HALAL 100%
Bismillah, Wa al-Hamdu Lillah,
Wa as-Shalatu Wa As-Salamu 'Ala Raslulillah,
Kalau anda memiliki uang dan punya keinginan untuk membukukan/menerbitkan/menyebarluaskan dengan cara apapun seluruh catatan saya dalam blog ini; maka saya akan sangat senang sekali. Dan seandainya ada keuntungan "materi" darinya maka 100 % semuanya halal untuk anda. Catatan saya di FB lumayan banyak, bila dibukukan mungkin lebih dari 5000 halaman, anda cukup mengeditnya; tentunya tidak boleh merubah tujuan tulisan, lalu anda menerbitkannya. Halal, semuanya Halal 100%. Atau kalau ada yang punya waktu dan "Lillahi Ta'ala" mau membuatkan bentuk PDF bagi seluruh catatan dimaksud, dan atau menjadikannya dalam bentuk E-Book ; lalu disebarkan ke "penjuru dunia" maka saya akan sangat berterima kasih sekali.
http://allahadatanpatempat.blogspot.com/p/bantahan-ke-atas-wahabi.html
Bismillah, Wa al-Hamdu Lillah,
Wa as-Shalatu Wa As-Salamu 'Ala Raslulillah,
Kalau anda memiliki uang dan punya keinginan untuk membukukan/menerbitkan/menyebarluaskan dengan cara apapun seluruh catatan saya dalam blog ini; maka saya akan sangat senang sekali. Dan seandainya ada keuntungan "materi" darinya maka 100 % semuanya halal untuk anda. Catatan saya di FB lumayan banyak, bila dibukukan mungkin lebih dari 5000 halaman, anda cukup mengeditnya; tentunya tidak boleh merubah tujuan tulisan, lalu anda menerbitkannya. Halal, semuanya Halal 100%. Atau kalau ada yang punya waktu dan "Lillahi Ta'ala" mau membuatkan bentuk PDF bagi seluruh catatan dimaksud, dan atau menjadikannya dalam bentuk E-Book ; lalu disebarkan ke "penjuru dunia" maka saya akan sangat berterima kasih sekali.
http://allahadatanpatempat.blogspot.com/p/bantahan-ke-atas-wahabi.html
Blogspot
Bantahan Ke Atas Wahabi {Bag. 1}
Dasar-Dasar Iman Yang Enam (Ushul al-Iman as-Sittah) 1. HADITS JIBRIL; DASAR-DASAR IMAN YANG ENAM (Iman Dengan Allah) 2. ...
IMAN DENGAN ALLAH
(bagian 1)
******************
Dalam QS. al-Ikhlash Allah berfirman:
ﻗُﻞْ ﻫُﻮَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺃَﺣَﺪ ( 1 ) ﺍﻟﻠﻪُ ﺍﻟﺼَّﻤَﺪ ( 2 ) ﻟَﻢْ ﻳَﻠِﺪْ ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﻮْﻟَﺪ ( 3 ) ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻟَﻪُ ﻛُﻔُﻮًﺍﺃﺣَﺪ ( 4 ) ( ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻻﺧﻼﺹ 4-1 )
“Katakan (wahai Muhammad), Dialah Allah al-Ahad
(Tidak terbagi-bagi dan tidak ada sekutu bagi-Nya, baik pada Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, maupun pada perbuatan-Nya). Allah adalah Tuhan yang Maha Kaya (Tidak membutuhkan) kepada semua makhluk-Nya, dan segala sesuatu membutuhkan kepada-Nya. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya (Baik dari satu segi maupun semua segi)”. (QS. al-Ikhlas: 1-4).
Ma’rifatullah adalah berkeyakinan bahwa Allah maha Ada, tidak menyerupai suatu apapun dari alam ini. Dia bukan Hajm Katsif; (benda yang dapat disentuh oleh tangan) , juga bukan Hajm Lathif; (benda yang tidak bisa disentuh oleh tangan). Allah tidak berbentuk, baik ukuran kecil maupun ukuran besar.
Adapun makna
“Allahu Akbar” artinya bahwa Allah Maha Agung pada derajat-Nya lebih dari segala apapun, bukan besar dari segi bentuk dan ukuran. Allah adalah Dzat yang tidak bisa dibayangkan dalam hati, dan tidak dapat dibayangkan oleh akal pikiran manusia.
******************
Channel telegram sy. Silahkan bergabung. Semoga bermanfaat.
Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh/3
(bagian 1)
******************
Dalam QS. al-Ikhlash Allah berfirman:
ﻗُﻞْ ﻫُﻮَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺃَﺣَﺪ ( 1 ) ﺍﻟﻠﻪُ ﺍﻟﺼَّﻤَﺪ ( 2 ) ﻟَﻢْ ﻳَﻠِﺪْ ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﻮْﻟَﺪ ( 3 ) ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻟَﻪُ ﻛُﻔُﻮًﺍﺃﺣَﺪ ( 4 ) ( ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻻﺧﻼﺹ 4-1 )
“Katakan (wahai Muhammad), Dialah Allah al-Ahad
(Tidak terbagi-bagi dan tidak ada sekutu bagi-Nya, baik pada Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, maupun pada perbuatan-Nya). Allah adalah Tuhan yang Maha Kaya (Tidak membutuhkan) kepada semua makhluk-Nya, dan segala sesuatu membutuhkan kepada-Nya. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya (Baik dari satu segi maupun semua segi)”. (QS. al-Ikhlas: 1-4).
Ma’rifatullah adalah berkeyakinan bahwa Allah maha Ada, tidak menyerupai suatu apapun dari alam ini. Dia bukan Hajm Katsif; (benda yang dapat disentuh oleh tangan) , juga bukan Hajm Lathif; (benda yang tidak bisa disentuh oleh tangan). Allah tidak berbentuk, baik ukuran kecil maupun ukuran besar.
Adapun makna
“Allahu Akbar” artinya bahwa Allah Maha Agung pada derajat-Nya lebih dari segala apapun, bukan besar dari segi bentuk dan ukuran. Allah adalah Dzat yang tidak bisa dibayangkan dalam hati, dan tidak dapat dibayangkan oleh akal pikiran manusia.
******************
Channel telegram sy. Silahkan bergabung. Semoga bermanfaat.
Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh/3
IMAN DENGAN ALLAH
(Bagian 2)
******************
Sifat-Sifat Allah (Tafsir QS. al-Ikhlas)
Dalam sebuah hadits riwayat al-Hafizh al-Baihaqi dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas bahwa segolongan kaum Yahudi datang kepada Rasulullah. Mereka berkata: “Wahai Muhammad, beritahukan kepada kami sifat Tuhanmu yang engkau sembah!”.
Mereka bertanya bukan karena ingin mengetahui hal sebenarnya atau ingin memperoleh petunjuk, tapi hanya sekedar ingin mengingkari lalu mengolok-oloknya. Kemudian turunlah QS. al-Ikhlas ayat 1 hingga ayat 4. Rasulullah bersabda: “Inilah sifat Tuhanku”.
Surat al-Ikhlas ini turun sebagai jawaban atas pertanyaan orang-orang Yahudi tersebut. Meskipun hanya terdiri dari empat ayat pendek namun mengandung makna yang sangat luas dan mendalam dalam ketauhidan kepada Allah.
Ayat pertama merupakan ikrar dan penegasan bahwa tidak ada sekutu bagi Allah. Artinya tidak ada keserupaan bagi-Nya. Dia Maha Esa pada dzat-Nnya. Makna“Dzat Allah” artinya “hakikat Allah”. Makna “Dzat” di sini bukan dalam pengertian bentuk atau benda. Pengertian bahwa Dzat Allah Esa ialah bahwa Dzat Allah tidak menyerupai dzat-dzat makhluk-Nya. Karena Dzat Allah azali; (tanpa permulaan), sedangkan dzat-dzat selain-Nya baharu; memiliki permulaan, yaitu ada dari tidak ada. Oleh karena itu, Allah sendiri mensifati dzat-Nya dalam al-Qur’an dengan firman-Nya:
ﻫُﻮَ ﺍﻷﻭَّﻝُ ( ﺍﻟﺤﺪﻳﺪ 4: )
“Hanya Dia (Allah) al-Awwal (ada tanpa permulaan)”. (QS. al-Hadid:4)
Kemudian Allah maha Esa pada Sifat-Sifat-Nya. Artinya bahwa sifat-sifat Allah tidak menyerupai sifat-sifat makhluk-Nya. Allah berfirman:
ﻭَﻟﻠﻪِ ﺍﻟﻤَﺜَﻞُ ﺍﻷﻋْﻠَﻰ ( ﺍﻟﻨﺤﻞ 6: )
“Dan bagi Allah sifat-sifat yang tidak menyerupai sifat selain-Nya”.(QS. an-Nahl: 6)
******************
Channel telegram sy. Silahkan bergabung. Semoga bermanfaat.
Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh/3
(Bagian 2)
******************
Sifat-Sifat Allah (Tafsir QS. al-Ikhlas)
Dalam sebuah hadits riwayat al-Hafizh al-Baihaqi dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas bahwa segolongan kaum Yahudi datang kepada Rasulullah. Mereka berkata: “Wahai Muhammad, beritahukan kepada kami sifat Tuhanmu yang engkau sembah!”.
Mereka bertanya bukan karena ingin mengetahui hal sebenarnya atau ingin memperoleh petunjuk, tapi hanya sekedar ingin mengingkari lalu mengolok-oloknya. Kemudian turunlah QS. al-Ikhlas ayat 1 hingga ayat 4. Rasulullah bersabda: “Inilah sifat Tuhanku”.
Surat al-Ikhlas ini turun sebagai jawaban atas pertanyaan orang-orang Yahudi tersebut. Meskipun hanya terdiri dari empat ayat pendek namun mengandung makna yang sangat luas dan mendalam dalam ketauhidan kepada Allah.
Ayat pertama merupakan ikrar dan penegasan bahwa tidak ada sekutu bagi Allah. Artinya tidak ada keserupaan bagi-Nya. Dia Maha Esa pada dzat-Nnya. Makna“Dzat Allah” artinya “hakikat Allah”. Makna “Dzat” di sini bukan dalam pengertian bentuk atau benda. Pengertian bahwa Dzat Allah Esa ialah bahwa Dzat Allah tidak menyerupai dzat-dzat makhluk-Nya. Karena Dzat Allah azali; (tanpa permulaan), sedangkan dzat-dzat selain-Nya baharu; memiliki permulaan, yaitu ada dari tidak ada. Oleh karena itu, Allah sendiri mensifati dzat-Nya dalam al-Qur’an dengan firman-Nya:
ﻫُﻮَ ﺍﻷﻭَّﻝُ ( ﺍﻟﺤﺪﻳﺪ 4: )
“Hanya Dia (Allah) al-Awwal (ada tanpa permulaan)”. (QS. al-Hadid:4)
Kemudian Allah maha Esa pada Sifat-Sifat-Nya. Artinya bahwa sifat-sifat Allah tidak menyerupai sifat-sifat makhluk-Nya. Allah berfirman:
ﻭَﻟﻠﻪِ ﺍﻟﻤَﺜَﻞُ ﺍﻷﻋْﻠَﻰ ( ﺍﻟﻨﺤﻞ 6: )
“Dan bagi Allah sifat-sifat yang tidak menyerupai sifat selain-Nya”.(QS. an-Nahl: 6)
******************
Channel telegram sy. Silahkan bergabung. Semoga bermanfaat.
Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh/3
IMAN DENGAN ALLAH
(Bagian 3)
******************
Sifat-sifat Allah (tafsir QS. Al-Ikhlash)
Sebagaimana kita wajib meyakini bahwa Dzat Allah Azali;
(Tidak bermula), maka demikian pula dengan semua Sifat-Sifat-Nya, kita wajib meyakini itu semua Azali. Karena mustahil bila dzat yang qadim dan azali, sementara sifat-sifat-nya baharu. Karena adanya sifat yang baharu pada suatu dzat menunjukkan bahwa dzat tersebut juga baharu.
Dengan demikian mustahil bagi Allah bersifat dengan sifat-sifat yang baharu.
Bila sifat-sifat manusia setiap saat dapat mengalami perubahan, maka tidak demikian halnya dengan sifat-sifat Allah. Dia tidak mengalami perubahan atau perkembangan, tidak bertambah atau berkurang.
Kemudian; Allah Maha Esa pada perbuatan-Nya. Artinya, tidak ada dzat yang dapat menciptakan sesuatu dari “tidak ada” menjadi “ada” kecuali Allah saja. Hanya Allah pencipta segala sesuatu. Dia pencipta kebaikan dan kejahatan, keimanan dan kekufuran, keta’atan dan kemaksiatan. Dia pencipta semua benda, mulai dari benda terkecil, yaitu dzarrah ; (Ialah benda sampai puncak terkecil hingga tidak dapat lagi terbagi-bagi), hingga benda yang paling besar, yaitu ‘arsy.
Allah pencipta segala perbuatan manusia, baik perbuatan yang mengandung unsur ikhtiar (al-Af’al al-Ikhtiyariyyah), seperti makan, minum, dan lainnya, ataupun perbuatan yang tidak mengandung unsur ikhtiar (al-Af’al al-Idlthirariyyah), seperti detak jantung, rasa takut, dan lainnya.
Inilah makna yang terkandung dalam firman Allah:
ﻗُﻞْ ﺇﻥَّ ﺻَﻼَﺗِﻲ ﻭَنسكي ﻮَﻣَﺤْﻴَﺎﻱَ ﻭَﻣَﻤَﺎﺗِﻲ ﻟﻠﻪِ ﺭَﺏِّ ﺍﻟﻌَﺎﻟَﻤِﻴْﻦَ ( ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ 152: )
“Katakanlah (Wahai Muhammad): Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah milik Allah, Tuhan seluruh alam”.(QS. al-An’am:162).
Shalat dan ibadah adalah dua diantara perbuatan-perbuatan yang mengandung unsur usaha, ikhtiar dan kehendak dari manusia. Sedangkan hidup dan mati adalah sesuatu yang terjadi di luar kehendak manusia, keduanya hanya menjadi ketetapan, ciptaan dan kehendak Allah.
Dalam bacaan tersebut ditegaskan bahwa shalat dan ibadah, serta hidup dan mati, pada hakikatnya adalah milik Allah dan hanya diciptakan hanya oleh Allah saja.
******************
Channel telegram sy. Silahkan bergabung. Semoga bermanfaat.
Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh/3
(Bagian 3)
******************
Sifat-sifat Allah (tafsir QS. Al-Ikhlash)
Sebagaimana kita wajib meyakini bahwa Dzat Allah Azali;
(Tidak bermula), maka demikian pula dengan semua Sifat-Sifat-Nya, kita wajib meyakini itu semua Azali. Karena mustahil bila dzat yang qadim dan azali, sementara sifat-sifat-nya baharu. Karena adanya sifat yang baharu pada suatu dzat menunjukkan bahwa dzat tersebut juga baharu.
