mujtahid lebih kuat darinya; dan jenis istihsan ini diakui oleh Imam Ahmad rahimahullahu karena dalil tersebut menguatkannya. Dan jika ia tidak memiliki sandaran kecuali hawa nafsu, maka ini yang diingkari oleh Imam Ahmad. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqih, 4/1604; Raudhatun an-Nadhir, 2/31; dan Ushul Madzhab Imam Ahmad, hal. 575).
Dan di antara riwayat tenang amal dengan istihsan menurut Imam Ahmad adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Maimuni dari Ahmad bahwa sesungguhnya ia berkata: “Aku menggunakan istihsan untuk menetapkan tayammum untuk tiap kali shalat, meski menurut ketentuan qiyas bahwa tayammum berkedudukan seperti wudhu dengan air dan seseorang tidak batal hingga ia berhadats atau mendapatkan air”. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqih, 5/1604).
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/27/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-6/
KETUJUH
Istishhab
Adalah melestarikan penetapan yang telah ditetapkan sebelumnya atau peniadaan apa yang tidak ada sebelumnya. Atau yang dimaksud adalah tetap pada hukum asal dalam hal yang belum diketahui ketetapannya atau ketiadaannya dnegan hukum syar’i. (Lihat: Majmu’ Fatawa, 11/342).
Dan istishhab adalah hujjah menurut Imam Ahmad rahimahullahu ketika tidak ada dalil yang berupa nash, atau ijma’, atau perkataan sahabat atau fatwa mereka, atau qiyas; sehingga tidak boleh menggunakan istishhab sebagai dalil kecuali ketika tidak ada penukilan”. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqih, 4/1262 – 1263; Al-Musawwadah, hal 488; Al-Madkhal ila Madzhab Imam Ahamd, hal. 144; Mafatih al-Fiqh al-Hanbali, 1/382; dan Ushul Madzhab Imam Ahmad, hal. 423
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/27/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-7/
KEDELAPAN
Saddu Dzarai’
Yaitu melarang suatu hal yang zhahirnya adalah boleh jika hal tersebut menjadi sarana terjadinya hal yang haram. (Lihat: Al-Fatawa al-Kubra, 3/256 dan I’lam al-Muwaqqi’i, 3/135).
Dan dasar hukum ini terbangun atas kenyataan bahwa ibrah (yang menjadi pertimbangan) dalam syarat adalah tujuan dan niat, dan bahwa mempertimbangkan konsekuensi dan akibat perbuatan adalah diakui dan menjadi tujuan syariat. (Lihat: I’lam al-Muwaqqi’i, 3/164, 188, 194).
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/27/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-8/
====
Ingin baca lengkap? Sila ke tautan yang disediakan.
Dan di antara riwayat yang dinukil dari Imam Ahmad rahimahullahu tentang amal dengan qiyas dan dianggap sebagai hujjah adalah pernyataannya dalam riwayat Bakr bin Muhammad dari ayahnya: “Seseorang tidak bisa melepas kebutuhannya akan qiyas. Seorang hakim dan imam yang dihadapkan pada sebuah permasalahan, hendaknya dia menghimpun manusia dan mengambil qiyas dan mengambil kemripan dalam persoalan, sebagaimana yang ditulis oleh Umar radhiallahu ‘anhu kepada Syuraih: “Qiyaskanlah berbagai perkara”. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqih, 4/1280).
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/27/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-5/
KEENAM
Istihsan
Adalah meninggalkan keniscayaan qiyas kepada dalil yang menurut seorang mujtahid lebih kuat darinya; dan jenis istihsan ini diakui oleh Imam Ahmad rahimahullahu karena dalil tersebut menguatkannya. Dan jika ia tidak memiliki sandaran kecuali hawa nafsu, maka ini yang diingkari oleh Imam Ahmad. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqih, 4/1604; Raudhatun an-Nadhir, 2/31; dan Ushul Madzhab Imam Ahmad, hal. 575).
Dan di antara riwayat tenang amal dengan istihsan menurut Imam Ahmad adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Maimuni dari Ahmad bahwa sesungguhnya ia berkata: “Aku menggunakan istihsan untuk menetapkan tayammum untuk tiap kali shalat, meski menurut ketentuan qiyas bahwa tayammum berkedudukan seperti wudhu dengan air dan seseorang tidak batal hingga ia berhadats atau mendapatkan air”. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqih, 5/1604).
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/27/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-6/
KETUJUH
Istishhab
Adalah melestarikan penetapan yang telah ditetapkan sebelumnya atau peniadaan apa yang tidak ada sebelumnya. Atau yang dimaksud adalah tetap pada hukum asal dalam hal yang belum diketahui ketetapannya atau ketiadaannya dnegan hukum syar’i. (Lihat: Majmu’ Fatawa, 11/342).
