Kitab-Kitab Ushul Fikih Karya Ulama Hanabilah
Berikut kitab-kitab ushul fikih dalam mazhab Hanbali yang ditulis oleh para ulamanya. Urutan bukan berdasarkan level, tetapi berdasasarkan tahun hijriah wafatnya para penulis rahimahumullah, di antaranya ialah:
1. Risaalah fii Ushul Al-Fiqh, karya Al-Akbariy (w. 428)
2. Al-'Uddah, karya Al-Qadhi Abu Ya'la (w. 458)
3. At-Tamhhiid, karya Abul Khathaab (w. 510)
4. Al-Waadhih, karya Ibnu 'Aqiil (w. 513)
5. Raudhatun Naadzir, karya Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah (w. 620)
6. Al-Musawwadah, karya keluarga Taimiyyah: Majduddin (w. 652), Syihhaabuddin (w. 682), dan Taqiyuddin (w. 728)
7. Al-Iidhaah li Qawaaniin Al-Ishthilaah, karya Ibnul Jauziy (w. 656)
8. Mukhtashar Raudhah An-Naadzir, karya Al-Ba'iliy (w. 709)
9. Al-Bulbul Mukhtashar Ar-Raudhah wa Syarhahhu, karya Ath-Thuufiy (w. 716)
10. Qawaa`idul Ushuul wa Ma'aaqidul Fushuul, karya Al-Baghdadi (w. 739)
11. Ushuul Fiqhi, karya Ibnu Muflih (w. 763)
12. Al-Mukhtashar fii Ushuulil Fiqh, karya Ibnu Al-Lahaam (w. 803)
13. At-Tahriir wa Syarhahhu At-Tahbiir, karya Al-Mardaawiy (w. 858)
14. Ghaayatus Suul ilaa 'Ilmil 'Ushuul wa Syarhahhu, karya Ibnu 'Abdil Hhaadiy (w. 909)
15. Al-Kawkibul Muniir Mukhtashar At-Tahriir wa Syarhahhu, karya Al-Futuuhiy (w. 972)
16. Mukhtashar fii 'Ilmi 'Ushuul Fiqh, karya Al-Abaabuthain (w. 1282)
17. Al-Madkhal ilaa Madzhhab Al-Imaam Ahmad, karya Ibnu Badraan (w. 1346)
18. Nuzhhatul 'Aathir Syarh Ar-Raudhah An-Naadzir, karya Ibnu Badraan (w. 1346)
Terus yang kudu dipelajari yang mana?
Level pertama, Al-Ushuul min 'Ilmil Ushuul karya Syaikh Ibnu 'Utsaimin. Syarahnya setahu saya untuk Al-Ushuul bisa pakai karya beliau sendiri atau syarah dari Dr. Sa'ad asy-Syatsiriy. Jangan lupa barengi dengan Al-Waraqaat karya Al-Juwainiy, syarahnya pakai karya Dr. Abdullah al-Fauzan. Pengen mantep lagi sekalian sama syarah Nazham Al-Waraqaat karya Syaikh Ibnu 'Utsaimin.
Level kedua, Al-Bulbul Mukhtashar Ar-Raudhah wa Syarhahhu, karya Al-Imam Ath-Thuufiy.
Level ketiga, Syarh Mukhtashar At-Tahriir yang masyhur disebut Syarh Al-Kawkibul Muniir, karya Al-Imam Ibnu Najjaar.
Level keempat, Ar-Raudhatun Naadzir karya Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah.
====
Qultu: Ini yang saya ketahui. Jika ada yang mau menambahkan atau mengoreksi silakan, saya senang sekali. Oh ya tulisan di atas saya ramu dari feqhweb dan islamweb.
Berikut kitab-kitab ushul fikih dalam mazhab Hanbali yang ditulis oleh para ulamanya. Urutan bukan berdasarkan level, tetapi berdasasarkan tahun hijriah wafatnya para penulis rahimahumullah, di antaranya ialah:
1. Risaalah fii Ushul Al-Fiqh, karya Al-Akbariy (w. 428)
2. Al-'Uddah, karya Al-Qadhi Abu Ya'la (w. 458)
3. At-Tamhhiid, karya Abul Khathaab (w. 510)
4. Al-Waadhih, karya Ibnu 'Aqiil (w. 513)
5. Raudhatun Naadzir, karya Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah (w. 620)
6. Al-Musawwadah, karya keluarga Taimiyyah: Majduddin (w. 652), Syihhaabuddin (w. 682), dan Taqiyuddin (w. 728)
7. Al-Iidhaah li Qawaaniin Al-Ishthilaah, karya Ibnul Jauziy (w. 656)
8. Mukhtashar Raudhah An-Naadzir, karya Al-Ba'iliy (w. 709)
9. Al-Bulbul Mukhtashar Ar-Raudhah wa Syarhahhu, karya Ath-Thuufiy (w. 716)
10. Qawaa`idul Ushuul wa Ma'aaqidul Fushuul, karya Al-Baghdadi (w. 739)
11. Ushuul Fiqhi, karya Ibnu Muflih (w. 763)
12. Al-Mukhtashar fii Ushuulil Fiqh, karya Ibnu Al-Lahaam (w. 803)
13. At-Tahriir wa Syarhahhu At-Tahbiir, karya Al-Mardaawiy (w. 858)
14. Ghaayatus Suul ilaa 'Ilmil 'Ushuul wa Syarhahhu, karya Ibnu 'Abdil Hhaadiy (w. 909)
15. Al-Kawkibul Muniir Mukhtashar At-Tahriir wa Syarhahhu, karya Al-Futuuhiy (w. 972)
16. Mukhtashar fii 'Ilmi 'Ushuul Fiqh, karya Al-Abaabuthain (w. 1282)
17. Al-Madkhal ilaa Madzhhab Al-Imaam Ahmad, karya Ibnu Badraan (w. 1346)
18. Nuzhhatul 'Aathir Syarh Ar-Raudhah An-Naadzir, karya Ibnu Badraan (w. 1346)
Terus yang kudu dipelajari yang mana?
Level pertama, Al-Ushuul min 'Ilmil Ushuul karya Syaikh Ibnu 'Utsaimin. Syarahnya setahu saya untuk Al-Ushuul bisa pakai karya beliau sendiri atau syarah dari Dr. Sa'ad asy-Syatsiriy. Jangan lupa barengi dengan Al-Waraqaat karya Al-Juwainiy, syarahnya pakai karya Dr. Abdullah al-Fauzan. Pengen mantep lagi sekalian sama syarah Nazham Al-Waraqaat karya Syaikh Ibnu 'Utsaimin.
Level kedua, Al-Bulbul Mukhtashar Ar-Raudhah wa Syarhahhu, karya Al-Imam Ath-Thuufiy.
Level ketiga, Syarh Mukhtashar At-Tahriir yang masyhur disebut Syarh Al-Kawkibul Muniir, karya Al-Imam Ibnu Najjaar.
Level keempat, Ar-Raudhatun Naadzir karya Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah.
====
Qultu: Ini yang saya ketahui. Jika ada yang mau menambahkan atau mengoreksi silakan, saya senang sekali. Oh ya tulisan di atas saya ramu dari feqhweb dan islamweb.
❤1
Bagaimana Mengetahui Pendapat Mu'tamad dalam Mazhab Hanbali?
Yang masyhur dari mazhab menurut ulama Muta'akhirin yakni, setiap apa saja yang disepakati di dua kitab; "Al-Iqnaa'" dan "Al-Muntahhaa" karena dikeduanya banyak penelitian. Jika di keduanya ada perbedaan, maka merujuklah ke "Al-Ghaayah."
Imam As-Safarini (w. 1888) menyampaikan wasiatnya kepada para muridnya orang-orang Nejd, "Berpeganglah kalian kepada dua kitab: Al-Iqnaa dan Al-Muntahhaa, jika di keduanya ada perselisihan lihatlah apa yang dirajihkan oleh penulis Al-Ghaayah."
Syaikh Muhammad Aalu Ismail berkata, "Jika ada yang diperselisihkan di dua kitab tersebut maka rujuklah ke kitab Ghaayatul Muntahhaa fiil Jam'i bainal Iqnaa wal Muntahhaa dan syarahnya yakni Mathaalib Ulin Nuhhaa."
Join on Telegram @sunnaheduofficial
Yang masyhur dari mazhab menurut ulama Muta'akhirin yakni, setiap apa saja yang disepakati di dua kitab; "Al-Iqnaa'" dan "Al-Muntahhaa" karena dikeduanya banyak penelitian. Jika di keduanya ada perbedaan, maka merujuklah ke "Al-Ghaayah."
Imam As-Safarini (w. 1888) menyampaikan wasiatnya kepada para muridnya orang-orang Nejd, "Berpeganglah kalian kepada dua kitab: Al-Iqnaa dan Al-Muntahhaa, jika di keduanya ada perselisihan lihatlah apa yang dirajihkan oleh penulis Al-Ghaayah."