Dengan demikian mustahil bagi Allah bersifat dengan sifat-sifat yang baharu.
Bila sifat-sifat manusia setiap saat dapat mengalami perubahan, maka tidak demikian halnya dengan sifat-sifat Allah. Dia tidak mengalami perubahan atau perkembangan, tidak bertambah atau berkurang.
Kemudian; Allah Maha Esa pada perbuatan-Nya. Artinya, tidak ada dzat yang dapat menciptakan sesuatu dari “tidak ada” menjadi “ada” kecuali Allah saja. Hanya Allah pencipta segala sesuatu. Dia pencipta kebaikan dan kejahatan, keimanan dan kekufuran, keta’atan dan kemaksiatan. Dia pencipta semua benda, mulai dari benda terkecil, yaitu dzarrah ; (Ialah benda sampai puncak terkecil hingga tidak dapat lagi terbagi-bagi), hingga benda yang paling besar, yaitu ‘arsy.
Allah pencipta segala perbuatan manusia, baik perbuatan yang mengandung unsur ikhtiar (al-Af’al al-Ikhtiyariyyah), seperti makan, minum, dan lainnya, ataupun perbuatan yang tidak mengandung unsur ikhtiar (al-Af’al al-Idlthirariyyah), seperti detak jantung, rasa takut, dan lainnya.
Inilah makna yang terkandung dalam firman Allah:
ﻗُﻞْ ﺇﻥَّ ﺻَﻼَﺗِﻲ ﻭَنسكي ﻮَﻣَﺤْﻴَﺎﻱَ ﻭَﻣَﻤَﺎﺗِﻲ ﻟﻠﻪِ ﺭَﺏِّ ﺍﻟﻌَﺎﻟَﻤِﻴْﻦَ ( ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ 152: )
“Katakanlah (Wahai Muhammad): Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah milik Allah, Tuhan seluruh alam”.(QS. al-An’am:162).
Shalat dan ibadah adalah dua diantara perbuatan-perbuatan yang mengandung unsur usaha, ikhtiar dan kehendak dari manusia. Sedangkan hidup dan mati adalah sesuatu yang terjadi di luar kehendak manusia, keduanya hanya menjadi ketetapan, ciptaan dan kehendak Allah.
Dalam bacaan tersebut ditegaskan bahwa shalat dan ibadah, serta hidup dan mati, pada hakikatnya adalah milik Allah dan hanya diciptakan hanya oleh Allah saja.
******************
Channel telegram sy. Silahkan bergabung. Semoga bermanfaat.
Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh/3
IMAN DENGAN ALLAH
(Bagian 4)
******************
Sifat-sifat Allah (Tafsir QS. Al- Ikhlash)
******************
Ayat kedua dari surat QS. al-Ikhas di atas mengandung makna bahwa Allah Maha Kuasa atas seluruh alam ini. Dia tidak membutuhkan kepada sesuatu apapun dari makhluk-Nya. Sebaliknya, seluruh makhluk-Nya senantiasa membutuhkan kepada-Nya. Allah tidak mengambil manfaat sedikitpun dari perbuatan-perbuatan makhluk-Nya, dan mereka sedikitpun tidak dapat mencelakakan-Nya atau membuat madlarat (bahaya) apapun terhadap-Nya. Seandainya seluruh makhluk ini ta’at kepada Allah, maka hal itu tidak akan menambah kekuasaan-Nya dan kemuliaan-Nya sedikitpun. Demikian pula bila seluruh makhluk berbuat maksiat kepada-Nya, maka hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan dan keagungan Allah sedikitpun.
Allah menciptakan para Malaikat bukan untuk mendapatkan bantuan dari mereka. Demikian pula Ia menciptakan ‘arsy bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya, tetapi untuk menampakkan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, sebagaimana dikatakan oleh al-Imam ‘Ali ibn Abi Thalib berkata:
ﺇﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺧَﻠَﻖَ ﺍﻟﻌَﺮش إﻇْﻬَﺎﺭًﺍ ﻟِﻘُﺪْﺭَﺗِﻪِ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﺘَّﺨِﺬْﻩُ ﻣَﻜَﺎﻧًﺎ ﻟِﺬَﺍﺗِﻪِ ( ﺭَﻭَﺍﻩُ ﺃﺑُﻮ ﻣَﻨﺼُﻮﺭ ﺍﻟﺒَﻐﺪَﺍﺩﻱّ ﻓِﻲ ﺍﻟﻔَﺮْﻕِ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﻔِﺮَﻕ )
“Sesungguhnya Allah menciptakan ‘arsy untuk menunjukkan bukti kekuasaan-Nya dan bukan untuk menjadikannya tempat bagiDzat-Nya”. (Diriwayatkan oleh Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bainal-Firq, h. 333)
******************
Silahkan bergabung di Channel telegram sy. Semoga bermanfaat.
Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh/3
(Bagian 4)
******************
Sifat-sifat Allah (Tafsir QS. Al- Ikhlash)
******************
Ayat kedua dari surat QS. al-Ikhas di atas mengandung makna bahwa Allah Maha Kuasa atas seluruh alam ini. Dia tidak membutuhkan kepada sesuatu apapun dari makhluk-Nya. Sebaliknya, seluruh makhluk-Nya senantiasa membutuhkan kepada-Nya. Allah tidak mengambil manfaat sedikitpun dari perbuatan-perbuatan makhluk-Nya, dan mereka sedikitpun tidak dapat mencelakakan-Nya atau membuat madlarat (bahaya) apapun terhadap-Nya. Seandainya seluruh makhluk ini ta’at kepada Allah, maka hal itu tidak akan menambah kekuasaan-Nya dan kemuliaan-Nya sedikitpun. Demikian pula bila seluruh makhluk berbuat maksiat kepada-Nya, maka hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan dan keagungan Allah sedikitpun.
Allah menciptakan para Malaikat bukan untuk mendapatkan bantuan dari mereka. Demikian pula Ia menciptakan ‘arsy bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya, tetapi untuk menampakkan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, sebagaimana dikatakan oleh al-Imam ‘Ali ibn Abi Thalib berkata:
ﺇﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺧَﻠَﻖَ ﺍﻟﻌَﺮش إﻇْﻬَﺎﺭًﺍ ﻟِﻘُﺪْﺭَﺗِﻪِ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﺘَّﺨِﺬْﻩُ ﻣَﻜَﺎﻧًﺎ ﻟِﺬَﺍﺗِﻪِ ( ﺭَﻭَﺍﻩُ ﺃﺑُﻮ ﻣَﻨﺼُﻮﺭ ﺍﻟﺒَﻐﺪَﺍﺩﻱّ ﻓِﻲ ﺍﻟﻔَﺮْﻕِ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﻔِﺮَﻕ )
“Sesungguhnya Allah menciptakan ‘arsy untuk menunjukkan bukti kekuasaan-Nya dan bukan untuk menjadikannya tempat bagiDzat-Nya”. (Diriwayatkan oleh Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bainal-Firq, h. 333)
******************
Silahkan bergabung di Channel telegram sy. Semoga bermanfaat.
Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh/3
IMAN DENGAN ALLAH
(Bagian 5)
******************
Sifat-sifat Allah (Tafsir QS. Al-Ikhlash)
******************
Ayat ketiga dari QS. al-Ikhlash memberikan penjelasan dalam penafian, peniadaan dan pengingkaran terhadap keyakinan yang menyebutkan bahwa Allah sebagai benda (Jism). Juga bantahan terhadap keyakinan yg mengatakan Allah mempunyai bagian-bagian yang terpisah-pisahdari-Nya. Sekaligus, penjelasan dalam menafikan bahwa Allah sebagai bagian dari sesuatu yang lain.
Dalam ayat ke tiga ini secara jelas dinyatakan bahwa Allah bukan sebagai “asal” atau “bahan” (Walid) bagi sesuatu, dan juga bukan “cabang” (Walad) dari sesuatu yang lain. Ayat ini berisi bantahan terhadap doktrin trinitas yang diyakini orang-orang Nasrani, yang menyatakan ada tiga unsur ketuhanan yang kesemuanya kembali pada unsur yang tunggal.
Ayat ini juga merupakan bantahan terhadap keyakinan atau doktrin orang-orang Majusi yang menyatakan bahwa tuhan ada dua, yaitu tuhan kebaikan dan tuhan keburukan.
Faham serupa yang sama sesatnya adalah faham yang dianut oleh segolongan orang yang terlena dalam kesesatannya (al-maghrurun). Mereka menganggap bahwa diri mereka adalah kaum Sufi yang telah mencapai derajat “tinggi”. Padahal keyakinan mereka bertentangan dengan ajaran kaum Sufi sejati sendiri. Mereka berkeyakinan bahwa keseluruhan alam ini adalah sebagai Dzat Allah. Dan setiap komponen-komponen yang ada pada alam ini adalah bagian-bagian dari Dzat Allah. Keyakinan mereka ini dikenal dengan nama akidah Wahdah al-Wujud. Mereka menganggap bahwa manusia, hewan, Malaikat, tumbuh-tumbuhan, benda mati dan lain sebagainya adalah bagian dari Dzat Allah.
Faham semacam ini telah berkembang di sebagaian kalangan yang mengaku sebagai pengikut tarekat dan pengamal “shalawat” yang menyimpang.
Keyakinan
Wahdah al-Wujud ini lebih sesat dari pada kekufuran orang-orang Nasrani dan Majusi. Kaum Nasrani berkeyakinan ada tiga tuhan, kaum Majusi berkeyakinan ada dua tuhan, sementara mereka yang meyakini Wahdah al-Wujud meyakini bahwa segala sesuatu di alam ini adalah bagian-bagian dari dzat Tuhan. Kekufuran semacam ini jelas lebih buruk dari pada kekufuran kaum Nasrani dan kaum Majusi.
Ada pula faham sesat lainnya, yang juga merupakan kekufuran. Ialah keyakinan yang menyatakan bahwa Allah menyatu dengan sebagian mahluk-Nya. Kaum yang berkeyakinan ini mengatakan: “Apabila seorang hamba telah mencapai derajat ibadah tertentu, maka Allah akan menempati dan menyatu dengan tubuh orang tersebut”. Karenanya, di antara mereka ada yang menyembah sebagian lainnya yang mereka anggap telah sampai pada derajat tersebut dalam ibadahnya. Keyakinan sesat ini dikenal dengan nama akidah Hulul.
******************
Channel telegram sy. Silahkan bergabung. Semoga bermanfaat.
Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh/3
(Bagian 5)
******************
Sifat-sifat Allah (Tafsir QS. Al-Ikhlash)
******************
Ayat ketiga dari QS. al-Ikhlash memberikan penjelasan dalam penafian, peniadaan dan pengingkaran terhadap keyakinan yang menyebutkan bahwa Allah sebagai benda (Jism). Juga bantahan terhadap keyakinan yg mengatakan Allah mempunyai bagian-bagian yang terpisah-pisahdari-Nya. Sekaligus, penjelasan dalam menafikan bahwa Allah sebagai bagian dari sesuatu yang lain.
Dalam ayat ke tiga ini secara jelas dinyatakan bahwa Allah bukan sebagai “asal” atau “bahan” (Walid) bagi sesuatu, dan juga bukan “cabang” (Walad) dari sesuatu yang lain. Ayat ini berisi bantahan terhadap doktrin trinitas yang diyakini orang-orang Nasrani, yang menyatakan ada tiga unsur ketuhanan yang kesemuanya kembali pada unsur yang tunggal.
Ayat ini juga merupakan bantahan terhadap keyakinan atau doktrin orang-orang Majusi yang menyatakan bahwa tuhan ada dua, yaitu tuhan kebaikan dan tuhan keburukan.
Faham serupa yang sama sesatnya adalah faham yang dianut oleh segolongan orang yang terlena dalam kesesatannya (al-maghrurun). Mereka menganggap bahwa diri mereka adalah kaum Sufi yang telah mencapai derajat “tinggi”. Padahal keyakinan mereka bertentangan dengan ajaran kaum Sufi sejati sendiri. Mereka berkeyakinan bahwa keseluruhan alam ini adalah sebagai Dzat Allah. Dan setiap komponen-komponen yang ada pada alam ini adalah bagian-bagian dari Dzat Allah. Keyakinan mereka ini dikenal dengan nama akidah Wahdah al-Wujud. Mereka menganggap bahwa manusia, hewan, Malaikat, tumbuh-tumbuhan, benda mati dan lain sebagainya adalah bagian dari Dzat Allah.
Faham semacam ini telah berkembang di sebagaian kalangan yang mengaku sebagai pengikut tarekat dan pengamal “shalawat” yang menyimpang.
Keyakinan
Wahdah al-Wujud ini lebih sesat dari pada kekufuran orang-orang Nasrani dan Majusi. Kaum Nasrani berkeyakinan ada tiga tuhan, kaum Majusi berkeyakinan ada dua tuhan, sementara mereka yang meyakini Wahdah al-Wujud meyakini bahwa segala sesuatu di alam ini adalah bagian-bagian dari dzat Tuhan. Kekufuran semacam ini jelas lebih buruk dari pada kekufuran kaum Nasrani dan kaum Majusi.
Ada pula faham sesat lainnya, yang juga merupakan kekufuran. Ialah keyakinan yang menyatakan bahwa Allah menyatu dengan sebagian mahluk-Nya. Kaum yang berkeyakinan ini mengatakan: “Apabila seorang hamba telah mencapai derajat ibadah tertentu, maka Allah akan menempati dan menyatu dengan tubuh orang tersebut”. Karenanya, di antara mereka ada yang menyembah sebagian lainnya yang mereka anggap telah sampai pada derajat tersebut dalam ibadahnya. Keyakinan sesat ini dikenal dengan nama akidah Hulul.
******************
Channel telegram sy. Silahkan bergabung. Semoga bermanfaat.
Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh/3
IMAN DENGAN ALLAH
(Bagian 6)
******************
Dua keyakinan di atas, yaitu akidah Wahdah al-Wujud dan Hulul telah meracuni sebagian orang awam yang hanya mengutamakan dzikir tanpa mempelajari akidah yang benar dan cara beragama mereka. Dari sini mereka menganggap bahwa perbuatan mereka adalah jaminan keselamatan di akhirat kelak. Mereka juga menganggap bahwa mereka telah berbuat kebaikan “banyak” dan “besar” tiada tara. Padahal pada hakikatnya mereka tenggelam dalam kekufuran karena keyakinan sesat tersebut.
