Tauhid Corner
553 subscribers
90 photos
38 videos
6 files
770 links
Catatan Teologi Islam Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah

https://linktr.ee/tauhidcorner
Download Telegram
Para Ahli Tasawuf berkeyakinan "Allah Ada Tanpa Tempat Dan Tanpa Arah".

Seri kajian Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah bersama ust. Dr. H. Kholilurrohman, MA

Simak, like, subscribe, dan share. Semoga bermanfaat https://youtu.be/42-dy-FOob8
Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Tidak boleh dikatakan Allah bertempat di langit atau bersemayam di atas Arsy.

Simak kajian tafsir QS Al Mulk: 16 bersama ust. H. Kholilurrohman, MA. Like, subscribe, dan share. Semoga bermanfaat. https://youtu.be/Lr4RFazdSb4
https://youtu.be/F8apVB-IM8M



🎦📡 *Abou Fateh YouTube Channel* Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah | Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.youtube.com/c/aboufateh

🌐🕌 *Pondok Pesantren Nurul Hikmah* Untuk Menghafal al-Qur'an Dan Kajian Ilmu Agama Madzhab Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Asuhan Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.nurulhikmah.ponpes.id

📱 *Fb Page :* facebook.com/nurulhikmah.ponpes.id
📷 *Instagram :* instagram.com/nurulhikmah.ponpes.id
🖥 *Twitter :* twitter.com/ppnurulhikmah



📌📌

*ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH*

*APAPUN YANG TERLINTAS DALAM BENAKMU TENTANG ALLAH, MAKA ALLAH TIDAK SEDEMIKIAN ITU*
📌📌


🌼 *Asy-Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani* 🌼 (w 1314 H/1897)

Beliau menyatakan dalam Tafsirnya, at-Tafsîral-Munîr Li Ma’âlim at-Tanzîl, ketika menafsirkan ayat 54 surat al A’raf: 7, “Tsummastawâ ‘alâ al-‘arsy”, sebagai berikut:

وَالْوَاجِبُ عَلَيْنَا أَنْ نَقْطَعَ بِكَوْنِهِ تَعَالَى مُنَزَّهًا عَنِ الْمَكَانِ وَالْجِهَةِ

“Dan kita wajib meyakini secara pasti bahwa Allah ta’ala maha suci dari tempat dan arah….”

(*at-Tafsir alMunir li Ma’alim at-Tanzil, jilid I, hlm. 282*)



🎦📡 *Abou Fateh YouTube Channel* Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah | Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.youtube.com/c/aboufateh

🌐🕌 *Pondok Pesantren Nurul Hikmah* Untuk Menghafal al-Qur'an Dan Kajian Ilmu Agama Madzhab Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Asuhan Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.nurulhikmah.ponpes.id

📱 *Fb Page :* facebook.com/nurulhikmah.ponpes.id
📷 *Instagram :* instagram.com/nurulhikmah.ponpes.id
🖥 *Twitter :* twitter.com/ppnurulhikmah



📌📌

*ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH*

*APAPUN YANG TERLINTAS DALAM BENAKMU TENTANG ALLAH, MAKA ALLAH TIDAK SEDEMIKIAN ITU*
*Al Imam al Ghazali* mudah–mudahan Allah merahmatinya berkata:*

"لا تصح العبادة إلا بعد معرفة المعبود"

Maknanya:
_“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (Allah) yang wajib disembah”_

Jadi barang siapa yang tidak mengenal Allah dengan menjadikan-Nya memiliki ukuran yang tidak berpenghabisan misalnya maka dia adalah kafir. Dan tidak sah bentuk-bentuk ibadahnya seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya.

*Al Imam Abu Ja'far ath-Thahawi* mudah–mudahan Allah meridlainya  ( 227-321 H) mengatakan :

"تعالـى (يعني الله) عن الحدود والغايات والأركان والأعضاء والأدوات لا تحويه الجهات الست كسائر المبتدعات". 

_"Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut"_

*PENJELASAN :*

*Imam  ath-Thahawi adalah Ahmad bin Muhammad bin Sallamah*, lahir tahun 227 H. Jadi beliau masuk  dalam makna hadits yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam :

" خيـر القرون قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم " رواه الترمذي

Maknanya :
_"Sebaik–baik abad adalah abad-ku, kemudian satu abad setelahnya, kemudian satu abad setelahnya"_ (H.R. at-Tirmidzi)

Beliau menyebutkan perkataan tersebut dalam kitab aqidahnya, yang merupakan penjelasan aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah, yang dianggap baik oleh seluruh ummat dari generasi ke generasi.

Maksud dari Ta'ala (تعالـى ) adalah bahwa Allah maha suci.

Allah maha suci dari Hudud (الحدود) maksudnya bahwa Allah maha suci dari Hadd sama sekali. Hadd adalah benda dan ukuran, besar maupun kecil. Suatu benda pasti berada pada suatu tempat dan arah. Sedangkan Allah maha suci dari berupa benda, berarti Allah ada tanpa tempat. Seandainya Allah adalah benda niscaya akan ada banyak serupa bagi-Nya, padahal Allah ta'ala telah berfirman :

[فلا تضربوا لله الأمثال] (سورة النحل : 74)

Maknanya : 
_"Janganlah kalian membuat serupa-serupa bagi Allah "_ (Q.S. an-Nahl : 74)

Jadi barangsiapa yang mengatakan bahwa Allah memiliki hadd, kita tidak mengetahui hadd tersebut, Allah-lah yang mengetahuinya sungguh dia telah kafir.

