Setelah orang musyrik ini diberi keamanan dan mendengar Kalam Allah, namun ternyata ia tidak masuk Islam, maka ia dikembalikan ke wilayah tempat tinggalnya.
Kemudian, yang dimaksud bahwa orang musyrik tersebut “mendengar Kalam Allah” adalah mendengar bacaan kitab al-Qur’an yang berupa lafazh-lafazh dalam bentuk bahasa Arab (al-Lafzh al-Munazzal), bukan dalam pengertian mendengar al-Kalam adz-Dzati. Sebab jika yang dimaksud mendengar al-Kalam adz-Dzati maka berarti sama saja antara orang musyrik tersebut dengan Nabi Musa yang telah mendapatkan gelar “Kalimullah”. Dan bila demikian maka berarti orang musyrik tersebut juga mendaptkan gelar “Kalimullah”, persis seperti Nabi Musa. Tentunya hal ini tidak bisa dibenarkan.
_
#freetoshare
Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube
Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!
Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
Kemudian, yang dimaksud bahwa orang musyrik tersebut “mendengar Kalam Allah” adalah mendengar bacaan kitab al-Qur’an yang berupa lafazh-lafazh dalam bentuk bahasa Arab (al-Lafzh al-Munazzal), bukan dalam pengertian mendengar al-Kalam adz-Dzati. Sebab jika yang dimaksud mendengar al-Kalam adz-Dzati maka berarti sama saja antara orang musyrik tersebut dengan Nabi Musa yang telah mendapatkan gelar “Kalimullah”. Dan bila demikian maka berarti orang musyrik tersebut juga mendaptkan gelar “Kalimullah”, persis seperti Nabi Musa. Tentunya hal ini tidak bisa dibenarkan.
_
#freetoshare
Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube
Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!
Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
id.shp.ee
Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore | Shopee Indonesia
Beli Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore Original & Terbaru di Shopee. Cek Review Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore. Nikmati Promo Diskon☑ Gratis Ongkir☑ Cashback☑
IMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH
(Bagian 4 / 4) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA
Diantara dalil lainnya yang menguatkan bahwa al-Kalam adz-Dzati bukan berupa huruf-huruf, bukan suara, dan bukan bahasa adalah firman Allah:
وَهُوَ أسْرَعُ الحَاسِبِيْنَ (الأنْعَامُ:62)
“… dan Dia Allah yang menghisab paling cepat”. (QS.al-An’am: 62)
Pada hari kiamat kelak, Allah akan menghisab seluruh hamba-Nya dari bangsa manusia dan jin. Allah akan memperdengarkan kalam-Nya kepada setiap orang dari mereka. Dan mereka akan memahami dari kalam Allah tersebut pertanyaan-pertanyaan tentang segala apa yang telah mereka kerjakan, segala apa yang mereka katakan, dan apa yang mereka yakini ketika mereka hidup di dunia. Rasulullah bersabda:
مَا مِنْكُمْ مِنُ أحَدٍ إلاَّ سَيُكَلِّمُهُ رَبُّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تُرْجُمَانُ (رَوَاهُ البُخَارِيُّ)
“Setiap orang akan Allah perdengarkan Kalam-Nya kepadanya (menghisabnya) pada hari kiamat, tidak ada penerjemah antara dia dengan Allah”. (HR. al-Bukhari)
Allah akan menghisab seluruh hamba-Nya dalam waktu yang sangat singkat. Seandainya Allah menghisab mereka dengan suara, susunan huruf, dan dengan bahasa, maka Allah akan membutuhkan waktu beratus-ratus ribu tahun untuk menyelesaikan hisab tersebut, karena makhluk Allah sangat banyak. Kaum Ya’juj dan Ma’juj saja jumlah mereka 100 kalilipat dari jumlah seluruh manusia, bahkan dalam satu riwayat disebutkan jumlah mereka 1000 kali lipat dari jumlah manusia. Belum lagi bangsa jin yang sebagian mereka hidup hingga ribuan tahun. Manusia sendiri, sebelum umat Nabi Muhammad ada yang mencapai umurnya hingga 2000 tahun, ada yang berumur hingga 1000 tahun, dan ada pula yang hanya 100 tahun. Kelak mereka semua akan dihisab, bukan hanya dalam urusan perkataan atau ucapan saja, tapi juga menyangkut segala perbuatan dan keyakinan-keyakinan mereka. Seandainya Kalam Allah berupa suara, huruf, dan bahasa maka dalam menghisab semua makhluk tersebut Allah akan membutuhkan kepada waktu yang sangat panjang. Karena dalam penggunaan huruf-huruf dan bahasa jelas membutuhkan kepada waktu. Huruf berganti huruf, kemudian kata menyusul kata, dan demikian seterusnya. Dan bila demikian maka maka berarti Allah bukan sebagai Asra’ al-Hasibin (Penghisab yang paling cepat), tapi sebaliknya; Abtha’ al-Hasibin (Penghisab yang paling lambat). Tentunya hal ini mustahil bagi Allah.