Asy-Syekh ‘Abd al-Ghani an-Nabulsi berkata:
ﺇﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻻَ يحل في ﺷَﻲﺀٍ ﻭَﻻَ ﻳَﻨْﺤَﻞُّ ﻣِﻨْﻪُ ﺷَﻲﺀٌ ﻭَﻻَ ﻳَﺤُﻞُّ ﻓِﻴْﻪِ ﺷَﻲﺀٌ ﻟَﻴْﺲَ كمثله شيء
“Sesungguhnya Allah tidak bertempat atau menyatu pada sesuatu apapun, dan tidak berpisah dari-Nya sesuatu apapun, serta tidak menyatu dengan-Nya sesuatu apapun. Dia tidak menyerupai segala sesuatu apapun dari makhluk-Nya” [al-Fath ar-Rabbani, h. 128]
Al-Imam Muhyiddin Ibn al-‘Arabi berkata:
ﻣَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﺑِﺎﻟﺤُﻠُﻮل فدينه ﻣَﻌْﻠُﻮﻝٌ ﻭَﻣَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﺑﺎﻻﺗّﺤَﺎﺩِ ﺇﻻَّ ﺃﻫْﻞُ ﺍﻻﻟْﺤَﺎﺩ ( ﺫﻛَﺮﻩُ ﺃﺑُﻮ ﺍﻟﻬُﺪَﻯ ﺍﻟﺼَّﻴَّﺎﺩﻱ ﻓِﻲ ﺭﺳَﺎﻟﺘِﻪِ
“Barangsiapa berkata (berkeyakinan) Hulul maka agamanya cacat. Dan tidak menyatakan Ittihad (Wahdah al-Wujud) kecuali golongan yang menyimpang (dari Islam)”. (Dituturkan oleh Abu al-Huda al-Shayyadi dalam
Risalah-nya)
Ayat keempat dari QS. al-Ikhlash merupakan penjelasan bahwa Allah tidak meyerupai segala makhluk-Nya. Ayat tersebut merupakan ayat Muhkamat;
artinya merupakan ayat yang jelas maknanya dan tidak mengandung faham takwil. Pemaknaan ayat ini sama dengan pemaknaan ayat Muhkamat lainnya, yaitu dalam firman Allah:
ﻟَﻴْﺲَ ﻛَﻤِﺜﻠِﻪِ ﺷَﻲﺀٌ ( ﺍﻟﺸﻮﺭﻯ 11: )
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhlukNya, baik dari satu segi maupun semua segi dan, tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya”. (QS. as-Syura: 11).
******************
Channel telegram sy. Silahkan bergabung. Semoga bermanfaat.
Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh/3
(Bagian 6)
******************
Dua keyakinan di atas, yaitu akidah Wahdah al-Wujud dan Hulul telah meracuni sebagian orang awam yang hanya mengutamakan dzikir tanpa mempelajari akidah yang benar dan cara beragama mereka. Dari sini mereka menganggap bahwa perbuatan mereka adalah jaminan keselamatan di akhirat kelak. Mereka juga menganggap bahwa mereka telah berbuat kebaikan “banyak” dan “besar” tiada tara. Padahal pada hakikatnya mereka tenggelam dalam kekufuran karena keyakinan sesat tersebut.
Asy-Syekh ‘Abd al-Ghani an-Nabulsi berkata:
ﺇﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻻَ يحل في ﺷَﻲﺀٍ ﻭَﻻَ ﻳَﻨْﺤَﻞُّ ﻣِﻨْﻪُ ﺷَﻲﺀٌ ﻭَﻻَ ﻳَﺤُﻞُّ ﻓِﻴْﻪِ ﺷَﻲﺀٌ ﻟَﻴْﺲَ كمثله شيء
“Sesungguhnya Allah tidak bertempat atau menyatu pada sesuatu apapun, dan tidak berpisah dari-Nya sesuatu apapun, serta tidak menyatu dengan-Nya sesuatu apapun. Dia tidak menyerupai segala sesuatu apapun dari makhluk-Nya” [al-Fath ar-Rabbani, h. 128]
Al-Imam Muhyiddin Ibn al-‘Arabi berkata:
ﻣَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﺑِﺎﻟﺤُﻠُﻮل فدينه ﻣَﻌْﻠُﻮﻝٌ ﻭَﻣَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﺑﺎﻻﺗّﺤَﺎﺩِ ﺇﻻَّ ﺃﻫْﻞُ ﺍﻻﻟْﺤَﺎﺩ ( ﺫﻛَﺮﻩُ ﺃﺑُﻮ ﺍﻟﻬُﺪَﻯ ﺍﻟﺼَّﻴَّﺎﺩﻱ ﻓِﻲ ﺭﺳَﺎﻟﺘِﻪِ
“Barangsiapa berkata (berkeyakinan) Hulul maka agamanya cacat. Dan tidak menyatakan Ittihad (Wahdah al-Wujud) kecuali golongan yang menyimpang (dari Islam)”. (Dituturkan oleh Abu al-Huda al-Shayyadi dalam
Risalah-nya)
Ayat keempat dari QS. al-Ikhlash merupakan penjelasan bahwa Allah tidak meyerupai segala makhluk-Nya. Ayat tersebut merupakan ayat Muhkamat;
artinya merupakan ayat yang jelas maknanya dan tidak mengandung faham takwil. Pemaknaan ayat ini sama dengan pemaknaan ayat Muhkamat lainnya, yaitu dalam firman Allah:
ﻟَﻴْﺲَ ﻛَﻤِﺜﻠِﻪِ ﺷَﻲﺀٌ ( ﺍﻟﺸﻮﺭﻯ 11: )
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhlukNya, baik dari satu segi maupun semua segi dan, tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya”. (QS. as-Syura: 11).
******************
Channel telegram sy. Silahkan bergabung. Semoga bermanfaat.
Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh/3
IMAN DENGAN ALLAH
(Bagian 7)
******************
Dalam menafsirkan QS. al-Ikhlash: 4 ini, para ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (yaitu segala sesuatu selain Allah) terbagi kepada dua bagian. Yaitu; benda dan sifat benda. Yang pertama; Benda, terbagi kepada dua bagian, yaitu:
1. Hajm Lathif : Yaitu benda yang tidak dapat dipegang atau disentuh oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, dan lain sebagainya.
2. Hajm Katsif : Yaitu benda yang dapat dipegang atau disentuh oleh tangan, seperti manusia, dan benda-benda padat lainnya.
Adapun yang kedua, yaitu sifat benda, artinya sifat-sifat dari Hajm Lathif dan sifat-sifat dari Hajm Katsif, contoh; gerak, diam, berubah, bersemayam, duduk, beridiri, terlentang, berada di tempat dan arah (baik atas, bawah, kanan, kiri, depan maupun belakang), turun, naik, panas, dingin, memiliki warna, bentuk, dan sebagainya.
Ayat QS. al-Ikhlash: 4 ini menjelaskan kepada kita bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-Nya. Bahwa Allah bukan sebagai Hajm Lathif, juga bukan sebagai
Hajm Katsif, dan bahwa Allah tidak disifati dengan sifat-sifat benda tersebut.
Dari ayat ini para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah mengambil dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Karena bila Allah
mempunyai tempat dan arah maka berarti Allah mempunyai banyak keserupaan dengan makhluk-Nya, dan mempunyai dimensi, yaitu panjang, lebar, dan kedalaman. Padahal sesuatu yang memiliki dimensi semacam itu pastilah merupakan makhluk, bukan Tuhan. Mustahil Allah membutuhkan kepada yang menjadikan-Nya dalam dimensi tersebut. Karena bila Allah “membutuhkan” maka berarti Allah lemah, dan tidak layak dituhankan.
Di antara Imam terkemuka di kalangan Ahlussunnah, al-Imam Ahmad ibn Hanbal, dan al-Imam Dzunnun al-Mishri yang seorang sufi kenamaan, juga salah seorang murid terkemuka al-Imam Malik ibn Anas, berkata:
ﻣَﻬْﻤَﺎ ﺗَﺼَﻮَّﺭْت ببالك ﻓَﺎﻟﻠﻪُ ﺑِﺨِﻼَﻑِ ﺫﻟِﻚَ ( ﺭَﻭَﺍﻩُ ﻋﻦ ﺍﻻﻣَﺎﻡ ﺃﺣْﻤَﺪ ﺃﺑُﻮ ﺍﻟﻔَﻀْﻞ التميمي في كتابه ﺍﻋﺘﻘﺎﺩ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﺍﻟﻤُﺒَﺠَّﻞ ﺃﺣﻤَﺪ ﺑﻦ ﺣَﻨْﺒَﻞ، ﻭَﺭَﻭﺍﻩُ ﻋﻦْ ﺫَﻱ ﺍﻟﻨُّﻮﻥ ﺍﻟﻤِﺼْﺮي اﻟﺨَﻄﻴﺐُ ﺍﻟﺒَﻐْﺪَﺍﺩﻱّ ﻓﻲ ﺗَﺎﺭﻳْﺦ ﺑَﻐْﺪَﺍﺩ )
“Apapun yang terlintas dalam benakmu tentang Allah, maka Allah tidak seperti demikian itu”. (Dikutip dari al-Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Abu al-Fadl al-Tamimi dalam kitab I'tiqadal-Imam al-Mubajjal Ahmad ibn Hanbal. Dan diriwayatkan dari al-Imam Dzunnun al-Mishri oleh al-Hafizh al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab
Tarikh Baghdad).
Semoga kita termasuk Ahl al-Ma’rifah dan mengimani Allah dengan seteguh-teguhnya keimanan seperti yang telah digariskan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Amin.
******************
Silahkan bergabung di channel telegram. Semoga bermanfaat.
Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh/3
(Bagian 7)
******************
Dalam menafsirkan QS. al-Ikhlash: 4 ini, para ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (yaitu segala sesuatu selain Allah) terbagi kepada dua bagian. Yaitu; benda dan sifat benda. Yang pertama; Benda, terbagi kepada dua bagian, yaitu:
1. Hajm Lathif : Yaitu benda yang tidak dapat dipegang atau disentuh oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, dan lain sebagainya.
2. Hajm Katsif : Yaitu benda yang dapat dipegang atau disentuh oleh tangan, seperti manusia, dan benda-benda padat lainnya.
Adapun yang kedua, yaitu sifat benda, artinya sifat-sifat dari Hajm Lathif dan sifat-sifat dari Hajm Katsif, contoh; gerak, diam, berubah, bersemayam, duduk, beridiri, terlentang, berada di tempat dan arah (baik atas, bawah, kanan, kiri, depan maupun belakang), turun, naik, panas, dingin, memiliki warna, bentuk, dan sebagainya.
Ayat QS. al-Ikhlash: 4 ini menjelaskan kepada kita bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-Nya. Bahwa Allah bukan sebagai Hajm Lathif, juga bukan sebagai
Hajm Katsif, dan bahwa Allah tidak disifati dengan sifat-sifat benda tersebut.
Dari ayat ini para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah mengambil dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Karena bila Allah
mempunyai tempat dan arah maka berarti Allah mempunyai banyak keserupaan dengan makhluk-Nya, dan mempunyai dimensi, yaitu panjang, lebar, dan kedalaman. Padahal sesuatu yang memiliki dimensi semacam itu pastilah merupakan makhluk, bukan Tuhan. Mustahil Allah membutuhkan kepada yang menjadikan-Nya dalam dimensi tersebut. Karena bila Allah “membutuhkan” maka berarti Allah lemah, dan tidak layak dituhankan.
Di antara Imam terkemuka di kalangan Ahlussunnah, al-Imam Ahmad ibn Hanbal, dan al-Imam Dzunnun al-Mishri yang seorang sufi kenamaan, juga salah seorang murid terkemuka al-Imam Malik ibn Anas, berkata:
ﻣَﻬْﻤَﺎ ﺗَﺼَﻮَّﺭْت ببالك ﻓَﺎﻟﻠﻪُ ﺑِﺨِﻼَﻑِ ﺫﻟِﻚَ ( ﺭَﻭَﺍﻩُ ﻋﻦ ﺍﻻﻣَﺎﻡ ﺃﺣْﻤَﺪ ﺃﺑُﻮ ﺍﻟﻔَﻀْﻞ التميمي في كتابه ﺍﻋﺘﻘﺎﺩ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﺍﻟﻤُﺒَﺠَّﻞ ﺃﺣﻤَﺪ ﺑﻦ ﺣَﻨْﺒَﻞ، ﻭَﺭَﻭﺍﻩُ ﻋﻦْ ﺫَﻱ ﺍﻟﻨُّﻮﻥ ﺍﻟﻤِﺼْﺮي اﻟﺨَﻄﻴﺐُ ﺍﻟﺒَﻐْﺪَﺍﺩﻱّ ﻓﻲ ﺗَﺎﺭﻳْﺦ ﺑَﻐْﺪَﺍﺩ )
“Apapun yang terlintas dalam benakmu tentang Allah, maka Allah tidak seperti demikian itu”. (Dikutip dari al-Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Abu al-Fadl al-Tamimi dalam kitab I'tiqadal-Imam al-Mubajjal Ahmad ibn Hanbal. Dan diriwayatkan dari al-Imam Dzunnun al-Mishri oleh al-Hafizh al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab
Tarikh Baghdad).
Semoga kita termasuk Ahl al-Ma’rifah dan mengimani Allah dengan seteguh-teguhnya keimanan seperti yang telah digariskan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Amin.
******************
Silahkan bergabung di channel telegram. Semoga bermanfaat.
Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh/3
Dari al-Syahrastani: ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANP ARAH
******************
al-Imâm al-Syaikh Muhammad ibn Abd al-Karim al-Syahrastani al-Syafi’i (w 548 H), penulis kitab fenomenal tentang firqah-firqah dalam Islam berjudul al-Milal Wa al-Nihal, dalam salah satu karyanya berjudul Nihayah al-Aqdam Fi 'Ilm al-Kalam menuliskan sebagai berikut:
ﻓﻤﺬﻫﺐ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺤﻖ ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻻ ﻳﺸﺒﻪ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺨﻠﻮﻗﺎﺕ ﻭﻻ ﻳﺸﺒﻬﻪ ﺷﻰﺀ ﻣﻨﻬﺎ ﺑﻮﺟﻪ ﻣﻦ ﻭﺟﻮﻩ ﺍﻟﻤﺸﺎﺑﻬﺔ ﻭﺍﻟﻤﻤﺎﺛﻠﺔ " ﻟَﻴْﺲَ ﻛَﻤِﺜْﻠِﻪِ ﺷَﻲْﺀٌ ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟﺴَّﻤِﻴﻊُ ﺍﻟﺒَﺼِﻴﺮُ " ( ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﺸﻮﺭﻯ 11/ ) . ﻓﻠﻴﺲ ﺍﻟﺒﺎﺭﻯﺀ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﺑﺠﻮﻫﺮ ﻭﻻ ﺟﺴﻢ ﻭﻻ ﻋﺮﺽ ﻭﻻ ﻓﻲ ﻣﻜﺎﻥ ﻭﻻ ﻓﻲ ﺯﻣﺎﻥ "
“Madzhab kelompok yang Haq adalah bahwa Allah tidak menyerupai suatu apapun dari para makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya secara mutlak dalam segala segi, (sebagaimana firman-Nya): ليس كمثله شيىء وهو السميع البصير (QS. As-Syura: 11), maka Allah bukan jawhar (benda terkecil yg tidak dapat terbagi-bagi), Dia bukan tubuh, dan sifat-Nya bukan sifat benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa zaman/waktu”ً. ﴾Nihâyah al-Aqdâm, h. 103﴿.
