Tauhid Corner
562 subscribers
90 photos
38 videos
6 files
770 links
Catatan Teologi Islam Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah

https://linktr.ee/tauhidcorner
Download Telegram
📚 *NURUL HIKMAH PRESS*
_al-Asy'ari asy-Syafi'i ar-Rifa'i al-Qadiri_

Follow this link to view the catalog in WhatsApp: https://wa.me/c/6287878023938
______
_Bagikan jika info ini bermanfaat._ Terima kasih!

Salaam,
*Admin*
*Allah Tidak Boleh Dikatakan Ada Di Semua Tempat Atau Ada Di Mana-Mana*

Ketahuilah, tidak boleh dikatakan “Allah ada di setiap tempat”, (atau “ada di mana-mana”), walaupun tujuannya untuk mengungkapkan bahwa Allah mengetahui atau menguasai segala sesuatu dari makhluk-makhluk-Nya.

Al-Imâm al-Hâfizh Abu Bakar al-Bayhaqi (w 458 H) dalam karyanya berjudul al-I’tiqâd Wa al-Hidâyah Ilâ Sabîl ar-Rasyâd menuliskan sebagai berikut:

"وفيما كتبنا من الآيات دلالة على إبطال قول من زعم من الجهمية أن الله سبحانه وتعالى بذاته في كل مكان، وقوله عز وجل:{وهو معكم أين ما كنتم} [سورة الحديد/4] إنما أراد به بعلمه لا بذاته"

“Dari apa yang telah kami tuliskan tentang beberapa ayat, itu semua adalah sebagai dalil atas kebatilan pendapat kelompok; seperti kaum Jahmiyyah, yang mengatakan bahwa Allah dengan Dzat-Nya berada di segala tempat. Adapun firman Allah: *“Wa Huwa Ma’akum Aynamâ Kuntum” (QS. al-Hadid: 4) yang dimaksud adalah bahwa Allah Maha mengetahui segala apa yang diperbuat oleh manusia, bukan dalam pengertian bahwa Dzat Allah bersama setiap orang”* [1].
________
*[1] al-I’tiqâd  Wa  al-Hidâyah, h. 70*

----------------------------------------
https://nurulhikmah.ponpes.id/ebookmkpt/
📚📖 *Ayo, kita tahlil!*

Sebagian ahli bid’ah mengatakan tidak akan sampai pahala sesuatu apapun kepada si mayit dari orang lain yang masih hidup, baik doa ataupun yang lainnya. -Perkataan mereka ini bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’-. Seringkali mereka berdalil dengan firman Allah:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (النجم: 39)

_*Dan bahwasanya seorang manusia tiada memiliki selain apa yang telah diusahakannya*_ (QS. an-Najm: 39)

Penafsiran mereka terhadap ayat ini adalah penafsiran yang tidak tepat. Karena maksud ayat ini bukan untuk menjelaskan bahwa seseorang tidak mendapatkan manfaat dari apa yang dikerjakan oleh orang lain, seperti sedekah dan haji yang diperuntukan bagi orang yang telah meninggal. Tapi yang dimaksud ayat ini ialah menafikan kepemilikan terhadap amal orang lain. Artinya, amal seseorang adalah milik dia yang mengerjakankannya, bukan milik orang lain yang tidak mengerjakannya.

Adapun bila seseorang berkehendak memberikan pahala amalnya kepada orang lain, maka itu bukan suatu masalah. Demikian pula jika ia berkehendak memilikinya hanya untuk dirinya sendiri saja, juga terserah. Karena itu dalam ayat QS. an-Najm: 39 di atas Allah tidak mengatakan: “Tidak bermanfaat bagi seseorang kecuali amalnya sendiri”. Tetapi yang dimaksud adalah “Tidak ada kepemilikan bagi seseorang kecuali dari amalnya sendiri”. Lihat penjelasan semacam ini dalam kitab Syarah ash-Shudur, karya al-Imam al-Hafizh as-Suyuthi.

