Tauhid Corner
554 subscribers
90 photos
38 videos
6 files
770 links
Catatan Teologi Islam Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah

https://linktr.ee/tauhidcorner
Download Telegram
Video Kajian Tauhid Dan Fiqh Majelis Ta’lim Nurul Hikmah Bersama Dr. H. Kholilurrohman, MA dapat disaksikan melalui YouTube Channel di alamat : www.youtube.com/c/aboufateh

Informasi lebih lanjut mengenai Pondok Pesantren Nurul Hikmah dapat di akses melalui website : https://nurulhikmah.ponpes.id/

Dokumentasi kegiatan Pondok Pesantren Nurul Hikmah Dapat Di Lihat Melalui Facebook Page Pondok Pesantren Nurul Hikmah di Alamat : https://www.facebook.com/nurulhikmah.ponpes.id/

Dokumentasi kegiatan Pondok Pesantren Nurul Hikmah Dapat Di Lihat Melalui Instagram Pondok Pesantren Nurul Hikmah di Alamat : https://www.instagram.com/nurulhikmah.ponpes.id/

Facebook Page Aqidah Ahlussunnah: Allah Ada Tanpa Tempat : https://www.facebook.com/aboufaateh/

Google Play Books Dr. H. Kholilurrohman, MA : https://play.google.com/store/books/author?id=DR.+H.+Kholilurrohman+Lc.+MA

Telegram Channel (Tawhid Corner) : https://t.me/Kholilaboufateh

Blogspot : https://allahadatanpatempat.blogspot.com/

Catatan Teologi Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah diasuh oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA :

Untuk bergabung di TC 1:
https://chat.whatsapp.com/7st7GHBcOyeH9qOXxKCLyC

Untuk bergabung di TC 2:
https://chat.whatsapp.com/CBwvCRXy1adHAWzoyAXOLD

Untuk bergabung di TC 3:
https://chat.whatsapp.com/2gt9z3ScLS2HSO1yVuVK9x

Untuk bergabung di TC 4:
https://chat.whatsapp.com/KQy9MSSNbUgGaauS6hGFbN

Untuk bergabung di TC 5:
https://chat.whatsapp.com/A21cwcRx0OtHNBHhiC8DgL

Untuk bergabung di TC 6:
https://chat.whatsapp.com/3eIab0PyWi57v63rlW42Ks

Untuk bergabung di TC 7:
https://chat.whatsapp.com/0OsP1yhueMk9w34dNWYYuo
Jangan "terperangkap" dalam ungkapan atau pendapat Agama Islam itu tersebar dengan cara lemah lembut dan toleransi saja, akan tetapi Agama Islam juga tersebar dengan kekuatan pasukan-pasukan tempur di medan perang, berjihad di "jalan Allah" demi menegakkan _KALIMATULLAH_!

Simak penjelasan yang disampaikan oleh Guru kita Dr. H. Kholilurrohman, MA berikut...

https://youtu.be/9tg350IUA1Y
Menemani istirahat di tengah kesibukan dan untuk mengulang kembali pelajaran-pelajaran yang disampaikan oleh Guru kita, berikut tulisan singkat namun penting untu memperteguh keimanan kita kepada Allah, bahwa Allah maha suci dari bentuk dan sifat benda atau makhluk-Nya, apapun yang terlintas di benak kita tentang Allah maka Allah maha suci dari demikian itu, Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Semoga bermanfaat…
========================================
[Tafakkur; Memahami Jalan Selamat] Hindari Faham-faham Nyeleneh. Ikutilah Apa Yang Diyakini Mayoritas Umat Islam | Oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA

Di akhir zaman ini banyak berkembang faham-faham yang terkadang satu sama lainnya saling menyesatkan. Ironisnya, klaim sesat seringkali dilontarkan oleh mereka yang sama sekali tidak mengetahui ilmu agama. Lebih parah lagi, klaim sesat seringkali mereka dilontarkan kepada mayoritas umat Islam yang notabene kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah. Padahal ajaran yang diyakini mayoritas umat Islam ini telah mapan dan telah turun-temurun antar generasi ke generasi dengan mata rantai (Sanad) yang bersambung kepada Rasulullah. Persoalan-persoalan yang seringkali mereka angkat sangat beragam, dari mulai perkara-perkara pokok dalam masalah akidah (Ushuliyyah), hingga masalah-masalah cabang hukum agama (Furu’iyyah). Praktek Peringatan Maulid Nabi, Tahlil, Ziarah Kubur, Tawassul dan Tabarruk adalah di antara contoh beberapa masalah yang seringkali “diserang” oleh mereka.



Pada dasarnya mereka yang seringkali mengklaim kelompok di luar mereka sebagai kelompok sesat adalah “orang-orang bingung’, “orang-orang yang tidak memiliki pijakan”, dan sama sekali tidak paham terhadap cara beragama mereka sendiri. Seringkali dalm propagandanya mereka berkata: “Kita harus kembali kepada al-Qur’an dan Hadits”, atau berkata: “Madzhab saya adalah al-Qur’an dan Sunnah”, padahal mereka sama sekali tidak memahami al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah. Bagaimana mungkin mereka akan dapat memahami kandungan al-Qur’an dan hadits sementara tidak sedikit dari mereka yang membaca tulisan Arab saja sangat “belepotan”. Bahkan seringkali untuk memahami al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi mereka hanya bersandar kepada terjemahan-terjemahan belaka. Sama sekali mereka tidak paham siapa seorang mujtahid, dan apa syarat-syarat untuk menjadi seorang mujtahid. Namun demikian mereka memposisikan diri laksana seorang ahli ijtihad. Hasbunallah.