******************
Silahkan bergabung di channel telegram sy. Semoga bermanfaat.
Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh/3
******************
al-Imâm al-Syaikh Muhammad ibn Abd al-Karim al-Syahrastani al-Syafi’i (w 548 H), penulis kitab fenomenal tentang firqah-firqah dalam Islam berjudul al-Milal Wa al-Nihal, dalam salah satu karyanya berjudul Nihayah al-Aqdam Fi 'Ilm al-Kalam menuliskan sebagai berikut:
ﻓﻤﺬﻫﺐ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺤﻖ ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻻ ﻳﺸﺒﻪ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺨﻠﻮﻗﺎﺕ ﻭﻻ ﻳﺸﺒﻬﻪ ﺷﻰﺀ ﻣﻨﻬﺎ ﺑﻮﺟﻪ ﻣﻦ ﻭﺟﻮﻩ ﺍﻟﻤﺸﺎﺑﻬﺔ ﻭﺍﻟﻤﻤﺎﺛﻠﺔ " ﻟَﻴْﺲَ ﻛَﻤِﺜْﻠِﻪِ ﺷَﻲْﺀٌ ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟﺴَّﻤِﻴﻊُ ﺍﻟﺒَﺼِﻴﺮُ " ( ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﺸﻮﺭﻯ 11/ ) . ﻓﻠﻴﺲ ﺍﻟﺒﺎﺭﻯﺀ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﺑﺠﻮﻫﺮ ﻭﻻ ﺟﺴﻢ ﻭﻻ ﻋﺮﺽ ﻭﻻ ﻓﻲ ﻣﻜﺎﻥ ﻭﻻ ﻓﻲ ﺯﻣﺎﻥ "
“Madzhab kelompok yang Haq adalah bahwa Allah tidak menyerupai suatu apapun dari para makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya secara mutlak dalam segala segi, (sebagaimana firman-Nya): ليس كمثله شيىء وهو السميع البصير (QS. As-Syura: 11), maka Allah bukan jawhar (benda terkecil yg tidak dapat terbagi-bagi), Dia bukan tubuh, dan sifat-Nya bukan sifat benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa zaman/waktu”ً. ﴾Nihâyah al-Aqdâm, h. 103﴿.
******************
Silahkan bergabung di channel telegram sy. Semoga bermanfaat.
Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh/3
Metode yang benar dalam meraih ilmu agama; melestarikan tradisi ulama salaf saleh
******************
Sanad adalah mata rantai orang-orang yang membawa sebuah disiplin ilmu (Silsilah ar-Rijâl) . Mata rantai ini terus bersambung satu sama lainnya hingga kepada pembawa awal ilmu-ilmu itu sendiri; yaitu Rasulullah. Integritas sanad dengan ilmu-ilmu Islam tidak dapat terpisahkan. Sanad dengan ilmu-ilmu keislaman laksana paket yang merupakan satu kesatuan. Seluruh disiplin ilmu-ilmu Islam dipastikan memiliki sanad. Dan Sanad inilah yang menjamin keberlangsungan dan kemurnian ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islam sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat syari’at itu sendiri; Allah dan Rasul-Nya.
Di antara sebab “kebal” ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah dari berbagai usaha luar yang hendak merusaknya adalah karena keberadaan sanad. Hal ini berbeda dengan ajaran-ajaran atau syari’at nabi-nabi sebelum nabi Muhammad. Adanya berbagai perubahan pada ajaran-ajaran mereka, bahkan mungkin hingga terjadi pertentangan ajaran antara satu masa dengan masa lainnya setelah ditinggal oleh nabi-nabi yang bersangkutan, adalah karena tidak memiliki sanad. Karena itu para ulama menyatakan bahwa sanad adalah salah satu “keistimewaaan” yang dikaruniakan oleh Allah kepada umat nabi Muhammad, di mana hal tersebut tidak dikaruniakan oleh Allah terhadap umat-umat nabi sebelumnya. Dengan jaminan sanad ini pula kelak kemurnian ajaran-ajaran Rasulullah akan terus berlangsung hingga datang hari kiamat[1].
Tentang pentingnya sanad, Imam Ibn Sirin, seorang ulama terkemuka dari kalangan tabi’in, berkata:
ﺇﻥّ ﻫَﺬَﺍ ﺍْﻟﻌِﻠْﻢَ ﺩِﻳْﻦٌ ﻓَﺎﻧْﻈُﺮُﻭﺍ ﻋَﻤّﻦْ ﺗَﺄﺧُﺬُﻭْﻥُ ﺩِﻳْﻨَﻜُﻢْ ( ﺭَﻭَﺍﻩُ ﻣُﺴْﻠِﻢٌ ﻓِﻲ ﻣُﻘَﺪِّﻣَﺔِ ﺍﻟﺼّﺤِﻴْﺢ )
“Sesungguhnya ilmu -agama- ini adalah agama, maka lihatkan oleh kalian dari manakah kalian mengambil agama kalian”. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam mukadimah kitab Shahîh- nya).
Imam ‘Abdullah ibn al-Mubarak berkata:
ﺍﻹﺳْﻨَﺎﺩُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺪّﻳْﻦِ ﻟَﻮْ ﻻَ ﺍﻹﺳْﻨَﺎﺩُ ﻟَﻘَﺎﻝَ ﻣَﻦْ ﺷَﺎﺀَ ﻣَﺎ ﺷَﺎﺀَ
“Sanad adalah bagian dari agama, jika bukan karena sanad maka setiap orang benar-benar akan berkata -tentang urusan agama- terhadap apapun yang ia inginkan”[2].
Pentingnya sanad tidak hanya berlaku khusus dalam disiplin hadits, atau ilmu-ilmu hadits saja, tetapi berlaku dalam seluruh ilmu-ilmu agama. Perhatikan perkataan Ibn Sirin di atas, beliau tidak mengatakan khusus dalam masalah hadits saja, tetapi beliau mengatakan “al-‘Ilm” artinya secara mutlak mencakup seluruh ilmu-ilmu agama. Pemahaman ini pula tersirat dalam perkataan Imam Abdullah ibn al-Mubarak.
******************
Catatan lengkap buka link ini http://allahadatanpatempat.blogspot.co.id/2013/01/metode-yang-benar-dalam-meraih-ilmu.html?m=0#
******************
Channel telegram sy. Silahkan bergabung. Semoga bermanfaat.
Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh/3
******************
Sanad adalah mata rantai orang-orang yang membawa sebuah disiplin ilmu (Silsilah ar-Rijâl) . Mata rantai ini terus bersambung satu sama lainnya hingga kepada pembawa awal ilmu-ilmu itu sendiri; yaitu Rasulullah. Integritas sanad dengan ilmu-ilmu Islam tidak dapat terpisahkan. Sanad dengan ilmu-ilmu keislaman laksana paket yang merupakan satu kesatuan. Seluruh disiplin ilmu-ilmu Islam dipastikan memiliki sanad. Dan Sanad inilah yang menjamin keberlangsungan dan kemurnian ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islam sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat syari’at itu sendiri; Allah dan Rasul-Nya.
Di antara sebab “kebal” ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah dari berbagai usaha luar yang hendak merusaknya adalah karena keberadaan sanad. Hal ini berbeda dengan ajaran-ajaran atau syari’at nabi-nabi sebelum nabi Muhammad. Adanya berbagai perubahan pada ajaran-ajaran mereka, bahkan mungkin hingga terjadi pertentangan ajaran antara satu masa dengan masa lainnya setelah ditinggal oleh nabi-nabi yang bersangkutan, adalah karena tidak memiliki sanad. Karena itu para ulama menyatakan bahwa sanad adalah salah satu “keistimewaaan” yang dikaruniakan oleh Allah kepada umat nabi Muhammad, di mana hal tersebut tidak dikaruniakan oleh Allah terhadap umat-umat nabi sebelumnya. Dengan jaminan sanad ini pula kelak kemurnian ajaran-ajaran Rasulullah akan terus berlangsung hingga datang hari kiamat[1].
Tentang pentingnya sanad, Imam Ibn Sirin, seorang ulama terkemuka dari kalangan tabi’in, berkata:
ﺇﻥّ ﻫَﺬَﺍ ﺍْﻟﻌِﻠْﻢَ ﺩِﻳْﻦٌ ﻓَﺎﻧْﻈُﺮُﻭﺍ ﻋَﻤّﻦْ ﺗَﺄﺧُﺬُﻭْﻥُ ﺩِﻳْﻨَﻜُﻢْ ( ﺭَﻭَﺍﻩُ ﻣُﺴْﻠِﻢٌ ﻓِﻲ ﻣُﻘَﺪِّﻣَﺔِ ﺍﻟﺼّﺤِﻴْﺢ )
“Sesungguhnya ilmu -agama- ini adalah agama, maka lihatkan oleh kalian dari manakah kalian mengambil agama kalian”. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam mukadimah kitab Shahîh- nya).
Imam ‘Abdullah ibn al-Mubarak berkata:
ﺍﻹﺳْﻨَﺎﺩُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺪّﻳْﻦِ ﻟَﻮْ ﻻَ ﺍﻹﺳْﻨَﺎﺩُ ﻟَﻘَﺎﻝَ ﻣَﻦْ ﺷَﺎﺀَ ﻣَﺎ ﺷَﺎﺀَ
“Sanad adalah bagian dari agama, jika bukan karena sanad maka setiap orang benar-benar akan berkata -tentang urusan agama- terhadap apapun yang ia inginkan”[2].
Pentingnya sanad tidak hanya berlaku khusus dalam disiplin hadits, atau ilmu-ilmu hadits saja, tetapi berlaku dalam seluruh ilmu-ilmu agama. Perhatikan perkataan Ibn Sirin di atas, beliau tidak mengatakan khusus dalam masalah hadits saja, tetapi beliau mengatakan “al-‘Ilm” artinya secara mutlak mencakup seluruh ilmu-ilmu agama. Pemahaman ini pula tersirat dalam perkataan Imam Abdullah ibn al-Mubarak.
******************
Catatan lengkap buka link ini http://allahadatanpatempat.blogspot.co.id/2013/01/metode-yang-benar-dalam-meraih-ilmu.html?m=0#
******************
Channel telegram sy. Silahkan bergabung. Semoga bermanfaat.
Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh/3
allahadatanpatempat.blogspot.co.uk
Metode Yang Benar Dalam Meraih Ilmu Agama
Metode Yang Benar Dalam Meraih Ilmu Agama (Upaya Melestarikan Tradisi Salaf Saleh Dan Memperjelas Posisi Derajat Keilmuan kita) ...
Kholil Abou Fateh:
IMAN DENGAN QADLA DAN QADAR
(Bagian 1)
**********
Imam dengan Qadla dan Qadar adalah pembahasan akhir dari pembahasan pokok-pokok keimanan yang enam (Ushul al-Iman as-Sittah). Dengan pembahasan ini semoga kita dapat memahami makna Qadla dan Qadar Allah dengan keimanan yang benar-benar kuat. Karena sekarang ini telah timbul beberapa orang bahkan beberapa kelompok yang mengingkari Qadla dan Qadar, dan berusaha mengkaburkannya, baik melalui tulisan-tulisan,maupun di bangku-bangku kuliah. Semoga kita selamat dari kekufuran. Amin.
Tentang kewajiban iman dengan Qadla dan Qadar, dalam sebuah hadits shahih Rasulullah bersabda:
ﺍﻹﻳْﻤَﺎﻥُ ﺃﻥْ ﺗُﺆﻣِﻦَ ﺑﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﻣَﻼَﺋﻜِﺘَﻪِ ﻭَﻛُﺘُﺒﻪِ ﻭَﺭُﺳُﻠِﻪِ ﻭَﺍﻟﻴَﻮْﻡِ ﺍﻵﺧِﺮِ ﻭَﺗُﺆْﻣِﻦَ ﺑِﺎﻟﻘَﺪَﺭِ ﺧَﻴْﺮِﻩِ ﻭَﺷَﺮّﻩِ ( ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ )
“Iman ialah engkau percaya dengan Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan engkau percaya kepada Qadar Allah, yang baik maupun yang buruk”. (HR. Muslim).
Al-Qadla maknanya al-Khalqu, artinya penciptaan. Dan al-Qadar maknanya at-Tadbir, artinya pengaturan (ketentuan/ketetapan). Secara istilah al-Qadar artinya ketentuan Allah atas segala sesuatu sesuai dengan pengetahuan (al-‘Ilm) dan kehendak-Nya yang azali (yg tidak bermula), di mana sesuatu tersebut kemudian terjadi pada waktu yang telah ditentukan dan dikehendaki oleh-Nya terhadap kejadiannya.
**********
Silahkan bergabung di Channel telegram sy. Semoga bermanfaat.
Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh/3
IMAN DENGAN QADLA DAN QADAR
(Bagian 1)
**********
Imam dengan Qadla dan Qadar adalah pembahasan akhir dari pembahasan pokok-pokok keimanan yang enam (Ushul al-Iman as-Sittah). Dengan pembahasan ini semoga kita dapat memahami makna Qadla dan Qadar Allah dengan keimanan yang benar-benar kuat. Karena sekarang ini telah timbul beberapa orang bahkan beberapa kelompok yang mengingkari Qadla dan Qadar, dan berusaha mengkaburkannya, baik melalui tulisan-tulisan,maupun di bangku-bangku kuliah. Semoga kita selamat dari kekufuran. Amin.
Tentang kewajiban iman dengan Qadla dan Qadar, dalam sebuah hadits shahih Rasulullah bersabda:
ﺍﻹﻳْﻤَﺎﻥُ ﺃﻥْ ﺗُﺆﻣِﻦَ ﺑﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﻣَﻼَﺋﻜِﺘَﻪِ ﻭَﻛُﺘُﺒﻪِ ﻭَﺭُﺳُﻠِﻪِ ﻭَﺍﻟﻴَﻮْﻡِ ﺍﻵﺧِﺮِ ﻭَﺗُﺆْﻣِﻦَ ﺑِﺎﻟﻘَﺪَﺭِ ﺧَﻴْﺮِﻩِ ﻭَﺷَﺮّﻩِ ( ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ )
“Iman ialah engkau percaya dengan Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan engkau percaya kepada Qadar Allah, yang baik maupun yang buruk”. (HR. Muslim).
Al-Qadla maknanya al-Khalqu, artinya penciptaan. Dan al-Qadar maknanya at-Tadbir, artinya pengaturan (ketentuan/ketetapan). Secara istilah al-Qadar artinya ketentuan Allah atas segala sesuatu sesuai dengan pengetahuan (al-‘Ilm) dan kehendak-Nya yang azali (yg tidak bermula), di mana sesuatu tersebut kemudian terjadi pada waktu yang telah ditentukan dan dikehendaki oleh-Nya terhadap kejadiannya.
**********
Silahkan bergabung di Channel telegram sy. Semoga bermanfaat.
Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh/3
IMAN DENGAN QADLA DAN QADAR
(Bagian 2)
******************
Penggunaan kata “al-Qadar” terbagi kepada dua bagian.
Pertama; bisa bermaksud bagi sifat “Taqdir” Allah, yaitu sifat menentukan oleh Allah terhadap segala sesuatu yang Dia kehendakinya. al-Qadar dalam pengertian sifat Taqdir Allah ini tidak boleh kita sifati dengan keburukan dan kejelekan. Karena sifat menentukan Allah terhadap segala sesuatu bukan suatu keburukan atau kejelekan, tapi sifat menentukan Allah terhadap segala sesuatu yang Dia kehendakinya adalah sifat yang baik dan sempurna, sebagaimana sifat-sifat Allah lainnya. Sifat-sifat Allah tersebut tidak boleh dikatakan buruk, kurang, atau sifat-sifat jelek lainnya.
Kedua; kata al-Qadar dapat bermaksud bagi segala sesuatu yang terjadi pada makhluk, atau disebut dengan al-Maqdur. Al-Qadar dalam pengertian al-Maqdur ini ialah mencakup segala apapun yang terjadi pada seluruh makhluk ini; dari keburukan dan kebaikan, kesalehan dan kejahatan, keimanan dan kekufuran, ketaatan dan kemaksiatan, dan lain-lain. Makna yang kedua inilah yang maksud dengan hadits Jibril di atas;
وتؤمن بالقدر خيره وشره
Bahwa di antara pokok keimanan adalah beriman dengan al-Qadar, yang baiknya dan yang buruknya. Al-Qadar dalam hadits ini adalah dalam pengertian al-Maqdur.
Pemisahan makna antara sifat Taqdir Allah dengan al-Maqdur adalah sebuah kemestian. Hal ini karena sesuatu yang disifati dengan baik dan juga buruk, atau baik dan jahat, adalah hanya pada makhluk saja. Artinya, siapa yang melakukan kebaikan maka perbuatannya tersebut disebut “baik”, dan siapa yang melakukan keburukan maka perbuatannya tersebut disebut “buruk”. Dan penyebutan “baik dan buruk” seperti ini hanya berlaku pada makhluk saja. Adapun sifat Taqdir Allah, yaitu sifat menentukan Allah terhadap segala sesuatu yang Dia kehendaki maka sifat-Nya ini tidak boleh dikatakan buruk. Sifat Taqdir Allah, sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain, adalah sifat yang baik dan sempurna, ia tidak boleh dikatakan buruk atau jahat.
Dengan demikian, bila seorang hamba melakukan keburukan, maka itu adalah perbuatan dan sifat yang buruk dari hamba itu sendiri. Adapun Taqdir Allah terhadap keburukan yang terjadi pada hamba itu bukan berarti Allah menyukai dan memerintahkan kepada keburukan tersebut. Begitu pula, Allah yang menciptakan kejahatan, bukan berarti Allah jahat. Inilah yang dimaksud bahwa kehendak Allah meliputi segala perbuatan hamba, terhadap yang baik maupun yang buruk.
******************
Silahkan bergabung di Channel telegram sy. Semoga bermanfaat.
Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh/3
(Bagian 2)
******************
Penggunaan kata “al-Qadar” terbagi kepada dua bagian.
Pertama; bisa bermaksud bagi sifat “Taqdir” Allah, yaitu sifat menentukan oleh Allah terhadap segala sesuatu yang Dia kehendakinya. al-Qadar dalam pengertian sifat Taqdir Allah ini tidak boleh kita sifati dengan keburukan dan kejelekan. Karena sifat menentukan Allah terhadap segala sesuatu bukan suatu keburukan atau kejelekan, tapi sifat menentukan Allah terhadap segala sesuatu yang Dia kehendakinya adalah sifat yang baik dan sempurna, sebagaimana sifat-sifat Allah lainnya. Sifat-sifat Allah tersebut tidak boleh dikatakan buruk, kurang, atau sifat-sifat jelek lainnya.
Kedua; kata al-Qadar dapat bermaksud bagi segala sesuatu yang terjadi pada makhluk, atau disebut dengan al-Maqdur. Al-Qadar dalam pengertian al-Maqdur ini ialah mencakup segala apapun yang terjadi pada seluruh makhluk ini; dari keburukan dan kebaikan, kesalehan dan kejahatan, keimanan dan kekufuran, ketaatan dan kemaksiatan, dan lain-lain. Makna yang kedua inilah yang maksud dengan hadits Jibril di atas;
وتؤمن بالقدر خيره وشره
Bahwa di antara pokok keimanan adalah beriman dengan al-Qadar, yang baiknya dan yang buruknya. Al-Qadar dalam hadits ini adalah dalam pengertian al-Maqdur.
Pemisahan makna antara sifat Taqdir Allah dengan al-Maqdur adalah sebuah kemestian. Hal ini karena sesuatu yang disifati dengan baik dan juga buruk, atau baik dan jahat, adalah hanya pada makhluk saja. Artinya, siapa yang melakukan kebaikan maka perbuatannya tersebut disebut “baik”, dan siapa yang melakukan keburukan maka perbuatannya tersebut disebut “buruk”. Dan penyebutan “baik dan buruk” seperti ini hanya berlaku pada makhluk saja. Adapun sifat Taqdir Allah, yaitu sifat menentukan Allah terhadap segala sesuatu yang Dia kehendaki maka sifat-Nya ini tidak boleh dikatakan buruk. Sifat Taqdir Allah, sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain, adalah sifat yang baik dan sempurna, ia tidak boleh dikatakan buruk atau jahat.
Dengan demikian, bila seorang hamba melakukan keburukan, maka itu adalah perbuatan dan sifat yang buruk dari hamba itu sendiri. Adapun Taqdir Allah terhadap keburukan yang terjadi pada hamba itu bukan berarti Allah menyukai dan memerintahkan kepada keburukan tersebut. Begitu pula, Allah yang menciptakan kejahatan, bukan berarti Allah jahat. Inilah yang dimaksud bahwa kehendak Allah meliputi segala perbuatan hamba, terhadap yang baik maupun yang buruk.
******************
Silahkan bergabung di Channel telegram sy. Semoga bermanfaat.
Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh/3
IMAN DENGAN QADLA DAN QADAR
(Bagian 3)
******************
Segala perbuatan yang terjadi pada alam ini, baik kekufuran dan keimanan, ketaatan dan kemaksiatan, dan berbagai hal lainnya, semunya terjadi dengan kehendak dan dengan penciptaan Allah. Hal ini menunjukan kesempurnaan Allah, serta menunjukan keluasan dan ketercakupan kekuasaan dan kehendak-Nya atas segala sesuatu. Karena bila seandainya pada makhluk ini terjadi sesuatu yang tidak dikehendaki kejadiannya oleh Allah, maka berarti hal itu menafikan sifat ketuhanan-Nya, karena dengan demikian berarti Allah kehendak dikalahkan oleh kehendak makhluk-Nya. Ini adalah sesuatu yang mustahil terjadi. Karena itu dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:
ﻣَﺎ ﺷَﺎﺀَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻛﺎَﻥَ ﻭَﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﺸَﺄﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ( ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ )
“Apa yang dikehendaki oleh Allah -akan kejadiannya- pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehandaki oleh-Nya maka tidak akan pernah terjadi”. (HR. Abu Dawud).
Dengan demikian segala apapun yang dikehendaki oleh Allah terhadap kejadiannya maka semua itu pasti terjadi. Karena bila ada sesuatu yang terjadi di luar kehendak-Nya, maka hal itu menunjukkan akan kelemahan. Sedangkan sifat lemah itu mustahil atas Allah. Bukankah Allah maha kuasa?! Maka di antara bukti kekuasaannya adalah bahwa segala sesuatu yang dikehendaki-Nya pasti terlaksana. Oleh karena itu, dari sudut pandang syara’ dan akal, terjadinya segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah adalah perkara yang wajib, artinya wajib adanya dan pasti terjadi. Dalam hal ini Allah berfirman:
ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﻏَﺎﻟِﺐٌ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻣْﺮِﻩِ ( ﻳﻮﺳﻒ : 21 )
_“Allah maha mengalahkan (menang) di atas segala urusann-Nya”. (Artinya, segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah pasti akan terjadi, tidak ada siapapun yang menghalangi-Nya). (QS. Yusuf: 21)_
Allah menghendaki orang-orang mukmin dengan ikhtiar mereka untuk beriman kepada-Nya, maka mereka menjadi orang-orang yang beriman. Dan Allah menghendaki orang-orang kafir dengan ikhtiar mereka untuk kufur kepada-Nya, maka mereka semua menjadi orang-orang yang kafir. Seandainya Allah berkehendak semua makhluk-Nya beriman kepada-Nya, maka mereka semua pasti beriman kepada-Nya. Allah berfirman:
ﻭَﻟَﻮْ ﺷَﺎﺀَ ﺭَﺑُّﻚَ ﻟَﺂَﻣَﻦَ ﻣَﻦْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻛُﻠُّﻬُﻢْ ﺟَﻤِﻴﻌًﺎ ( ﻳﻮﻧﺲ : 99 )
_“Dan seandainya Tuhanmu (Wahai Muhammad) berkehendak, niscaya seluruh yang ada di bumi ini akan beriman”. (QS. Yunus: 99)._
Tetapi Allah tidak menghendaki semuanya beriman kepada-Nya. Namun demikian Allah memerintah mereka semua untuk beriman kepada-Nya. Maka di sini harus dipahami, bahwa “kehendak Allah” dan “perintah Allah” adalah dua hal berbeda. Tidak segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah adalah sesuatu yang diperintah oleh-Nya. Dan tidak segala sesuatu yang diperintah oleh Allah adalah sesuatu yang dikehendaki oleh-Nya.
Perkataan sebagian orang “Segala sesuatu adalah atas perintah Allah”, atau “Banyak sekali perbuatan kita yang tidak dikehendaki oleh Allah (maksudnya kemaksiatan-kemaksiatan)”, adalah perkataan yang salah. Karena Allah tidak memerintahkan kepada perbuatan-perbuatan maksiat atau kekufuran. Namun demikian, kejadian kemasiatan atau kekufuran tersebut adalah dengan kehendak Allah.
Perkataan yang benar ialah; Segala sesuatu yang terjadi di alam ini adalah dengan kehendak Allah, dengan _Taqdir_-Nya dan dengan Ilmu-Nya. Kebaikan terjadi dengan kehendak Allah, dengan _Taqdir_-Nya, dan dengan Ilmu-Nya, serta kebaikan ini juga dengan perintah-Nya, _mahabbah-Nya_, dan dengan keridlaan-Nya. Sementara keburukan terjadi dengan kehendak Allah, dengan _Taqdir_-Nya, dan dengan Ilmu-Nya, tapi tidak dengan perintah-Nya, tidak dengan _mahabbah_-Nya, dan tidak dengan keridlaan-Nya.
******************
Tawhid Corner, Catatan Teologi Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah, Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA.
Silahkan bergabung
https://t.me/Kholilaboufateh
(Bagian 3)
******************
Segala perbuatan yang terjadi pada alam ini, baik kekufuran dan keimanan, ketaatan dan kemaksiatan, dan berbagai hal lainnya, semunya terjadi dengan kehendak dan dengan penciptaan Allah. Hal ini menunjukan kesempurnaan Allah, serta menunjukan keluasan dan ketercakupan kekuasaan dan kehendak-Nya atas segala sesuatu. Karena bila seandainya pada makhluk ini terjadi sesuatu yang tidak dikehendaki kejadiannya oleh Allah, maka berarti hal itu menafikan sifat ketuhanan-Nya, karena dengan demikian berarti Allah kehendak dikalahkan oleh kehendak makhluk-Nya. Ini adalah sesuatu yang mustahil terjadi. Karena itu dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:
ﻣَﺎ ﺷَﺎﺀَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻛﺎَﻥَ ﻭَﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﺸَﺄﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ( ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ )
“Apa yang dikehendaki oleh Allah -akan kejadiannya- pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehandaki oleh-Nya maka tidak akan pernah terjadi”. (HR. Abu Dawud).
Dengan demikian segala apapun yang dikehendaki oleh Allah terhadap kejadiannya maka semua itu pasti terjadi. Karena bila ada sesuatu yang terjadi di luar kehendak-Nya, maka hal itu menunjukkan akan kelemahan. Sedangkan sifat lemah itu mustahil atas Allah. Bukankah Allah maha kuasa?! Maka di antara bukti kekuasaannya adalah bahwa segala sesuatu yang dikehendaki-Nya pasti terlaksana. Oleh karena itu, dari sudut pandang syara’ dan akal, terjadinya segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah adalah perkara yang wajib, artinya wajib adanya dan pasti terjadi. Dalam hal ini Allah berfirman:
ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﻏَﺎﻟِﺐٌ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻣْﺮِﻩِ ( ﻳﻮﺳﻒ : 21 )
_“Allah maha mengalahkan (menang) di atas segala urusann-Nya”. (Artinya, segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah pasti akan terjadi, tidak ada siapapun yang menghalangi-Nya). (QS. Yusuf: 21)_
Allah menghendaki orang-orang mukmin dengan ikhtiar mereka untuk beriman kepada-Nya, maka mereka menjadi orang-orang yang beriman. Dan Allah menghendaki orang-orang kafir dengan ikhtiar mereka untuk kufur kepada-Nya, maka mereka semua menjadi orang-orang yang kafir. Seandainya Allah berkehendak semua makhluk-Nya beriman kepada-Nya, maka mereka semua pasti beriman kepada-Nya. Allah berfirman:
ﻭَﻟَﻮْ ﺷَﺎﺀَ ﺭَﺑُّﻚَ ﻟَﺂَﻣَﻦَ ﻣَﻦْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻛُﻠُّﻬُﻢْ ﺟَﻤِﻴﻌًﺎ ( ﻳﻮﻧﺲ : 99 )
_“Dan seandainya Tuhanmu (Wahai Muhammad) berkehendak, niscaya seluruh yang ada di bumi ini akan beriman”. (QS. Yunus: 99)._
Tetapi Allah tidak menghendaki semuanya beriman kepada-Nya. Namun demikian Allah memerintah mereka semua untuk beriman kepada-Nya. Maka di sini harus dipahami, bahwa “kehendak Allah” dan “perintah Allah” adalah dua hal berbeda. Tidak segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah adalah sesuatu yang diperintah oleh-Nya. Dan tidak segala sesuatu yang diperintah oleh Allah adalah sesuatu yang dikehendaki oleh-Nya.
Perkataan sebagian orang “Segala sesuatu adalah atas perintah Allah”, atau “Banyak sekali perbuatan kita yang tidak dikehendaki oleh Allah (maksudnya kemaksiatan-kemaksiatan)”, adalah perkataan yang salah. Karena Allah tidak memerintahkan kepada perbuatan-perbuatan maksiat atau kekufuran. Namun demikian, kejadian kemasiatan atau kekufuran tersebut adalah dengan kehendak Allah.
