mam Sibawaih.
Menurut Al-Qurtubi, fatukhzuni memakai huruf kha artinya "menggodaku dengan seenaknya".
Al-Kisai dan Al-Farra mengatakan bahwa bentuk asalnya adalah ilahun. kemudian mereka membuang hamzah dan memasukkan alif lam, lalu mereka meng-idgam (memasuk)kan lam pertama kepada lam kedua hingga jadilah Allah, seperti yang terdapat di dalam bacaan Al-Hasan terhadap firman-Nya,
#lākinna huwallāhu rabbi,#
bentuk asalnya ialah
#lākin ana,#
yakni "tetapi Aku".
Al-Qurtubi mengatakan, selanjutnya dikatakan bahwa lafaz "Allah" berasal dari walaha yang artinya "bingung", karena al-walah artinya "hilangnya akal". Dikatakan rajulun walihun dan imra-atun walha atau mauluhah artinya "bilamana dia dikirim ke padang pasir". Allah SWT membingungkan mereka dalam memikirkan hakikat sifat-Nya. Berdasarkan pengertian ini berarti bentuk asalnya adalah wilahun, kemudian huruf wawu diganti dengan hamzah, sebagaimana dikatakan oleh mereka
#wisyahun#
menjadi
#isyahun#
, dan
#wisadah#
menjadi
#isadah#
.
Ar-Razi mengatakan, bentuk asalnya adalah
#alihtu ilafidan#
yang artinya "aku tinggal di tempat si Fulan" Dengan kata lain, akal manusia tidak akan tenang kecuali dengan berzikir mengingat-Nya. Roh tidak akan gembira kecuali dengan makrifat kepada-Nya, karena Dia-lah Yang Mahasempurna secara mutlak, bukan yang lain-Nya, Allah SWT telah berfirman;
*اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ*
#Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.#
(Ar-Ra'd, [13:28])
Ar-Razi mengatakan, menurut pendapat yang lain berasal dari
#laha yaiuhu#
yang artinya "bila terhalang". Menurut pendapat lainnya lagi berasal dari alihal fasilu, artinya "anak unta itu merindukan induk-nya". Makna yang dimaksud ialah bahwa semua hamba rindu dan gandrung kepada-Nya dengan ber-tadarru' (merendahkan diri) kepada-Nya dalam setiap keadaan. Menurut pendapat lain, lafaz "Allah" berasal dari
#alihar rajula ya-lahu#
; dikatakan demikian bila dia merasa terkejut terhadap suatu peristiwa yang menimpa dirinya, kemudian dilindungi. Yang melindungi semua makhluk dari segala marabahaya adalah Allah SWT, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
*وَهُوَ يُجِيْرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ*
#sedang Dia melindungi. tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya.#
(Al-Mu'minun, [23:88])
Dia-lah Yang memberi nikmat, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
*وَمَا بِكُمْ مِّنْ نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ*
#Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allah-lah (datangnya).#
(An-Nahl, [16:53]),
Dia-lah yang memberi makan, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
*وَهُوَ يُطْعِمُ وَلَا يُطْعَمُ*
#Dia memberi makan dan tidak diberi makan.#
(Al-An'am, [6:14]),
Dia-lah yang mengadakan segala sesuatu, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
*قُلْ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ*
#Katakanlah, "Segala sesuatu dari sisi Allah."#
(An-Nisa, [4:78])
Ar-Razi sendiri memilih pendapat yang mengatakan bahwa lafaz "Allah" adalah isim yang tidak ber-musytaq sama sekali, hal ini merupakan pendapat Imam Khalil dan Imam Sibawaih serta kebanyakan ulama Usul dan ulama Fiqih. Kemudian Ar-Razi mengemukakan dalil yang memperkuat pendapatnya itu dengan berbagai alasan, antara lain ialah "seandainya lafaz 'Allah' mempunyai isytiqaq, niscaya maknanya dimiliki pula oleh selain-Nya yang banyak jumlahnya". Alasan lainnya ialah bahwa semua nama disebut sebagai sifat untuk-Nya. misalnya dikatakan Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Raja, lagi Mahasuci. Hal ini menunjukkan bahwa lafaz "Allah" tidak ber-musytaq. Ar-Razi mengatakan mengenai firman-Nya yang mengatakan:
*الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ*
#Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji, yaitu Allah.#
(Ibrahim, [14:1])
Menurut qiraah yang membaca jar lafaz "Allah", hal ini dianggap termasuk ke dalam Bab "Ataf Bayan". Alasan lainnya ialah berdasarkan firman Allah SWT:
*هَلْ تَعْلَمُ لَهٗ سَمِيًّا*
#Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?#
(Maryam, [19:65])
Akan tetapi, berpegang kepada da
Menurut Al-Qurtubi, fatukhzuni memakai huruf kha artinya "menggodaku dengan seenaknya".