Dan istishhab adalah hujjah menurut Imam Ahmad rahimahullahu ketika tidak ada dalil yang berupa nash, atau ijma’, atau perkataan sahabat atau fatwa mereka, atau qiyas; sehingga tidak boleh menggunakan istishhab sebagai dalil kecuali ketika tidak ada penukilan”. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqih, 4/1262 – 1263; Al-Musawwadah, hal 488; Al-Madkhal ila Madzhab Imam Ahamd, hal. 144; Mafatih al-Fiqh al-Hanbali, 1/382; dan Ushul Madzhab Imam Ahmad, hal. 423
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/27/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-7/
KEDELAPAN
Saddu Dzarai’
Yaitu melarang suatu hal yang zhahirnya adalah boleh jika hal tersebut menjadi sarana terjadinya hal yang haram. (Lihat: Al-Fatawa al-Kubra, 3/256 dan I’lam al-Muwaqqi’i, 3/135).
Dan dasar hukum ini terbangun atas kenyataan bahwa ibrah (yang menjadi pertimbangan) dalam syarat adalah tujuan dan niat, dan bahwa mempertimbangkan konsekuensi dan akibat perbuatan adalah diakui dan menjadi tujuan syariat. (Lihat: I’lam al-Muwaqqi’i, 3/164, 188, 194).
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/27/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-8/
====
Ingin baca lengkap? Sila ke tautan yang disediakan.
KEWAJIBAN KITA TERHADAP APA YANG ALLAH PERINTAHKAN
Syekh al Islam Muhammad bin Abdul Wahab al Najd al Hanbali rahimahullah (115 – 1206 H) berkata:
Jika Allah Ta’ala memerintahkan seorang hamba dengan suatu perkara, maka wajib atasnya untuk mengerjakannya. Dalam masalah ini ada tujuh hal:
1. mengilmuinya,
2. mencintainya,
3. tekad untuk melakukannya,
4. beramal,
5. sesuai syariat secara ikhlas dan benar,
6. memperingatkan dari perbuatan yang dapat menghapuskan amal, dan
7. teguh di atasnya.
PERTAMA: MENGILMUINYA
Jika seorang hamba mengetahui bahwasanya Allah Ta’ala memerintahkan untuk menauhidkan-Nya dan melarangnya dari melakukan kesyirikan, atau dia mengetahui bahwasanya Allah Ta’ala menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, atau mengetahui bahwa Allah Ta’ala mengharamkan memakan harta anak yatim dan menghalalkan untuk memakannya bagi walinya dengan cara yang makruf jika wali tersebut fakir, maka wajib atasnya mengetahui perkara-perkara tersebut dan bertanya tentangnya kepada orang yang mengetahuinya, dan dia pun harus mengetahui hal yang dilarang darinya serta bertanya tentangnya kepada orang yang mengetahuinya. Maka, yang perlu diperhatikan pada perkara yang pertama ini adalah masalah tauhid dan syirik.
Mayoritas orang mengetahui bahwa tauhid itu benar dan syirik itu batil, akan tetapi mereka berpaling darinya dan tidak bertanya. Mereka mengetahui bahwa Allah Ta’ala mengharamkan riba, akan tetapi mereka berjual beli dengannya dan tidak bertanya. Mereka mengetahui haramnta memakan harta anak yatim dan boleh memakannya dengan cara yang makruf, akan tetapi mereka mengambil alih harta yatim tersebut dan tidak bertanya.
Read More https://sunnahedu.com/2020/06/04/kewajiban-kita-terhadap-apa-yang-allah-perintahkan/
📚 Sumber: Risalah Wajibunaa Nahwa maa Amaronaallooh bihi.
✍️ Alih bahasa: Abu ‘Aashim Nanang Ismail
Syekh al Islam Muhammad bin Abdul Wahab al Najd al Hanbali rahimahullah (115 – 1206 H) berkata:
Jika Allah Ta’ala memerintahkan seorang hamba dengan suatu perkara, maka wajib atasnya untuk mengerjakannya. Dalam masalah ini ada tujuh hal:
1. mengilmuinya,
2. mencintainya,
3. tekad untuk melakukannya,
4. beramal,
5. sesuai syariat secara ikhlas dan benar,
6. memperingatkan dari perbuatan yang dapat menghapuskan amal, dan
7. teguh di atasnya.
PERTAMA: MENGILMUINYA
Jika seorang hamba mengetahui bahwasanya Allah Ta’ala memerintahkan untuk menauhidkan-Nya dan melarangnya dari melakukan kesyirikan, atau dia mengetahui bahwasanya Allah Ta’ala menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, atau mengetahui bahwa Allah Ta’ala mengharamkan memakan harta anak yatim dan menghalalkan untuk memakannya bagi walinya dengan cara yang makruf jika wali tersebut fakir, maka wajib atasnya mengetahui perkara-perkara tersebut dan bertanya tentangnya kepada orang yang mengetahuinya, dan dia pun harus mengetahui hal yang dilarang darinya serta bertanya tentangnya kepada orang yang mengetahuinya. Maka, yang perlu diperhatikan pada perkara yang pertama ini adalah masalah tauhid dan syirik.
Mayoritas orang mengetahui bahwa tauhid itu benar dan syirik itu batil, akan tetapi mereka berpaling darinya dan tidak bertanya. Mereka mengetahui bahwa Allah Ta’ala mengharamkan riba, akan tetapi mereka berjual beli dengannya dan tidak bertanya. Mereka mengetahui haramnta memakan harta anak yatim dan boleh memakannya dengan cara yang makruf, akan tetapi mereka mengambil alih harta yatim tersebut dan tidak bertanya.