Dalam al-Qur’an secara tegas Allah menyatakan bahwa doa seseorang jika diperuntukan bagi orang lain maka doa tersebut bermanfaat baginya. Baik diperuntukan terhadap yang masih hidup atau bagi yang sudah meninggal. Allah berfirman:

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ (الحشر: 10)

_*“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah bagi kami dan bagi saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami”*_ (QS. al-Hasyr: 10)

Juga dalam banyak hadits yang sangat masyhur disebutkan bahwa Rasulullah sering mendoakan ahli kubur. Seperti doa beliau ketika beliau berziarah ke pemakaman al-Baqi’ di Madinah:

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لأَهْلِ بَقِيْعِ الغَرْقَدِ (رواه مسلم)

_*“Ya Allah, ampunilah ahli kubur Baqi’ al-Gharqad”*_ (HR. Muslim)

Dalam riwayat hadits lain, Rasulullah berdoa:

اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا (رواه الترمذيّ والنسائيّ وأبو داود)

_*“Ya Allah, ampunilah orang yang masih hidup di antara kami dan orang yang telah meninggal di antara kami”*_ (HR. at-Turmudzi, an-Nasa-i dan Abu Dawud)

Mereka yang menafikan secara mutlak tentang permasalahan ini adalah golongan Mu’tazilah. Pendapat kaum Mu’tazilah ini telah menyalahi Ijma’ ulama Salaf, karena para ulama salaf telah sepakat dalam membolehkan masalah ini. Salah seorang ulama Salaf terkemuka, al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (W 321 H) dalam risalah akidah Ahlussunnah yang juga dikenal dengan nama Risalah al-‘Akidah ath-Thahawiyyah, menyebutkan secara tegas:

وَفِيْ دُعَاءِ الأَحْيَاءِ وَصَدَقَاتِهِمْ مَنْفَعَةٌ لِلأَمْوَاتِ

_*“Dalam doa dan sedekah orang yang masih hidup terdapat manfaat bagi orang-orang yang sudah meninggal”*_

_(di kutip dari buku berjudul Ayo, kita tahlil!!)_


*Kholil Abou Fateh*
*_Al-Asy’ari Asy-Syafi’i Ar-Rifa’i Al-Qadiri_

🎉🎉

*Ayo, kita tahlil!!*
*Dalil Sampainya Pahala Amal Shaleh Bagi Mayyit*

-----

*NURUL HIKMAH PRESS*
_al-Asy'ari asy-Syafi'i ar-Rifa'i al-Qadiri_

https://www.facebook.com/nurulhikmahpress/

Penerbit dan Distributor Utama Buku-Buku Terkait Ilmu Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Karya Ustadz Dr. H. Kholilurrahman, MA.

Info lebih lanjut chat Whatsapp admin https://wa.me/6287878023938 *(Lihat Katalog Buku di Profil Kontak WhatsApp ini)*
Al-Imam asy-Syafi’i berkata:

إِنِّيْ لَأَتَبَرَّكُ بِأَبِيْ حَنِيْفَةَ وَأَجِيْءُ إِلَى قَبْرِهِ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ –يَعْنِيْ زَائِرًا-، فَإِذَا عَرَضَتْ لِيْ حَاجَةٌ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَجِئْتُ إِلَى قَبْرِهِ وَسَأَلْتُ اللهَ تَعَالَى الْحَاجَةَ عِنْدَهُ، فَمَا تَبْعُدُ عَنِّيْ حَتَّى تُقْضَى (رَوَاهُ الخَطِيْبُ البَغْدَادِيّ فِي تَارِيْخِه)

_*“Sungguh aku melakukan tabarruk (mengambil berkah) dari Abu Hanifah, aku mendatangi makamnya tiap hari -dalam rangka berziarah-. Dan jika muncul bagiku suatu keperluan maka aku shalat dua raka'at lalu aku datang ke makamnya, dan aku memohon kepada Allah -untuk diluluskan- keperluan tersebut di makam Abu Hanifah. Kemudian belum lagi jauh aku meninggalkan makam kecuali hajat-ku tersebut telah dikabulkan oleh Allah”*_ (Diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh Baghdad) (1)