Al-Kisai dan Al-Farra mengatakan bahwa bentuk asalnya adalah ilahun. kemudian mereka membuang hamzah dan memasukkan alif lam, lalu mereka meng-idgam (memasuk)kan lam pertama kepada lam kedua hingga jadilah Allah, seperti yang terdapat di dalam bacaan Al-Hasan terhadap firman-Nya,
#lākinna huwallāhu rabbi,#
bentuk asalnya ialah
#lākin ana,#
yakni "tetapi Aku".
Al-Qurtubi mengatakan, selanjutnya dikatakan bahwa lafaz "Allah" berasal dari walaha yang artinya "bingung", karena al-walah artinya "hilangnya akal". Dikatakan rajulun walihun dan imra-atun walha atau mauluhah artinya "bilamana dia dikirim ke padang pasir". Allah SWT membingungkan mereka dalam memikirkan hakikat sifat-Nya. Berdasarkan pengertian ini berarti bentuk asalnya adalah wilahun, kemudian huruf wawu diganti dengan hamzah, sebagaimana dikatakan oleh mereka
#wisyahun#
menjadi
#isyahun#
, dan
#wisadah#
menjadi
#isadah#
.
Ar-Razi mengatakan, bentuk asalnya adalah
#alihtu ilafidan#
yang artinya "aku tinggal di tempat si Fulan" Dengan kata lain, akal manusia tidak akan tenang kecuali dengan berzikir mengingat-Nya. Roh tidak akan gembira kecuali dengan makrifat kepada-Nya, karena Dia-lah Yang Mahasempurna secara mutlak, bukan yang lain-Nya, Allah SWT telah berfirman;
*اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ*
#Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.#
(Ar-Ra'd, [13:28])
Ar-Razi mengatakan, menurut pendapat yang lain berasal dari
#laha yaiuhu#
yang artinya "bila terhalang". Menurut pendapat lainnya lagi berasal dari alihal fasilu, artinya "anak unta itu merindukan induk-nya". Makna yang dimaksud ialah bahwa semua hamba rindu dan gandrung kepada-Nya dengan ber-tadarru' (merendahkan diri) kepada-Nya dalam setiap keadaan. Menurut pendapat lain, lafaz "Allah" berasal dari
#alihar rajula ya-lahu#
; dikatakan demikian bila dia merasa terkejut terhadap suatu peristiwa yang menimpa dirinya, kemudian dilindungi. Yang melindungi semua makhluk dari segala marabahaya adalah Allah SWT, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
*وَهُوَ يُجِيْرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ*
#sedang Dia melindungi. tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya.#
(Al-Mu'minun, [23:88])
Dia-lah Yang memberi nikmat, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
*وَمَا بِكُمْ مِّنْ نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ*
#Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allah-lah (datangnya).#
(An-Nahl, [16:53]),
Dia-lah yang memberi makan, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
*وَهُوَ يُطْعِمُ وَلَا يُطْعَمُ*
#Dia memberi makan dan tidak diberi makan.#
(Al-An'am, [6:14]),
Dia-lah yang mengadakan segala sesuatu, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
*قُلْ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ*
#Katakanlah, "Segala sesuatu dari sisi Allah."#
(An-Nisa, [4:78])
Ar-Razi sendiri memilih pendapat yang mengatakan bahwa lafaz "Allah" adalah isim yang tidak ber-musytaq sama sekali, hal ini merupakan pendapat Imam Khalil dan Imam Sibawaih serta kebanyakan ulama Usul dan ulama Fiqih. Kemudian Ar-Razi mengemukakan dalil yang memperkuat pendapatnya itu dengan berbagai alasan, antara lain ialah "seandainya lafaz 'Allah' mempunyai isytiqaq, niscaya maknanya dimiliki pula oleh selain-Nya yang banyak jumlahnya". Alasan lainnya ialah bahwa semua nama disebut sebagai sifat untuk-Nya. misalnya dikatakan Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Raja, lagi Mahasuci. Hal ini menunjukkan bahwa lafaz "Allah" tidak ber-musytaq. Ar-Razi mengatakan mengenai firman-Nya yang mengatakan:
*الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ*
#Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji, yaitu Allah.#
(Ibrahim, [14:1])
Menurut qiraah yang membaca jar lafaz "Allah", hal ini dianggap termasuk ke dalam Bab "Ataf Bayan". Alasan lainnya ialah berdasarkan firman Allah SWT:
*هَلْ تَعْلَمُ لَهٗ سَمِيًّا*
#Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?#
(Maryam, [19:65])
Akan tetapi, berpegang kepada da