Syaikh Muhammad Aalu Ismail berkata, "Jika ada yang diperselisihkan di dua kitab tersebut maka rujuklah ke kitab Ghaayatul Muntahhaa fiil Jam'i bainal Iqnaa wal Muntahhaa dan syarahnya yakni Mathaalib Ulin Nuhhaa."
Join on Telegram @sunnaheduofficial
Bacaan Lanjutan Fikih Hanbali
1. Muntahhaa Al-Iraadaat fii Jam'i Al-Muqni' maa' At-Tanqiih wa Ziyaadaat, cukup panjang judulnya, tapi biasa dikenal dengan judul Muntahhaa Al-Iraadaat saja.
Kitab ini ditulis oleh Al-Faqih Al-Imam Ibnu Najjaar al-Futuhiy (w. 972). Disebutkan bahwa kitab ini kitab yang mu'tamad dan ringkas. Klo dengan tahqiq dari Syaikh Abdullah at-Turkiy jumlah halamannya 901 halaman. Hm ...
Dalam menyusun kitab ini, Imam Ibnu Najjaar mengumpulkan permasalahan yang ada dari dua kitab (ketahuan dari judulnya kan), yakni kitab Al-Muqni' karya Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah (w. 620) dan At-Tanqiih karya 'Alaauddin Al-Mardaawiy (w. 885) plus tambahan pembahasan dari Ibnu Najjaar sendiri.
Metode penulisannya menjelaskan qaul yang shahih dan rajih dalam mazhab. Dan kitab ini dijadikan rujukan para ulama Hanabilah dalam masalah peradilan, fatwa, dan KBM.
Syarah dan haasyiyah untuk kitab ini a.l.:
- Ma'uunah Uuliin Nuhhaa Syarh Al-Muntaha, karya beliau sendiri.
- Daqaaiq Uuliin Nuhhaa lisyarhil Muntahhaa biasa dikenal dengan Syarh Muntahhaa Al-Iraadaat, karya Al-Buhutiy (w. 1051). Al-Buhuti pun punya haasyiyah atas kitab ini.
- Haasyiyah Ibnu Qaaid 'ala Muntahhaa Al-Iraadaat, karya Ibnu Qaaid an-Najdiy (w. 1097)
2. Al-Iqnaa' fii Fiqhi Al-Imaam Ahmad ibn Hanbal, karya Syarifuddin Abun Najaa Musa al-Hajjaawiy (w. 968) shahib Zaad Al-Mustaqni'.
Disebutkan bahwa kitab ini hasil perkawinan antara kitab Al-Furuu' karya Ibnu Muflih (w. 763) salah satu murid cerdasnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (w. 728) dengan Al-Inshaaf, Tashiihul Furuu', dan At-Tanqiih karya 'Alaauddin Al-Mardaawiy (w. 885) . Di dalamnya terdapat aqwal para ulama Hanabilah era Mutaqaddimiin dan Muta'akhiriin. Ketika terjadi khilaf, Al-Hajjawwiy memilih pentashihan masalah dari gurunya Al-Mardaawiy yakni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (w. 728). Dan dalam beberapa permasalahan Al-Hajjawwiy memiliki pendapat berbeda dengan pendapat yang masyhur dalam mazhab.
Syaikh Abdul Lathif Muhammad Musa telah mentahqiq kitab ini, jumlahnya empat jilid.
Ibnul 'Imaad (w. 970) memberikan testimoni terhadap kitab ini, "Tidak ada kitab seperti ini yang ditulis yang penuh dengan nukilan dan menyajikan banyak permasalahan."
Syarah dan haasyiyah untuk kitab ini:
- Kasyaaful Qinaa' fii Syarhil Iqnaa', karya Al-Buhutiy (w. 1051). Beliau pun punya haasyiyah atas Al-Iqnaa' ini.
3. Al-Inshaaf fii Ma'rifatir Raajih minal Khilaaf, karya 'Alauddin 'Ali bin Sulaiman al-Mardaawiy (w. 885).
Kitab ini merupakan kitab muqaaran (perbandingan) intern mazhab. Di dalamnya dikumpulkan riwayat-riwayat yang warid di setiap masalah fikih dari Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241) dan menyebutkan yang mu'tamad dalam madzhab darinya berdasarkan qiyas, ushul, dan nushushnya. Serta banyak memberikan catatan faedah terkait khilaf yang terjadi.
Terkait sebab penulisan kitab ini, beliau menyampaikan dalam mukadimahnya, "Sesungguhnya kitab Al-Muqni' karya Syaikhul Islam Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah (w. 620) merupakan kitab yang sangat besar manfaatnya. Sayangnya, beliau memutlakkan sebagian masalah yang diperselisihkan tanpa adanya tarjih. Oleh karena itu, aku memandang perlu adanya pentashihan dalam perkara ini." Selesai dengan diringkas kas banget. Capek ngetiknya.
4. Al-Furuu' fiil Fiqhi Al-Hanbaliy, karya Al-Qaadhiy Syamsuddin Muhammad bin Muflih ad-Dimasyqiy (w. 763).
Disebutkan bahwa kitab ini merupakan kitab yang utama yang mengumpulkan aqwal para ulama dalam banyak masalah dengan gaya bahasa yang mudah. Beliau pun menyajikan dalil dan ta'lil (argumen) yang argumennya ini disajikan dengan mudah agar dihafal dan dipahami.
Katanya di mukadimahnya, "Ini adalah kitab fikih berdasarkan mazhab Al-Imam Abi Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy-Syaibaniy radhiyallahu 'anhu. Aku telah bersungguh-sungguh merangkum dan menyuntingnya agar bermanfaat untuk para santri."
Ibnu Abdil Hhaadiy (w. 909) memberikan testimoni, "Kitab ini merupakan sapu jagadnya mazhab."
Kitab ini tercetak bersama tashih dan haasyiyahnya yang ditahqiq oleh Syaikh Abdullah at-Turkiy sebanyak dua belas jilid. [ ]
====
Qultu:
1. Muntahhaa Al-Iraadaat fii Jam'i Al-Muqni' maa' At-Tanqiih wa Ziyaadaat, cukup panjang judulnya, tapi biasa dikenal dengan judul Muntahhaa Al-Iraadaat saja.
Kitab ini ditulis oleh Al-Faqih Al-Imam Ibnu Najjaar al-Futuhiy (w. 972). Disebutkan bahwa kitab ini kitab yang mu'tamad dan ringkas. Klo dengan tahqiq dari Syaikh Abdullah at-Turkiy jumlah halamannya 901 halaman. Hm ...
Dalam menyusun kitab ini, Imam Ibnu Najjaar mengumpulkan permasalahan yang ada dari dua kitab (ketahuan dari judulnya kan), yakni kitab Al-Muqni' karya Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah (w. 620) dan At-Tanqiih karya 'Alaauddin Al-Mardaawiy (w. 885) plus tambahan pembahasan dari Ibnu Najjaar sendiri.
Metode penulisannya menjelaskan qaul yang shahih dan rajih dalam mazhab. Dan kitab ini dijadikan rujukan para ulama Hanabilah dalam masalah peradilan, fatwa, dan KBM.
Syarah dan haasyiyah untuk kitab ini a.l.:
- Ma'uunah Uuliin Nuhhaa Syarh Al-Muntaha, karya beliau sendiri.
- Daqaaiq Uuliin Nuhhaa lisyarhil Muntahhaa biasa dikenal dengan Syarh Muntahhaa Al-Iraadaat, karya Al-Buhutiy (w. 1051). Al-Buhuti pun punya haasyiyah atas kitab ini.
- Haasyiyah Ibnu Qaaid 'ala Muntahhaa Al-Iraadaat, karya Ibnu Qaaid an-Najdiy (w. 1097)
2. Al-Iqnaa' fii Fiqhi Al-Imaam Ahmad ibn Hanbal, karya Syarifuddin Abun Najaa Musa al-Hajjaawiy (w. 968) shahib Zaad Al-Mustaqni'.
Disebutkan bahwa kitab ini hasil perkawinan antara kitab Al-Furuu' karya Ibnu Muflih (w. 763) salah satu murid cerdasnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (w. 728) dengan Al-Inshaaf, Tashiihul Furuu', dan At-Tanqiih karya 'Alaauddin Al-Mardaawiy (w. 885) . Di dalamnya terdapat aqwal para ulama Hanabilah era Mutaqaddimiin dan Muta'akhiriin. Ketika terjadi khilaf, Al-Hajjawwiy memilih pentashihan masalah dari gurunya Al-Mardaawiy yakni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (w. 728). Dan dalam beberapa permasalahan Al-Hajjawwiy memiliki pendapat berbeda dengan pendapat yang masyhur dalam mazhab.
Syaikh Abdul Lathif Muhammad Musa telah mentahqiq kitab ini, jumlahnya empat jilid.
Ibnul 'Imaad (w. 970) memberikan testimoni terhadap kitab ini, "Tidak ada kitab seperti ini yang ditulis yang penuh dengan nukilan dan menyajikan banyak permasalahan."