*(Faedah atsar):*
Siapa yang berani mengatakan bahwa Al-Imam asy-Syafi’i seorang ahli bid’ah atau termasuk para penyembah kuburan (‘Abadah al-Qubur)?! Adakah orang yang sehat akal berani mengatakan bahwa asy-Syafi'i berkeyakinan meminta ke kuburan lebih lebih cepat terkabulkan dari pada meminta kepada Allah?! Mereka yang biasa mengatakan bahwa orang-orang yang ziarah ke makam seorang Nabi atau seorang wali Allah dan bertawassul di sana sebagai orang musyrik kafir atau oleh mereka biasa sebut dengan “Quburiyyun”, di mana mereka?! Mau lari kemana dari atsar Al-Imam asy-Sayfi’i ini?!
Benar, mereka tidak memiliki jawaban atas ini. Mereka benar-benar “mati kutu”. Dan anda harus yakin, bahwa kaum Ahlussunnah memiliki argumen yang sangat kuat dalam setiap persoalan akidah yang mereka yakini.
______
*1) Tarikh Baghdad, j. 1, h. 122-125*


*Download dan sebarluaskan >>>* https://nurulhikmah.ponpes.id/ebookmkpt/
*Tersedia buku cetak >>>* https://wa.me/p/2933361110084633/6287878023938

_
IG | FB @tauhidcorner
📖📚
*Kajian Tauhid dan Fiqih Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Masjid Lathiifussalaam RS. Bhakti Asih Karang Tengah*

https://youtu.be/bq6WLo1_qO8

*Download Pdf Kitab Kajian:*

تسهيل المعاني في جوهرة اللقاني - الشيخ الدكتور جميل محمد حليم علي الأشعري الشافعي

📥 http://tinyurl.com/y7lsp79v

*Nada Nazham Matan Jawharatuttauhid:*
https://youtu.be/USWX0qgJ3G0

Jadwal Kajian Tauhid Bersama Ustadz Kholil Abou Fateh - Masjid Lathiifussalaam Rs. Bhakti Asih Karang Tengah | Setiap Jum'at dan Minggu setelah Shalat Maghrib

*Bagikan jika bermanfaat!*
_______
*Catatan Aqidah Madzhab Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Mauridiyyah*

💻 fb.me/tauhidcorner
📸 instagram.com/tauhidcorner
📺 youtube.com/ustadzkholilaboufateh
📠 t.me/Kholilaboufateh
📚 fb.me/nurulhikmahpress
📌 wa.me/c/6287878023938 (katalog)
*Menambah kata _Sayyid_ di depan nama Nabi Muhammad adalah perkara yang dibolehkan di dalam syari’at.* Karena pada kenyataannya Rasulullah adalah seorang _Sayyid_, bahkan beliau adalah _Sayyid al-‘Alamin_, penghulu dan pimpinan seluruh makhluk. Salah seorang ulama bahasa terkemuka, *ar-Raghib al-Ashbahani dalam kitab Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan bahwa di antara makna “Sayyid” adalah seorang pemimpin, seorang yang membawahi perkumpulan satu kaum yang dihormati dan dimuliakan. (1)* Dalam al-Qur’an, Allah menyebut Nabi Yahya dengan kata “Sayyid”:

وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ (ءال عمران: 39)

*“dan seorang pemimpin dan ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang nabi termasuk keturunan orang-orang saleh”.* (QS. Ali ‘Imran: 39)

Nabi Muhammad jauh lebih mulia dari pada Nabi Yahya, karena beliau adalah pimpinan seluruh para nabi dan rasul. Dengan demikian mengatakan “Sayyid” bagi Nabi Muhammad tidak hanya boleh, tapi sudah selayaknya, karena beliau lebih berhak untuk itu. Bahkan dalam sebuah hadits, Rasulullah sendiri menyebutkan bahwa dirinya adalah seorang “Sayyid”. Beliau bersabda:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ ءَادَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ (رواه الترمذي)

*“Saya adalah penghulu manusia di hari kiamat”.* (HR. at-Tirmidzi)

Dengan demikian di dalam membaca shalawat boleh bagi kita mengucapkan _*“Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad”*_, meskipun tidak ada pada lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al-Ma’tsurah) dengan penambahan kata “Sayyid”. Karena menyusun dzikir tertentu yang tidak ma’tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang ma’tsur. Maka boleh hukumnya dan tidak ada masalah sama sekali dalam bacaan shalawat menambahkan kata “Sayyidina”, baik dibaca di luar shalat maupun di dalam shalat. Karena tambahan kata “Sayyidina” ini adalah tambahan yang sesuai dengan dasar syari’at, dan sama sekali tidak bertentangan dengannya. Al-‘Allamah Ibn Hajar al-Haytami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim, menuliskan sebagai berikut:

وَلاَ بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ، وَخَبَرُ "لاَ تُسَيِّدُوْنِي فِيْ الصَّلاَةِ" ضَعِيْفٌ بَلْ لاَ أَصْلَ لَهُ

*“Dan tidak mengapa menambahkan kata “Sayyidina” sebelum Muhammad. Sedangkan hadits yang berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits dla’if bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu)”.(2)*

Di antara hal yang menunjukan bahwa hadits “La Tusayyiduni Fi ash-Shalat” sebagai hadits palsu (Maudlu’) adalah karena di dalam hadits ini terdapat kaedah kebahasaan yang salah (al-Lahn). Artinya, terdapat kalimat yang ditinjau dari gramatika bahasa Arab adalah sesuatu yang aneh dan asing. Yaitu pada kata “Tusayyiduni”. Di dalam bahasa Arab, dasar kata “Sayyid” adalah berasal dari kata “Saada, Yasuudu”, bukan “Saada, Yasiidu”. Dengan demikian bentuk fi’il Muta’addi (kata kerja yang membutuhkan kepada objek) dari “Saada, Yasuudu” ini adalah “Sawwada, Yusawwidu”, dan bukan “Sayyada, Yusayyidu”. Dengan demikian, -seandainya hadits di atas benar adanya-, maka bukan dengan kata “La Tusayyiduni”, tapi harus dengan kata “La Tusawwiduni”. Inilah yang dimaksud dengan al-Lahn. Sudah barang tentu Rasulullah tidak akan pernah mengucapkan al-Lahn semacam ini, karena beliau adalah seorang Arab yang sangat fasih (Afshah al-‘Arab). Bahkan dalam pendapat sebagian ulama, mengucapkan kata “Sayyidina” di depan nama Rasulullah, baik di dalam shalat maupun di luar shalat lebih utama dari pada tidak memakainya. Karena tambahan kata tersebut termasuk penghormatan dan adab terhadap Rasulullah. Dan pendapat ini dinilai sebagai pendapat mu’tamad. al-‘Allamah al-Bajuri dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, menuliskan sebagai berikut:

الأوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لأَنّ الأفْضَلَ سُلُوْكُ الأدَبِ، خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ الأوْلَى تَرْكُ السّيَادَةِ إقْتِصَارًا عَلَى الوَارِدِ، وَالمُعْتَمَدُ الأوَّلُ، وَحَدِيْثُ لاَ تُسَوِّدُوْنِي فِي صَلاتِكُمْ بِالوَاوِ لاَ بِاليَاءِ بَاطِلٌ. اهـ

*“Yang lebih utama adalah mengucapkan kata “Sayyid”, karena yang lebih afdlal adalah menjalankan adab. Hal ini berbeda dengan pendapat orang yang men
gatakan bahwa lebih utama meninggalkan kata “Sayyid” dengan alasan mencukupkan di atas yang warid saja. Dan pendapat mu’tamad adalah pendapat yang pertama. Adapun hadits “La Tusawwiduni Fi Shalatikum”, yang seharusnya dengan “waw” (Tusawwiduni) bukan dengan “ya” (Tusayyiduni) adalah hadits yang batil” (3)*
_____________
(1) Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 254
(2) Al-Haytami, al-Minhaj al-Qawim, h. 160
(3) Al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri, j. 1, h. 156

______________________________
*DOWNLOAD & SHARE!*
📥 https://nurulhikmah.ponpes.id/ebookmmbsk/
*Tersedia buku cetak di Nurul Hikmah Press:*
https://wa.me/p/2644660135596525/6287878023938
*Subscribe!*:
youtube.com/ustadzkholilaboufateh
*FB | IG @tauhidcorner*
*Mutiara Indah Dalam Memahami Sifat 20 (Dalam Bahasa Indonesia)*

Disusun Oleh:
*Ustadz Kholil Abou Fateh*

📺 https://youtu.be/xb_Lvk5SE3g
______
Dengan Nama Allah yang maha pengasih #  yang maha penyayang yang baik sekali