Makna (لا تحويه الجهات الست) bahwa Allah mustahil berada di salah satu arah atau di semua arah karena Allah ada tanpa tempat dan arah. Enam arah yang dimaksud adalah adalah atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang.

Maksud dari (كسائر المبتدعات ) adalah bahwa semua makhluk diliputi oleh arah, sedangkan Allah tidak menyerupai makhluk-Nya dari satu segi maupun semua segi dan Allah tidak bisa digambarkan dalam hati dan benak manusia. *Al Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan:*

          "مهما تصورت ببالك فالله بخلاف ذلك" رواه أبو الفضل التميمي

Maknanya:
_"Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang Allah), maka Allah tidak seperti itu"_ (Diriwayatkan oleh Abu al Fadll at-Tamimi).

*Jika ditanyakan:*
_Bagaimana hal demikian itu bisa terjadi (bahwa ada sesuatu yang ada tetapi tidak bisa dibayangkan dan digambarkan dengan benak)?_

*Maka jawabannya adalah:*
Bahwa di antara makhluk ada yang tidak bisa kita bayangkan akan tetapi kita harus beriman dan meyakini adanya. Yaitu bahwa cahaya dan kegelapan keduanya dulu tidak ada. Tidak ada satupun di antara kita yang bisa membayangkan pada dirinya bagaimana ada suatu waktu atau masa yang berlalu tanpa ada cahaya dan kegelapan di dalamnya ?!. Meski demikian kita wajib beriman dan meyakini bahwa  telah ada suatu masa yang berlalu tanpa dibarengi dengan cahaya dan kegelapan, karena Allah ta'ala berfirman :

[وجعل الظلمات والنور] (سورةالأنعام : 1) 

Maknanya:
_"… dan yang telah menjadikan kegelapan dan cahaya"_ (Q.S. al An'am: 1)

yakni menjadikan kegelapan dan cahaya setelah sebelumnya tidak ada.

Jika demikian halnya yang terjadi pada makhluk, maka lebih utama kita beriman dan percaya tentang Allah Yang mengatakan tentang D
zat-Nya ليس كمثله شىء"", jadi Allah tidak tergambar dalam benak dan tidak diliputi oleh akal, Allah ada, maha suci dari bentuk dan ukura, ada tanpa tempat dan arah.

*Al Imam ath-Thahawi juga mengatakan:*

" ومن وصف الله بمعنى من معانـي البشر فقد كفر" 

_"Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir"_

*PENJELASAN :*

Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir. Sifat–sifat manusia banyak sekali. Sifat yang paling menonjol adalah baharu, yakni ada setelah sebelumnya tidak ada. Di antara sifat manusia juga adalah mati, berubah, berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain, bergerak, diam, infi'al (merespon peristiwa dengan kegembiraan atau kesedihan atau semacamnya yang nampak dalam raut muka dan gerakan anggota tubuh), turun dari atas ke bawah, naik dari bawah ke atas, berpindah, memiliki warna, bentuk, panjang, pendek, bertempat pada suatu arah dan tempat, membutuhkan, memperoleh pengetahuan yang baru, terkena lupa, bodoh, duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan jarak, berjarak, menempel, berpisah dan lain–lain. Jadi barangsiapa mensifati Allah dengan salah satu sifat manusia tersebut maka dia telah kafir.



🎦📡 *Abou Fateh YouTube Channel* Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah | Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.youtube.com/c/aboufateh

🌐🕌 *Pondok Pesantren Nurul Hikmah* Untuk Menghafal al-Qur'an Dan Kajian Ilmu Agama Madzhab Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Asuhan Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.nurulhikmah.ponpes.id

📱 *Fb Page :* facebook.com/nurulhikmah.ponpes.id
📷 *Instagram :* instagram.com/nurulhikmah.ponpes.id
🖥 *Twitter :* twitter.com/ppnurulhikmah



📌📌

*ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH*

*APAPUN YANG TERLINTAS DALAM BENAKMU TENTANG ALLAH, MAKA ALLAH TIDAK SEDEMIKIAN ITU*
*Tafsir “al-Ma'iyyah” Pada Hak Allah (Bukan Dalam Makna Menempel; Hati-hati!!!!)*

Oleh : Ustadz Dr. H. Kholilurrohman, MA

Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ (الحديد: 4)

Kata “Ma’akum” dalam ayat ini bukan berarti bahwa Allah menempel, mengiringi, menyatu, atau menetap dengan setiap orang dari kita. Tetapi al-Ma’iyyah di sini adalah dalam pengertian bahwa Allah dengan sifat ilmu-Nya mengetahui dimanapun setiap orang dari kita berada. Artinya, yang dimaksud ayat ini adalah “Ma’iyyah al-‘Ilm”, bukan “Ma’iyyah adz-Dzat Bi adz Dzat”. Terkadang al-Ma’iyyah dapat pula dalam pengertian pertolongan dan perlindungan Allah. Seperti firman-Nya dalam QS. an-Nahl: 128:

إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا (سورة النحل :128)

Al-ma'iyyah dalam ayat ini bukan bahwa Allah menempati makhluk-Nya, menyatu, atau menempel dengannya. Tetapi yang dimaksud adalah bahwa Allah memberikan pertolongan dan perlindungan bagi orang-orang sabar. Seorang yang berkeyakinan bahwa Allah menempel, menyatu, atau berpisah dengan jarak, atau bertempat, maka ia telah menjadi kafir. Karena itu, Allah tidak boleh dikatakan bagi-Nya menempel, atau menyatu dengan alam ini, juga tidak boleh dikatakan terpisah dengan jarak, atau berada di luar alam ini. Allah tidak disifati dengan bentuk, baik ukuran besar atau kecil, panjang atau pendek, di luar atau di dalam, menempel atau terpisah, karena semua itu adalah sifat-sifat benda. Dengan demikian, setiap prasangka atau bayangan yang menyandarkan bentuk dan ukuran kepada Allah, atau menyandarkan sifat-sifat benda kepada-Nya, maka itu semua wajib diusir dan dihilangkan dari benak dan pikiran.

Dahulu, orang-orang Yahudi menyandangkan sifat lelah kepada Allah. Mereka berkata: “Setelah Allah menciptakan langit dan bumi Dia beristirahat dan terlentang karena lelah”. Perkataan semacam ini jelas sebuah kekufuran, karena Allah maha suci dari sifat-sifat benda. Dia maha suci dari sifat-sifat tubuh (al-Infi’alat), seperti lelah, sakit, merasa lezat, dan lainnya. Karena yang mengalami keadaan-keadaan semacam ini pasti sebagai makhluk yang selalu mengalami perubahan. Allah berfirman:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَمَا مَسَّنَا مِنْ لُغُوْبٍ (سورة ق : 38)

“Kami (Allah) telah menciptakan semua langit-langit dan bumi dan segala apa yang berada di antara keduanya dalam enam hari dan tidaklah sekali-kali mendapati Kami oleh kelelahan” (QS. Qaf: 38)

Yang akan merasakan lelah adalah yang melakukan suatu perbuatan dengan perantara anggota-anggota badan. Sedangkan Allah maha suci dari setiap anggota badan. Allah berfirman:

إِنَّ اللهَ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ (غافر : 20)

“Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat”. (QS. Ghafir: 20)

Allah mendengar dan melihat bukan seperti melihat dan mendengar yang ada pada makhluk. Sifat mendengar (as-Sam’u) dan sifat melihat (al-Bashar) pada Allah ada dua sifat-Nya azali yang bukan merupakan sifat-sifat anggota badan. Artinya, bukan dengan telinga, bukan dengan kelopak mata, bukan dengan istilah jarak dekat atau jauh, tidak berhubungan dengan adanya arah, dan tanpa dengan munculnya cahaya dari mata, atau berhembusnya udara.

Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah memiliki telinga maka ia telah kafir, meskipun ia mengatakan bahwa telinga Allah tidak seperti telinga kita. Hal ini berbeda dengan orang yang mengatakan: “Lillahi ‘Ain La Ka A’yunina” atau “Lillahi Yad La Ka Aidina”, (Artinya; “Allah memiliki ‘Ain, tetapi tidak seperti mata kita”, atau “Allah memiliki Yad, tetapi tidak seperti tangan kita). Melainkan bahwa “al-‘Ain” dan “al-Yad” ini adalah sebagai sifat-Nya. Kata “al-‘Ain” dan kata “al-Yad” terdapat penyebutannya di dalam al-Qur’an, dengan demikian keduanya boleh kita nisbatkan kepada Allah tanpa kita memahaminya sebagai anggota-anggota badan. Sedangkan kata “al-Udzun” (telinga) tidak ada penyebutannya dalam nash-nash syari’at dinisbatkan kepada Allah

*(Lebih lengkap tafsir “al-Ma’iyyah” lihat asy-Syarh al-Qawim Fi Hall Alfazh ash-Shirath al-Mustaqim karya al-Hafizh al-Abdari, h. 192,
dan kitab tafsir lainnya)*




🎦📡 *Abou Fateh YouTube Channel* Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah | Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.youtube.com/c/aboufateh

🌐🕌 *Pondok Pesantren Nurul Hikmah* Untuk Menghafal al-Qur'an Dan Kajian Ilmu Agama Madzhab Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Asuhan Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.nurulhikmah.ponpes.id

📱 *Fb Page :* facebook.com/nurulhikmah.ponpes.id
📷 *Instagram :* instagram.com/nurulhikmah.ponpes.id
🖥 *Twitter :* twitter.com/ppnurulhikmah



📌📌

*ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH*

*APAPUN YANG TERLINTAS DALAM BENAKMU TENTANG ALLAH, MAKA ALLAH TIDAK SEDEMIKIAN ITU*
🌼 *Definisi Yang Salah Tentang Syari’at Dan Hakekat | Oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA* 🌼