Read More https://sunnahedu.com/2020/06/04/kewajiban-kita-terhadap-apa-yang-allah-perintahkan/
📚 Sumber: Risalah Wajibunaa Nahwa maa Amaronaallooh bihi.
✍️ Alih bahasa: Abu ‘Aashim Nanang Ismail
sunnahedu.com
Kewajiban Kita Terhadap Apa yang Allah Perintahkan - sunnahedu.com
Jika Allah Ta’ala memerintahkan seorang hamba dengan suatu perkara, maka wajib atasnya untuk mengerjakannya. Dalam masalah ini ada tujuh hal:
ISTILAH YANG TERMASYHUR DI FIKIH MAZHAB HANBALI
Sebagaimana mazhab lain, mazhab Hanbali juga terkenal dengan istilah-istilah yang digunakan oleh ulama fikih dalam kitab-kitab rujukan mereka untuk mengungkapkan makna-makna tertentu. Istilah tersebut sebenarnya membedakan antara perkataan dan nash dari imam mazhab dengan perkataan ulama mazhab beserta ijtihad dan takhrij mereka pada sumber hukum utama dan kaidah mazhab beserta segala permasalahan yang dibahasnya, yang tidak ada nashnya dari imam pendiri mazhab.
Dikenal juga adanya sebutan-sebutan tertentu yang ditujukan pada karangan atau imam-imam dari kalangan tokoh mazhab. Sebagaimana populer juga istilah tahqiq dan tamhish (telaah dan pemilahan) antara perkataan dan riwayat yang ada di mazhab tersebut.
Dan setiap istilah tersebut digunakan untuk ungkapan yang banyak dan sering disebut sehingga pembahasaan menjadi lebih ringkas.
Dengan memperhatikan istilah-istilah tersebut, kita bisa menyebutkannya secara global sebagai berikut:
PERTAMA:
Istilah Khusus untuk Membedakan antara Perkataan Imam dengan Perkataan Pengikutnya
1. Ar Riwayah: Ini adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan hukum yang diriwayatkan oleh salah satu murid Imam Ahmad rahimahullah darinya dalam suatu permasalahan, dan dibagi menjadi dua bagian:
2. Al Wajh: Hukum yang dinukil dalam suatu permasalahan oleh beberapa mujtahid dalam mazhab yang berjalan di atas kaidah ushul, dan nash-nash yang telah ditentukan oleh imam, dan ada kalanya bertentangan dengan kaidah imam jika ada dalil yang menguatkan pendapatnya. (Lihat: Al Musawwadah, hal. 532)
KEDUA
Istilah Khusus untuk Tarjih dan Tashih dalam Mazhab
Ini adalah istilah yang digunakan oleh para pengarang untuk mengungkapkan tarjih antara riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah atau tarjih antara beberapa qoul, wajh, dan lainnya. Dan di antara istilah yang paling penting adalah:
1. Al Ashoh, fi al Ashoh, as Shohih, fi as Shohih minal Madzhab, fi Shohih 'anhu, fi Ashohi al Qoulain al Aqwal, al Wajhaian al Aujuh, al Awwal Ashoh, Hiya Ashoh, al Awwal Aqyas wa Ashoh, hadza Shohihun 'indi.
2. Al Masyhur, fi al Masyhur 'anhu, 'ala al Masyhur, al Asyhar.
3. Al Adhhar, Adh-haruhuma, 'ala al Adhhar, fi al Adhhar, fi Adh-haril Wajhain, fi Adh-hari al Aujuh.
4. Riwayah Wahidah, Qoulun Wahidan, Wajhan Wahidan.
KETIGA
Istilah untuk Beberapa Ulama dalam Madzhab
Di antara istilah yang digunakan dalam kitab-kitab karangan mazhab, ada istilah yang digunakan untuk para tokoh, dan mereka menggunakan julukan mereka yang masyhur agar pembahasan menjadi ringkas dan tidak bertele-tele dengan banyaknya nama. Dan di antara istilah-istilah yang paling masyhur adalah:
1. Al Qodhi: Maksudnya adalah Al Qodhi Muhammad bin Al Husain bin Muhammad bin Kholaf bin Ahmad bin Al Farro', yang dikenal dengan nama Abu Ya'la (w. 458 H). Ini adalah julukan Abu Ya'la yang digunakan oleh kalangan ulama pada fase mutawasithun hingga pertengahan tahun delapan ratusan.
Sedangkan kalangan ulama mutaakhirun seperti pengarang kitab Al Iqna' dan kitab Al Muntaha, mereka menyebutkan istilah Al Qodhi tapi yang mereka maksudkan adalah Al Qodhi Alauddin Ali bin Sulaiman Al Mardawi (w. 885 H).