Yang paling parah, keyakinan yang dibawa oleh mereka dan diajarkan oleh mereka kepada masyarakat awam adalah akidah tasybih. Akidah tasybih adalah akidah sesat berisi penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Ungkapan-ungkapan buruk dalam penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya dan sangat menyesatkan yang berkembang di sebagian masyarakat kita adalah hasil “jerih payah” propaganda mereka. Seperti perkataan “Terserah yang di atas”, atau “Allah bersemayam di atas ‘arsy” , atau “Allah berada di langit” , atau “Allah duduk di atas ‘arsy”, atau “Allah bergerak turun dan naik”, dan berbagai ungkapan tasybih lainnya. Sangat ironis, keyakinan sesat semacam ini telah berkembang di sebagian masyarakat kita. Sementara akidah tanzih; akidah yang telah diajarkan Rasulullah berisi keyakinan bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-Nya, bahwa Allah bukan benda dan Dia tidak boleh disifati dengan sifat-sifat benda, serta bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, sudah semakin diabaikan. Wa La Haula Wa La Quwwata Illa Billah.



Benar, ini adalah “penyakit akhir zaman” yang harus kita waspadai dan kita perangi. Salah seorang ulama terkemuka bernama Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi (w 725 H, lihat biografi beliau dalam al-Durar al-Kaminah, karya al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, j. 4, h. 198) dalam kitab Najm al-Muhtadi Wa Rajm al-Mu’tadi, h. 588, mengutip perkataan al-Khalifah ar-Rasyid ‘Ali ibn Abi Thalib, menuliskan sebagai sebagai berikut:
سَيَرْجِعُ قَوْمٌ مِنْ هذِه الأمّةِ عِنْدَ اقْتِرَابِ السّاعَةِ كُفّارًا، قَالَ رَجُلٌ: يَا أمِيْرَ المُؤْمِنِيْنَ، كُفْرُهُمْ بِمَاذَا أبِالإحْدَاثِ أمْ بِالإنْكَارِ؟ فَقَالَ: بَلْ بِالإنْكَارِ، يُنْكِرُوْنَ خَالِقَهُمْ فَيَصِفُوْنَهُ بِالجِسْمِ وَالأعْضَاء (رَواهُ ابنُ المُعلِّم القُرَشيّ فِي كِتابه نَجْم المُهْتَدِي وَرَجْمُ المُعْتَدِيْ، ص 588)


”Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”. Seseorang bertanya kepadanya: “Wahai Amir al-Mu’minin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran? Sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib menjawab: “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta meraka (Allah) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan”. (Diriwayatkan oleh Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi dalam kitab Najm al-Muhtadi Wa Rajm al-Mu’tadi, h. 588)



Di antara tanda-tanda kaum Khawarij yang dilaknat oleh Rasulullah, -sebagaimana telah beliau sabdakan dalam haditsnya-, ialah bahwa mereka “Anak-anak muda yang memiliki mimpi yang sangat bodoh”, mereka seringkali mengutip ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, tapi itu semua dipergunakan untuk menyesatkan, atau bahkan untuk mengkafirkan orang-orang yang berada di luar kelompok mereka. Padahal kualitas iman mereka sedikitpun tidak melampaui kerongkongan mereka. Iman mereka benar-benar “dangkal”. Rasulullah mengatakan jika kalian bertemu dengan orang-orang semacam ini maka perangilah mereka. (HR. al-Bukhari).



Semoga Allah senantiasa memelihara iman kita hingga akhir hayat kita. Semoga Allah selalu mencurahkan rasa cinta bagi kita kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan para ulama saleh yang telah mendahului kita. Serta semoga kita dijadikan orang-orang yang selalu memegang teguh ajaran-ajaran mereka. Amin Bi Haqq an-Nabi Muhammad Thaha al-Amin.



Wa Shallalah ‘Ala Sayyidina Muhammad Wa Sallam.

Wa al-Hamd Lillah Rabbil ‘Alamin
_Di kisahkan suatu hari Rasulullah mendapati Putrinya Sayyidah Fathimah dan kedua cucunya Imam Hasan dan Imam Husain belum makan selama tiga hari, tanpa banyak kata Rasulullah segera keluar rumah sambil memikirkan keadaan putri dan kedua cucunya itu. Hingga setelah beberapa jauh Rasulullah mendapati seorang badui yang sedang menimba air di sebuah sumur, lalu Rasulullah menawarkan jasanya untuk menimbakan air dari sumur tersebut dengan imbalan beberapa buah qurma. Setelah beberapakali timbaan air, tali timba tersebut putus. Mengetahui hal tersebut si badui itu lalu memukul wajah Rasulullah..._

Simak kisah selengkapnya yang disampaikan oleh Guru kita Dr. H. Kholilurrohman, MA

Semoga dapat menambah kecintaan kita kepada Rasulullah yang dapat menyelamatkan kita kelak di akhirat nanti. Berkaca diri dari akhkak-akhlak Rasulullah yang mulia...

https://youtu.be/8AZXSLohf3I
_Orang tua, anak, saudara, teman, suami atau istri, bahkan amal ibadah yang kita lakukan tidak dapat menjadi jaminan keselamatan kita di akhirat kelak. Akan tetapi rahmat Allah dan kecintaan kita kepada Rasulullah yang dapat menjadi jaminan keselamatan kita kelak di akhirat..._

Mengukur rasa cinta kita kepada Rasulullah...