Ada definisi menyesatkan yang berkembang di sebagaian masyarakat tentang pengertian syari’at dan hakekat. Definisi menyesatkan ini berangkat dari pemahaman membeda-bedakan dalam tataran praktis antara hakikat dan syari’at, atau dalam istilah mereka antara zhahir dan batin. Kesimpulan sesat ini seringkali didasarkan, di antaranya, kepada kisah nabi Musa dan nabi Khadlir. Mereka mengatakan bahwa ahl azh-zhâhir yaitu para ulama syari’at hanya bergelut di medan ilmu-ilmu praktis saja, sementara ahlal-bâthin atau ahl al-haqîqah telah sampai kepada tujuannya. Dan karenanya, ahl al-bâthin ini, -menurut mereka-, tidak lagi membutuhkan kepada ajaran-ajaran syari’at, karena semua amalan syari’at pada dasarnya hanya merupakan sarana atau media belaka dalam usaha mencapai hakikat, sementara mereka telah sampai kepada hakikat tersebut[1].

Keyakinan semacam ini jelas merupakan kesesatan dan kekufuran. Karena Rasulullah tidak datang dengan membawa dua syari’at; syari’at untuk ahlazh-zhâhir dan syari’at untuk ahl al-bâthin. Ajaran yang dibawa Rasulullah ditujukan bagi seluruh manusia tanpa terkecuali. Benar, tujuan dari pengamalan ajaran-ajaran syari’at adalah untuk mencapai derajat ahl al-ma’rifah, ahl al-taqwâ, dan menjadi manusia-manusia yang dicintai oleh Allah (Auliyâ’ Allah). Tetapi derajat agung tersebut tidak akan pernah tercapai kecuali dengan hanya mengikuti ajaran yang telah dibawa oleh Rasulullah. Seorang yang menghabiskan seluruh hidupnya dalam konsentrasi ibadah kepada Allah, namun tidak dengan jalan yang telah diajarkan oleh Rasulullah maka semua amal ibadahnya tersebut hanyalah kesia-siaan belaka.

Simak pernyataan Imam al-Junaid al-Baghdadi:

_“Sesungguhnya kaum yang berpendapat bahwa amalan-amalan syari’at dapat menjadi gugur (karena ketinggian derajat seseorang) adalah pendapat yang menyesatkan. Bagiku seorang yang mencuri atau yang berbuat zina lebih baik dari pada orang yang berpendapat demikian. Sesungguhnya orang-orang yang ‘Ârif Billâh bahwa mereka sampai kepada derajat ma’rifat tersebut adalah karena pengamalan mereka terhadap apa yang telah diperintahkan oleh Allah. Jika aku hidup dalam seribu tahun maka aku tidak akan berbuat kebaikan sedikitpun kecuali didasarkankepada perintah-perintah-Nya”_ [2].

Dalam kesempatan lain Imam al-Junaid berkata:

_“Seluruh jalan menuju Allah tertutup bagi semua makhluk (untuk mencapai ma’rifat Allah), kecuali jalan orang yang benar-benar mengikuti jalan Rasulullah”_ [3].

Imam Ahmad ar-Rifa’i dalam kitab al-Burhân al-Mu’ayyad, menuliskan sebagai berikut:

_“Janganlah kalian berkata seperti yang dikatakan oleh sebagian orang yang mengaku sufi: “Kita ahli batin dan mereka (ulama syari’at) ahli zhahir”. Karena dalam agama ini keduanya, zhahir dan batin adalah kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Batin adalah inti dari zhahir, dan zhahir adalah wadah bagi batin. Kalaulah tidak ada zhahir tentu tidak akan ada batin. Ketiadaan zhahir pasti menuntut ketiadaan batin. Hati tidak dapat berdiri sendiri kecuali dengan adanya jasad. Kalaulah bukan karena jasad maka hati tidak akan pernah ada. Hati ini adalah cahaya bagi jasad. Ilmu yang oleh sebagain (kaum sufi) disebut ilmu batin adalah ilmu-ilmu yang terkait denganpembersihan hati. Sementara ilmu zhahir ilmu-ilmu yang secara praktis terkait dengan anggota-anggota tubuh. Seandainya engkau meletakan niat yang baik dalam Hatimu dan Hatimu tersebut bersih dari kotoran-kotoran, namun dalam praktek anggota badan engkau mencuri, berzina, makan harta riba, minum khamr, berbohong, takabur, buruk kata-kata, maka apalah artinya niat baik yang telah engkau letakan dalam Hatimu?! Demikian pula apa bila engkau melaksanakan ibadah kepada Allah dengan sangat tekun, memelihara anggota tubuh dari hal-hal yang haram, berpuasa, bersedekah, bersopan santun kepada sesama, sementara dalam Hatimu engkau meletakkan riya, sombong, supaya dilihat dan mendapat pujian dari orang lain, maka apalah artinya amalan dengan anggota badan yang engkau perbuat tersebut?! Denga
n demikian jelas batin adalah intisari dari pada zhahir dan zhahir adalah wadah bagi batin, tidak ada perbedaan pada keduanya_ [4].