Perkataan yang benar ialah; Segala sesuatu yang terjadi di alam ini adalah dengan kehendak Allah, dengan _Taqdir_-Nya dan dengan Ilmu-Nya. Kebaikan terjadi dengan kehendak Allah, dengan _Taqdir_-Nya, dan dengan Ilmu-Nya, serta kebaikan ini juga dengan perintah-Nya, _mahabbah-Nya_, dan dengan keridlaan-Nya. Sementara keburukan terjadi dengan kehendak Allah, dengan _Taqdir_-Nya, dan dengan Ilmu-Nya, tapi tidak dengan perintah-Nya, tidak dengan _mahabbah_-Nya, dan tidak dengan keridlaan-Nya.
******************
Tawhid Corner, Catatan Teologi Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah, Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA.
Silahkan bergabung
https://t.me/Kholilaboufateh
Dari Imam al Qurthubi: "AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TAMPA ARAH"
******************
Ahli tafsir terkemuka di kalangan Ahlussunnah, al-Imâm al-Mufassir Muhammad ibn Ahmad al-Anshari al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya yang sangat terkenal; al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân atau yang lebih dikenal dengan nama Tafsir al-Qurthubi, menuliskan sebagai berikut:
" ﻭ " ﺍﻟﻌﻠﻲّ " ﻳﺮﺍﺩ ﺑﻪ ﻋﻠﻮ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﻭﺍﻟﻤﻨﺰﻟﺔ ﻻ ﻋﻠﻮ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ، ﻷﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻨﺰﻩ ﻋﻦ ﺍﻟﺘﺤﻴﺰ "
“Nama Allah “al-‘Aliyy” adalah dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan bukan dalam ketinggian tempat, karena Allah maha suci dari bertempat”[1].
Pada bagian lain dalam kitab yang sama al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:
" ﻭﻣﻌﻨﻰ " ﻓَﻮْﻕَ ﻋِﺒَﺎﺩِﻩِ " ﻓﻮﻗﻴﺔ ﺍﻻﺳﺘﻌﻼﺀ ﺑﺎﻟﻘﻬﺮ ﻭﺍﻟﻐﻠﺒﺔ ﻋﻠﻴﻬﻢ، ﺃﻱ ﻫﻢ ﺗﺤﺖ ﺗﺴﺨﻴﺮﻩ ﻻ ﻓﻮﻗﻴﺔ ﻣﻜﺎﻥ "
“Makna Firman-Nya: “Fawqa ‘Ibâdih...” (QS. al-An’am: 18) , adalah dalam pengertian Fawqiyyah al-Istîlâ’ Bi al-Qahr Wa al-Ghalabah; artinya bahwa para hamba berada dalam kekuasaan-Nya, bukan dalam pengertian fawqiyyah al-makan , (tempat yang tinggi)”[2].
Masih dalam kitabnya yang sama al-Imâm al-Qurthubi juga menuliskan sebagai berikut:
" ﻭﺍﻟﻘﺎﻋﺪﺓ ﺗﻨﺰﻳﻬﻪ - ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ - ﻋﻦ ﺍﻟﺤﺮﻛﺔ ﻭﺍﻻﻧﺘﻘﺎﻝ ﻭﺷﻐﻞ ﺍﻷﻣﻜﻨﺔ "
“Kaedah -yang harus kita pegang teguh-: Allah maha suci dari gerak, berpindah-pindah, dan maha suci dari berada pada tempat”[3].
Lalu dalam menafsirkan firman Allah:
ﺃَﻭْ ﻳَﺄْﺗِﻲَ ﺭَﺑُّﻚَ ﺃَﻭْ ﻳَﺄْﺗِﻲ ﺑَﻌْﺾُ ﺀَﺍﻳَﺎﺕِ ﺭَﺑِّﻚَ ( ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ : 158 )
al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:
" ﻭﻟﻴﺲ ﻣﺠﻴﺌﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺣﺮﻛﺔ ﻭﻻ ﺍﻧﺘﻘﺎﻻ ﻭﻻ ﺯﻭﺍﻻ ﻷﻥ ﺫﻟﻚ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻜﻮﻥ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﺠﺎﺋﻲ ﺟﺴﻤﺎ ﺃﻭ ﺟﻮﻫﺮﺍ "
“Yang dimaksud dengan al-Majî’ pada hak Allah adalah bukan dalam pengertian gerak, bukan pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, bukan pula dalam pengertian condong, karena sifat-sifat seperti demikian itu hanya terjadi pada sesuatu yang merupakan Jism atau Jawhar ”[4].
Pada bagian lain dalam menafsirkan firman Allah tentang Nabi Yunus:
ﻭَﺫَﺍ ﺍﻟﻨُّﻮﻥِ ﺇِﺫ ﺫَّﻫَﺐَ ﻣُﻐَﺎﺿِﺒًﺎ ﻓَﻈَﻦَّ ﺃَﻥ ﻟَّﻦ ﻧَّﻘْﺪِﺭَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻓَﻨَﺎﺩَﻯ ﻓِﻲ ﺍﻟﻈُّﻠُﻤَﺎﺕِ ﺃَﻥ ﻵﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻵ ﺃَﻧﺖَ ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺇِﻧِّﻲ ﻛُﻨﺖُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤِﻴﻦَ ( ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ : 87 )
al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:
" ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻤﻌﺎﻟﻲ : ﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ " ﻻ ﺗﻔﻀﻠﻮﻧﻲ ﻋﻠﻰ ﻳﻮﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺘّﻰ " ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﻓﺈﻧﻲ ﻟﻢ ﺃﻛﻦ ﻭﺃﻧﺎ ﻓﻲ ﺳﺪﺭﺓ ﺍﻟﻤﻨﺘﻬﻰ ﺑﺄﻗﺮﺏ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻨﻪ ﻭﻫﻮ ﻓﻲ ﻗﻌﺮ ﺍﻟﺒﺤﺮ ﻓﻲ ﺑﻄﻦ ﺍﻟﺤﻮﺕ . ﻭﻫﺬﺍ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﺒﺎﺭﻯﺀ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﻟﻴﺲ ﻓﻲ ﺟﻬﺔ "
“Abu al-Ma’ali berkata: Sabda Rasulullah berbunyi
“Lâ Tufadl-dlilûnî ‘Alâ Yûnus Ibn Mattâ” memberikan pemahaman bahwa Nabi Muhammad yang diangkat hingga ke Sidrah al-Muntaha tidak boleh dikatakan lebih dekat kepada Allah dibanding Nabi Yunus yang berada di dalam perut ikan besar yang kemudian dibawa hingga ke kedalaman lautan. Ini menunjukan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah”[5].
Kemudian dalam menafsirkan firman Allah:
ﻭَﺟَﺂﺀَ ﺭَﺑُّﻚَ ﻭَﺍﻟْﻤَﻠَﻚُ ﺻَﻔًّﺎ ﺻَﻔًّﺎ ( ﺍﻟﻔﺠﺮ : 22 )
al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:
" ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺟﻞ ﺛﻨﺎﺅﻩ ﻻ ﻳﻮﺻﻒ ﺑﺎﻟﺘﺤﻮﻝ ﻣﻦ ﻣﻜﺎﻥ ﺇﻟﻰ ﻣﻜﺎﻥ، ﻭﺃﻧَّﻰ ﻟﻪ ﺍﻟﺘﺤﻮﻝ ﻭﺍﻻﻧﺘﻘﺎﻝ ﻭﻻ ﻣﻜﺎﻥ ﻟﻪ ﻭﻻ ﺃﻭﺍﻥ، ﻭﻻ ﻳﺠﺮﻱ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻗﺖ ﻭﻻ ﺯﻣﺎﻥ، ﻷﻥ ﻓﻲ ﺟﺮﻳﺎﻥ ﺍﻟﻮﻗﺖ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺸﻰﺀ ﻓﻮﺕ ﺍﻷﻭﻗﺎﺕ، ﻭﻣﻦ ﻓﺎﺗﻪ ﺷﻰﺀ ﻓﻬﻮ ﻋﺎﺟﺰ "
“Allah yang maha Agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain, karena mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau berpindah. Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk”[6].
Kemudian dalam menafsirkan firman Allah:
ﺀَﺃَﻣِﻨﺘُﻢ ﻣَّﻦ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺂﺀِ ﺃَﻥ ﻳَﺨْﺴِﻒَ ﺑِﻜُﻢُ ﺍْﻷَﺭْﺽَ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻫِﻲَ ﺗَﻤُﻮﺭُ ( ﺍﻟﻤﻠﻚ : 16)
al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:
" ﻭﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﻬﺎ ﺗﻮﻗﻴﺮﻩ ﻭﺗﻨﺰﻳﻬﻪ ﻋﻦ ﺍﻟﺴﻔﻞ ﻭﺍﻟﺘﺤﺖ، ﻭﻭﺻﻔﻪ ﺑﺎﻟﻌﻠﻮِّ ﻭﺍﻟﻌﻈﻤﺔ ﻻ ﺑﺎﻷﻣﺎﻛﻦ ﻭﺍﻟﺠﻬﺎﺕ ﻭﺍﻟﺤﺪﻭﺩ ﻷﻧﻬﺎ ﺻﻔﺎﺕ ﺍﻷﺟﺴﺎﻡ . ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺗﺮﻓﻊ ﺍﻷﻳﺪﻱ ﺑﺎﻟﺪﻋﺎﺀ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻷﻥ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻣﻬﺒﻂ ﺍﻟﻮﺣﻲ ﻭﻣﻨﺰﻝ ﺍﻟﻘﻄﺮ ﻭﻣﺤﻞ ﺍﻟﻘُﺪﺱ ﻭﻣﻌﺪﻥ ﺍﻟﻤﻄﻬﺮﻳﻦ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ، ﻭﺍﻟﻴﻬﺎ ﺗﺮﻓﻊ ﺃﻋﻤﺎﻝ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ، ﻭﻓﻮﻗﻬﺎ ﻋﺮﺷﻪ ﻭﺟﻨﺘﻪ، ﻛﻤﺎ ﺟﻌﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻜﻌﺒﺔ ﻗِﺒﻠﺔ ﻟﻠﺪﻋﺎﺀ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ، ﻭﻷﻧﻪ ﺧﻠﻖ ﺍﻷﻣﻜﻨﺔ ﻭﻫﻮ ﻏﻴﺮ ﻣﺤﺘﺎﺝ ﺇﻟﻴﻬﺎ، ﻭﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺃﺯﻟﻪ ﻗﺒﻞ ﺧﻠﻖ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻭﺍﻟﺰﻣﺎﻥ ﻭﻻ ﻣﻜﺎﻥ ﻟﻪ ﻭﻻ ﺯﻣﺎﻥ، ﻭﻫﻮ ﺍﻵﻥ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻛﺎﻥ "
“Yang dimaksud oleh ayat ini adalah keagungan Allah dan kesucian-Nya dari a
******************
Ahli tafsir terkemuka di kalangan Ahlussunnah, al-Imâm al-Mufassir Muhammad ibn Ahmad al-Anshari al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya yang sangat terkenal; al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân atau yang lebih dikenal dengan nama Tafsir al-Qurthubi, menuliskan sebagai berikut:
" ﻭ " ﺍﻟﻌﻠﻲّ " ﻳﺮﺍﺩ ﺑﻪ ﻋﻠﻮ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﻭﺍﻟﻤﻨﺰﻟﺔ ﻻ ﻋﻠﻮ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ، ﻷﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻨﺰﻩ ﻋﻦ ﺍﻟﺘﺤﻴﺰ "
“Nama Allah “al-‘Aliyy” adalah dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan bukan dalam ketinggian tempat, karena Allah maha suci dari bertempat”[1].
Pada bagian lain dalam kitab yang sama al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:
" ﻭﻣﻌﻨﻰ " ﻓَﻮْﻕَ ﻋِﺒَﺎﺩِﻩِ " ﻓﻮﻗﻴﺔ ﺍﻻﺳﺘﻌﻼﺀ ﺑﺎﻟﻘﻬﺮ ﻭﺍﻟﻐﻠﺒﺔ ﻋﻠﻴﻬﻢ، ﺃﻱ ﻫﻢ ﺗﺤﺖ ﺗﺴﺨﻴﺮﻩ ﻻ ﻓﻮﻗﻴﺔ ﻣﻜﺎﻥ "
“Makna Firman-Nya: “Fawqa ‘Ibâdih...” (QS. al-An’am: 18) , adalah dalam pengertian Fawqiyyah al-Istîlâ’ Bi al-Qahr Wa al-Ghalabah; artinya bahwa para hamba berada dalam kekuasaan-Nya, bukan dalam pengertian fawqiyyah al-makan , (tempat yang tinggi)”[2].
Masih dalam kitabnya yang sama al-Imâm al-Qurthubi juga menuliskan sebagai berikut:
" ﻭﺍﻟﻘﺎﻋﺪﺓ ﺗﻨﺰﻳﻬﻪ - ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ - ﻋﻦ ﺍﻟﺤﺮﻛﺔ ﻭﺍﻻﻧﺘﻘﺎﻝ ﻭﺷﻐﻞ ﺍﻷﻣﻜﻨﺔ "
“Kaedah -yang harus kita pegang teguh-: Allah maha suci dari gerak, berpindah-pindah, dan maha suci dari berada pada tempat”[3].
Lalu dalam menafsirkan firman Allah:
ﺃَﻭْ ﻳَﺄْﺗِﻲَ ﺭَﺑُّﻚَ ﺃَﻭْ ﻳَﺄْﺗِﻲ ﺑَﻌْﺾُ ﺀَﺍﻳَﺎﺕِ ﺭَﺑِّﻚَ ( ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ : 158 )
al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:
" ﻭﻟﻴﺲ ﻣﺠﻴﺌﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺣﺮﻛﺔ ﻭﻻ ﺍﻧﺘﻘﺎﻻ ﻭﻻ ﺯﻭﺍﻻ ﻷﻥ ﺫﻟﻚ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻜﻮﻥ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﺠﺎﺋﻲ ﺟﺴﻤﺎ ﺃﻭ ﺟﻮﻫﺮﺍ "
“Yang dimaksud dengan al-Majî’ pada hak Allah adalah bukan dalam pengertian gerak, bukan pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, bukan pula dalam pengertian condong, karena sifat-sifat seperti demikian itu hanya terjadi pada sesuatu yang merupakan Jism atau Jawhar ”[4].