2. As Syaikh: Maksudnya adalah Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdillah bin Qudamah Al Maqdisi (w. 629 H). Dan ini adalah istilah yang digunakan oleh ulama fase mutawassithin seperti Ibnu Qodhi Al Jabal (w. 771 H), As Syamsu bin Muflih dan Ibnu Al Lahham (w. 803 H), dan Abu Bakar bin Zaid Al Jura'i.
Sedangkan menurut kalangan ulama mutaakhirun, yang mereka maksud dengan As Syaikh adalah Abul Abbas Ahmad bin Abd Al Halim bin Taimiyah (w. 728 H).
📚 Diringkas dari Empat Mazhab Fikih. Penyusun Departemen Fatwa Kuwait.
Semilir angin dari Gunung Merbabu,
✍ Abu 'Aashim Nanang Ismail
Ingin baca versi lengkapnya? Jangan malu klik tautan berikut https://sunnahedu.com/2020/06/05/istilah-yang-termasyhur-di-fikih-mazhab-hanbali/
Sebagaimana mazhab lain, mazhab Hanbali juga terkenal dengan istilah-istilah yang digunakan oleh ulama fikih dalam kitab-kitab rujukan mereka untuk mengungkapkan makna-makna tertentu. Istilah tersebut sebenarnya membedakan antara perkataan dan nash dari imam mazhab dengan perkataan ulama mazhab beserta ijtihad dan takhrij mereka pada sumber hukum utama dan kaidah mazhab beserta segala permasalahan yang dibahasnya, yang tidak ada nashnya dari imam pendiri mazhab.
Dikenal juga adanya sebutan-sebutan tertentu yang ditujukan pada karangan atau imam-imam dari kalangan tokoh mazhab. Sebagaimana populer juga istilah tahqiq dan tamhish (telaah dan pemilahan) antara perkataan dan riwayat yang ada di mazhab tersebut.
Dan setiap istilah tersebut digunakan untuk ungkapan yang banyak dan sering disebut sehingga pembahasaan menjadi lebih ringkas.
Dengan memperhatikan istilah-istilah tersebut, kita bisa menyebutkannya secara global sebagai berikut:
PERTAMA:
Istilah Khusus untuk Membedakan antara Perkataan Imam dengan Perkataan Pengikutnya
1. Ar Riwayah: Ini adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan hukum yang diriwayatkan oleh salah satu murid Imam Ahmad rahimahullah darinya dalam suatu permasalahan, dan dibagi menjadi dua bagian:
2. Al Wajh: Hukum yang dinukil dalam suatu permasalahan oleh beberapa mujtahid dalam mazhab yang berjalan di atas kaidah ushul, dan nash-nash yang telah ditentukan oleh imam, dan ada kalanya bertentangan dengan kaidah imam jika ada dalil yang menguatkan pendapatnya. (Lihat: Al Musawwadah, hal. 532)
KEDUA
Istilah Khusus untuk Tarjih dan Tashih dalam Mazhab
Ini adalah istilah yang digunakan oleh para pengarang untuk mengungkapkan tarjih antara riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah atau tarjih antara beberapa qoul, wajh, dan lainnya. Dan di antara istilah yang paling penting adalah:
1. Al Ashoh, fi al Ashoh, as Shohih, fi as Shohih minal Madzhab, fi Shohih 'anhu, fi Ashohi al Qoulain al Aqwal, al Wajhaian al Aujuh, al Awwal Ashoh, Hiya Ashoh, al Awwal Aqyas wa Ashoh, hadza Shohihun 'indi.
2. Al Masyhur, fi al Masyhur 'anhu, 'ala al Masyhur, al Asyhar.
3. Al Adhhar, Adh-haruhuma, 'ala al Adhhar, fi al Adhhar, fi Adh-haril Wajhain, fi Adh-hari al Aujuh.
4. Riwayah Wahidah, Qoulun Wahidan, Wajhan Wahidan.
KETIGA
Istilah untuk Beberapa Ulama dalam Madzhab
Di antara istilah yang digunakan dalam kitab-kitab karangan mazhab, ada istilah yang digunakan untuk para tokoh, dan mereka menggunakan julukan mereka yang masyhur agar pembahasan menjadi ringkas dan tidak bertele-tele dengan banyaknya nama. Dan di antara istilah-istilah yang paling masyhur adalah:
1. Al Qodhi: Maksudnya adalah Al Qodhi Muhammad bin Al Husain bin Muhammad bin Kholaf bin Ahmad bin Al Farro', yang dikenal dengan nama Abu Ya'la (w. 458 H). Ini adalah julukan Abu Ya'la yang digunakan oleh kalangan ulama pada fase mutawasithun hingga pertengahan tahun delapan ratusan.
Sedangkan kalangan ulama mutaakhirun seperti pengarang kitab Al Iqna' dan kitab Al Muntaha, mereka menyebutkan istilah Al Qodhi tapi yang mereka maksudkan adalah Al Qodhi Alauddin Ali bin Sulaiman Al Mardawi (w. 885 H).
2. As Syaikh: Maksudnya adalah Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdillah bin Qudamah Al Maqdisi (w. 629 H). Dan ini adalah istilah yang digunakan oleh ulama fase mutawassithin seperti Ibnu Qodhi Al Jabal (w. 771 H), As Syamsu bin Muflih dan Ibnu Al Lahham (w. 803 H), dan Abu Bakar bin Zaid Al Jura'i.