Syarah dan haasyiyah untuk kitab ini:
- Kasyaaful Qinaa' fii Syarhil Iqnaa', karya Al-Buhutiy (w. 1051). Beliau pun punya haasyiyah atas Al-Iqnaa' ini.
3. Al-Inshaaf fii Ma'rifatir Raajih minal Khilaaf, karya 'Alauddin 'Ali bin Sulaiman al-Mardaawiy (w. 885).
Kitab ini merupakan kitab muqaaran (perbandingan) intern mazhab. Di dalamnya dikumpulkan riwayat-riwayat yang warid di setiap masalah fikih dari Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241) dan menyebutkan yang mu'tamad dalam madzhab darinya berdasarkan qiyas, ushul, dan nushushnya. Serta banyak memberikan catatan faedah terkait khilaf yang terjadi.
Terkait sebab penulisan kitab ini, beliau menyampaikan dalam mukadimahnya, "Sesungguhnya kitab Al-Muqni' karya Syaikhul Islam Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah (w. 620) merupakan kitab yang sangat besar manfaatnya. Sayangnya, beliau memutlakkan sebagian masalah yang diperselisihkan tanpa adanya tarjih. Oleh karena itu, aku memandang perlu adanya pentashihan dalam perkara ini." Selesai dengan diringkas kas banget. Capek ngetiknya.
4. Al-Furuu' fiil Fiqhi Al-Hanbaliy, karya Al-Qaadhiy Syamsuddin Muhammad bin Muflih ad-Dimasyqiy (w. 763).
Disebutkan bahwa kitab ini merupakan kitab yang utama yang mengumpulkan aqwal para ulama dalam banyak masalah dengan gaya bahasa yang mudah. Beliau pun menyajikan dalil dan ta'lil (argumen) yang argumennya ini disajikan dengan mudah agar dihafal dan dipahami.
Katanya di mukadimahnya, "Ini adalah kitab fikih berdasarkan mazhab Al-Imam Abi Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy-Syaibaniy radhiyallahu 'anhu. Aku telah bersungguh-sungguh merangkum dan menyuntingnya agar bermanfaat untuk para santri."
Ibnu Abdil Hhaadiy (w. 909) memberikan testimoni, "Kitab ini merupakan sapu jagadnya mazhab."
Kitab ini tercetak bersama tashih dan haasyiyahnya yang ditahqiq oleh Syaikh Abdullah at-Turkiy sebanyak dua belas jilid. [ ]
====
Qultu:
Bacaan Tingkat Tinggi Fikih Hanbali
Kita lanjutkan postingan kemarin, masih tentang kitab-kitab fikih Hanbali yang sepatutnya diketahui oleh Hanabilah Nusantara sebelum menyelami satu per satu kitab-kitab yang telah disebutkan. Kini tentang bacaan tingkat tingginya, yakni:
1. Asy-Syarhul Kabiir 'alaal Muqni', karya Syamsuddin Abul Faraj Abdurrahman bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisiy (w. 682), keponakannya Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah (w. 620).
Disebutkan bahwa Syamsuddin Abul Faraj meminta izin kepada pamannya untuk menulis penjelasan atas kitab Al-Muqni' yang ditulis oleh pamannya sendiri. Kitab Al-Muqni' ini merupakan kitab yang disusun oleh Al-Muwaffaq yang di dalamnya menyebutkan dua riwayat dalam mazhab dalam suatu permasalahan.
Syamsuddin Abul Faraj menyusun syarahnya yang diambil dari kitab Al-Mughniy karya pamannya, Al-Muwaffaq. Di dalamnya disebutkan perkara-perkara furu', wujuh (suatu hukum yang diterima pada suatu permasalahan dari ash-haab Al-Imam), dan riwayat (suatu hukum yang diriwayatkan dari Al-Imam dalam suatu permasalahan). Beliau tidak meninggalkan penjelasan dari Al-Mughniy kecuali sedikit saja.
Metode penyusunannya menyebutkan dulu masalah yang ada di kitab Al-Muqni' lalu menjelaskannya kemudian menyebutkan pendapat pamannya serta yang menyelisihinya. Selain itu, menyebutkan pula dalil lalu argumen yang dipilihnya kemudian menyebutkan dalil yang menyelisihinya. Alhasil, metodenya ini berjalan di atas ikatan dalam mazhab Al-Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallahu 'anhu.
Bakr Abu Zaid (w. 1429) mengatakan di kitabnya Al-Madkhal Al-Mufashal li Madzhab Al-Imaam Ahmad, "Ada tiga perbedaan antara Asy-Syarhul Kabiir dengan Al-Mughniy:
- Ada sebagian pembahasan dari Al-Mughniy yang dilewatkannya.
- Menambahkan beberapa riwayat dan wujuh.
- Mengaitkan hadits-hadits dalam suatu permasalahan yang dilewatkan oleh pamannya di Al-Mughniy.
2. Al-Mughniy, salah satu kitab besar dalam fikih Islam untuk disiplin ilmu perbandingan mazhab ini merupakan masterpiecenya Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisiy (w. 620), salah seorang ulama era Mutawashithiin.
Kitab ini adalah syarah atas mukhtashar fikih Hanbali yang ditulis oleh Abul Qaasim 'Umar bin Al-Husain bin Abdillah al-Khiraqiy (w. 334), seorang ulama era Mutaqaddimiin.
Al-Mughniy disusun oleh Al-Muwaffaq dengan menyajikan permasalahan dan dalilnya, lalu menyebutkan pendapat tak hanya intern mazhab yang memiliki beberapa riwayat tapi juga menyebutkan pendapat dari mazhab-mazhab lain beserta dalilnya. Kemudian menyebutkan pendapatnya dengan perkataan "wa lana".
Berikut beberapa testimoni terkait kitab ini:
" Salah satu kitab dalam fikih Islam yang agung, di mana penulisnya telah mencurahkan kemampuannya sehingga menjadi karya yang diharapkan umat. Beliau melakukannya sunguh-sungguh dan dengan baik, sehingga mazhab ini harum dengannya dan umat mempelajarinya," kata Ibnu Badraan (w. 1346).
'Izzuddin bin 'Abdissalaam (w. 660) berkata, "Tidaklah aku melihat kitab-kitab fikih Islam yang seperti Al-Muhallaa karya Ibnu Hazm dan kitab Al-Mughniy karya Syaikh Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah terkait kualitasnya. Mereka telah melakukan pencapaian yang luar biasa." Dikesempatan lain beliau berkata, "Tidaklah aku memberikan fatwa kecuali setelah merujuk kepada Al-Mughniy."
Adz-Dzahhabiy (w. 748) mengomentari testimoni di atas, "Benarlah apa yang dikatakan oleh 'Izzuddin bin 'Abdissalaam, dan kitab yang ketiga ialah As-Sunanul Kubraa karya Al-Baihaqiy, yang keempat At-Tamhhiid karya Ibnu 'Abdil Barr."
Bakr Abu Zaid (w. 1429) berkata, "Di dalam kitab Al-Mughniy mengandung dalil-dalil, khilaf yang tinggi antarmazhab, dan khilaf intern mazhab. Juga terdapat argumen untuk menunjang hukum yang ada, menyimpulkan khilaf, dan faedahnya. Tujuannya adalah untuk membuka gerbang pemahaman ijtihad dalam permasalahan-permasalahan fikih."
#end ...
====
Qultu:
Buat kita yang masih newbie, jangan coba-coba bergaya Fulan gak ada dalilnya, Alan dalilnya lemah. Gak ada dalil atau Anda yang belum tahu dalil? Dalilnya lemah ataukah Anda yang lemah pem
Kita lanjutkan postingan kemarin, masih tentang kitab-kitab fikih Hanbali yang sepatutnya diketahui oleh Hanabilah Nusantara sebelum menyelami satu per satu kitab-kitab yang telah disebutkan. Kini tentang bacaan tingkat tingginya, yakni:
1. Asy-Syarhul Kabiir 'alaal Muqni', karya Syamsuddin Abul Faraj Abdurrahman bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisiy (w. 682), keponakannya Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah (w. 620).
Disebutkan bahwa Syamsuddin Abul Faraj meminta izin kepada pamannya untuk menulis penjelasan atas kitab Al-Muqni' yang ditulis oleh pamannya sendiri. Kitab Al-Muqni' ini merupakan kitab yang disusun oleh Al-Muwaffaq yang di dalamnya menyebutkan dua riwayat dalam mazhab dalam suatu permasalahan.
Syamsuddin Abul Faraj menyusun syarahnya yang diambil dari kitab Al-Mughniy karya pamannya, Al-Muwaffaq. Di dalamnya disebutkan perkara-perkara furu', wujuh (suatu hukum yang diterima pada suatu permasalahan dari ash-haab Al-Imam), dan riwayat (suatu hukum yang diriwayatkan dari Al-Imam dalam suatu permasalahan). Beliau tidak meninggalkan penjelasan dari Al-Mughniy kecuali sedikit saja.