Pada bagian lain dalam menafsirkan firman Allah tentang Nabi Yunus:
ﻭَﺫَﺍ ﺍﻟﻨُّﻮﻥِ ﺇِﺫ ﺫَّﻫَﺐَ ﻣُﻐَﺎﺿِﺒًﺎ ﻓَﻈَﻦَّ ﺃَﻥ ﻟَّﻦ ﻧَّﻘْﺪِﺭَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻓَﻨَﺎﺩَﻯ ﻓِﻲ ﺍﻟﻈُّﻠُﻤَﺎﺕِ ﺃَﻥ ﻵﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻵ ﺃَﻧﺖَ ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺇِﻧِّﻲ ﻛُﻨﺖُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤِﻴﻦَ ( ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ : 87 )
al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:
" ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻤﻌﺎﻟﻲ : ﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ " ﻻ ﺗﻔﻀﻠﻮﻧﻲ ﻋﻠﻰ ﻳﻮﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺘّﻰ " ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﻓﺈﻧﻲ ﻟﻢ ﺃﻛﻦ ﻭﺃﻧﺎ ﻓﻲ ﺳﺪﺭﺓ ﺍﻟﻤﻨﺘﻬﻰ ﺑﺄﻗﺮﺏ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻨﻪ ﻭﻫﻮ ﻓﻲ ﻗﻌﺮ ﺍﻟﺒﺤﺮ ﻓﻲ ﺑﻄﻦ ﺍﻟﺤﻮﺕ . ﻭﻫﺬﺍ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﺒﺎﺭﻯﺀ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﻟﻴﺲ ﻓﻲ ﺟﻬﺔ "
“Abu al-Ma’ali berkata: Sabda Rasulullah berbunyi
“Lâ Tufadl-dlilûnî ‘Alâ Yûnus Ibn Mattâ” memberikan pemahaman bahwa Nabi Muhammad yang diangkat hingga ke Sidrah al-Muntaha tidak boleh dikatakan lebih dekat kepada Allah dibanding Nabi Yunus yang berada di dalam perut ikan besar yang kemudian dibawa hingga ke kedalaman lautan. Ini menunjukan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah”[5].
Kemudian dalam menafsirkan firman Allah:
ﻭَﺟَﺂﺀَ ﺭَﺑُّﻚَ ﻭَﺍﻟْﻤَﻠَﻚُ ﺻَﻔًّﺎ ﺻَﻔًّﺎ ( ﺍﻟﻔﺠﺮ : 22 )
al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:
" ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺟﻞ ﺛﻨﺎﺅﻩ ﻻ ﻳﻮﺻﻒ ﺑﺎﻟﺘﺤﻮﻝ ﻣﻦ ﻣﻜﺎﻥ ﺇﻟﻰ ﻣﻜﺎﻥ، ﻭﺃﻧَّﻰ ﻟﻪ ﺍﻟﺘﺤﻮﻝ ﻭﺍﻻﻧﺘﻘﺎﻝ ﻭﻻ ﻣﻜﺎﻥ ﻟﻪ ﻭﻻ ﺃﻭﺍﻥ، ﻭﻻ ﻳﺠﺮﻱ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻗﺖ ﻭﻻ ﺯﻣﺎﻥ، ﻷﻥ ﻓﻲ ﺟﺮﻳﺎﻥ ﺍﻟﻮﻗﺖ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺸﻰﺀ ﻓﻮﺕ ﺍﻷﻭﻗﺎﺕ، ﻭﻣﻦ ﻓﺎﺗﻪ ﺷﻰﺀ ﻓﻬﻮ ﻋﺎﺟﺰ "
“Allah yang maha Agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain, karena mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau berpindah. Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk”[6].
Kemudian dalam menafsirkan firman Allah:
ﺀَﺃَﻣِﻨﺘُﻢ ﻣَّﻦ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺂﺀِ ﺃَﻥ ﻳَﺨْﺴِﻒَ ﺑِﻜُﻢُ ﺍْﻷَﺭْﺽَ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻫِﻲَ ﺗَﻤُﻮﺭُ ( ﺍﻟﻤﻠﻚ : 16)
al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:
" ﻭﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﻬﺎ ﺗﻮﻗﻴﺮﻩ ﻭﺗﻨﺰﻳﻬﻪ ﻋﻦ ﺍﻟﺴﻔﻞ ﻭﺍﻟﺘﺤﺖ، ﻭﻭﺻﻔﻪ ﺑﺎﻟﻌﻠﻮِّ ﻭﺍﻟﻌﻈﻤﺔ ﻻ ﺑﺎﻷﻣﺎﻛﻦ ﻭﺍﻟﺠﻬﺎﺕ ﻭﺍﻟﺤﺪﻭﺩ ﻷﻧﻬﺎ ﺻﻔﺎﺕ ﺍﻷﺟﺴﺎﻡ . ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺗﺮﻓﻊ ﺍﻷﻳﺪﻱ ﺑﺎﻟﺪﻋﺎﺀ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻷﻥ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻣﻬﺒﻂ ﺍﻟﻮﺣﻲ ﻭﻣﻨﺰﻝ ﺍﻟﻘﻄﺮ ﻭﻣﺤﻞ ﺍﻟﻘُﺪﺱ ﻭﻣﻌﺪﻥ ﺍﻟﻤﻄﻬﺮﻳﻦ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ، ﻭﺍﻟﻴﻬﺎ ﺗﺮﻓﻊ ﺃﻋﻤﺎﻝ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ، ﻭﻓﻮﻗﻬﺎ ﻋﺮﺷﻪ ﻭﺟﻨﺘﻪ، ﻛﻤﺎ ﺟﻌﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻜﻌﺒﺔ ﻗِﺒﻠﺔ ﻟﻠﺪﻋﺎﺀ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ، ﻭﻷﻧﻪ ﺧﻠﻖ ﺍﻷﻣﻜﻨﺔ ﻭﻫﻮ ﻏﻴﺮ ﻣﺤﺘﺎﺝ ﺇﻟﻴﻬﺎ، ﻭﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺃﺯﻟﻪ ﻗﺒﻞ ﺧﻠﻖ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻭﺍﻟﺰﻣﺎﻥ ﻭﻻ ﻣﻜﺎﻥ ﻟﻪ ﻭﻻ ﺯﻣﺎﻥ، ﻭﻫﻮ ﺍﻵﻥ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻛﺎﻥ "
“Yang dimaksud oleh ayat ini adalah keagungan Allah dan kesucian-Nya dari a
rah bawah. Dan makna dari sifat Allah al-‘Uluww adalah dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan bukan dalam pengertian tempat-tempat, atau arah-arah, juga bukan dalam pengertian batasan-batasan, karena sifat-sifat seperti demikian itu adalah sifat-sifat benda. Adapun bahwa kita mengangkat tangan ke arah langit dalam berdoa adalah karena langit tempat turunnya wahyu, tempat turunnya hujan, tempat yang dimuliakan, juga tempat para Malaikat yang suci, serta ke sanalah segala kebaikan para hamba diangkat, hingga ke arah arsy dan ke arah surga. Hal ini sebagaimana Allah menjadikan Ka’bah sebagai kiblat dalam doa dan shalat kita (bukan artinya Allah di dalam Ka’bah). Karena sesungguhnya Allah yang menciptakan segala tempat maka Dia tidak membutuhkan kepada ciptaannya tersebut. Sebelum menciptakan tempat dan zaman, Allah ada tanpa permulaan (Azaliy) , tanpa tempat, dan tanpa zaman. Dan Dia sekarang setelah menciptakan tempat dan zaman tetap ada sebagaimana sifat-Nya yang Azaliy tanpa tempat dan tanpa zaman”[7].
Referensi
[1] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 3, h. 278, QS. al-Baqarah: 255
[2] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 6, h. 399, QS. al-An’am: 18
[3] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 6, h. 390, QS. al-An’am: 3
[4] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 7, h. 148, QS. al-An’am: 158
[5] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 11, h. 333-334, QS. al-Anbiya’: 87
[6] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 20, h. 55, QS. al-Fajr: 22
[7] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 18, h. 216, QS. al-Mulk: 16
******************
Join us on telegram channel.
*Tawhid Corner, Catatan Teologi Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah, Asy'ariyyah Maturidiyyah*
Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
Referensi
[1] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 3, h. 278, QS. al-Baqarah: 255
[2] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 6, h. 399, QS. al-An’am: 18
[3] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 6, h. 390, QS. al-An’am: 3
[4] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 7, h. 148, QS. al-An’am: 158
[5] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 11, h. 333-334, QS. al-Anbiya’: 87
[6] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 20, h. 55, QS. al-Fajr: 22
[7] al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, j. 18, h. 216, QS. al-Mulk: 16
******************
Join us on telegram channel.
*Tawhid Corner, Catatan Teologi Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah, Asy'ariyyah Maturidiyyah*
Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
(Catatan 1) Membongkar Kesesatan Ahmad Ibn Taimiyah; Imam Wahabi
******************
*Pendahuluan*
Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan atas Sayyidina Muhammad, keluarga dan para sahabatnya yang baik dan suci.
Allah ta’ala berfirman:
(Maknanya) : “ Kalian adalah sebaik–baik umat yang dikeluarkan untuk manusia, menyeru kepada al Ma’ruf (hal-hal yang diperintahkan Allah) dan mencegah dari al Munkar (hal-hal yang dilarang Allah).” (Q.S. Ali ‘Imran: 110)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺭَﺃَﻯ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣُﻨْﻜَﺮًﺍ ﻓَﻠْﻴُﻐَﻴِّﺮْﻩُ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺴْﺘَﻄِﻊْ ﻓَﺒِﻠِﺴَﺎﻧِﻪِ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺴْﺘَﻄِﻊْ ﻓَﺒِﻘَﻠْﺒِﻪِ ﻭَﺫﻟِﻚَ ﺃَﺿْﻌَﻒُ ﺍﻹِﻳْﻤَﺎﻥِ ( ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ )
Maknanya: “Barangsiapa di antara kalian mengetahui suatu perkara munkar, hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu, hendaklah ia merubahnya dengan lisannya, jika ia tidak mampu, hendaklah ia mengingkari dengan hatinya. Dan hal itu (yang disebut terakhir) paling sedikit buah dan hasilnya; dan merupakan hal yang diwajibkan atas seseorang ketika ia tidak mampu mengingkari dengan tangan dan lidahnya.” (H.R. Muslim)
Syari'at telah menyeru untuk mengajak kepada al ma’ruf, yaitu hal-hal yang diperintahkan Allah dan mencegah hal-hal yang munkar, yang diharamkan oleh Allah, menjelaskan kebathilan sesuatu yang bathil dan kebenaran perkara yang haqq. Pada masa kini, banyak orang yang mengeluarkan fatwa tentang agama, sedangkan fatwa-fatwa tersebut sama sekali tidak memiliki dasar dalam Islam. Karena itu perlu ditulis sebuah buku untuk menjelaskan yang haqq dari yang bathil, yang benar dari yang tidak benar.
Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh al Imam Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam memperingatkan masyarakat dari orang yang menipu ketika menjual makanan. Al Bukhari juga meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam mengatakan tentang dua orang yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin: “Saya mengira bahwa si fulan dan si fulan tidak mengetahui sedikitpun tentang agama kita ini.”
Kepada seorang khathib, yang mengatakan:
ﻣَﻦْ ﻳُﻄِﻊِ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟَﻪُ ﻓَﻘَﺪْ ﺭَﺷَﺪَ ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﻌْﺼِﻬِﻤَﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﻏَﻮَﻯ
Maknanya : "Barang siapa mentaati Allah dan Rasul-Nya maka ia telah mendapatkan petunjuk, dan barang siapa bermaksiat kepada keduanya maka ia telah melakukan kesalahan."
Rasulullah menegurnya dengan mengatakan:
ﺑِﺌْﺲَ ﺍﻟْﺨَﻄِﻴْﺐُ ﺃَﻧْﺖَ
Maknanya: "Seburuk-buruk khathib adalah engkau” (H.R. Ahmad), ini dikarenakan khathib tersebut menggabungkan antara Allah dan Rasul-Nya dalam satu
dlamir (kata ganti) dengan mengatakan ( ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﻌْﺼِﻬِﻤَﺎ ). Kemudian Rasulullah berkata kepadanya: “katakanlah:
ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﻌْﺺِ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟَﻪُ
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam tidak membiarkan perkara sepele ini, meski tidak mengandung unsur kufur atau syirik. Jika demikian halnya, bagaimana mungkin beliau akan tinggal diam dan membiarkan orang-orang yang menyelewengkan ajaran-ajaran agama dan menyebarkan penyelewengan-penyelewengan tersebut di tengah-tengah masyarakat. Tentunya orang semacam ini lebih harus diwaspadai dan dijelaskan kepada masyarakat bahaya dan kesesatannya.
******************
Join us on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
******************
*Pendahuluan*
Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan atas Sayyidina Muhammad, keluarga dan para sahabatnya yang baik dan suci.
Allah ta’ala berfirman:
(Maknanya) : “ Kalian adalah sebaik–baik umat yang dikeluarkan untuk manusia, menyeru kepada al Ma’ruf (hal-hal yang diperintahkan Allah) dan mencegah dari al Munkar (hal-hal yang dilarang Allah).” (Q.S. Ali ‘Imran: 110)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺭَﺃَﻯ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣُﻨْﻜَﺮًﺍ ﻓَﻠْﻴُﻐَﻴِّﺮْﻩُ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺴْﺘَﻄِﻊْ ﻓَﺒِﻠِﺴَﺎﻧِﻪِ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺴْﺘَﻄِﻊْ ﻓَﺒِﻘَﻠْﺒِﻪِ ﻭَﺫﻟِﻚَ ﺃَﺿْﻌَﻒُ ﺍﻹِﻳْﻤَﺎﻥِ ( ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ )
Maknanya: “Barangsiapa di antara kalian mengetahui suatu perkara munkar, hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu, hendaklah ia merubahnya dengan lisannya, jika ia tidak mampu, hendaklah ia mengingkari dengan hatinya. Dan hal itu (yang disebut terakhir) paling sedikit buah dan hasilnya; dan merupakan hal yang diwajibkan atas seseorang ketika ia tidak mampu mengingkari dengan tangan dan lidahnya.” (H.R. Muslim)
Syari'at telah menyeru untuk mengajak kepada al ma’ruf, yaitu hal-hal yang diperintahkan Allah dan mencegah hal-hal yang munkar, yang diharamkan oleh Allah, menjelaskan kebathilan sesuatu yang bathil dan kebenaran perkara yang haqq. Pada masa kini, banyak orang yang mengeluarkan fatwa tentang agama, sedangkan fatwa-fatwa tersebut sama sekali tidak memiliki dasar dalam Islam. Karena itu perlu ditulis sebuah buku untuk menjelaskan yang haqq dari yang bathil, yang benar dari yang tidak benar.
Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh al Imam Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam memperingatkan masyarakat dari orang yang menipu ketika menjual makanan. Al Bukhari juga meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam mengatakan tentang dua orang yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin: “Saya mengira bahwa si fulan dan si fulan tidak mengetahui sedikitpun tentang agama kita ini.”
Kepada seorang khathib, yang mengatakan:
ﻣَﻦْ ﻳُﻄِﻊِ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟَﻪُ ﻓَﻘَﺪْ ﺭَﺷَﺪَ ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﻌْﺼِﻬِﻤَﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﻏَﻮَﻯ
Maknanya : "Barang siapa mentaati Allah dan Rasul-Nya maka ia telah mendapatkan petunjuk, dan barang siapa bermaksiat kepada keduanya maka ia telah melakukan kesalahan."