Tuhan kita Allah yang tidak bermula  # Dia tidak punah dan tidak berubah

Shalawat dan Salam atas Nabi Kita  #  Dia ahli tauhid terbaik manusia

Juga keluarga dan para sahabat  #  Kelompok yang benar padanya merapat

Kepada Allah wajib tuk mengenal  #  Sifat dua puluh kita harus hafal

Allah maha ada dan tidak bermula  # Sifat wujud qidam inilah maknanya

Sifat baqa’ Allah adalah artinya  #  Dia tidak punah kekal selamanya

Yakinilah Allah bukan benda katsif  #  bukan sifat benda, bukan benda lathif

Ini makna sifat mukhalafatun lil #  hawaditsi jau-hilah orang jahil

Allah tidak butuh kepada makhluk-Nya  #  Ada tanpa tempat, batasan dan warna

Ini sifat Qiyamuhu Bi Nafsihi  #  Tanpa atas, bawah, kanan maupun kiri.

 Makna wahdaniyyah Allah maha Esa  #  tidak ada kesa-maan pada Dzat-Nya

Juga perbuatan dan pada sifat-Nya  #  Makna Dzat-Nya ada-lah hakekat-Nya

 Sifat Qudroh Allah pahami maknanya  # Dia maha kuasa atas segalanya

  Wajib ‘aqli, jai’z dan mustahil aqli  # Tiga hukum akal harus kau pahami

Hanyalah terkait dengan ja’iz aqli  # sifat qudroh Allah engkau harus jeli

Makna dari sifat  Iradah Allah  #  Dia berkehendak terhadap yang ada

 Baik, buruk, kufur ma-upun iman  # dengan Iradah-Nya jangan  kau ragukan

Sifat Ilmu Allah mencakup yang tiga  # dari hukum akal tetaplah waspada

Dia tahu segala ciptaan-Nya  # tanpa kecuali dan rinciannnya

Makna sifat Hayat Allah maha hidup  #  tanpa tulang daging tanpa makan minum

Sifat Sama’ Allah artinya mendengar  #  segala suara dari ciptaan-Nya 

Sifat Bashar Allah artinya melihat  # segala makhluk-Nya tanpa alat-alat

Sifat Kalam Allah bukanlah bahasa  #  bukan huruf-huruf dan bukan suara

Kitab suci Qur’an adalah kalam-Nya  #  Kalam Allah dua pengertiannya

 Al-Kalamudzatiy bagian pertama  # allafzhul munazal bagian kedua

Kitab suci Qur’an yang kita baca # lafazh mengungkapkan bagi kalam Dzat-Nya.

Semua sifat dzat i-ni pahamilah  #  hafalkanlah ia dan ajarkanlah

 Pemahaman lain kau jangan peduli  # kau akan selamat dan tidak merugi

 Yakinilah ia hingga engkau wafat  #  supaya selamat dun-ya dan akhirat

Segala puji hanya milik Allah  # shalawat dan salam atas Rasulullah

____
*Subscribe!*
*youtube.com/ustadzkholilaboufateh*
Kajian Kitab Tashilul Ma'ani Fi Jauharah al-Laqqani | Syarh Jauharatuttauhid

Playlists: https://www.youtube.com/playlist?list=PLRLgoIJio62cw8jlHopv0n_RWQLuzPLDd
________
Masih berlangsung, subscribe untuk mendapatkan notifikasi pertemuan berikutnya
📡📡
Playlists:
*Kajian Kitab al-Qaul al-Yaqin Fima Yanfa'u Amwatana al-Muslimin | Karya Syekh Salim 'Alwan Al-Huseini*

Bersama: *Ustadz Dr. H. Kholilurrohman, MA*
https://www.youtube.com/playlist?list=PLRLgoIJio62eVhIyASCbaaEaEqb0cyJ-8
___________
Download Pdf Kitab
📥 http://tinyurl.com/y358jdlb
Kunjungi toko saya di Shopee! nurulhikmahpress: https://shopee.co.id/nurulhikmahpress?v=efe&smtt=0.0.10
*Kunjungi toko kami di Shopee!* nurulhikmahpress: https://shopee.co.id/nurulhikmahpress?v=246&smtt=0.0.3
*Simak tulisan Syekh Nawawi al-Bantani dalam karyanya _Syarh Safînah al-Najâ:*