Metode penyusunannya menyebutkan dulu masalah yang ada di kitab Al-Muqni' lalu menjelaskannya kemudian menyebutkan pendapat pamannya serta yang menyelisihinya. Selain itu, menyebutkan pula dalil lalu argumen yang dipilihnya kemudian menyebutkan dalil yang menyelisihinya. Alhasil, metodenya ini berjalan di atas ikatan dalam mazhab Al-Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallahu 'anhu.
Bakr Abu Zaid (w. 1429) mengatakan di kitabnya Al-Madkhal Al-Mufashal li Madzhab Al-Imaam Ahmad, "Ada tiga perbedaan antara Asy-Syarhul Kabiir dengan Al-Mughniy:
- Ada sebagian pembahasan dari Al-Mughniy yang dilewatkannya.
- Menambahkan beberapa riwayat dan wujuh.
- Mengaitkan hadits-hadits dalam suatu permasalahan yang dilewatkan oleh pamannya di Al-Mughniy.
2. Al-Mughniy, salah satu kitab besar dalam fikih Islam untuk disiplin ilmu perbandingan mazhab ini merupakan masterpiecenya Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisiy (w. 620), salah seorang ulama era Mutawashithiin.
Kitab ini adalah syarah atas mukhtashar fikih Hanbali yang ditulis oleh Abul Qaasim 'Umar bin Al-Husain bin Abdillah al-Khiraqiy (w. 334), seorang ulama era Mutaqaddimiin.
Al-Mughniy disusun oleh Al-Muwaffaq dengan menyajikan permasalahan dan dalilnya, lalu menyebutkan pendapat tak hanya intern mazhab yang memiliki beberapa riwayat tapi juga menyebutkan pendapat dari mazhab-mazhab lain beserta dalilnya. Kemudian menyebutkan pendapatnya dengan perkataan "wa lana".
Berikut beberapa testimoni terkait kitab ini:
" Salah satu kitab dalam fikih Islam yang agung, di mana penulisnya telah mencurahkan kemampuannya sehingga menjadi karya yang diharapkan umat. Beliau melakukannya sunguh-sungguh dan dengan baik, sehingga mazhab ini harum dengannya dan umat mempelajarinya," kata Ibnu Badraan (w. 1346).
'Izzuddin bin 'Abdissalaam (w. 660) berkata, "Tidaklah aku melihat kitab-kitab fikih Islam yang seperti Al-Muhallaa karya Ibnu Hazm dan kitab Al-Mughniy karya Syaikh Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah terkait kualitasnya. Mereka telah melakukan pencapaian yang luar biasa." Dikesempatan lain beliau berkata, "Tidaklah aku memberikan fatwa kecuali setelah merujuk kepada Al-Mughniy."
Adz-Dzahhabiy (w. 748) mengomentari testimoni di atas, "Benarlah apa yang dikatakan oleh 'Izzuddin bin 'Abdissalaam, dan kitab yang ketiga ialah As-Sunanul Kubraa karya Al-Baihaqiy, yang keempat At-Tamhhiid karya Ibnu 'Abdil Barr."
Bakr Abu Zaid (w. 1429) berkata, "Di dalam kitab Al-Mughniy mengandung dalil-dalil, khilaf yang tinggi antarmazhab, dan khilaf intern mazhab. Juga terdapat argumen untuk menunjang hukum yang ada, menyimpulkan khilaf, dan faedahnya. Tujuannya adalah untuk membuka gerbang pemahaman ijtihad dalam permasalahan-permasalahan fikih."
#end ...
====
Qultu:
Buat kita yang masih newbie, jangan coba-coba bergaya Fulan gak ada dalilnya, Alan dalilnya lemah. Gak ada dalil atau Anda yang belum tahu dalil? Dalilnya lemah ataukah Anda yang lemah pem
👍1
ahamannya?
So, jangan menjustifikasi dulu sebelum Anda menelaah argumentasi para fuqaha di kitab-kitab mereka bila Anda memiliki kemampuan untuk itu. Jika tidak, lebih baik diam, karena kita sama-sama orang awam. [ ]
Salam,
Dari pembelajar pemula fikih Hanbali
Abu 'Aashim
So, jangan menjustifikasi dulu sebelum Anda menelaah argumentasi para fuqaha di kitab-kitab mereka bila Anda memiliki kemampuan untuk itu. Jika tidak, lebih baik diam, karena kita sama-sama orang awam. [ ]
Salam,
Dari pembelajar pemula fikih Hanbali
Abu 'Aashim
Berkata Abu Dawud, aku bertanya kepada Imam Amad: "Bagaimana tata cara takbir?"
Beliau menjawab: "Seperti takbir Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu:
الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر، ولله الحمد
Kami meriwayatkan pula dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhu, takbirnya tiga kali selebihnya seperti takbir Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu. (Masaa-il Abii Daawud, 429)
===
Qultu:
Takbir tiga kali riwayat dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhu maksudnya diawalnya tiga kali:
الله أكبر الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر، ولله الحمد
Beliau menjawab: "Seperti takbir Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu:
الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر، ولله الحمد
Kami meriwayatkan pula dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhu, takbirnya tiga kali selebihnya seperti takbir Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu. (Masaa-il Abii Daawud, 429)
===
Qultu:
Takbir tiga kali riwayat dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhu maksudnya diawalnya tiga kali:
الله أكبر الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر، ولله الحمد
Berkata Ibnu Hani: "Aku bertanya tentang takbir pada shalat 'Ied."
Beliau menjawab: "Bertakbir tujuh kali di rakaat pertama dan lima kali di rakaat kedua."
Aku bertanya: "Apa yang dibaca di antara takbir tersebut?"
Beliau menjawab: "Tasbih, tahlil, dan shalawat atas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam." (Masaa-il Ibn Hhaani, 466)
Beliau menjawab: "Bertakbir tujuh kali di rakaat pertama dan lima kali di rakaat kedua."
Aku bertanya: "Apa yang dibaca di antara takbir tersebut?"
Beliau menjawab: "Tasbih, tahlil, dan shalawat atas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam." (Masaa-il Ibn Hhaani, 466)
Berkata Abu Bakr ibn Abi Dun-yaa, "Aku bertanya kepada Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy-Syaibani, tentang apa yang dibaca di antara takbir dalam shalat 'Ied."
Beliau menjawab: "Memuji Allah 'Azza wa Jalla dan shalawat atas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam." (Thabaqaat Al-Hanaabilah, 2/42)
Berkata Ali bin Ahmad al-Anmathi, "Ahmad bin Hanbal ditanya, "Apa yang sepatutnya diucapkan seseorang ketika di antara takbir shalat 'Ied?"
Beliau menjawab:
"سبحان الله، والحمد لله، ولا إله إلا الله، والله أكبر، اللهم صل على محمد وعلى آل محمد، واغفر لنا وارحمنا
dan itulah yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu." (Thabaqaat Al-Hanaabilah, 2/117)
Beliau menjawab: "Memuji Allah 'Azza wa Jalla dan shalawat atas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam." (Thabaqaat Al-Hanaabilah, 2/42)
Berkata Ali bin Ahmad al-Anmathi, "Ahmad bin Hanbal ditanya, "Apa yang sepatutnya diucapkan seseorang ketika di antara takbir shalat 'Ied?"
Beliau menjawab:
"سبحان الله، والحمد لله، ولا إله إلا الله، والله أكبر، اللهم صل على محمد وعلى آل محمد، واغفر لنا وارحمنا
dan itulah yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu." (Thabaqaat Al-Hanaabilah, 2/117)
Memberi Ucapan Selamat Hari Raya Menurut Imam Ahmad radhiyallahu 'anhu
Abu Dawud berkata: "Imam Ahmad ditanya tentang ucapan
تقبل الله منا ومنك
di hari raya.
Beliau menjawab: Aku berharap hal tersebut tidak masalah." (Masaa-il Abii Daawud, 436)
Dalam Masaa-il Ibnu Hani (673) terkait pertanyaan yang sama, Imam Ahmad menjawab: "Jawab -ucapan selamat hari raya dari mereka- dan jika engkau memulainya terlebih dahulu maka tidak masalah."
Diriwayatkan pula dari Harb tentang pertanyaan yang sama, Imam Ahmad menjawab: "Tidak masalah, riwayatnya Ahli Syam dari Abi Umamah."
Beliau ditanya: "Apa tidak makruh mengucapkan hal tersebut di hari raya?"
Jawabnya: "Tidak." (Al-Mughni, 3/294 dan Ma'uunah Uuliin Nuhhaa, 2/526)
Abu Dawud berkata: "Imam Ahmad ditanya tentang ucapan
تقبل الله منا ومنك
di hari raya.
Beliau menjawab: Aku berharap hal tersebut tidak masalah." (Masaa-il Abii Daawud, 436)
Dalam Masaa-il Ibnu Hani (673) terkait pertanyaan yang sama, Imam Ahmad menjawab: "Jawab -ucapan selamat hari raya dari mereka- dan jika engkau memulainya terlebih dahulu maka tidak masalah."