Membuat dikotomi antara syari’at dan hakekat adalah kesalahan besar. Syari’at dan hakekat adalah laksana dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Tujuan syari’at adalah pencapaian terhadap hakekat. Dan kahekat tidak akan pernah diraih kecuali dengan jalan syari’at. Sebagaian ulama membuat gambaran kesatuan perkara-perkara ini dalam tiga perumpamaan. Pertama; Syari’at diibaratkan sebagai perahu atau sampan. Kedua; Tarekat diibaratkan sebagai lautan. Dan yang terakhir, hakekat diibaratkan sebagai mutiara. Seorang yang hendak meraih mutiara, maka ia harus menaiki perahu dan melewati lautan. Sudah pasti bahwa kedua perantara ini; yaitu perahu dan luatan, adalah keharusan yang tidak boleh dilewatkan bagi yang benar-benar menginginkan mutiara.

Syaikh Zainuddin Ibn‘Ali al-Malibari dalam Nadzam Hidâyah al-Adzkiyâ’ membuatgambaran tersebut sebagai berikut:

فَشَـرِيْعَةٌ كَسَـفِيْنَةٍ وَطَرِيْـقَةٌ        #       كَالْبَـحْرِثُمَّ حَقِيْـقَةٌ دُرٌّ غَـلاَ
مَـنْ رَامَ دُرًّا لِلسَّفِيْنَةِ يَرْكَـبُ        #       وَيَغُـوْصُبَحْـرًا ثُمّ دُرٌّ حَصَلاَ
وَكَذَا الطّرِيْقَةُ وَالْحَقِيْقَةُ يَا أخِيْ        #       مِنْغَيْرِ فِعْلِ شَرِيْعَةٍ لَنْ تُحْصَلاَ[5]

“Syari’at ibarat perahu, tarekat ibarat lautan, dan hakekat ibarat mutiara yang berharga. Siapa yang menginginkan mutiara, maka ia harus menaiki parahu, kemudian menyelam dilautan, maka dia akan meraih mutiara tersebut. Demikian pula tarekat dan hakekat, wahai saudaraku, dengan tanpa pengamalan terhadap syari’at maka hakekat tersebut tidak akan pernah didapatkan”.

Syaikh Nawawi al-Bantani dalam menjelaskan bait di atas mengatakan bahwa tidak ada jalan menuju Allah kecuali dengan melaksanakan tiga unsur yang merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan satu dari lainnya. Pertama; Syari’at; yaitu dengan mengerjakan segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah dan Rasul-Nya. Kedua; Tarekat; ialah menteladani segala prilaku Rasulullah dalam berbagai keadaannya. Ketiga; Hakekat, yaitu buah yang akan dicapai dari perjalan syari’at dan tarekat[6].

Sebagian ulama lain mencontohkan kesatuan tiga unsur  ini dengan sebuah kelapa. Syari’at diibarakan sebagai kulit kelapa, tarekat sebagai daging kelapa dan hakekat sebagai minyak dari inti kelapa. Artinya bahwa perantara-perantara untuk dapat mendapatkan inti kelapa yang berupa minyak adalah keharusan yang tidak mungkin ditinggalkan[7].

Imam Ahmad ar-Rifa’i pada bagian lain dalam kitab al-Burhân al-Mu’ayyad menyatakan bahwa puncak tujuan dari perjalanan kaum sufi adalah sama dengan puncak tujuan dari perjalanan para ulama fiqih atau ulama syari’at. Demikian pula sebaliknya, tujuan utama ulama fiqih adalah juga merupakan tujuan utama para kaum sufi. Kemudian rintangan-rintangan jalan yang dilalui ulama fiqih dalam mencari ilmu adalah juga rintangan yang sama yang dihadapi kaum sufi dalam sulûk mereka. Maka syari’at adalah tarekat, dan tarekat adalah syari’at. Keduanya adalah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, kandungan atau isi dan tujuannya adalah satu. Perbedaan hanya dari segi lafazh saja. Jika seorang sufi mengingkari seorang ahli fiqih (al-faqîh), maka tidak lain sufi tersebut pasti seorang yang tertipu. Demikian sebaliknya, jika seorang ahli fiqih mengingkari seorang sufi maka tidak lain ahli fiqih tersebut pasti seorang yang dijauhkan oleh Allah dari karunia-Nya[8].

Seorang wali Allah, seluhur apapun derajat takwa dan kemuliaan yang telah ia raih, maka kewajiban-kewajiban syari’at akan selalu tetap ada pada pundaknya dan tidak akan pernah gugur darinya. Rasulullah tidak pernah mengajarkan bahwa seseorang bila telah mencapai derajat tinggi maka kewajiban syari’at menjadi gugur darinya. Oleh karenanya, kita tidak menemui satupun keadaan di antara para sahabat nabi di mana kewajiban-kewajiban syari’at telah gugur dari sebagian mereka. Padahal banyak di kalangan sahabat tersebut yang notabene sebagai para wali Allah, bahkan sebagai para wali terkemuka (Kibâral-Auliyâ’). Sahabat
Abu Bakr ash-Shiddiq misalkan, adalah orang yang paling mulia dari seluruh umat Muhammad, pemimpin tertinggi dalam derajat kewalian, dan lebih utama dari seluruh wali Allah yang hidup sesudahnya, bahwa beliau tidak pernah sedikit punmerasa bahwa kewajiban-kewajiban syari’at telah gugur darinya. Dua puluh empat jam dari setiap detik waktunya beliau habiskan dalam ibadah kepada Allah dan dalam menegakkan syari’at Allah. Demikian pula dengan sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab, ‘Utsman ibn ‘Affan, dan ‘Ali ibn Abi Thalib. Karena itu para ulama Ahlussunnah telah bersepakat (Ijma’) bahwa orang yang mengatakan bahwa ibadah dan mujâhadah yang telah mencapai puncak tertingginya dapat menggugurkan ajaran-ajaran syari’at maka orang ini telah keluar dari Islam menjadi kafir[9].