Dalam ayat lain Allah berfirman:
إنَّمَا أمْرُهُ إذَا أرَادَ شَيْئًا أنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ (يس: 82)
Maknanya ayat ini bukan berarti bahwa setiap Allah berkehendak menciptakan sesuatu, maka dia berkata: “Kun”, dengan huruf “Kaf” dan “Nun” yang artinya “Jadilah…!”. Karena seandainya setiap berkehendak menciptakan sesuatu Allah harus berkata “Kun”, maka dalam setiap saat perbuatan-Nya tidak ada yang lain kecuali hanya berkata-kata: “kun, kun, kun…”. Hal ini tentu mustahil atas Allah. Karena sesungguhnya dalam waktu yang sesaat saja bagi kita, Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu yang tidak terhitung jumlanya. Deburan ombak di lautan, rontoknya dedaunan, tetesan air hujan, tumbuhnya tunas-tunas, kelahiran bayi manusia, kelahiran anak hewan dari induknya, letusan gunung, sakitnya manusia dan kematiannya, serta berbagai peristiwa lainnya, semua itu adalah hal-hal yang telah dikehendaki Allah dan merupakan ciptaan-Nya. Semua perkara tersebut bagi kita terjadi dalam hitungan yang sangat singkat, bisa terjadi secara beruntun bahkan bersamaan.
Adapun sifat perbuatan Allah sendiri (Shifat al-Fi’il) tidak terikat oleh waktu. Allah menciptakan segala sesuatu, sifat perbuatan-Nya atau sifat menciptakan-Nya tersebut tidak boleh dikatakan “dimasa lampau”, “di masa sekarang”, atau “di masa mendatang”. Sebab perbuatan Allah itu azali, tidak seperti perbuatan makhluk yang baharu. Perbuatan Allah tidak terikat oleh waktu, dan tidak dengan mempergunakan alat-alat. Benar, segala kejadian yang terjadi pada alam ini semuanya baharu, semuanya diciptakan oleh Allah, namun sifat perbuatan Allah atau sifat menciptakan Allah (Shifat al-Fi’il) tidak boleh dikatakan baharu.
(Bagian 4 / 4) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA
Diantara dalil lainnya yang menguatkan bahwa al-Kalam adz-Dzati bukan berupa huruf-huruf, bukan suara, dan bukan bahasa adalah firman Allah:
وَهُوَ أسْرَعُ الحَاسِبِيْنَ (الأنْعَامُ:62)
“… dan Dia Allah yang menghisab paling cepat”. (QS.al-An’am: 62)
Pada hari kiamat kelak, Allah akan menghisab seluruh hamba-Nya dari bangsa manusia dan jin. Allah akan memperdengarkan kalam-Nya kepada setiap orang dari mereka. Dan mereka akan memahami dari kalam Allah tersebut pertanyaan-pertanyaan tentang segala apa yang telah mereka kerjakan, segala apa yang mereka katakan, dan apa yang mereka yakini ketika mereka hidup di dunia. Rasulullah bersabda:
مَا مِنْكُمْ مِنُ أحَدٍ إلاَّ سَيُكَلِّمُهُ رَبُّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تُرْجُمَانُ (رَوَاهُ البُخَارِيُّ)
“Setiap orang akan Allah perdengarkan Kalam-Nya kepadanya (menghisabnya) pada hari kiamat, tidak ada penerjemah antara dia dengan Allah”. (HR. al-Bukhari)
Allah akan menghisab seluruh hamba-Nya dalam waktu yang sangat singkat. Seandainya Allah menghisab mereka dengan suara, susunan huruf, dan dengan bahasa, maka Allah akan membutuhkan waktu beratus-ratus ribu tahun untuk menyelesaikan hisab tersebut, karena makhluk Allah sangat banyak. Kaum Ya’juj dan Ma’juj saja jumlah mereka 100 kalilipat dari jumlah seluruh manusia, bahkan dalam satu riwayat disebutkan jumlah mereka 1000 kali lipat dari jumlah manusia. Belum lagi bangsa jin yang sebagian mereka hidup hingga ribuan tahun. Manusia sendiri, sebelum umat Nabi Muhammad ada yang mencapai umurnya