Simak kajian berikut

https://youtu.be/hi_qw83_bU8
Pdf free 100%
Wewangian Semerbak Dalam Menjelaskan Peringatan Maulid Nabi

Segera Download, dan share, semoga bermanfaat
https://play.google.com/store/books/details?id=8hNZDwAAQBAJ
HARAM MENGUCAPKAN "SELAMAT" BAGI PERAYAAN ORANG-ORANG YANG TELAH MENGHINAKAN ALLAH DAN RASUL-NYA | Oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA

Seorang muslim yang "Berilmu, Pintar dan Cerdas" dalam cara beragamanya tidak akan pernah mengucapkan "Selamat" bagi perayaan mereka yang telah mengolok-olok Rasulullah, mencaci-makinya, menghinakannya; bahkan hingga mereka membuat karikatur dan film untuk tujuan tersebut. Demikian pula tidak akan memberi "Selamat" bagi mereka yang telah mencaci-maki Allah dan mendustakan-Nya. Imam al-Bukhari dalam Kitab Sahih, Imam Ahmad, Imam Ibnu Hibban, Imam Nasa'i dan Imam Suyuthi; meriwayatkan: (berikut ini teks al-Bukhari) bahwa Rasulullah bersabda: Allah berfirman:



كَذَّبَنِي ابن آدم ولم يكن له ذلك وشتمني ولم يكن له ذلك أما تكذيبه إياي أن يقول إني لن أعيده كما بدأته وأما شَتْمُهُ إيَّايَ أن يقول اتخذ الله ولدا وأنا الصمد الذي لم ألد ولم أولد ولم يكن لي كفؤا أحد



"Sebagian manusia telah mendustakan-Ku padahal ia tidak berhak sedikitpun untuk melakukan itu, dan sebagian mereka telah mencaci-Ku padahal ia tidak berhak sedikitpun untuk melakukan itu. Pendustaannya tehadap-Ku adalah ia mengatakan bahwa Aku tidak akan pernah menghidupkannya kembali --setelah kematiannya;-- sebagaimana Aku telah menghidupkannya, adapun caciannya terhadap-Ku adalah ia mengatakan bahwa Allah memiliki anak, padahal Aku adalah "ash-Shamad" (tidak membutuhkan kepada suatu apapun) Yang tidak beranak dan tidak diperanakan dan tidak ada siapapun sebagai sekutu bagi-Ku".
*Aqidah Imam Syafi'i (w 204 H); Allah Ada Tanpa Tempat Dan Tanpa Arah. Anda Jangan Terkecoh Oleh Ajaran Wahhabi ||| Oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA*

Imam asy-Syafi’i Muhammad ibn Idris (w 204 H), seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Syafi’i, berkata:

إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)

_“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya”_ (LIhat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24).

Dalam salah satu kitab karnya; al-Fiqh al-Akbar[selain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi'i juga menuliskan Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar], Imam asy-Syafi’i berkata:

واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه الأكبر، ص13)

_“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil”_ (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).

Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Imam asy-Syafi’i berkata:

إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات (الفقه الأكبر، ص 13)

_“Ini termasuk ayat mutasyâbihât. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak --secara mendetail-- membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh. Kewajiban atas orang ini --dan semua orang Islam-- adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan”_ (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).

Secara panjang lebar dalam kitab yang sama, Imam asy-Syafi’i membahas bahwa adanya batasan (bentuk) dan penghabisan adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah. Karena pengertian batasan (al-hadd; bentuk) adalah ujung dari sesuatu dan penghabisannya. Dalil bagi kemustahilan hal ini bagi Allah adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa bentuk, maka demikian pula Dia tetap ada tanpa penghabisan dan tanpa bentuk. Karena setiap sesuatu yang memiliki bentuk dan penghabisan secar
a logika dapat dibenarkan bila sesuatu tersebut menerima tambahan dan pengurangan, juga dapat dibenarkan adanya sesuatu yang lain yang serupa dengannya. Kemudian dari pada itu “sesuatu” yang demikian ini, secara logika juga harus membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk dan batasan tersebut, dan ini jelas merupakan tanda-tanda makhluk yang nyata mustahil bagi Allah.

SAYA TEGASKAN: Imam asy-Syafi’i, seorang Imam mujtahid yang madzhabnya tersebar di seluruh pelosok dunia, telah menetapkan dengan jelas bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, maka bagi siapapun yang bukan seorang mujtahid tidak selayaknya menyalahi dan menentang pendapat Imam mujtahid. Sebaliknya, seorang yang tidak mencapai derajat mujtahid ia wajib mengikuti pendapat Imam mujtahid.

Jangan pernah sedikitpun anda meyakini keyakinan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), seperti keyakinan kaum Musyabbihah, (sekarang Wahhabiyyah) yang menetapkan bahwa Allah bertempat di atas arsy. Bahkan mereka juga mengatakan Allah bertempat di langit. Ada di dua tempat?! Heh!!! Padahal mereka yakin bahwa arsy dan langit adalah makhluk Allah. Na’udzu Billahi Minhum.....
Sangat penting; penjelasan Kaedah-kaedah dalam menetapkan kekufuran.

Kajian Tauhid bersama ust. Dr. H. Kholilurrohman, MA

Simak, like, subscribe, dan share. Semoga bermanfaat
https://youtu.be/oDpMYILi00E
🔶🔹🔹🔶🔹🔹🔶🔹🔹🔶🔹🔹🔶
*Penjelasan Kesesatan Aqidah Hulul Dan Wahdahtul Wujud | Oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA*
🔶🔹🔹🔶🔹🔹🔶🔹🔹🔶🔹🔹🔶