Diriwayatkan pula dari Harb tentang pertanyaan yang sama, Imam Ahmad menjawab: "Tidak masalah, riwayatnya Ahli Syam dari Abi Umamah."
Beliau ditanya: "Apa tidak makruh mengucapkan hal tersebut di hari raya?"
Jawabnya: "Tidak." (Al-Mughni, 3/294 dan Ma'uunah Uuliin Nuhhaa, 2/526)
1. Sering kita dengar nama Ibnu Qudamah. Kadang sebagian dari kita menganggap sama antara Ibnu Qudamah penulis kitab Al-Mughni dengan Ibnu Qudamah penulis kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin. Padahal keduanya berbeda.
2. Setidaknya ada tiga orang ulama yang sama-sama dari Aalu (keluarga) Qudamah. Dua telah disebutkan, dan satu lagi penulis kitab 'Umdatul Ahkam.
3. Pertama Abdillah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi al-Hambali, Abu Muhammad. Gelarnya Al-Muwaffaq. Lahir di Jamaili Palestina 541H, wafat di Damaskus 620H. Karya2 a.l. Lum'atul 'Itiqad, Umdatul Fiqh, Al-Muqni, Al-Kaafi, dan Al-Mughni.
4. Kedua Ahmad bin Abdirrahman bin Abi Umar bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi al-Hambali, Abul Abbas. Gelarnya Najmuddin. Lahir 651 H, wafat 689 H. Salah satu karyanya yang terkenal ialah Mukhtashar Minhajul Qashidin.
5. Ketiga Abdul Ghani bin Abdul Wahid bin Ali bin Surur bin Qudamah al-Maqdisi al-Hambali, Abu Muhammad. Gelarnya Taqiyuddin. Lahir di Jamaili Palestina 541 H, wafat di Mesir 600 H. Karyanya a.l. Umdatul Ahkam Sughra dan Umdatul Ahkam Kubra.
6. Ah! Ada satu lagi yang hampir saya lupa. Sama-sama dari Aalu Qudamah juga. Jadi semuanya empat orang.
7. Yakni Abdirrahman bin Abi Umar Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi al-Hambali, Abul Faraj. Gelarnya Syamsuddin. Lahir 597 H, wafat tahun 682 H. Karya yang terkenal Syarhul Kabir penjelasan atas Al-Muqni karya Al-Muwaffaq.
8. Well, Aalu Qudamah adalah keluarga para ulama, ilmu dan ahlinya.
#mazhab_hambali #fikih_hambali #ulama_hambali
Source: Catatan lama saya di Twitter.
2. Setidaknya ada tiga orang ulama yang sama-sama dari Aalu (keluarga) Qudamah. Dua telah disebutkan, dan satu lagi penulis kitab 'Umdatul Ahkam.
3. Pertama Abdillah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi al-Hambali, Abu Muhammad. Gelarnya Al-Muwaffaq. Lahir di Jamaili Palestina 541H, wafat di Damaskus 620H. Karya2 a.l. Lum'atul 'Itiqad, Umdatul Fiqh, Al-Muqni, Al-Kaafi, dan Al-Mughni.
4. Kedua Ahmad bin Abdirrahman bin Abi Umar bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi al-Hambali, Abul Abbas. Gelarnya Najmuddin. Lahir 651 H, wafat 689 H. Salah satu karyanya yang terkenal ialah Mukhtashar Minhajul Qashidin.
5. Ketiga Abdul Ghani bin Abdul Wahid bin Ali bin Surur bin Qudamah al-Maqdisi al-Hambali, Abu Muhammad. Gelarnya Taqiyuddin. Lahir di Jamaili Palestina 541 H, wafat di Mesir 600 H. Karyanya a.l. Umdatul Ahkam Sughra dan Umdatul Ahkam Kubra.
6. Ah! Ada satu lagi yang hampir saya lupa. Sama-sama dari Aalu Qudamah juga. Jadi semuanya empat orang.
7. Yakni Abdirrahman bin Abi Umar Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi al-Hambali, Abul Faraj. Gelarnya Syamsuddin. Lahir 597 H, wafat tahun 682 H. Karya yang terkenal Syarhul Kabir penjelasan atas Al-Muqni karya Al-Muwaffaq.
8. Well, Aalu Qudamah adalah keluarga para ulama, ilmu dan ahlinya.
#mazhab_hambali #fikih_hambali #ulama_hambali
Source: Catatan lama saya di Twitter.
Yusuf bin Asbath berkata: Sufyan berkata, "Kami tidak pernah melihat zuhud yang lebih sedikit dibanding zuhud dalam hal kepemimpinan.
Engkau bisa melihat orang yang zuhud dalam harta, pakaian, dan makanan. Tapi jika sudah dipersengketakan dalam masalah kepemimpinan, maka dia pun membela atau memusuhi atas dasar itu." (Al Wara' no. 349)
Ya Rabb ...
Lindungilah kami dari fitnah kepemimpinan.
Engkau bisa melihat orang yang zuhud dalam harta, pakaian, dan makanan. Tapi jika sudah dipersengketakan dalam masalah kepemimpinan, maka dia pun membela atau memusuhi atas dasar itu." (Al Wara' no. 349)
Ya Rabb ...
Lindungilah kami dari fitnah kepemimpinan.
USHUL ISTINBATH MADZHAB HANBALI
Sumber hukum menurut Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu adalah sebagai berikut:
PERTAMA
Nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah)
Maksudnya ialah nash-nash Al-Qur’anul Karim dan sunnah yang shahih, dan menurut Imam Ahmad rahimahullahu keduanya berada dalam satu urutan dari segi penjelasan hukum syar’i. Meskipun nash-nash Al-Qur’an menurutnya lebih didahulukan daripada nash-nash sunnah dari segi i’tibar (pertimbangan hukum).
Dan jika mendapati sebuah nash, maka ia berfatwa dengan konteksnya, dan tidak berpaling pada amal, pendapat atau qiyas yang bertentangan dengannya, tidak juga kepada perkataan sahabat dan selain sahabat yang bertentangan, tidak juga kepada pendapat yang belum diketahui apakah ada yang menentangnya atau tidak, karena menurutnya ia bukanlah ijma’. (Lihat: ‘Ilamul Muwaqqi’in karya Ibnul Qayyim, 1/29 – 30; Al-Madkhal ila Madzhab al-Imam Ahmad, hal. 48; Ushul Madzhab Al-Imam Ahmad, hal. 106).
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/26/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-1/
KEDUA
Ijma’
Yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat ini pada masa tertentu atas permasalahan syar’i setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat: Raudhatun Nadhir karya Ibnu Qudamah, 1/423; dan Al-Kaukab Al-Munir, 1/219).
Ijma’ adalah salah satu ushul istinbath menurut Imam Ahmad rahimahullahu dan beliau sudah menashkan penggunaannya sebagaimana dinukilkan oleh murid-murid dan pengikutnya.
Al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullahu berkata, “Ijma’ adalah hujjah yang qath’i, yang mengharuskan merujuk padanya, serta haram untuk menyalahinya. Dan umat tidak dibenarkan bersepakat atas hal yang salah.
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/26/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-2/
KETIGA
Fatwa Sahabat Jika Tidak Ada yang Menentangnya
Jika Imam Ahmad rahimahullahu menemukan fatwa dari beberapa sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak diketahui ada yang menentangnya, maka ia menggunakannya dan tidak beralih pada yang lain, dan ia mendahulukannya atas pendapat, amal –bisa jadi yang dimaksud di sini ialah amal penduduk Madina–, qiyas, hadits mursal, dan hadits dhaif; bahkan sebagian pengikutnya menganggapnya sebagai ijma. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqh karya Al-Qadhi Abu Ya’la, 4/1170).
Abu Daud as-Sijistani rahimahullahu berkata, “Ahmad bin Hanbal rahimhullahu berkata: ‘Aku tidaklah memberikan jawaban atas sebuah permasalahan kecuali dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika aku menemukan jalan untuk itu, atau dari sahabat, atau dari tabi’in.
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/27/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-3/
KEEMPAT
Mengambil Hadits Mursal dan Lemah sebagai Dalil Jika Tidak Ada Dalil yang Menyanggah Persoalan Tersebut
Hadits mursl adalah hadits yang sanad terakhirnya setelah tabi’in terputus. Atau apa yang dinisbatkan olrh tabi’in kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; di mana seorang tabi’in mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda”. Dan ini adalah pengertian hadits mursal menurut ahli hadits.
Sedangkan menurut ahli ushul fiqih; hadits mursal berlaku baik untuk hadits yang perawinya kalangan tabi’in maupun selain tabi’in. Mereka berpendapat bahwa hadits mursal ialah seseorang selain Nabi shallallahu ‘aaihi wa sallam pada setiap masa mengatakan: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda”. (Lihat: At-Tahbir Syarh at-Tahrir, 5/2136; Syarh al-Kaukab al-Munir, 2/574; dan sebagainya).