Rasulullah menegurnya dengan mengatakan:
ﺑِﺌْﺲَ ﺍﻟْﺨَﻄِﻴْﺐُ ﺃَﻧْﺖَ
Maknanya: "Seburuk-buruk khathib adalah engkau” (H.R. Ahmad), ini dikarenakan khathib tersebut menggabungkan antara Allah dan Rasul-Nya dalam satu
dlamir (kata ganti) dengan mengatakan ( ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﻌْﺼِﻬِﻤَﺎ ). Kemudian Rasulullah berkata kepadanya: “katakanlah:
ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﻌْﺺِ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟَﻪُ
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam tidak membiarkan perkara sepele ini, meski tidak mengandung unsur kufur atau syirik. Jika demikian halnya, bagaimana mungkin beliau akan tinggal diam dan membiarkan orang-orang yang menyelewengkan ajaran-ajaran agama dan menyebarkan penyelewengan-penyelewengan tersebut di tengah-tengah masyarakat. Tentunya orang semacam ini lebih harus diwaspadai dan dijelaskan kepada masyarakat bahaya dan kesesatannya.
******************
Join us on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
(Catatan 2) Membongkar Kesesatan Ahmad Ibn Taimiyah; Imam Wahabi
******************
Siapakah Ahlussunnah
Wal Jama’ah?
******************
Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan mayoritas umat Muhammad. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam dasar-dasar aqidah. Merekalah yang dimaksud oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam:
.. ﻓَﻤَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺑُﺤْﺒُﻮْﺣَﺔَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻓَﻠْﻴَﻠْﺰَﻡِ ﺍﻟْﺠَﻤَﺎﻋَﺔَ ( ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻭﺻﺤّﺤﻪ ﻭﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻭﻗﺎﻝ ﺣﺪﻳﺚ ﺣﺴﻦ ﺻﺤﻴﺢ )
Maknanya: "…maka barang siapa yang menginginkan tempat lapang di surga hendaklah berpegang teguh pada al Jama’ah; yakni berpegang teguh pada aqidah al Jama’ah.” (Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim, dan at-Tirmidzi mengatakan hadits hasan shahih)
Setelah tahun 260 H menyebarlah bid’ah Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya. Maka dua Imam yang agung Abu al Hasan al Asy’ari (W. 324 H) dan Abu Manshur al Maturidi (W. 333 H) -semoga Allah meridlai keduanya- menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al Qur’an dan al hadits) dan ‘aqli (argumen rasional) disertai dengan bantahan-bantahan terhadap kesesatan-kesesatan Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya, sehingga Ahlussunnah Wal Jama’ah dinisbatkan kepada keduanya. Ahlussunnah akhirnya dikenal dengan nama al Asy’ariyyun (para pengikut al Asy’ari) dan al Maturidiyyun (para pengikut al Maturidi).
Jalan yang ditempuh oleh al Asy’ari dan al Maturidi dalam pokok-pokok aqidah adalah sama dan satu.
Al Hafizh Murtadla az-Zabidi (W. 1205 H) dalam al Ithaf , juz II hal. 6, mengatakan: “Pasal Kedua: "Jika dikatakan Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah al Asy’ariyah dan al Maturidiyyah.” Mereka adalah ratusan juta ummat Islam (golongan mayoritas). Mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, para pengikut madzhab Maliki, para pengikut madzab Hanafi dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al Hanabilah).
Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah memberitahukan bahwa mayoritas ummatnya tidak akan tersesat. Alangkah beruntungnya orang yang senantiasa mengikuti mereka.
Maka diwajibkan untuk penuh perhatian dan keseriusan dalam mengetahui aqidah al Firqah an-Najiyah yang merupakan golongan mayoritas, karena ilmu aqidah adalah ilmu yang paling mulia disebabkan ia menjelaskan pokok atau dasar agama.
Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wasallam ditanya tentang sebaik-baik perbuatan, beliau menjawab:
ﺇِﻳْـﻤَﺎﻥٌ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟِﻪِ ( ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ )
Maknanya: “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” (H.R. al Bukhari)
********
catatan lengkap buka link berikut https://mobile.facebook.com/notes/aqidah-ahlussunnah-allah-ada-tanpa-tempat/catatan-2-membongkar-kesesatan-ahmad-ibn-taimiyah-imam-wahabi/609985102351736?_rdc=1&_rdr
******************
Join us on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
******************
Siapakah Ahlussunnah
Wal Jama’ah?
******************
Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan mayoritas umat Muhammad. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam dasar-dasar aqidah. Merekalah yang dimaksud oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam:
.. ﻓَﻤَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺑُﺤْﺒُﻮْﺣَﺔَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻓَﻠْﻴَﻠْﺰَﻡِ ﺍﻟْﺠَﻤَﺎﻋَﺔَ ( ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻭﺻﺤّﺤﻪ ﻭﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻭﻗﺎﻝ ﺣﺪﻳﺚ ﺣﺴﻦ ﺻﺤﻴﺢ )
Maknanya: "…maka barang siapa yang menginginkan tempat lapang di surga hendaklah berpegang teguh pada al Jama’ah; yakni berpegang teguh pada aqidah al Jama’ah.” (Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim, dan at-Tirmidzi mengatakan hadits hasan shahih)
Setelah tahun 260 H menyebarlah bid’ah Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya. Maka dua Imam yang agung Abu al Hasan al Asy’ari (W. 324 H) dan Abu Manshur al Maturidi (W. 333 H) -semoga Allah meridlai keduanya- menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al Qur’an dan al hadits) dan ‘aqli (argumen rasional) disertai dengan bantahan-bantahan terhadap kesesatan-kesesatan Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya, sehingga Ahlussunnah Wal Jama’ah dinisbatkan kepada keduanya. Ahlussunnah akhirnya dikenal dengan nama al Asy’ariyyun (para pengikut al Asy’ari) dan al Maturidiyyun (para pengikut al Maturidi).
Jalan yang ditempuh oleh al Asy’ari dan al Maturidi dalam pokok-pokok aqidah adalah sama dan satu.
Al Hafizh Murtadla az-Zabidi (W. 1205 H) dalam al Ithaf , juz II hal. 6, mengatakan: “Pasal Kedua: "Jika dikatakan Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah al Asy’ariyah dan al Maturidiyyah.” Mereka adalah ratusan juta ummat Islam (golongan mayoritas). Mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, para pengikut madzhab Maliki, para pengikut madzab Hanafi dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al Hanabilah).
Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah memberitahukan bahwa mayoritas ummatnya tidak akan tersesat. Alangkah beruntungnya orang yang senantiasa mengikuti mereka.
Maka diwajibkan untuk penuh perhatian dan keseriusan dalam mengetahui aqidah al Firqah an-Najiyah yang merupakan golongan mayoritas, karena ilmu aqidah adalah ilmu yang paling mulia disebabkan ia menjelaskan pokok atau dasar agama.
Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wasallam ditanya tentang sebaik-baik perbuatan, beliau menjawab:
ﺇِﻳْـﻤَﺎﻥٌ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟِﻪِ ( ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ )
Maknanya: “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” (H.R. al Bukhari)
********
catatan lengkap buka link berikut https://mobile.facebook.com/notes/aqidah-ahlussunnah-allah-ada-tanpa-tempat/catatan-2-membongkar-kesesatan-ahmad-ibn-taimiyah-imam-wahabi/609985102351736?_rdc=1&_rdr
******************
Join us on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
(Catatan 3) Membongkar Kesesatan Ahmad Ibn Taimiyah; Imam Wahabi
******************
Sekilas Tentang Ibnu Taimiyah (661-728 H)
******************
Ahmad ibn Taimiyah lahir di Harran, Syiria, di tengah keluarga berilmu yang bermadzhab Hanbali. Ayahnya adalah seorang yang berperawakan tenang. Beliau dihormati oleh para ulama Syam dan para pejabat pemerintah sehingga mereka mempercayakan beberapa jabatan ilmiah kepadanya untuk membantunya. Setelah ayahnya wafat, Ibnu Taimiyah menggantikan posisinya. Orang-orang yang selama ini mempercayai ayahnya, menghadiri majelisnya guna mendorong dan memotivasinya dalam meneruskan tugas-tugas ayahnya dan memujinya. Namun pujian tersebut ternyata justru membuat Ibnu Taimiyah terlena dan tidak menyadari motif sebenarnya di balik pujian tersebut. Ibnu Taimiyah mulai menyebarkan satu demi satu bid’ah-bid’ahnya hingga para ulama dan pejabat yang dulu memujinya tersebut mulai menjauhinya satu persatu.
Ibnu Taimiyah meskipun tersohor dan memiliki banyak karangan dan pengikut, namun sesungguhnya ia adalah seperti yang dinyatakan oleh al Hafizh al Faqih Waliyyuddin al ‘Iraqi (W. 862 H):
“Ibnu Taimiyah telah menyalahi Ijma’ dalam banyak permasalahan, kira-kira sekitar 60 masalah, sebagian dalam masalah Ushul ad-Din (pokok-pokok agama) dan sebagian berkenaan dengan masalah-masalah furu’ ad-Din (cabang-cabang agama), Ibnu Taimiyah dalam masalah-masalah tersebut mengeluarkan pendapat lain; yang berbeda setelah terjadi ijma’ tentangnya.”
Berbagai kalangan orang awam dan yang lainpun mulai terpengaruh dan mengikuti Ibnu Taimiyah sehingga ulama-ulama di masa Ibnu Taimiyah mulai angkat bicara dan membantah pendapat-pendapatnya serta memasukkannya dalam kelompok para para ahli bid’ah.
Di antara yang membantah Ibnu Taimiyah adalah al Imam al Hafizh Taqiyyuddin Ali bin Abd al Kafi as-Subki (W. 756 H) dalam karyanya ad-Durrah al Mudliyyah fi ar-Radd 'ala Ibn Taimiyah, beliau mengatakan:
“Amma ba’du. Ibnu Taimiyah benar-benar telah membuat bid’ah-bid’ah dalam dasar-dasar keyakinan (Ushul al 'Aqa-id), ia telah meruntuhkan tonggak-tonggak dan sendi-sendi Islam setelah ia sebelum ini bersembunyi di balik kedok mengikuti al Qur’an dan as-Sunnah. Pada zhahirnya ia mengajak kepada kebenaran dan menunjukkan kepada jalan surga, ternyata kemudian ia bukan melakukan ittiba’
(mengikuti sunnah, ulama Salaf dan konsensus ulama) tetapi justru membuat bid’ah-bid’ah baru, ia menyempal dari ummat muslim dengan menyalahi Ijma’ mereka dan ia juga mengatakan tentang Allah perkataan yang mengandung tajsim (meyakini Allah adalah jisim; benda yang memiliki ukuran dan dimensi) dan ketersusunan (tarkib) bagi Dzat Allah”.
******************
Catatan masih panjang, buka link berikut https://mobile.facebook.com/notes/aqidah-ahlussunnah-allah-ada-tanpa-tempat/catatan-3-membongkar-kesesatan-ahmad-ibn-taimiyah-imam-wahabi/609985802351666?_rdc=1&_rdr
******************
******************
Join us on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh
******************
Sekilas Tentang Ibnu Taimiyah (661-728 H)
******************
Ahmad ibn Taimiyah lahir di Harran, Syiria, di tengah keluarga berilmu yang bermadzhab Hanbali. Ayahnya adalah seorang yang berperawakan tenang. Beliau dihormati oleh para ulama Syam dan para pejabat pemerintah sehingga mereka mempercayakan beberapa jabatan ilmiah kepadanya untuk membantunya. Setelah ayahnya wafat, Ibnu Taimiyah menggantikan posisinya. Orang-orang yang selama ini mempercayai ayahnya, menghadiri majelisnya guna mendorong dan memotivasinya dalam meneruskan tugas-tugas ayahnya dan memujinya. Namun pujian tersebut ternyata justru membuat Ibnu Taimiyah terlena dan tidak menyadari motif sebenarnya di balik pujian tersebut. Ibnu Taimiyah mulai menyebarkan satu demi satu bid’ah-bid’ahnya hingga para ulama dan pejabat yang dulu memujinya tersebut mulai menjauhinya satu persatu.
Ibnu Taimiyah meskipun tersohor dan memiliki banyak karangan dan pengikut, namun sesungguhnya ia adalah seperti yang dinyatakan oleh al Hafizh al Faqih Waliyyuddin al ‘Iraqi (W. 862 H):
“Ibnu Taimiyah telah menyalahi Ijma’ dalam banyak permasalahan, kira-kira sekitar 60 masalah, sebagian dalam masalah Ushul ad-Din (pokok-pokok agama) dan sebagian berkenaan dengan masalah-masalah furu’ ad-Din (cabang-cabang agama), Ibnu Taimiyah dalam masalah-masalah tersebut mengeluarkan pendapat lain; yang berbeda setelah terjadi ijma’ tentangnya.”
Berbagai kalangan orang awam dan yang lainpun mulai terpengaruh dan mengikuti Ibnu Taimiyah sehingga ulama-ulama di masa Ibnu Taimiyah mulai angkat bicara dan membantah pendapat-pendapatnya serta memasukkannya dalam kelompok para para ahli bid’ah.
Di antara yang membantah Ibnu Taimiyah adalah al Imam al Hafizh Taqiyyuddin Ali bin Abd al Kafi as-Subki (W. 756 H) dalam karyanya ad-Durrah al Mudliyyah fi ar-Radd 'ala Ibn Taimiyah, beliau mengatakan:
“Amma ba’du. Ibnu Taimiyah benar-benar telah membuat bid’ah-bid’ah dalam dasar-dasar keyakinan (Ushul al 'Aqa-id), ia telah meruntuhkan tonggak-tonggak dan sendi-sendi Islam setelah ia sebelum ini bersembunyi di balik kedok mengikuti al Qur’an dan as-Sunnah. Pada zhahirnya ia mengajak kepada kebenaran dan menunjukkan kepada jalan surga, ternyata kemudian ia bukan melakukan ittiba’
(mengikuti sunnah, ulama Salaf dan konsensus ulama) tetapi justru membuat bid’ah-bid’ah baru, ia menyempal dari ummat muslim dengan menyalahi Ijma’ mereka dan ia juga mengatakan tentang Allah perkataan yang mengandung tajsim (meyakini Allah adalah jisim; benda yang memiliki ukuran dan dimensi) dan ketersusunan (tarkib) bagi Dzat Allah”.
******************
Catatan masih panjang, buka link berikut https://mobile.facebook.com/notes/aqidah-ahlussunnah-allah-ada-tanpa-tempat/catatan-3-membongkar-kesesatan-ahmad-ibn-taimiyah-imam-wahabi/609985802351666?_rdc=1&_rdr
******************
******************
Join us on telegram channel. Admin; Dr. H. Kholil Abou Fateh, MA
https://t.me/Kholilaboufateh