Dalam tinjauan al-Hafiszh as-Suyuthi, keyakinan hulul, ittihad atau wahdatul wujud secara hitoris awal mulanya berasal dari kaum Nasrani. Mereka meyakini bahwa Tuhan menyatu dengan nabi Isa, dalam pendapat mereka yang lain menyatu dengan nabi Isa dan ibunya; Maryam sekaligus. Hulul dan wahdatul wujud ini sama sekali bukan berasal dari ajaran Islam. Bila kemudian ada beberapa orang yang mengaku sufi meyakini dua aqidah tersebut atau salah satunya, jelas ia seorang sufi gadungan. Para ulama, baik ulama Salaf maupun Khalaf dan kaum sufi sejati dan hingga sekarang telah sepakat dan terus memerangi dua aqidah tersebut. (Lihat as-Suyuthi, al-Hâwî Li al-Fatâwî, j. 2, hlm. 130, pembahasan lebih luas tentang keyakinan kaum Nasrani dalam teori hulul dan Ittihad lihat as-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, hlm. 178-183).
Imam al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi menilai bahwa seorang yang berkeyakinan hulul atau wahdatul wujud jauh lebih buruk dari pada keyakinan kaum Nasrani. Karena bila dalam keyakinan Nasrani Tuhan meyatu dengan nabi Isa atau dengan Maryam sekaligus (yang mereka sebut dengan doktrin trinitas), maka dalam keyakinan hulul dan wahdatul wujud Tuhan menyatu dengan manusia-manusia tertentu, atau menyatu dengan setiap komponen dari alam ini. Demikian pula dalam penilaian Imam al-Ghazali, jauh sebelum as-Suyuthi, beliau sudah membahas secara gamblang kesesasatan dua aqidah ini. Dalam pandangan beliau, teori yang diyakini kaum Nasrani bahwa al-lâhût (Tuhan) menyatu dengan al-nâsût (makhluk), yang kemudian diadopsi oleh faham hulul dan ittihad adalah kesesatan dan kekufuran. Di antara karya al-Ghazali yang cukup komprehensif dalam penjelasan kesesatan faham hulul dan ittihad adalah al-Munqidz Min adl-Dlalâl dan al-Maqshad al-Asnâ Fî Syarh Asmâ’ Allah al-Husnâ. Dalam dua buku ini beliau telah menyerang habis faham-faham kaum sufi gadungan yang berkeyakinan dua aqidah sesat di atas. Termasuk juga dalam karya fenomenalnya; Ihyâ ‘Ulumiddîn. Imam al-Haramain dalam kitab al-Irsyâd juga menjelaskan bahwa keyakinan ittihad berasal dari kaum Nasrani. Kaum Nasrani berpendapat bahwa ittihad hanya terjadi hanya pada nabi Isa, tidak pada nabi-nabi yang lain. Kemudian tentang teori hulul dan ittihad ini kaum Nasrani sendiri berbeda pendapat, sebagain dari mereka menyatakan bahwa yang menyatu dengan tubuh nabi Isa adalah sifat-sifat ketuhanan. Pendapat lainnya mengatakan bahwa dzat tuhan menyatu yaitu dengan melebur pada tubuh nabi Isa laksana air yang bercampur dengan susu. Selain ini ada pendapat-pendapat mereka lainnya. Semua pendapat mereka tersebut secara garis besar memiliki pemahaman yang sama, yaitu pengertian kesatuan (hulul dan ittihad). Dan semua faham-faham tersebut diyakini secara pasti oleh para ulama Islam sebagai kesesatan. (Lihat as-Suyuthi, al-Hâwî, j. 2, hlm. 130, mengutip dari Imam al-Haramain dalam al-Irsyâd).
Imam al-Fakh ar-Razi dalam kitab al-Mahshal Fî Ushûliddîn, menuliskan sebagai berikut: “Sang Pencipta (Allah) tidak menyatu dengan lain-Nya. Karena bila ada sesuatu bersatu dengan sesuatu yang lain maka berarti sesuatu tersebut menjadi dua, bukan lagi satu. Lalu jika keduanya tidak ada atau menjadi hilang (ma’dûm) maka keduanya berarti tidak bersatu. Demikian pula bila salah satunya tidak ada (ma’dûm) dan satu lainnya ada (maujûd) maka berarti keduanya tidak bersatu, karena yang ma’dûm tidak mungkin bersatu dengan yang maujûd” (as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, hlm. 130, mengutip dari al-Fakh ar-Razi dalam al-Mahshal Fi Ushûl al-Dîn). Al-Qâdlî Iyadl dalam kitab asy-Syifâ Bi Ta’rif Huqûq al-Musthafâ, j. 2,hlm. 236, menyatakan bahwa seluruh orang Islam telah sepakat dalam meyakini kesesatan aqidah hulul dan kekufuran orang yang meyakini bahwa Allah menyatu dengan tubuh manusia.
Keyakinan-keyakinan semacam ini, dalam tinjauan al-Qâdlî Iyadl tidak lain hanya datang dari orang-orang sufi gadungan, kaum Bathiniyyah, Qaramithah, dan kaum Nasrani. D
alam kitab tersebut al-Qâdlî Iyadl menuliskan: “Seorang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, atau berkeyakinan bahwa Allah adalah benda, maka dia tidak mengenal Allah (kafir) seperti orang-orang Yahudi. Demikian pula telah menjadi kafir orang yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-makhluk-Nya (hulul), atau bahwa Allah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain seperti keyakinan kaum Nasrani” (asy-Syifâ, j. 2, hlm. 236). Imam Taqiyyuddin Abu Bakr al-Hishni dalam Kifâyah al-Akhyâr, j. 1, hlm. 198, mengatakan bahwa kekufuran seorang yang berkeyakinan hulul dan wahdatul wujud lebih buruk dari pada kekufuran orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Kaum Yahudi menyekutukan Allah dengan mengatakan bahwa ‘Uzair sebagai anak-Nya. Kaum Nasrani menyekutukan Allah dengan mengatakan bahwa Isa dan Maryam sebagai tuhan anak dan tuhan Ibu; yang oleh mereka disebut dengan doktrin trinitas. Sementara pengikut aqidah hulul dan wahdatul wujud meyakini bahwa Allah menyatu dengan dzat-dzat makhluk-Nya. Artinya dibanding Yahudi dan Nasrani, pemeluk aqidah hulul dan wahdatul wujud memiliki lebih banyak tuhan; tidak hanya satu atau dua saja, karena mereka menganggap bahwa setiap komponen dari alam ini merupakan bagian dari Dzat Allah, Na’udzu Billâh. Imam al-Hishni menyatakan bahwa siapapun yang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk memerangi aqidah hulul dan aqidah wahdatul wujud maka ia memiliki kewajiban untuk mengingkarinya dan menjauhkan orang-orang Islam dari kesesatan-kesesatan dua aqidah tersebut. Imam as-Sayyid Ahmad ar-Rifa’i al-Kabir, perintis tarekat ar-Rifa’iyyah, di antara wasiat yang disampaikan kepada para muridnya adalah sebagai berikut: “Majelis kita ini suatu saat akan berakhir, maka yang hadir di sini hendaklah menyampaikan kepada yang tidak hadir bahwa barang siapa yang membuat bid’ah di jalan ini, merintis sesuatu yang baru yang menyalahi ajaran agama, berkata-kata dengan wahdatul wujud, berdusta dengan keangkuhannya kepada para makhluk Allah, sengaja berkata-kata syathahât, melucu dengan kalimat-kalimat tidak dipahaminya yang dikutip dari kaum sufi, merasa senang dengan kedustaannya, berkhalwat dengan perempuan asing tanpa hajat yang dibenarkan syari’at, tertuju pandangannya kepada kehormatan kaum muslimin dan harta-harta mereka, membuat permusuhan antara para wali