Sedangkan menurut kalangan ulama mutaakhirun, yang mereka maksud dengan As Syaikh adalah Abul Abbas Ahmad bin Abd Al Halim bin Taimiyah (w. 728 H).
📚 Diringkas dari Empat Mazhab Fikih. Penyusun Departemen Fatwa Kuwait.
Semilir angin dari Gunung Merbabu,
✍ Abu 'Aashim Nanang Ismail
Ingin baca versi lengkapnya? Jangan malu klik tautan berikut https://sunnahedu.com/2020/06/05/istilah-yang-termasyhur-di-fikih-mazhab-hanbali/
SYARAH BIDAYATUL ABID (1): MUKADIMAH
#fikih_hambali
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
الحَمْدُ للَّهِ الذي فَقَّه في دينهِ مَنْ شَاءَ مِنَ العِبَادِ، وَوَفَّقَ أَهَلَ طَاعَتِهِ لِلْعِبَادَةِ والسَّدَادِ، والصَّلاَةُ والسلامُ على سيِّدنا مُحمدٍ الهَادِي إِلى طريقِ الرَّشَادِ، وعَلَى آله وأصحابهِ السَّادَةِ القَادَةِ الأَمْجَادِ، وعَلَى تَابِعيهم بإِحسانٍ صَلاَةً دَائِمَةً مُتَّصِلَة إِلى يَومِ المَعَادِ
أَمَّا بَعْد
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pemahaman agama-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan telah memberikan taufik bagi orang yang menaati-Nya untuk beribadah dan berada diatas kebenaran. Shalawat serta salam atas Baginda Muhammad ﷺ sebagai manusia yang memberikan petunjuk menuju jalan kebenaran, kepada keluarganya, kepada para shabatnya yang mulia, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik – dengan shalawat yang tidak pernah putus sampai hari kiamat.
Amma ba’du:
SYARAH
Pembahasan fikih itu mencakup empat hal yakni ibadah, jual beli, rumah tangga, dan jinayat.
Ibadah terdiri atas thaharah, shalat, zakat, puasa, manasik, dan jihad.
Jual beli maksudnya muamalah dalam perkara harta terdiri atas jual beli, riba, gadai, syirkah, dan sebagainya.
Rumah tangga terdiri atas nikah, talak, li’an, persusuan, dan sebagainya.
Jinayat terdiri atas tindak pidana, hudud, peradilan, dan sebagainya.
Nah, kitab yang kita bahas ini hanya membahas poin yang pertama saja yakni ibadah. Dan ini pun disajikan secara ringkas. Harapannya agar para pemula dapat memahami perkara ini dan mengamalkan isinya. Oleh karena itu, dalam menjelaskan kitab ini, kami akan menyajikannya secara ringkas saja tidak panjang lebar. Karena ini sebagai pengantar untuk mengetahui fikih ibadah dalam mazhab Hanbali.
Penulis memulai dengan basmallah karena meneladani apa yang ada di Al-Qur
كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيْهِ بِـ : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ فَهُوَ أَقْطَعُ
“Setiap perkara yang tidak dimulai dengan bismillaahirrahmaanirrahiim, maka terputus.” (HR Ibnu Hibban dari dua jalan periwayatan. Ibnu Ash-Shalah berkata, hadits hasan)
Kemudian beliau memuji Allah dan menyanjungkan shalawat dan salam atas rasul-Nya yang mulia, pun kepada keluarga, para sahabat beliau, dan kepada orang-orang yang mengikuti mereka.
Read More https://sunnahedu.com/2020/06/23/syarah-bidayatul-abid-1-mukadimah/
Dinginnya Merbabu, 2 Dzulqa’dah 1441
✍ Al-Faqir Abu ‘Aashim asy-Syibindunji
📚 Referensi:
Bidaayatul ‘Aabid wa Kifaayatuz Zaahid. Al-‘Allamah Al-Faqih Abdurrahman al-Ba’li al-Hanbali. Penerbit Darul Basyar al-Islamiyyah, Beirut.
#fikih_hambali
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
الحَمْدُ للَّهِ الذي فَقَّه في دينهِ مَنْ شَاءَ مِنَ العِبَادِ، وَوَفَّقَ أَهَلَ طَاعَتِهِ لِلْعِبَادَةِ والسَّدَادِ، والصَّلاَةُ والسلامُ على سيِّدنا مُحمدٍ الهَادِي إِلى طريقِ الرَّشَادِ، وعَلَى آله وأصحابهِ السَّادَةِ القَادَةِ الأَمْجَادِ، وعَلَى تَابِعيهم بإِحسانٍ صَلاَةً دَائِمَةً مُتَّصِلَة إِلى يَومِ المَعَادِ
أَمَّا بَعْد
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pemahaman agama-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan telah memberikan taufik bagi orang yang menaati-Nya untuk beribadah dan berada diatas kebenaran. Shalawat serta salam atas Baginda Muhammad ﷺ sebagai manusia yang memberikan petunjuk menuju jalan kebenaran, kepada keluarganya, kepada para shabatnya yang mulia, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik – dengan shalawat yang tidak pernah putus sampai hari kiamat.