Dan yang dimaksud dengan hadits dhaif (lemah) adaah hadits yang sisi kelemahannya tidak parah; yang mana ia tidak bathil, tidak munkar, serta tidak ada unsur kebohongan di dalamnya.
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/27/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-4/
KELIMA
Qiyas
Dan qiyas yang diakui Imam Ahmad rahimahullahu adalah qiyas masalah furu’ pada permasalahan pokok yang ada nashnya jika menyerupainya dalam segala hal, dan disebut dnegan qiyyas ‘illah. Imam Ahmad mengatakan dalam riwayat Al-Hasan bin Hasan: “Qiyas adalah menganalogikan sesuatu kepada hukum pokok jika semisal dengannya dalam segala hal.” (Lihat: Al-Musawwadah, hal. 7
Sumber hukum menurut Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu adalah sebagai berikut:
PERTAMA
Nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah)
Maksudnya ialah nash-nash Al-Qur’anul Karim dan sunnah yang shahih, dan menurut Imam Ahmad rahimahullahu keduanya berada dalam satu urutan dari segi penjelasan hukum syar’i. Meskipun nash-nash Al-Qur’an menurutnya lebih didahulukan daripada nash-nash sunnah dari segi i’tibar (pertimbangan hukum).
Dan jika mendapati sebuah nash, maka ia berfatwa dengan konteksnya, dan tidak berpaling pada amal, pendapat atau qiyas yang bertentangan dengannya, tidak juga kepada perkataan sahabat dan selain sahabat yang bertentangan, tidak juga kepada pendapat yang belum diketahui apakah ada yang menentangnya atau tidak, karena menurutnya ia bukanlah ijma’. (Lihat: ‘Ilamul Muwaqqi’in karya Ibnul Qayyim, 1/29 – 30; Al-Madkhal ila Madzhab al-Imam Ahmad, hal. 48; Ushul Madzhab Al-Imam Ahmad, hal. 106).
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/26/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-1/
KEDUA
Ijma’
Yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat ini pada masa tertentu atas permasalahan syar’i setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat: Raudhatun Nadhir karya Ibnu Qudamah, 1/423; dan Al-Kaukab Al-Munir, 1/219).
Ijma’ adalah salah satu ushul istinbath menurut Imam Ahmad rahimahullahu dan beliau sudah menashkan penggunaannya sebagaimana dinukilkan oleh murid-murid dan pengikutnya.
Al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullahu berkata, “Ijma’ adalah hujjah yang qath’i, yang mengharuskan merujuk padanya, serta haram untuk menyalahinya. Dan umat tidak dibenarkan bersepakat atas hal yang salah.
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/26/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-2/
KETIGA
Fatwa Sahabat Jika Tidak Ada yang Menentangnya
Jika Imam Ahmad rahimahullahu menemukan fatwa dari beberapa sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak diketahui ada yang menentangnya, maka ia menggunakannya dan tidak beralih pada yang lain, dan ia mendahulukannya atas pendapat, amal –bisa jadi yang dimaksud di sini ialah amal penduduk Madina–, qiyas, hadits mursal, dan hadits dhaif; bahkan sebagian pengikutnya menganggapnya sebagai ijma. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqh karya Al-Qadhi Abu Ya’la, 4/1170).
Abu Daud as-Sijistani rahimahullahu berkata, “Ahmad bin Hanbal rahimhullahu berkata: ‘Aku tidaklah memberikan jawaban atas sebuah permasalahan kecuali dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika aku menemukan jalan untuk itu, atau dari sahabat, atau dari tabi’in.
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/27/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-3/
KEEMPAT
Mengambil Hadits Mursal dan Lemah sebagai Dalil Jika Tidak Ada Dalil yang Menyanggah Persoalan Tersebut
Hadits mursl adalah hadits yang sanad terakhirnya setelah tabi’in terputus. Atau apa yang dinisbatkan olrh tabi’in kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; di mana seorang tabi’in mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda”. Dan ini adalah pengertian hadits mursal menurut ahli hadits.
Sedangkan menurut ahli ushul fiqih; hadits mursal berlaku baik untuk hadits yang perawinya kalangan tabi’in maupun selain tabi’in. Mereka berpendapat bahwa hadits mursal ialah seseorang selain Nabi shallallahu ‘aaihi wa sallam pada setiap masa mengatakan: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda”. (Lihat: At-Tahbir Syarh at-Tahrir, 5/2136; Syarh al-Kaukab al-Munir, 2/574; dan sebagainya).
Dan yang dimaksud dengan hadits dhaif (lemah) adaah hadits yang sisi kelemahannya tidak parah; yang mana ia tidak bathil, tidak munkar, serta tidak ada unsur kebohongan di dalamnya.
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/27/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-4/
KELIMA
Qiyas
Dan qiyas yang diakui Imam Ahmad rahimahullahu adalah qiyas masalah furu’ pada permasalahan pokok yang ada nashnya jika menyerupainya dalam segala hal, dan disebut dnegan qiyyas ‘illah. Imam Ahmad mengatakan dalam riwayat Al-Hasan bin Hasan: “Qiyas adalah menganalogikan sesuatu kepada hukum pokok jika semisal dengannya dalam segala hal.” (Lihat: Al-Musawwadah, hal. 7
👍1
32).
Dan di antara riwayat yang dinukil dari Imam Ahmad rahimahullahu tentang amal dengan qiyas dan dianggap sebagai hujjah adalah pernyataannya dalam riwayat Bakr bin Muhammad dari ayahnya: “Seseorang tidak bisa melepas kebutuhannya akan qiyas. Seorang hakim dan imam yang dihadapkan pada sebuah permasalahan, hendaknya dia menghimpun manusia dan mengambil qiyas dan mengambil kemripan dalam persoalan, sebagaimana yang ditulis oleh Umar radhiallahu ‘anhu kepada Syuraih: “Qiyaskanlah berbagai perkara”. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqih, 4/1280).
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/27/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-5/
KEENAM
Istihsan
Adalah meninggalkan keniscayaan qiyas kepada dalil yang menurut seorang mujtahid lebih kuat darinya; dan jenis istihsan ini diakui oleh Imam Ahmad rahimahullahu karena dalil tersebut menguatkannya. Dan jika ia tidak memiliki sandaran kecuali hawa nafsu, maka ini yang diingkari oleh Imam Ahmad. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqih, 4/1604; Raudhatun an-Nadhir, 2/31; dan Ushul Madzhab Imam Ahmad, hal. 575).
Dan di antara riwayat tenang amal dengan istihsan menurut Imam Ahmad adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Maimuni dari Ahmad bahwa sesungguhnya ia berkata: “Aku menggunakan istihsan untuk menetapkan tayammum untuk tiap kali shalat, meski menurut ketentuan qiyas bahwa tayammum berkedudukan seperti wudhu dengan air dan seseorang tidak batal hingga ia berhadats atau mendapatkan air”. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqih, 5/1604).
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/27/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-6/
KETUJUH
Istishhab
Adalah melestarikan penetapan yang telah ditetapkan sebelumnya atau peniadaan apa yang tidak ada sebelumnya. Atau yang dimaksud adalah tetap pada hukum asal dalam hal yang belum diketahui ketetapannya atau ketiadaannya dnegan hukum syar’i. (Lihat: Majmu’ Fatawa, 11/342).
Dan istishhab adalah hujjah menurut Imam Ahmad rahimahullahu ketika tidak ada dalil yang berupa nash, atau ijma’, atau perkataan sahabat atau fatwa mereka, atau qiyas; sehingga tidak boleh menggunakan istishhab sebagai dalil kecuali ketika tidak ada penukilan”. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqih, 4/1262 – 1263; Al-Musawwadah, hal 488; Al-Madkhal ila Madzhab Imam Ahamd, hal. 144; Mafatih al-Fiqh al-Hanbali, 1/382; dan Ushul Madzhab Imam Ahmad, hal. 423
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/27/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-7/
KEDELAPAN
Saddu Dzarai’
Yaitu melarang suatu hal yang zhahirnya adalah boleh jika hal tersebut menjadi sarana terjadinya hal yang haram. (Lihat: Al-Fatawa al-Kubra, 3/256 dan I’lam al-Muwaqqi’i, 3/135).
Dan dasar hukum ini terbangun atas kenyataan bahwa ibrah (yang menjadi pertimbangan) dalam syarat adalah tujuan dan niat, dan bahwa mempertimbangkan konsekuensi dan akibat perbuatan adalah diakui dan menjadi tujuan syariat. (Lihat: I’lam al-Muwaqqi’i, 3/164, 188, 194).
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/27/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-8/
====
Ingin baca lengkap? Sila ke tautan yang disediakan.
Dan di antara riwayat yang dinukil dari Imam Ahmad rahimahullahu tentang amal dengan qiyas dan dianggap sebagai hujjah adalah pernyataannya dalam riwayat Bakr bin Muhammad dari ayahnya: “Seseorang tidak bisa melepas kebutuhannya akan qiyas. Seorang hakim dan imam yang dihadapkan pada sebuah permasalahan, hendaknya dia menghimpun manusia dan mengambil qiyas dan mengambil kemripan dalam persoalan, sebagaimana yang ditulis oleh Umar radhiallahu ‘anhu kepada Syuraih: “Qiyaskanlah berbagai perkara”. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqih, 4/1280).