Allah, membenci orang muslim tanpa alasan yang dibenarkan syari’at, menolong orang yang zhalim, menghinakan orang yang dizhalimi, mendustakan orang yang jujur, membenarkan orang yang dusta, berprilaku dan berkata-kata seperti orang-orang yang bodoh, maka saya terbebas dari orang semacam ini di dunia dan di akhirat”. (Lihat Sawâd al-‘Aynain Fî Manâqib Abî al-‘Alamayn karya Imam as-Suyuthi). Al-Qâdlî Abu al-Hasan al-Mawardi mengatakan bahwa seorang yang berpendapat hulul dan ittihad bukan seorang muslim yang beriman dengan syari’at Allah. Seorang yang berkeyakinan hulul ini tidak akan memberikan manfa’at pada dirinya sekalipun ia berkoar membicakaran aqidah tanzih. Karena seorang yang mengaku Ahl at-Tanzîh namun ia meyakini aqidah hulul atau ittihad adalah seorang mulhid (kafir). Dalam tinjauan al-Mawardi, bukan suatu yang logis bila seseorang mengaku ahli tauhid sementara itu ia berkeyakinan bahwa Allah menyatu pada raga manusia. Sama halnya pengertian bersatu di sini antara sifat-sifat tuhan dengan sifat-sifat manusia, atau dalam pengartian melebur antara dua dzat; Dzat Allah dengan dzat makhluk-Nya. Karena bila demikian maka berarti tuhan memiliki bagian - bagian, permulaan dan penghabisan, serta memiliki sifat-sifat makhluk lainnya (al-Hâwî, j. 2, hlm. 132). Al-Hâfizh as-Suyuthi dalam kutipannya dari kitab Mi’yâr al-Murîdîn, berkata: “Ketahuilah bahwa asal kemunculan kelompok sesat dari orang-orang yang berkeyakinan ittihad dan hulul adalah akibat dari kedangkalan pemahaman mereka terhadap pokok-pokok keyakinan (al-Ushûl) dan cabang-cabangnya (al-Furû’). Dalam pada ini telah banyak atsar yang membicarakan untuk menghindari seorang ahli ibadah (‘Âbid) yang bodoh. Seorang yang tidak berilmu tidak akan mendapatkan apapun dari apa ya
ng ia perbuatnya, dan orang semacam ini tidak akan berguna untuk melakukan sulûk” (al-Hâwî, j. ;2, hlm. 133). Seorang sufi kenamaan, Imam Sahl ibn Abdullah at-Tustari, berkata: “Dalil atas kesesatan faham kasatuan (ittihad) antara manusia dengan Tuhan adalah karena bersatunya dua dzat itu sesuatu yang mustahil. Dua dzat manusia saja, misalkan, tidak mungkin dapat disatukan karena adanya perbedaan-perbedaan di antara keduanya. Terlebih lagi antara manusia dengan Tuhan, sangat mustahil. Karena itu keyakinan ittihad adalah sesuatu yang batil dan mustahil, ia tertolak secara syara’ juga secara logika. Oleh karenanya kesesatan aqidah ini telah disepakati oleh para nabi, para wali, kaum sufi, para ulama dan seluruh orang Islam. Keyakinan ittihad ini sama sekali bukan keyakinan kaum sufi. Keyakinan ia datang dari mereka yang tidak memahami urusan agama dengan benar, yaitu mereka yang menyerupakan dirinya dengan kaum Nasrani yang meyakini bahwa al-nasut (nabi Isa) menyatu dengan al-lahut (Tuhan)” (al-Hâwî, j. 2, h.134). Dalam tinjauan Imam al-Ghazali, dasar keyakinan hulul dan ittihad adalah sesuatu yang tidak logis. Kesatuan antara Tuhan dengan hamba-Nya, dengan cara apapun adalah sesuatu yang mustahil, baik kesatuan antara dzat dengan dzat, maupun kesatuan antara dzat dengan sifat. Dalam pembahasan tentang sifat-sifat Allah, al-Ghazali menyatakan memang ada beberapa nama pada hak Allah yang secara lafazh juga dipergunakan pada makhluk. Namun hal ini hanya keserupaan dalam lafazhnya saja, adapun secara makna jelas berbeda. Sifat Hayât (hidup), misalkan, walaupun dinisbatkan kepada Allah dan juga kepada manusia, namun makna masing-masing sifat tersebut berbeda. Sifat hayat pada hak Allah bukan dengan ruh, tubuh, darah, daging, makanan, minuman dan lainnya. Sifat hayat Allah tidak seperti sifat hayat pada manusia. Imam al-Ghazali menuliskan bahwa manusia diperintah untuk berusaha meningkatkan sifat-sifat yang ada pada dirinya supaya mencapai kesempurnaan. Namun demikian bukan berarti bila ia telah sempurna maka akan memiliki sifat-sifat seperti sifat-sifat Allah. Hal ini sangat mustahil dengan melihat kepada beberapa alasan berikut; Pertama; Mustahil sifat-sifat Allah yang Qadîm (tidak bermula) berpindah kepada dzat manusia yang hâdits (Baru), sebagaimana halnya mustahil seorang hamba menjadi Tuhan karena perbedaan sifat-sifat dia dengan Tuhan-nya. Kedua; Sebagaimana halnya bahwa sifat-sifat Allah mustahil berpindah kepada hamba-Nya, demikian pula mustahil dzat Allah menyatu dengan dzat hamba-hamba-Nya. Dengan demikian maka pengertian bahwa seorang manusia telah sampai pada sifat-sifat sempurna adalah dalam pengertian kesempurnaan sifat-sifat manusia itu sendiri. Bukan dalam pengertian bahwa manusia tersebut memiliki sifat-sifat Allah atau bahwa dzat Allah menyatu dengan manusia tersebut (hulul dan ittihad). (Lihat al-Ghazali, al-Maqshad al-Asnâ, hlm. 134-139). Oleh karena itu ungkapan-ungkapan buruk semacam; “hendaklah engkau bersifat seperti sifat-sifat Allah”, atau “hendaklah engkau berakhlak separti akhlak Allah” adalah ungkapan yang wajib kita hindari. Karena sama sekali tidak ada keserupaan antara sifat yang ada pada makluk dengan sifat-sifat Allah. Al-’Ârif Billâh al-‘Allâmah Abu al-Huda ash-Shayyadi dalam kitab al-Kawkab al-Durry Fi Syarh Bait al-Quthb al-Kabir, hlm. 11-12, berkata: “Barang siapa berkata: “Saya adalah Allah”, atau berkata: “Tidak ada yang wujud di alam ini kecuali Allah”, atau berkata: “Tidak ada yang ada kecuali Allah”, atau berkata: “Segala sesuatu ini adalah Allah”, atau semacam ungkapan-ungkapan tersebut, jika orang ini berakal, dan dalam keadaan sadar (shâhî), serta dalam keadaan mukallaf maka ia telah menjadi kafir. Tentang kekufuran orang semacam ini tidak ada perbedaan pendapat di antara orang-orang Islam. Keyakinan tersebut telah jelas-jelas menyalahi al-Qur’an. Karena dengan meyakini bahwa segala sesuatu adalah Allah berarti ia telah menafikan perbedaan antara Pencipta (Khâliq) dan makhluk, menafikan perbedaan antara rasul dan umatnya yang menjadi obyek dakwah, serta menafikan perbedaan surga da
n neraka. Keyakinan semacam ini jelas lebih buruk dari mereka yang berkeyakinan hulul dan ittihad. Dasar mereka yang beraqidah hulul atau ittihad meyakini bahwa Allah meyatu dengan nabi Isa. Sementara yang berkeyakinan segala sesuatu adalah Allah, berarti ia menuhankan segala sesuatu dari makhluk Allah ini, termasuk makhluk-makhluk yang najis dan yang menjijikan. Sebagian mereka yang berkeyakinan buruk ini bahkan berkata:
(قيل) وَمَا الكَلْبُ وَالخِنْزِيْرُ إلا إلَهُنَا # وَمَا الله إلا رَاهِبٌ فِي كَنِيْسَةٍ