Amma ba’du:
SYARAH
Pembahasan fikih itu mencakup empat hal yakni ibadah, jual beli, rumah tangga, dan jinayat.
Ibadah terdiri atas thaharah, shalat, zakat, puasa, manasik, dan jihad.
Jual beli maksudnya muamalah dalam perkara harta terdiri atas jual beli, riba, gadai, syirkah, dan sebagainya.
Rumah tangga terdiri atas nikah, talak, li’an, persusuan, dan sebagainya.
Jinayat terdiri atas tindak pidana, hudud, peradilan, dan sebagainya.
Nah, kitab yang kita bahas ini hanya membahas poin yang pertama saja yakni ibadah. Dan ini pun disajikan secara ringkas. Harapannya agar para pemula dapat memahami perkara ini dan mengamalkan isinya. Oleh karena itu, dalam menjelaskan kitab ini, kami akan menyajikannya secara ringkas saja tidak panjang lebar. Karena ini sebagai pengantar untuk mengetahui fikih ibadah dalam mazhab Hanbali.
Penulis memulai dengan basmallah karena meneladani apa yang ada di Al-Qur
an yang mulia, yakni Al-Qur
an diawali dengan basmallah, dan mengamalkan hadits,كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيْهِ بِـ : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ فَهُوَ أَقْطَعُ
“Setiap perkara yang tidak dimulai dengan bismillaahirrahmaanirrahiim, maka terputus.” (HR Ibnu Hibban dari dua jalan periwayatan. Ibnu Ash-Shalah berkata, hadits hasan)
Kemudian beliau memuji Allah dan menyanjungkan shalawat dan salam atas rasul-Nya yang mulia, pun kepada keluarga, para sahabat beliau, dan kepada orang-orang yang mengikuti mereka.
Read More https://sunnahedu.com/2020/06/23/syarah-bidayatul-abid-1-mukadimah/
Dinginnya Merbabu, 2 Dzulqa’dah 1441
✍ Al-Faqir Abu ‘Aashim asy-Syibindunji
📚 Referensi:
Bidaayatul ‘Aabid wa Kifaayatuz Zaahid. Al-‘Allamah Al-Faqih Abdurrahman al-Ba’li al-Hanbali. Penerbit Darul Basyar al-Islamiyyah, Beirut.
sunnahedu.com
Syarah Bidayatul Abid (1): Mukadimah - sunnahedu.com
Aku telah melakukan istikharah kepada Allah untuk menuliskan ringkasan yang bermanfaat. Sebuah ringkasan yang menghimpun perkara-perkara ibadah bagi orang-orang yang menginginkan kebaikan dan kemudahan bagi mereka yang ingin mengampil faedah dari fikih imam…
Rezeki ...
Imam Al Muzani rahimahullah berkata,
وَالخَلْقُ مَيِّتُوْنَ بِآجاَلِهِمْ عِنْدَ نَفَادِ أَرْزَاقِهِمْ وَانْقِطَاعِ آثَارِهِمْ
“Makhluk itu akan mati dan punya ajal masing-masing. Bila ajal tiba berarti rezekinya telah habis dan amalannya telah berakhir.”
Kata Syekh Abdurrazzaq Al Badr hafizhahullah,
‘’Tidaklah seorang hamba itu meninggal dunia sampai tuntas semua rezekinya baik dari harta, anak, atau ilmunya. Tidak kurang dan tidak juga lebih.’’ (Ta’liqot ‘ala Syarhis Sunnah, hal. 100)
010142
Abahnya 'Aashim
Imam Al Muzani rahimahullah berkata,
وَالخَلْقُ مَيِّتُوْنَ بِآجاَلِهِمْ عِنْدَ نَفَادِ أَرْزَاقِهِمْ وَانْقِطَاعِ آثَارِهِمْ
“Makhluk itu akan mati dan punya ajal masing-masing. Bila ajal tiba berarti rezekinya telah habis dan amalannya telah berakhir.”
Kata Syekh Abdurrazzaq Al Badr hafizhahullah,
‘’Tidaklah seorang hamba itu meninggal dunia sampai tuntas semua rezekinya baik dari harta, anak, atau ilmunya. Tidak kurang dan tidak juga lebih.’’ (Ta’liqot ‘ala Syarhis Sunnah, hal. 100)
010142
Abahnya 'Aashim
Wudu ...
Fardu wudu ada enam:
1. Membasuh wajah, dan termasuk darinya adalah al madhmadhah (berkumur-kumur) dan al istinsyaaq (menghirup air ke dalam hidung lalu mengeluarkannya).
2. Membasuh kedua tangan sampai siku.
3. Mengusap kepala seluruhnya beserta kedua telinga.
4. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki.
5. Tertib.
6. Berurutan. (Lihat Daliil Ath Thaalib, hal. 10 karya Al Allamah Mar'i al Karmi al Hanbali)
Pada fardu wudu di atas ada empat anggota badan yang dikhususkan yakni no 1 - 4. Apa hikmah dikhususkannya empat anggota badan tersebut?