Simak kisah nyata yang terjadi pada Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jailani. Suatu ketika, Syaikh ‘Abd al-Qadir dalam khlawah-nya didatangi Iblis dalam bentuk cahaya. Iblis berkata: “Wahai hambaku, wahai ‘Abd al-Qadir, aku adalah tuhanmu, aku halalkan bagimu segala sesuatu yang telah aku haramkan”. Tanpa berfikir panjang Syaikh ‘Abd al-Qadir menjawab: “Terlaknat engkau wahai Iblis...!”. Syaikh ‘Abd al-Qadir seorang ‘Ârif Billâh, beliau tahu bahwa yang berbicara tersebut adalah Iblis. Karena Allah bukan cahaya atau sinar, Allah tidak berkata-kata dengan suara dan huruf, juga Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, serta karena Allah tidak menghalalkan sesuatu yang telah diharamkannya[10].

Kemudian Imam Ahmad ar-Rifa’i dalam menjelaskan bahwa hukum-hukum syari’at tidak akan pernah gugur dari siapapun menyatakan bahwa seseorang yang memiliki sifat-sifat kewalian bukanlah seperti orang-orang semacam Fir’aun atau semacam Namrud. Orang semacam Fir’aun, -ketika telah meraih apa yang diinginkan- maka berkata: “Anâ Rabbukum al-A’lâ… (Saya adalah tuhan kalian yang maha tinggi)”. Demikian pula kesombongan yang diungkapkan Namrud, dia mengaku sebagai Tuhan. Sikap kufur semacam ini jelas tidak akan pernah ada pada diri seorang wali Allah. Seorang yang dicintai oleh Allah tidak akan pernah berkata “Anâ Allah…”. Bagaimana mungkin seorang sufi dengan gelar “al-Faqîr” mengaku bahwa dirinya Tuhan. Lantas dimanakah letak kefakirannya?! Sementara Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ (فاطر: 15)

“Wahai sekalian manusia, kalian semua adalah orang-orang fakir yang membutuhkan kepada Allah”. (QS.Fâthir: 15).

Kemudian lebih dari pada ini, Rasulullah yang notabene merupakan panutan kaum sufi, dan seorang kekasih Allah yang telah mendapat derajat ma’rifat yang tidak pernah diraih oleh siapapun, beliau tidak pernah mengatakan kata-kata buruk semacam itu. Justru sebaliknya, dengan tegas beliau mengatakan bahwa dirinya berasal dari kalangan manusia. Sebagaimanafirman Allah:

قُلْ إِنَّمَا أَنَابَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ(الكهف: 110)

“Katakanlah -wahai Muhammad- sesungguhnya saya adalah manusia seperti kalian yang diberikan wahyu kepadaku”. (QS. al-Kahfi: 110)

Kemudian dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:

فَإنّيلَسْتُ بِمَلَكٍ إنّمَا أنَا ابْنُ امْرَأةٍ مِنْ قُرَيْشٍ كَانَتْ تَأْكُلُ الْقَدِيْدَ(رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه وَالْحَاكِم)

“Sesungguhnya saya bukanlah malaikat, saya hanyalah seorang anak seorang perempuan dari suku Quraisy; seorang perempuan yang suka makan qadid” (daging yang dijemur). (HR. Ibn Majah dan al-Hakim).

*Catatan Kaki*

[1] Ibn‘Arabi yang oleh sebagian orang dianggap telah membuat dikotomi antara hakekat dan syari’at justru sebaliknya, beliau menentang adanya pemilahan semacam ini. Beliau memandang bahwa hakekat dan syri’at adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Adanya dikotomi semacam ini adalah penyebab utama dari lahirnya faham yang membedakan antara ulama syari’at dan ulama hakekat. Kesimpulan selanjutnya dari faham sesat ini adalah menetapkan adanya perbedaan jalan yang ditempuh oleh dua kubu tersebut. Lebih lengkap ungkapan-ungkapan Ibn ‘Arabi tentang masalah ini lihat pada bab kajian karya-karya Ibn ‘Arabi dari buku ini.

[2] Lihatal-Qusyairi, ar-Risâlah…, h. 430

[3] Ibid

[4] ar-Rifa’i, Maqâl
ât Min al-Burhân…, h. 50-51

[5] Lihat Zainuddin Ibn ‘Ali al-Malibari, Hidâyah al-Adzkiyâ’…, h. 9-12.

[6] al-Bantani, Salâlim al-Fudlalâ’, h. 3.