من ترك أربع كلمات كمل إيمانه، أين وكيف ومتى وكم، فإن قال لك: أين الله؟ فجوابه: ليس في مكان ولا يمر عليه زمان، وإن قال لك: كيف الله؟ فقل ليس كمثله شيء، وإن قال لك: متى الله؟ فقل له أول بلا ابتداء وءاخر بلا انتهاء، وإن قال لك قائل: كم الله؟ فقل له: واحد لا من قلة (قل هو الله أحد)

*(Nawawi Muhammad al-Jawi, Syarh Kayifah al-Sajâ ‘Alâ Safînah al-Najâ, Indonesia: Dar Ihya al-kutub al-‘Arabiyyah, t. th. hal. 9)*

“Barangsiapa meninggalkan empat kalimat maka sempurnalah iman-nya; di mana, bagaimana, kapan, dan berapa. Maka bila seseorang berkata bagimu:

*Di mana Allah?*
Maka jawabannya:
*Ada tanpa tempat dan tidak dilalui oleh zaman*
Jika ia berkata:
*Bagaimana Allah?*
Maka katakan olehmu:
*Dia Allah tidak menyerupai suatu apapun*.
Jika ia berkata:
*Kapan adanya Allah?*
Maka katakan olehmu baginya:
*Dia Allah maha Awal tanpa permulaan, dan Dia Allah maha Akhir tanpa penghabisan*
Jika ia berkata bagimu:
*Berapa Allah?*
Maka katakan baginya:
*Allah Esa bukan karena sedikit (Katakan olehmu Dia Allah yang maha Esa; tidak ada keserupaan bagi-Nya)”*

Tulisan beliau ini sangat jelas dalam menyatakan bahwa Allah ada tanpa tempat. Ini menunjukkan sikap pundamental beliau dalam memegang ortodoksi, di samping beliau juga seorang sufi.

Dalam karya lainnya; _Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq Syarh Sullam al-Tawfîq_, beliau menulis:

الأحد أى الذي لا يتجزأ ولا ينقسم فهو واحد في ذاته وصفاته ولا يحل في محل

*(Nawawi Muhammad al-Jawi, Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq Fî Syarh Sullam al-Tawfîq, Semarang: Cet. Usaha Keluarga, t. th. hal. 4)*

_*“(Dia Allah) al-Ahad artinya Yang tidak terbagi-bagi dan tidak terpisah-pisah. Maka Dia Allah maha Esa; tidak ada keserupaan pada Dzat-Nya, pada Sifat-sifat-Nya, dan Dia tidak bertempat pada suatu ruang (ada tanpa tempat)”*_
______
*Nurul Hikmah Press*
https://shopee.co.id/product/289903238/7843935508?smtt=0.0.9
*Tafsir Beberapa Ayat al-Qur’an Yang Sering Dijadikan Rujukan Oleh Kaum Hulûl dan Wahdah al-Wujûd*
______

*(Satu); Firman Allah:*

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ (الحديد: 4)

Ayat ini oleh kaum hulûl dan ittihâd seringkali dijadikan sandaran untuk menetapkan keyakinan mereka. Ayat ini termasuk ayat mutasyâbihât yang membutuhkan takwil, *ia tidak boleh diyakini makna zhahirnya seakan Dzat Allah bersama setiap orang di manapun orang tersebut berada. Karena bila ayat-ayat semacam ini dipahami dalam makna zhahirnya maka antara satu ayat akan saling bertantangan dengan ayat-ayat al-Qur’an lainnya*.

Makna yang dimaksud dari firman Allah QS. Al-Hadid: 4 di atas adalah bahwa Allah mengetahui segala apa yang diperbuat manusia. Artinya, bahwa manusia tidak dapat merahasiahkan apapun terhadap Allah. *Kata “Ma’akum” dalam ayat tersebut adalah dalam pengertian “Ma’iyyah al-‘Ilm”, bukan dalam makna Ma’iyyah al-Dzât*. Penafsiran seperti ini sebagaimana telah dikutip oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab al-Asmâ Wa ash-Shifât dari Imam Sufyan ats-Tsauri *(al-Baihaqi, al-Asmâ, h. 427)*.