Syekh Saleh al Fawzan dalam Al Mulakhas Al Fiqhi hal. 25 - 26 beliau mengatakan:
"Hikmah -wallahu a'lam- dalam mengkhususkan empat anggota badan ini dalam wudu, karena yang paling cepat bergerak untuk melakukan dosa. Maka, dengan menyucikan lahirnya merupakan peringatan agar segera menyucikan batinnya.
Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa seorang muslim itu setiap kali menyucikan salah satu anggota badan tersebut, dihilangkan darinya kesalahan yang menimpanya lantaran anggota badan tersebut. Semua kesalahannya akan keluar bersama air atau tetes terakhir dari air itu.
Kemudian, Beliau shalallahu 'alaihi wa sallam membimbing kita setelah membasuh anggota-anggota tersebut kepada pembaharuan iman dengan dua kalimat syahadat, sebagai isyarat kepada penggabungan antara dua macam taharah yakni lahir dan batin.
Lahir adalah disucikan dengan air yang tata caranya telah diterangkan oleh Allah Ta'ala dalam Kitab-Nya.
Batin adalah dengan dua kalimat syahadat yang mampu menyucikan orang dari kesyirikan.
Di akhir ayat wudu, Allah Ta'ala berfirman,
مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
" ... Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur." (QS Al Maidah: 6)
Demikianlah -wahai muslim- Allah Ta'ala mensyariatkan wudu kepadamu untuk membersihkan semua kesalahanmu, dan menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu.
Renungkanlah pembukaan ayat wudu yang menggunakan panggilan mulia,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟
"Wahai orang-orang yang beriman ..."
Allah Ta'ala mengarahkan firman-Nya kepada orang-orang yang memiliki sifat beriman. Karena sesungguhnya hanya merekalah yang siap menyimak perintah-perintah Allah dan mengambil manfaat darinya. Oleh karena itu, Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Tidak ada orang yang selalu memelihara wudu, kecuali seorang mukmin." (HR Ibnu Hibban (1037), Ahmad (5/282), Ibnu Majah (278), disahihkan matannya oleh Adz Dzahabi dalam Al Miizaan (6/560))."
020142
Abahnya 'Aashim
Fardu wudu ada enam:
1. Membasuh wajah, dan termasuk darinya adalah al madhmadhah (berkumur-kumur) dan al istinsyaaq (menghirup air ke dalam hidung lalu mengeluarkannya).
2. Membasuh kedua tangan sampai siku.
3. Mengusap kepala seluruhnya beserta kedua telinga.
4. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki.
5. Tertib.
6. Berurutan. (Lihat Daliil Ath Thaalib, hal. 10 karya Al Allamah Mar'i al Karmi al Hanbali)
Pada fardu wudu di atas ada empat anggota badan yang dikhususkan yakni no 1 - 4. Apa hikmah dikhususkannya empat anggota badan tersebut?
Syekh Saleh al Fawzan dalam Al Mulakhas Al Fiqhi hal. 25 - 26 beliau mengatakan:
"Hikmah -wallahu a'lam- dalam mengkhususkan empat anggota badan ini dalam wudu, karena yang paling cepat bergerak untuk melakukan dosa. Maka, dengan menyucikan lahirnya merupakan peringatan agar segera menyucikan batinnya.
Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa seorang muslim itu setiap kali menyucikan salah satu anggota badan tersebut, dihilangkan darinya kesalahan yang menimpanya lantaran anggota badan tersebut. Semua kesalahannya akan keluar bersama air atau tetes terakhir dari air itu.
Kemudian, Beliau shalallahu 'alaihi wa sallam membimbing kita setelah membasuh anggota-anggota tersebut kepada pembaharuan iman dengan dua kalimat syahadat, sebagai isyarat kepada penggabungan antara dua macam taharah yakni lahir dan batin.
Lahir adalah disucikan dengan air yang tata caranya telah diterangkan oleh Allah Ta'ala dalam Kitab-Nya.
Batin adalah dengan dua kalimat syahadat yang mampu menyucikan orang dari kesyirikan.
Di akhir ayat wudu, Allah Ta'ala berfirman,
مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
" ... Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur." (QS Al Maidah: 6)
Demikianlah -wahai muslim- Allah Ta'ala mensyariatkan wudu kepadamu untuk membersihkan semua kesalahanmu, dan menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu.
Renungkanlah pembukaan ayat wudu yang menggunakan panggilan mulia,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟
"Wahai orang-orang yang beriman ..."
Allah Ta'ala mengarahkan firman-Nya kepada orang-orang yang memiliki sifat beriman. Karena sesungguhnya hanya merekalah yang siap menyimak perintah-perintah Allah dan mengambil manfaat darinya. Oleh karena itu, Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Tidak ada orang yang selalu memelihara wudu, kecuali seorang mukmin." (HR Ibnu Hibban (1037), Ahmad (5/282), Ibnu Majah (278), disahihkan matannya oleh Adz Dzahabi dalam Al Miizaan (6/560))."