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/27/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-5/
KEENAM
Istihsan
Adalah meninggalkan keniscayaan qiyas kepada dalil yang menurut seorang mujtahid lebih kuat darinya; dan jenis istihsan ini diakui oleh Imam Ahmad rahimahullahu karena dalil tersebut menguatkannya. Dan jika ia tidak memiliki sandaran kecuali hawa nafsu, maka ini yang diingkari oleh Imam Ahmad. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqih, 4/1604; Raudhatun an-Nadhir, 2/31; dan Ushul Madzhab Imam Ahmad, hal. 575).
Dan di antara riwayat tenang amal dengan istihsan menurut Imam Ahmad adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Maimuni dari Ahmad bahwa sesungguhnya ia berkata: “Aku menggunakan istihsan untuk menetapkan tayammum untuk tiap kali shalat, meski menurut ketentuan qiyas bahwa tayammum berkedudukan seperti wudhu dengan air dan seseorang tidak batal hingga ia berhadats atau mendapatkan air”. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqih, 5/1604).
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/27/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-6/
KETUJUH
Istishhab
Adalah melestarikan penetapan yang telah ditetapkan sebelumnya atau peniadaan apa yang tidak ada sebelumnya. Atau yang dimaksud adalah tetap pada hukum asal dalam hal yang belum diketahui ketetapannya atau ketiadaannya dnegan hukum syar’i. (Lihat: Majmu’ Fatawa, 11/342).
Dan istishhab adalah hujjah menurut Imam Ahmad rahimahullahu ketika tidak ada dalil yang berupa nash, atau ijma’, atau perkataan sahabat atau fatwa mereka, atau qiyas; sehingga tidak boleh menggunakan istishhab sebagai dalil kecuali ketika tidak ada penukilan”. (Lihat: Al-‘Uddah fi Ushul Fiqih, 4/1262 – 1263; Al-Musawwadah, hal 488; Al-Madkhal ila Madzhab Imam Ahamd, hal. 144; Mafatih al-Fiqh al-Hanbali, 1/382; dan Ushul Madzhab Imam Ahmad, hal. 423
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/27/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-7/
KEDELAPAN
Saddu Dzarai’
Yaitu melarang suatu hal yang zhahirnya adalah boleh jika hal tersebut menjadi sarana terjadinya hal yang haram. (Lihat: Al-Fatawa al-Kubra, 3/256 dan I’lam al-Muwaqqi’i, 3/135).
Dan dasar hukum ini terbangun atas kenyataan bahwa ibrah (yang menjadi pertimbangan) dalam syarat adalah tujuan dan niat, dan bahwa mempertimbangkan konsekuensi dan akibat perbuatan adalah diakui dan menjadi tujuan syariat. (Lihat: I’lam al-Muwaqqi’i, 3/164, 188, 194).
Read More https://sunnahedu.com/2017/07/27/ushul-istinbath-dalam-madzhab-hanbali-8/
====
Ingin baca lengkap? Sila ke tautan yang disediakan.
KEWAJIBAN KITA TERHADAP APA YANG ALLAH PERINTAHKAN
Syekh al Islam Muhammad bin Abdul Wahab al Najd al Hanbali rahimahullah (115 – 1206 H) berkata:
Jika Allah Ta’ala memerintahkan seorang hamba dengan suatu perkara, maka wajib atasnya untuk mengerjakannya. Dalam masalah ini ada tujuh hal:
1. mengilmuinya,
2. mencintainya,
3. tekad untuk melakukannya,
4. beramal,
5. sesuai syariat secara ikhlas dan benar,
6. memperingatkan dari perbuatan yang dapat menghapuskan amal, dan
7. teguh di atasnya.
PERTAMA: MENGILMUINYA
Jika seorang hamba mengetahui bahwasanya Allah Ta’ala memerintahkan untuk menauhidkan-Nya dan melarangnya dari melakukan kesyirikan, atau dia mengetahui bahwasanya Allah Ta’ala menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, atau mengetahui bahwa Allah Ta’ala mengharamkan memakan harta anak yatim dan menghalalkan untuk memakannya bagi walinya dengan cara yang makruf jika wali tersebut fakir, maka wajib atasnya mengetahui perkara-perkara tersebut dan bertanya tentangnya kepada orang yang mengetahuinya, dan dia pun harus mengetahui hal yang dilarang darinya serta bertanya tentangnya kepada orang yang mengetahuinya. Maka, yang perlu diperhatikan pada perkara yang pertama ini adalah masalah tauhid dan syirik.
Mayoritas orang mengetahui bahwa tauhid itu benar dan syirik itu batil, akan tetapi mereka berpaling darinya dan tidak bertanya. Mereka mengetahui bahwa Allah Ta’ala mengharamkan riba, akan tetapi mereka berjual beli dengannya dan tidak bertanya. Mereka mengetahui haramnta memakan harta anak yatim dan boleh memakannya dengan cara yang makruf, akan tetapi mereka mengambil alih harta yatim tersebut dan tidak bertanya.
Read More https://sunnahedu.com/2020/06/04/kewajiban-kita-terhadap-apa-yang-allah-perintahkan/
📚 Sumber: Risalah Wajibunaa Nahwa maa Amaronaallooh bihi.
✍️ Alih bahasa: Abu ‘Aashim Nanang Ismail
Syekh al Islam Muhammad bin Abdul Wahab al Najd al Hanbali rahimahullah (115 – 1206 H) berkata:
Jika Allah Ta’ala memerintahkan seorang hamba dengan suatu perkara, maka wajib atasnya untuk mengerjakannya. Dalam masalah ini ada tujuh hal:
1. mengilmuinya,
2. mencintainya,
3. tekad untuk melakukannya,
4. beramal,
5. sesuai syariat secara ikhlas dan benar,
6. memperingatkan dari perbuatan yang dapat menghapuskan amal, dan
7. teguh di atasnya.
PERTAMA: MENGILMUINYA
Jika seorang hamba mengetahui bahwasanya Allah Ta’ala memerintahkan untuk menauhidkan-Nya dan melarangnya dari melakukan kesyirikan, atau dia mengetahui bahwasanya Allah Ta’ala menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, atau mengetahui bahwa Allah Ta’ala mengharamkan memakan harta anak yatim dan menghalalkan untuk memakannya bagi walinya dengan cara yang makruf jika wali tersebut fakir, maka wajib atasnya mengetahui perkara-perkara tersebut dan bertanya tentangnya kepada orang yang mengetahuinya, dan dia pun harus mengetahui hal yang dilarang darinya serta bertanya tentangnya kepada orang yang mengetahuinya. Maka, yang perlu diperhatikan pada perkara yang pertama ini adalah masalah tauhid dan syirik.
Mayoritas orang mengetahui bahwa tauhid itu benar dan syirik itu batil, akan tetapi mereka berpaling darinya dan tidak bertanya. Mereka mengetahui bahwa Allah Ta’ala mengharamkan riba, akan tetapi mereka berjual beli dengannya dan tidak bertanya. Mereka mengetahui haramnta memakan harta anak yatim dan boleh memakannya dengan cara yang makruf, akan tetapi mereka mengambil alih harta yatim tersebut dan tidak bertanya.
Read More https://sunnahedu.com/2020/06/04/kewajiban-kita-terhadap-apa-yang-allah-perintahkan/
📚 Sumber: Risalah Wajibunaa Nahwa maa Amaronaallooh bihi.
✍️ Alih bahasa: Abu ‘Aashim Nanang Ismail
sunnahedu.com
Kewajiban Kita Terhadap Apa yang Allah Perintahkan - sunnahedu.com
Jika Allah Ta’ala memerintahkan seorang hamba dengan suatu perkara, maka wajib atasnya untuk mengerjakannya. Dalam masalah ini ada tujuh hal:
ISTILAH YANG TERMASYHUR DI FIKIH MAZHAB HANBALI
Sebagaimana mazhab lain, mazhab Hanbali juga terkenal dengan istilah-istilah yang digunakan oleh ulama fikih dalam kitab-kitab rujukan mereka untuk mengungkapkan makna-makna tertentu. Istilah tersebut sebenarnya membedakan antara perkataan dan nash dari imam mazhab dengan perkataan ulama mazhab beserta ijtihad dan takhrij mereka pada sumber hukum utama dan kaidah mazhab beserta segala permasalahan yang dibahasnya, yang tidak ada nashnya dari imam pendiri mazhab.
Dikenal juga adanya sebutan-sebutan tertentu yang ditujukan pada karangan atau imam-imam dari kalangan tokoh mazhab. Sebagaimana populer juga istilah tahqiq dan tamhish (telaah dan pemilahan) antara perkataan dan riwayat yang ada di mazhab tersebut.
Dan setiap istilah tersebut digunakan untuk ungkapan yang banyak dan sering disebut sehingga pembahasaan menjadi lebih ringkas.