[7] al-Bakri, Kifâyah al-Atqiyâ’…, h. 9. Perumpamaan - perumpamaan semacam ini banyak disebutkan oleh Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatâwâ al-Hadîtsiyyah, lihat kitab h. 221-222

[8] ar-Rifa’i, Maqâlât Min al-Burhân…, , h. 80-81

[9] Lihat al-Qâdlî‘Iyad, asy-Syifâ Bi Ta’rif Huqûq al-Mushthafâ, j. 2, h. 239

[10] Lihatasy-Sya’rani, ath-Thabaqât…, j. 1, h. 218





🎦📡 *Abou Fateh YouTube Channel* Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah | Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.youtube.com/c/aboufateh

🌐🕌 *Pondok Pesantren Nurul Hikmah* Untuk Menghafal al-Qur'an Dan Kajian Ilmu Agama Madzhab Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Asuhan Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.nurulhikmah.ponpes.id

📱 *Fb Page :* facebook.com/nurulhikmah.ponpes.id
📷 *Instagram :* instagram.com/nurulhikmah.ponpes.id
🖥 *Twitter :* twitter.com/ppnurulhikmah



📌📌

*ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH*

*APAPUN YANG TERLINTAS DALAM BENAKMU TENTANG ALLAH, MAKA ALLAH TIDAK SEDEMIKIAN ITU*
🌼 *Bukti-Bukti Tekstual Kebenaran Akidah Asy’ariyyah Sebagai Akidah Ahlussunnah* 🌼

Oleh : *Dr. H. Kholilurrohman, MA*

*Firman Allah QS. Al Ma’idah: 54*

Dalam al-Qur’an Allah berfirman:  

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ  بِقَوْمٍ  يُحِبُّهُمْ  وَيُحِبُّونَهُ  أَذِلَّةٍ  عَلَى  الْمُؤْمِنِينَ  أَعِزَّةٍ  عَلَى الْكَافِرِينَ  يُجَاهِدُونَ فِي  سَبِيلِ اللهِ  وَلاَ  يَخَافُونَ  لَوْمَةَ  لآَئِمٍ ذَلِكَ  فَضْلُ  اللهِ  يُؤْتِيهِ  مَن  يَشَآءُ  وَاللهُ  وَاسِعٌ  عَلِيمٌ  (المائدة: 54)

Maknanya:

_“Wahai sekalian orang beriman barangsiapa di antara kalian murtad dari agamanya, maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah, mereka adalah orang-orang yang lemah lembut kepada sesama orang mukmin dan sangat kuat -ditakuti- oleh orang-orang kafir. Mereka berjihad dijalan Allah, dan mereka tidak takut terhadap cacian orang yang mencaci”._ *(QS. Al-Ma’idah: 54)*

Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa ketika turun ayat ini, Rasulullah memberitakannya sambil menepuk pundak sahabat *Abu Musa al-Asy’ari*, seraya bersabda: _*“Mereka (kaum tersebut) adalah kaum orang ini!!”*_. Dari hadits ini para ulama menyimpulkan bahwa kaum yang dipuji dalam ayat di atas tidak lain adalah kaum Asy’ariyyah, karena sahabat Abu Musa al-Asy’ari adalah moyang dari al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, sebagaimana telah kita tulis dalam biografi ringkas al-Imâm Abu al-Hasan sendiri.

Dalam penafsiran firman Allah di atas: _“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah...._” (QS. Al-Ma’idah: 54), al-Imâm Mujahid berkata: _“Mereka adalah kaum dari negeri Saba’ (Yaman)”_. Kemudian al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî menambahkan: _“Dan orang-orang Asy’ariyyah adalah kaum yang berasal dari negeri Saba'"_[1].

Lebih dari pada itu Ibn Asakir sendiri dalam kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî telah mengutip pernyataan para ulama hadits terkemuka (Huffâzh al-Hadîts) sebelumnya yang telah menafsirkan ayat tersebut demikian, di antaranya ahli hadits terkemuka al-Imâm al-Hâfizh Abu Bakar al-Bayhaqi penulis kitab Sunan al-Bayhaqi dan berbagai karya besar lainnya.

Al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî menuliskan pernyataan al-Imâm al-Bayhaqi dengan sanad-nya dari Yahya ibn Fadlillah al-Umari, dari Makky ibn Allan, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami al-Hâfizh Abu al-Qasim ad-Damasyqi, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Syaikh Abu Abdillah Muhammad ibn al-Fadl al-Furawy, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami al-Hâfizh Abu Bakar Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Bayhaqi, bahwa ia (al-Bayhaqi) berkata:

_“Sesungguhnya sebagian para Imam kaum Asy’ariyyah -semoga Allah merahmati mereka- mengingatkanku dengan sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Iyadl al-Asy’ari, bahwa ketika turun firman Allah: (Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah) QS. Al-Ma’idah: 54, Rasulullah kemudian berisyarat kepada sahabat Abu Musa al-Asy’ari, seraya berkata: “Mereka adalah kaum orang ini”. Dalam hadits ini terdapat isyarat akan keutamaan dan derajat mulia bagi al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, karena tidak lain beliau adalah berasal dari kaum dan keturunan sahabat Abu Musa al-Asy’ari. Mereka adalah kaum yang diberi karunia ilmu dan pemahaman yang benar. Lebih khusus lagi mereka adalah kaum yang memiliki kekuatan dalam membela sunah-sunnah Rasulullah dan memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka memiliki dalil-dalil yang kuat dalam memerangi bebagai kebatilan dan kesesatan. Dengan demikian pujian dalam ayat di atas terhadap kaum Asy’ariyyah, bahwa mereka kaum yang dicintai Allah dan mencintai Allah, adalah karena telah terbukti bahwa akidah yang mereka yakini sebagai akidah yang hak, dan bahwa ajaran agama yang mereka bawa sebagai ajaran yang benar, serta terbukti bahwa mereka adalah kaum yang memiliki kayakinan yang sangat kuat. Maka siapapun yang di dalam akidahnya mengikuti ajaran-ajaran mereka, artinya dalam konsep meniadakan keserupaan Allah dengan segala makhluk-Ny
a, dan dalam metode memegang teguh al-Qur’an dan Sunnah, sesuai dan sejalan dengan faham-faham Asy’ariyyah maka ia berarti termasuk dari golongan mereka”_[3].

Al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah mengomentari pernyataan al-Imâm al-Bayhaqi di atas, berkata:

_“Kita katakan; -tanpa kita memastikan bahwa ini benar-benar maksud Rasulullah-, bahwa ketika Rasulullah menepuk punggung sahabat Abu Musa al-Asy’ari, sebagaimana dalam hadits di atas, seakan beliau sudah mengisyaratkan akan adanya kabar gembira bahwa kelak akan lahir dari keturunannya yang ke sembilan al-ImâmAbu al-Hasan al-Asy’ari. Sesungguhnya Rasulullah itu dalam setiap ucapannya terdapat berbagai isyarat yang tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang yang mendapat karunia petunjuk Allah. Dan mereka itu adalah orang yang kuat dalam ilmu (ar-Râsikhûn Fi al-‘Ilm) dan memiliki mata hati yang cerah. Firman Allah: “Seorang yang oleh Allah tidak dijadikan petunjuk baginya, maka sama sekali ia tidak akan mendapatkan petunjuk”_ (QS. An-Nur: 40)”[4].

[1] Thabaqât asy-Syafi’iyyah, j. 3, h. 364 mengutip dari Tabyîn Kadzib al-Muftarî.
[2] Ibid.
[3] Tabyîn Kadzib al-Mufarî, h. 49-50. Tulisan Ibn Asakir ini dikutip pula oleh Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 3, h. 362-363
[4] Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 3, h. 363



🎦📡 *Abou Fateh YouTube Channel* Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah | Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.youtube.com/c/aboufateh

🌐🕌 *Pondok Pesantren Nurul Hikmah* Untuk Menghafal al-Qur'an Dan Kajian Ilmu Agama Madzhab Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Asuhan Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.nurulhikmah.ponpes.id

📱 *Fb Page :* facebook.com/nurulhikmah.ponpes.id
📷 *Instagram :* instagram.com/nurulhikmah.ponpes.id
🖥 *Twitter :* twitter.com/ppnurulhikmah



📌📌

*ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH*

*APAPUN YANG TERLINTAS DALAM BENAKMU TENTANG ALLAH, MAKA ALLAH TIDAK SEDEMIKIAN ITU*
https://youtu.be/qJh3CF3EoPk



🎦📡 *Abou Fateh YouTube Channel* Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah | Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.youtube.com/c/aboufateh

🌐🕌 *Pondok Pesantren Nurul Hikmah* Untuk Menghafal al-Qur'an Dan Kajian Ilmu Agama Madzhab Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Asuhan Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.nurulhikmah.ponpes.id

📱 *Fb Page :* facebook.com/nurulhikmah.ponpes.id
📷 *Instagram :* instagram.com/nurulhikmah.ponpes.id
🖥 *Twitter :* twitter.com/ppnurulhikmah



📌📌

*ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH*

*APAPUN YANG TERLINTAS DALAM BENAKMU TENTANG ALLAH, MAKA ALLAH TIDAK SEDEMIKIAN ITU*
*Penting untuk di pahami, semoga bermanfaat.*

Ta'lim Kitab Ash-Shiraath Al-Mustaqiim Karya Syaikh 'Abdullah Al-Harari | Ayat - Ayat Mutasyabihat. Bersama Ustadz Dr. H. Kholilurrohman, MA

https://youtu.be/O9L8d28kFGc



🎦📡 *Abou Fateh YouTube Channel* Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah | Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.youtube.com/c/aboufateh

🌐🕌 *Pondok Pesantren Nurul Hikmah* Untuk Menghafal al-Qur'an Dan Kajian Ilmu Agama Madzhab Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Asuhan Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.nurulhikmah.ponpes.id

📱 *Fb Page :* facebook.com/nurulhikmah.ponpes.id
📷 *Instagram :* instagram.com/nurulhikmah.ponpes.id
🖥 *Twitter :* twitter.com/ppnurulhikmah



📌📌

*ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH*

*APAPUN YANG TERLINTAS DALAM BENAKMU TENTANG ALLAH, MAKA ALLAH TIDAK SEDEMIKIAN ITU*