020142
Abahnya 'Aashim
Al-'Allamah Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam risalahnya yang berjudul "Risalah At-Tabukiyyah" berkata,
" Adapun hakekat takwa adalah melakukan ketaatan kepada Allah dengan keimanan dan mengharap pahala, (dengan melaksanakan) perintah dan (menjauhi) larangan. Maka melakukan apa-apa yang Allah perintahkan dengan keimanan dan membenarkan janji-Nya, dan meninggalkan apa-apa yang Allah larang dengan keimanan dan rasa takut dari ancaman-Nya.
Sebagaimana Tholaq bin Habib berkata: 'Jika terjadi fitnah maka berlindunglah dengan ketakwaan.' Mereka bertanya: 'Apa itu takwa?' Dia berkata: 'Engkau melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah dengan mengharap pahala dari Allah. Dan engkau menjauhi kemaksiatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena engkau takut azab dari Allah.'" [Selesai]
Dikutip dari footnote Al-Washiyah Ash-Shugro karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hal. 29. Penerbit Maktabah Darul Hamidhi, Riyadh.
" Adapun hakekat takwa adalah melakukan ketaatan kepada Allah dengan keimanan dan mengharap pahala, (dengan melaksanakan) perintah dan (menjauhi) larangan. Maka melakukan apa-apa yang Allah perintahkan dengan keimanan dan membenarkan janji-Nya, dan meninggalkan apa-apa yang Allah larang dengan keimanan dan rasa takut dari ancaman-Nya.
Sebagaimana Tholaq bin Habib berkata: 'Jika terjadi fitnah maka berlindunglah dengan ketakwaan.' Mereka bertanya: 'Apa itu takwa?' Dia berkata: 'Engkau melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah dengan mengharap pahala dari Allah. Dan engkau menjauhi kemaksiatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena engkau takut azab dari Allah.'" [Selesai]
Dikutip dari footnote Al-Washiyah Ash-Shugro karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hal. 29. Penerbit Maktabah Darul Hamidhi, Riyadh.
Siapakah Pahlawan?
"Seorang pahlawan adalah sosok yang selalu berusaha untuk memberi dan bukan minta diberi; yang bersedekah dan bukan minta disedekahi."
Ibnul Jauzi al-Hambali dalam Shoidul Khothir hal. 39.
"Seorang pahlawan adalah sosok yang selalu berusaha untuk memberi dan bukan minta diberi; yang bersedekah dan bukan minta disedekahi."
Ibnul Jauzi al-Hambali dalam Shoidul Khothir hal. 39.
"Aku wasiatkan bagi kalian dan diriku agar bertakwa kepada Allah Yang Maha Agung agar senantiasa bersama dengan sunnah dan jama'ah.
Kalian telah mengetahui keadaan orang-orang yang menyelisihinya dan pahala yang akan datang bagi orang-orang yang mengikutinya.
Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Sesungguhnya seorang hamba benar-benar akan dimasukkan oleh Allah ke dalam surga dengan sunnah dan berpegang teguh dengannya.' (HR Ad-Daruquthni)"
Sumber:
Al-Madkhol ilaa Madzhab Al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Karya Ibnu Badran ad-Dimasyqi al-Hambali.
Kalian telah mengetahui keadaan orang-orang yang menyelisihinya dan pahala yang akan datang bagi orang-orang yang mengikutinya.
Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Sesungguhnya seorang hamba benar-benar akan dimasukkan oleh Allah ke dalam surga dengan sunnah dan berpegang teguh dengannya.' (HR Ad-Daruquthni)"
Sumber:
Al-Madkhol ilaa Madzhab Al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Karya Ibnu Badran ad-Dimasyqi al-Hambali.
Self reminder ...
"Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang maka Dia akan membukakan untuknya pintu amalan dan menutup pintu perdebatan darinya. Dan jika Allah menghendaki keburukan bagi seseorang, maka Dia akan membukakan baginya pintu perdebatan dan menutup pintu amalan darinya." (Iqtidho-ul 'Ilmi, hal. 123)
"Jika Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum, Allah buka untuk mereka pintu perdebatan dan menghalangi mereka dari melakukan amalan." (Dzammul Kalam, hal. 916)
====
Tweet Syekh Dr. Muthlaq al Jasir, ulama dari Kuwait.
"Barangsiapa yang banyak berdebat, sedikit amalnya."
"Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang maka Dia akan membukakan untuknya pintu amalan dan menutup pintu perdebatan darinya. Dan jika Allah menghendaki keburukan bagi seseorang, maka Dia akan membukakan baginya pintu perdebatan dan menutup pintu amalan darinya." (Iqtidho-ul 'Ilmi, hal. 123)
"Jika Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum, Allah buka untuk mereka pintu perdebatan dan menghalangi mereka dari melakukan amalan." (Dzammul Kalam, hal. 916)
====
Tweet Syekh Dr. Muthlaq al Jasir, ulama dari Kuwait.
"Barangsiapa yang banyak berdebat, sedikit amalnya."
Memulaikan-Ilmu-Ustadz-Abdullah-Zaen.pdf
3.9 MB
Memulaikan-Ilmu-Ustadz-Abdullah-Zaen.pdf