Dengan memperhatikan istilah-istilah tersebut, kita bisa menyebutkannya secara global sebagai berikut:
PERTAMA:
Istilah Khusus untuk Membedakan antara Perkataan Imam dengan Perkataan Pengikutnya
1. Ar Riwayah: Ini adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan hukum yang diriwayatkan oleh salah satu murid Imam Ahmad rahimahullah darinya dalam suatu permasalahan, dan dibagi menjadi dua bagian:
2. Al Wajh: Hukum yang dinukil dalam suatu permasalahan oleh beberapa mujtahid dalam mazhab yang berjalan di atas kaidah ushul, dan nash-nash yang telah ditentukan oleh imam, dan ada kalanya bertentangan dengan kaidah imam jika ada dalil yang menguatkan pendapatnya. (Lihat: Al Musawwadah, hal. 532)
KEDUA
Istilah Khusus untuk Tarjih dan Tashih dalam Mazhab
Ini adalah istilah yang digunakan oleh para pengarang untuk mengungkapkan tarjih antara riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah atau tarjih antara beberapa qoul, wajh, dan lainnya. Dan di antara istilah yang paling penting adalah:
1. Al Ashoh, fi al Ashoh, as Shohih, fi as Shohih minal Madzhab, fi Shohih 'anhu, fi Ashohi al Qoulain al Aqwal, al Wajhaian al Aujuh, al Awwal Ashoh, Hiya Ashoh, al Awwal Aqyas wa Ashoh, hadza Shohihun 'indi.
2. Al Masyhur, fi al Masyhur 'anhu, 'ala al Masyhur, al Asyhar.
3. Al Adhhar, Adh-haruhuma, 'ala al Adhhar, fi al Adhhar, fi Adh-haril Wajhain, fi Adh-hari al Aujuh.
4. Riwayah Wahidah, Qoulun Wahidan, Wajhan Wahidan.
KETIGA
Istilah untuk Beberapa Ulama dalam Madzhab
Di antara istilah yang digunakan dalam kitab-kitab karangan mazhab, ada istilah yang digunakan untuk para tokoh, dan mereka menggunakan julukan mereka yang masyhur agar pembahasan menjadi ringkas dan tidak bertele-tele dengan banyaknya nama. Dan di antara istilah-istilah yang paling masyhur adalah:
1. Al Qodhi: Maksudnya adalah Al Qodhi Muhammad bin Al Husain bin Muhammad bin Kholaf bin Ahmad bin Al Farro', yang dikenal dengan nama Abu Ya'la (w. 458 H). Ini adalah julukan Abu Ya'la yang digunakan oleh kalangan ulama pada fase mutawasithun hingga pertengahan tahun delapan ratusan.
Sedangkan kalangan ulama mutaakhirun seperti pengarang kitab Al Iqna' dan kitab Al Muntaha, mereka menyebutkan istilah Al Qodhi tapi yang mereka maksudkan adalah Al Qodhi Alauddin Ali bin Sulaiman Al Mardawi (w. 885 H).
2. As Syaikh: Maksudnya adalah Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdillah bin Qudamah Al Maqdisi (w. 629 H). Dan ini adalah istilah yang digunakan oleh ulama fase mutawassithin seperti Ibnu Qodhi Al Jabal (w. 771 H), As Syamsu bin Muflih dan Ibnu Al Lahham (w. 803 H), dan Abu Bakar bin Zaid Al Jura'i.
Sedangkan menurut kalangan ulama mutaakhirun, yang mereka maksud dengan As Syaikh adalah Abul Abbas Ahmad bin Abd Al Halim bin Taimiyah (w. 728 H).
📚 Diringkas dari Empat Mazhab Fikih. Penyusun Departemen Fatwa Kuwait.
Semilir angin dari Gunung Merbabu,
✍ Abu 'Aashim Nanang Ismail
Ingin baca versi lengkapnya? Jangan malu klik tautan berikut https://sunnahedu.com/2020/06/05/istilah-yang-termasyhur-di-fikih-mazhab-hanbali/
Sebagaimana mazhab lain, mazhab Hanbali juga terkenal dengan istilah-istilah yang digunakan oleh ulama fikih dalam kitab-kitab rujukan mereka untuk mengungkapkan makna-makna tertentu. Istilah tersebut sebenarnya membedakan antara perkataan dan nash dari imam mazhab dengan perkataan ulama mazhab beserta ijtihad dan takhrij mereka pada sumber hukum utama dan kaidah mazhab beserta segala permasalahan yang dibahasnya, yang tidak ada nashnya dari imam pendiri mazhab.
Dikenal juga adanya sebutan-sebutan tertentu yang ditujukan pada karangan atau imam-imam dari kalangan tokoh mazhab. Sebagaimana populer juga istilah tahqiq dan tamhish (telaah dan pemilahan) antara perkataan dan riwayat yang ada di mazhab tersebut.
Dan setiap istilah tersebut digunakan untuk ungkapan yang banyak dan sering disebut sehingga pembahasaan menjadi lebih ringkas.
Dengan memperhatikan istilah-istilah tersebut, kita bisa menyebutkannya secara global sebagai berikut:
PERTAMA:
Istilah Khusus untuk Membedakan antara Perkataan Imam dengan Perkataan Pengikutnya
1. Ar Riwayah: Ini adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan hukum yang diriwayatkan oleh salah satu murid Imam Ahmad rahimahullah darinya dalam suatu permasalahan, dan dibagi menjadi dua bagian:
2. Al Wajh: Hukum yang dinukil dalam suatu permasalahan oleh beberapa mujtahid dalam mazhab yang berjalan di atas kaidah ushul, dan nash-nash yang telah ditentukan oleh imam, dan ada kalanya bertentangan dengan kaidah imam jika ada dalil yang menguatkan pendapatnya. (Lihat: Al Musawwadah, hal. 532)
KEDUA
Istilah Khusus untuk Tarjih dan Tashih dalam Mazhab
Ini adalah istilah yang digunakan oleh para pengarang untuk mengungkapkan tarjih antara riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah atau tarjih antara beberapa qoul, wajh, dan lainnya. Dan di antara istilah yang paling penting adalah:
1. Al Ashoh, fi al Ashoh, as Shohih, fi as Shohih minal Madzhab, fi Shohih 'anhu, fi Ashohi al Qoulain al Aqwal, al Wajhaian al Aujuh, al Awwal Ashoh, Hiya Ashoh, al Awwal Aqyas wa Ashoh, hadza Shohihun 'indi.
2. Al Masyhur, fi al Masyhur 'anhu, 'ala al Masyhur, al Asyhar.
3. Al Adhhar, Adh-haruhuma, 'ala al Adhhar, fi al Adhhar, fi Adh-haril Wajhain, fi Adh-hari al Aujuh.
4. Riwayah Wahidah, Qoulun Wahidan, Wajhan Wahidan.
KETIGA
Istilah untuk Beberapa Ulama dalam Madzhab
Di antara istilah yang digunakan dalam kitab-kitab karangan mazhab, ada istilah yang digunakan untuk para tokoh, dan mereka menggunakan julukan mereka yang masyhur agar pembahasan menjadi ringkas dan tidak bertele-tele dengan banyaknya nama. Dan di antara istilah-istilah yang paling masyhur adalah:
1. Al Qodhi: Maksudnya adalah Al Qodhi Muhammad bin Al Husain bin Muhammad bin Kholaf bin Ahmad bin Al Farro', yang dikenal dengan nama Abu Ya'la (w. 458 H). Ini adalah julukan Abu Ya'la yang digunakan oleh kalangan ulama pada fase mutawasithun hingga pertengahan tahun delapan ratusan.
Sedangkan kalangan ulama mutaakhirun seperti pengarang kitab Al Iqna' dan kitab Al Muntaha, mereka menyebutkan istilah Al Qodhi tapi yang mereka maksudkan adalah Al Qodhi Alauddin Ali bin Sulaiman Al Mardawi (w. 885 H).
2. As Syaikh: Maksudnya adalah Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdillah bin Qudamah Al Maqdisi (w. 629 H). Dan ini adalah istilah yang digunakan oleh ulama fase mutawassithin seperti Ibnu Qodhi Al Jabal (w. 771 H), As Syamsu bin Muflih dan Ibnu Al Lahham (w. 803 H), dan Abu Bakar bin Zaid Al Jura'i.
Sedangkan menurut kalangan ulama mutaakhirun, yang mereka maksud dengan As Syaikh adalah Abul Abbas Ahmad bin Abd Al Halim bin Taimiyah (w. 728 H).
📚 Diringkas dari Empat Mazhab Fikih. Penyusun Departemen Fatwa Kuwait.
Semilir angin dari Gunung Merbabu,
✍ Abu 'Aashim Nanang Ismail
Ingin baca versi lengkapnya? Jangan malu klik tautan berikut https://sunnahedu.com/2020/06/05/istilah-yang-termasyhur-di-fikih-mazhab-hanbali/