Dalam konteks tertentu, kata “Ma’a” dalam bahasa Arab dapat pula bertujuan bagi makna “Pertolongan dan pemeliharaan”. Seperti dalam firman Allah:

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ (النحل: 128)

Artinya bahwa Allah memberikan pertolongan-Nya dan pemeliharaan-Nya terhadap mereka yang bertakwa dan yang berbuat baik. Makna ayat ini sama sekali bukan dalam pengertian bahwa Allah menyatu dengan orang-orang yang bertakwa, atau dalam pengetian hulûl dan ittihâd. Para ulama Ahlussunnah menetapkan konsensus (Ijma’) bahwa siapa yang memahami ayat ini dalam pengertian hulûl dan ittihâd; artinya bahwa Allah menyatu dengan tubuh makhluk-Nya maka orang tersebut telah menjadi kafir, keluar dari Islam. Karena Allah Maha Suci dari sifat menyatu, menempel, terpisah dengan jarak, dan dari sifat-sifat makhluk lainnya. Allah bukan benda, tidak boleh dikatakan bagi-Nya di dalam alam dunia ini, atau di luar alam dunia ini, juga tidak boleh dikatakan bagi-Nya di atas sesuatu, atau di bawah sesuatu. Keyakinan yang benar dalam mentauhidkan Allah, sebagaimana kesepakatan ulama Ahlussunnah, adalah bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah.

Diriwayatkan suatu ketika Imam Ibn Syahin bertanya kepada Imam al-Junaid al-Baghdadi tentang pengertian kata “ma’a” pada hak Allah. Imam al-Junaid menjawab kata “ma’a” pada hak Allah memiliki dua pengertian. Pertama; “ma’a” dalam makna memberikan pertolongan dan pembelaan kepada para Nabi-Nya, seperti dalam firman Allah tentang Nabi Musa dan Nabi Harun:

إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى (طه:46)

“Sesungguhnya Aku (Allah) bersama kalian (dalam makna membela dan menolong), Aku Maha Mendengar dan Aku Maha Melihat”. (QS. Thaha: 46). Kedua; “ma’a” dalam pengertian bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, seperti dalam firman-Nya:

مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا (المجادلة: 7)

“Tidaklah ada pembicaraan yang dirahasiakan antara tiga orang kecuali bahwa Allah adalah yang ke empat dari mereka, dan tidaklah ada pembicaraan yang dirahasiahkan antara lima orang kecuali bahwa Allah adalah yang ke enam dari mereka, dan tidak lebih sedikit atau tidak pula lebih banyak dari pada itu kecuali bahwa Allah “bersama” mereka (artinya mengetahui segala apapun yang ada pada mereka) di manapun mereka berada”. (QS. al-Mujadilah: 7). Mendapat jawaban ini Ibn Syahin berkata kepada al-Junaid: “Orang sepertimu sudah sepantasnya untuk memberikan petunjuk kepada manusia” (al-Qusyairi, ar-Risâlah, h. 46).
______
https://wa.me/p/2686313128114338/6287878023938

YouTube.com/ustadzkholilaboufateh
*Tafsir Beberapa Ayat al-Qur’an Yang Sering Dijadikan Rujukan Oleh Kaum Hulûl dan Wahdah al-Wujûd*
_______
*(Dua);* Beberapa ayat al-Qur’an yang mempergunakan kata “Qarîb” atau “Aqrab” yang dinisbatkan kepada Allah, di antaranya dalam QS. Qaf: 16 (Wa Nahnu Aqrabu Ilaihi Min Habl al-Warîd), dalam QS. al-Waqi’ah: 85 (Wa Nahnu Aqrabu Ilaihi Minkum Walâkin La Tubshirûn), dalam QS. al-Baqarah: 186 (Fa Innî Qarîb Ujîbu Da’wataddâ’i), dan dalam QS. Hud: 61 (Inna Rabbî Qarîbun Mujîb).

https://wa.me/p/2881673821949034/6287878023938 | youtube.com/ustadzkholilaboufateh

Ayat-ayat tersebut termasuk ayat-ayat mutasyâbihât yang membutuhkan takwil sesuai konteks bahasa. Pengertian “Qarîb” dalam beberapa ayat-ayat tersebut bukan dalam pengertian zhahirnya yang berarti dekat dalam makna jarak dan tempat.