“Tidaklah anjing dan babi kecuali sebagai tuhan kita, sementara Allah tidak lain adalah rahib yang ada di gereja”.

Ini jelas merupakan kekufuran yang sangat mengerikan dan membuat merinding tubuh mereka yang takut kepada Allah. Adapun jika seorang yang berkata-kata semacam demikian itu dalam keadaan hilang akal dan hilang perasaannya (jadzab) sehingga ia berada di luar kesadarannya maka ia tidak menjadi kafir. Karena bila demikian maka berarti ia telah keluar dari ikatan taklif, dan dengan begitu ia tidak dikenakan hukuman. Namun demikian orang semacam itu mutlak tidak boleh diikuti. Tidak diragukan bahwa kata-kata semacam di atas menyebabkan murka Allah dan rasul-Nya. Ketahuilah bahwa kaum Yang Haq adalah mereka yang tidak melenceng sedikitpun, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan, dari ketentuan syari’at. Cukuplah bagi seseorang untuk memegang teguh syari’at, dan cukuplah Rasulullah sebagai pembawa syari’at adalah sebaik-baiknya Imam dan teladan yang harus diikuti”. Dalam al-Luma’, hlm. 541-542, Imam as-Sarraj membuat satu sub judul dengan nama “Bâb Fî Dzikr Ghalath al-Hulûliyyah” (Bab dalam menjelaskan kesesatan kaum Hululiyyah). Beliau menjelaskan bahwa orang-orang yang beraqidah hulul adalah orang yang tidak memahami bahwa sebenarnya sesuatu dapat dikatakan bersatu dengan sesuatu yang lain maka mestilah keduanya sama-sama satu jenis. Padahal Allah tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun yang menyerupai-Nya. Kesesatan kaum hulul ini sangat jelas, mereka tidak membedakan antara sifat-sifat al-Haq (Allah) dengan sifat al-Khalq (makhluk). Bagaimana mungkin Dzat Allah menyatu dengan hati atau raga manusia?! Yang menyatu dengan hati dan menetap di dalamnya adalah keimanan kepada-Nya, menyakini kebenaran-Nya, mentauhidkan-Nya dan ma’rifah kepada-Nya. Sesungguhnya hati itu adalah makhluk, maka bagaimana mungkin Dzat Allah dan sifat-sifat-Nya akan bersatu dengan hati manusia yang notabene makhluk-Nya sendiri?! Allah maha Suci dari pada itu semua. Dari pernyataan para ulama sufi di atas tentang aqidah hulul dan wahdatul wujud dapat kita tarik kesimpulan bahwa kedua aqidah ini sama sekali bukan merupakan dasar aqidah kaum sufi dan bukan merupakan bagian dari aqidah Islam.

_Wa Allâh A’lam Bi ash-Shawâb. Wa al-Hamdu Lillâh Rabb al-‘Âlamîn_

⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️

Download dan share! Ebook gratis berjudul "Untaian Mutiara Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah | Dr. H. Kholilurrohman, MA" Klik link di bawah >>>

https://play.google.com/store/books/details?id=F5JUDwAAQBAJ



🎦 Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Bersama Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.youtube.com/c/aboufateh

🌐 Pondok Pesantren Nurul Hikmah Untuk Menghafal al-Qur'an Dan Kajian Ilmu Agama Madzhab Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Dibawah Asuhan Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.nurulhikmah.ponpes.id

*ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN ARAH*
*Kisah Nyata Cerita Penting [Ahli Ma’rifat Adalah Ahli Tauhid] | Oleh : Dr. H. Kholilurrohman, MA*

Cerita ini dikutip oleh para ulama kita, di antaranya oleh Syaikh Abd al-Wahhab asy-Sya’rani dalam ath-Thabaqat al-Kubra, Syaikh Yusuf Isma’il an-Nabhani dalam Jami’ Karamat al-Awliya’, Ibn al-Imad al-Hanbali dalam Syadzrat adz-Dzahab Fi Akhbari Man Dzahab, dan lainnya. Bahwa suatu ketika Wali Allah yang sangat saleh; Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani dalam khalwat-nya didatangi Iblis yang menyerupai sinar sangat indah, Iblis berkata:

_“Wahai Abd al-Qadir, Aku adalah Allah, seluruh kewajiban telah aku gugurkan darimu, dan segala yang haram telah aku halalkan bagimu. Maka berbuatlah sesukamu, karena seluruh dosa-dosamu telah aku ampuni….”._

Saat itu pula Syaikh Abd al-Qadir manjawab:

_“Khasi’ta ya Iblis… Khasi’ta ya la’in… (Kurang ajar engkau wajai Iblis.. Kurang ajar engkau wahai makhluk terkutuk..)”._

Iblis kemudian mengaku bahwa dirinya adalah Iblis, ia berkata:

_“Wahai Abd al-Qadir, engkau telah mengalahkanku dengan ilmumu, padahal dengan cara ini aku telah menyesatkan 70 orang lebih ahli ibadah (yang tidak berilmu)…”._

Dari kisah nyata ini para ulama kita menuliskan catatan penting, sebagai berikut:

*Syaikh Abd al-Qadir tahu bahwa yang datang tersebut adalah Iblis, karena Iblis menyerupai sinar*. Padahal Allah bukan sinar. Allah yang menciptakan segala sinar, maka Allah tidak sama dengan ciptaan-Nya tersebut. Adapun nama Allah (dalam al-Asma’ al-Husna) “an-Nur”, bukan artinya bahwa Allah sebagai cahaya, tetapi artinya “Yang Maha memberi petunjuk”, sebagaimana telah dijelaskan oleh sahabat Abdullah ibn Abbas dalam penafsiran beliau terhadap firman Allah: “Allahu Nur as-Samawati…”.

*Bahwa yang datang tersebut Iblis, adalah karena ia berkata bahwa segala kewajiban telah digugurkan, dan segala yang diharamkan telah ia halalkan*. Jalas, klaim semacam ini bukan dari syari’at Allah dan rasul-Nya, karena seseorang, setinggi apapun derajatnya, tidak akan pernah gugur darinya kewajiban shalat 5 waktu, puasa ramadan, juga tidak akan pernah menjadi halal baginya untuk berzina, mencuri, membunuh, dan perkara haram lainnya. Dengan demikian bila ada yang mengaku dirinya “wali”, sementara ia meninggalkan kewajiban2, atau mengerjakan perkara2 haram, maka ia bukan wali Allah , tapi wali Iblis.

*Bahwa yang datang tersebut Iblis, karena ia berkata-kata dengan huruf, suara, dan bahasa*. Padahal sifat Kalam Allah bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa, karena bila demikian maka Allah sama dengan makhluk-Nya. Adapun kitab al-Qur’an; dalam bentuk tulisan-tulisan Arab, huruf-huruf, dibaca dengan lidah dan suara, ditulis di atas lembaran-lembaran, maka itu adalah UNGKAPAN (‘Ibarah) dari Kalam Dzat Allah. (lebih jelas baca tentang “al-Qur’an Kalam Allah”).

*Bahwa yang datang tersebut Iblis, karena Iblis berada di tempat syaikh Abd al-Qadir*. Padahal Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, karena Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran. Allah bukan benda yang dapat disentuh tangan (bukan Hajm Katsif; seperti manusia, tanah, tumbuhan, dll), dan Allah bukan benda yang tidak dapat disentuh dengan tangan (bukan Hajm Lathif; seperti cahaya, udara, ruh, dll). Allah yang menciptakan Hajm Katsif dan Hajm lathif, maka Allah bukan sebagai hajm (benda). Dan oleh karena Allah bukan benda maka Dia tidak boleh disifati dengan sifat-sifat benda, seperti bergerak, turun, naik, memiliki tempat, memiliki arah, dan lainnya. Karena setiap benda dan sifat-sifatnya adalah makhluk Allah, dan Allah tidak sama dengan makhluk-Nya. Oleh karenanya, ulama kita sepakat bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah.