Imam Badruddin ibn Jama’ah dalam menyikapi ayat-ayat di atas mengatakan bahwa Allah Maha Suci dari arah dan tempat, juga maha suci dari “dekat” dan “jauh” dalam pengertian jarak dan arah. Dalam penegasan beliau, makna yang benar dari pengertian “al-Qurb” pada ayat-ayat di atas adalah dalam pengertian “Kedekatan rahmat dan kasih sayang Allah” *(Ibn Jama’ah, Idlâh al-Dalîl, h. 135)*. Masih menurut Ibn Jama’ah, di antara yang menguatkan bahwa makna ayat-ayat di atas dalam pengertian “Kedekatan rahmat dan kasih sayang Allah” adalah firman Allah sendiri:

إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ (الأعراف: 56)

“Sesungguhnya rahmat Allah dekat dengan orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS. al-A’raf: 56)

Makna “Qarîb” dalam ayat-ayat di atas dapat pula dalam pengertian “Kedekatan kedudukan”. Pemaknaan kata “Qarîb” dalam pengertian ini dalam bahasa Arab biasa digunakan, seperti bila dikatakan “as-Sulthân Qarîb Min Fulân…”, artinya bahwa si fulan memiliki “kedudukan yang dekat” dengan penguasa. Kesimpulannya, makna ayat-ayat di atas bukan dalam pengertian tempat, arah, atau jarak, karena makna indrawi semacam itu adalah perkara yang mustahil bagi Allah *(Ibn Jama’ah, Idlâh al-Dalîl, h. 136).*

Dalam menafsirkan QS. Qaf: 16 di atas, Imam al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud bukan dalam pengertian kedekatan jarak. Tetapi yang maksud, menurut satu pendapat, adalah bahwa Allah menguasai setiap orang makhluk-Nya lebih dari penguasaan orang itu sendiri terhadap dirinya. Pendapat lain menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah Allah lebih mengetahui tentang segala apa yang terlintas dalam diri setiap manusia lebih dari pada manusia itu sendiri. Imam Muqatil dalam pendapatnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah “Allah Maha mengetahui setiap orang hamba dan menguasainya (Qurb al-‘Ilm Wa al-Qudrah)” *(al-Quthubi, Tafsîr al-Qurthubi, j. 17, h. 9).*

Sementara dalam menafsirkan QS. al-Waqi’ah: 85 di atas, al-Qurthubi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah “Dia Allah dekat dengan setiap seorang dalam pengertian menguasai, mengetahui, dan melihatnya (Bi al-Qudrah Wa al-‘Ilm Wa ar-Ru’yah)”. Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah para malaikat yang ditugaskan oleh Allah untuk mencabut nyawa *(al-Quthubi, Tafsîr al-Qurthubi, j. 17, h. 231).*

Demikian pula dengan menafsirkan QS. al-Baqarah: 186 di atas, al-Qurthubi menuliskan bahwa yang dimaksud adalah “Dia Allah dekat dalam pengertian mengabulkan doa para hamba”. Pendapat lain menyebutkan “Dia Allah dekat dalam pengertian Maha Mengetahui”. Terdapat pula pendapat yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah bahwa “Dia Allah dekat dengan para wali-Nya dalam makna memberikan karunia dan pertolongan kepada mereka” *(al-Quthubi, Tafsîr al-Qurthubi, j.2, h. 308).*

Kemudian dalam menafsirkan QS. Hud: 61 di atas, al-Qurthubi menyatakan pendapat yang sama. Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bahwa “Dia Allah dekat dalam pengertian mengabulkan setiap doa para hamba-Nya” *(al-Quthubi, Tafsîr al-Qurthubi, j. 9, j. 58).* Penafsiran yang sama juga diungkapkan oleh al-Hâfizh al-Baihaqi, dalam menafsirkan QS. al-Baqarah: 186 di atas. Al-Baihaqi berkata bahwa Allah Maha Dekat dalam a
rti mengabulkan doa hamba-hamba-Nya. Demikian pula yang dimaksud dengan QS. Qaf: 16, yang dimaksud adalah bahwa Dia Allah Maha mengetahui dan Maha Menguasai atas setiap orang hamba-Nya, bukan dalam arti bahwa Allah berada pada tempat *(al-Baihaqi, al-Asmâ’, h. 438)*