Amir al-Mu’minin Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- berkata:

*كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَان*

*“Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula, ada tanpa tempat”*

_(Dituturkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitabnya al-Farq Bayn al-Firaq, h. 333)._

🔹🔶🔶🔹🔶🔶🔹🔶🔶🔹🔶🔶🔹

Download dan s
hare! Buku ebook “Mengenal Tasawuf Rasulullah” >>>

https://play.google.com/store/books/details?id=jsJhDwAAQBAJ



🎦 Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah Asy’ariyyah Maturidiyyah Bersama Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.youtube.com/c/aboufateh

🌐 Pondok Pesantren Nurul Hikmah Untuk Menghafal al-Qur’an Dan Kajian Ilmu Agama Madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah Asy’ariyyah Maturidiyyah Dibawah Asuhan Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.nurulhikmah.ponpes.id

*ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN ARAH*
*A’ZHAM HUQUQILLAH ‘ALA ‘IBAADIHI (Hak Allah yang paling Agung atas para hamba-Nya) | Oleh : Dr. H. Kholilurrohman, MA*

🔶🔹🔹🔶🔹🔹🔶🔶🔹🔹🔶🔹🔹🔶

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

حق الله على العباد أن يعبدوه ولا يشركوا به شيئا / رواه الشيخان

Maknanya:

_“Hak Allah atas para hamba adalah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun”_ (H.R. al Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa hak Allah yang paling agung atas para hamba-Nya adalah agar mereka men-tauhid-kan-Nya; menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya (Syirik) dengan sesuatu-pun.

*Tauhidالتوحيد adalah mashdar dari وحد يوحد : mengesakan. Jika dikatakan وحدت الله maksudnya adalah اعتقدته منفردا بذاته وصفاته لا نظيـر له ولا شبيه ; engkau meyakini bahwa Allah esa pada Dzat dan sifat-sifat-Nya, tidak ada bandingan dan serupa bagi-Nya atau علمتـه واحدا ; engkau mengetahui-Nya esa. Tauhid juga diartikan sebagai الإيمـان بالله وحـده لا شريك له ; beriman kepada Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya dalam ketuhanan*.

Jadi beriman kepada Allah dengan cara yang benar itulah yang dinamakan tauhid. Karenanya pengajaran tentang beriman kepada Allah dengan cara yang benar menjadi prioritas Ta’lim Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam, sebagaimana dikatakan sahabat Ibn ‘Umar dan sahabat Jundub:

كُنَّا وَنَحْنُ فِتْيَانٌ حَزَاوِرَةٌ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ تَعَلّمْنَا الإيْمَانَ وَلَمْ نَتَعَلّمِ القرْءَانَ ثُمَّ تَعَلَّمْنَا القُرْءَانَ فَازْدَدْنَا بِهِ إيْمَانًا / رَوَاهُ ابن ماجه وصححه الحافظ البُوْصِيْرِيّ

Maknanya:

_“Kami –selagi remaja saat mendekati baligh- bersama Rasulullah mempelajari iman (tauhid) dan belum mepelajari al-Qur’an. Kemudian kami mempelajari al-Qur’an maka bertambahlah keimanan kami”._
(H.R. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Hafizh al-Bushiri).

*Abu Hanifah* menamakan ilmu ini dengan al-Fiqh al-Akbar. Ini artinya mempelajari ilmu ini harus lebih didahulukan dari mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Setelah cukup mempelajari ilmu ini baru disusul dengan ilmu-ilmu yang lain.

Definisi Tauhid Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan:

وأما أهل السنة ففسروا التوحيد بنفي التشبيه والتعطيل

_“Sedangkan Ahlussunnah menafsirkan bahwa tauhid adalah menafikan tasybih (keyakinan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) dan ta’thil (keyakinan yang menafikan adanya Allah atau salah satu sifat-Nya)”._

*Jadi, tauhid dalam penafsiran Ahlussunnah adalah meyakini bahwa Allah ada dan memiliki sifat-sifat yang tidak menyerupai sifat-sifat makhluk-Nya, Allah esa pada Dzat, sifat dan perbuatan-Nya.* Imam al Junaid al Baghdadi berkata:

التوحيد إفراد القديم من المحدث / رواه الخطيب البغدادي وغيـره

_"Tauhid adalah mensucikan (Allah) yang tidak mempunyai permulaan dari menyerupai makhluk-Nya”_
(diriwayatkan oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi)

Dan inilah makna nama Allah al Ahad dan al Wahid. Al Imam al Halimi mengatakan:

الأحد هو الذي لا شبيه له ولا نظيـر ، كما أن الواحد هو الذي لا شريك له ولا عديد

_"Al Ahad ialah yang tiada serupa dan bandingan bagi-Nya, sebagaimana al Wahid maknanya adalah yang tiada sekutu bagi-Nya dan tiada yang menduai –Nya (dalam ketuhanan)"._

Imam Abu Hanifah berkata:

والله واحد لا من طريق العدد ولكن من طريق أنه لاشريك له

_“Allah satu bukan dari segi bilangan tetapi dari segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya”._

*Al Ahad juga ditafsirkan yaitu yang tidak menerima pembagian, yakni bukan jisim karena secara akal jisim (benda) bisa dibagi-bagi, sedangkan Allah bukanlah jisim.* Allah berfirman ketika mencela orang-orang kafir:

وجعلوا له من عباده جزءا / سورة الزخرف : 15

Maknanya:
_“Dan mereka (orang-orang kafir) menjadikan sebahagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bahagian dari pada-Nya”_
(Q.S. az-Zukhruf : 15)

Al Imam Abu Hasan al Asy’ari berkata dalam kitab an-Nawadir :

من اعتقد أن الله جسم فهو غير عارف بربه وإنه كافر به

_“Barang siapa yang meyakini bahwa Allah adalah jisim maka dia tidak tahu tentang tuhannya dan sesungguhnya dia kafir terhadap-nya”._

Ini semua adalah bantahan terhadap orang-orang yang membagi tauhid menjadi tiga macam