hingga 2000 tahun, ada yang berumur hingga 1000 tahun, dan ada pula yang hanya 100 tahun. Kelak mereka semua akan dihisab, bukan hanya dalam urusan perkataan atau ucapan saja, tapi juga menyangkut segala perbuatan dan keyakinan-keyakinan mereka. Seandainya Kalam Allah berupa suara, huruf, dan bahasa maka dalam menghisab semua makhluk tersebut Allah akan membutuhkan kepada waktu yang sangat panjang. Karena dalam penggunaan huruf-huruf dan bahasa jelas membutuhkan kepada waktu. Huruf berganti huruf, kemudian kata menyusul kata, dan demikian seterusnya. Dan bila demikian maka maka berarti Allah bukan sebagai Asra’ al-Hasibin (Penghisab yang paling cepat), tapi sebaliknya; Abtha’ al-Hasibin (Penghisab yang paling lambat). Tentunya hal ini mustahil bagi Allah.
Dalam ayat lain Allah berfirman:
إنَّمَا أمْرُهُ إذَا أرَادَ شَيْئًا أنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ (يس: 82)
Maknanya ayat ini bukan berarti bahwa setiap Allah berkehendak menciptakan sesuatu, maka dia berkata: “Kun”, dengan huruf “Kaf” dan “Nun” yang artinya “Jadilah…!”. Karena seandainya setiap berkehendak menciptakan sesuatu Allah harus berkata “Kun”, maka dalam setiap saat perbuatan-Nya tidak ada yang lain kecuali hanya berkata-kata: “kun, kun, kun…”. Hal ini tentu mustahil atas Allah. Karena sesungguhnya dalam waktu yang sesaat saja bagi kita, Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu yang tidak terhitung jumlanya. Deburan ombak di lautan, rontoknya dedaunan, tetesan air hujan, tumbuhnya tunas-tunas, kelahiran bayi manusia, kelahiran anak hewan dari induknya, letusan gunung, sakitnya manusia dan kematiannya, serta berbagai peristiwa lainnya, semua itu adalah hal-hal yang telah dikehendaki Allah dan merupakan ciptaan-Nya. Semua perkara tersebut bagi kita terjadi dalam hitungan yang sangat singkat, bisa terjadi secara beruntun bahkan bersamaan.
Adapun sifat perbuatan Allah sendiri (Shifat al-Fi’il) tidak terikat oleh waktu. Allah menciptakan segala sesuatu, sifat perbuatan-Nya atau sifat menciptakan-Nya tersebut tidak boleh dikatakan “dimasa lampau”, “di masa sekarang”, atau “di masa mendatang”. Sebab perbuatan Allah itu azali, tidak seperti perbuatan makhluk yang baharu. Perbuatan Allah tidak terikat oleh waktu, dan tidak dengan mempergunakan alat-alat. Benar, segala kejadian yang terjadi pada alam ini semuanya baharu, semuanya diciptakan oleh Allah, namun sifat perbuatan Allah atau sifat menciptakan Allah (Shifat al-Fi’il) tidak boleh dikatakan baharu.
id.shp.ee
Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore | Shopee Indonesia
Beli Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore Original & Terbaru di Shopee. Cek Review Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore. Nikmati Promo Diskon☑ Gratis Ongkir☑ Cashback☑
Kemudian dari pada itu, kata “Kun” adalah bahasa Arab yang merupakan ciptaan Allah (al-Makhluk). Sedangkan Allah adalah Pencipta (Khaliq) bagi segala bahasa. Maka bagaimana mungkin Allah sebagai al-Khaliq membutuhkan kepada ciptaan-Nya sendiri (al-Makhluq)?! Seandainya Kalam Allah merupakan bahasa, tersusun dari huruf-huruf, dan merupakan suara, maka berarti sebelum Allah menciptakan bahasa Dia diam; tidak memiliki sifat Kalam, dan Allah baru memiliki sifat Kalam setelah Dia menciptakan bahasa-bahasa tersebut. Bila seperti ini maka berarti Allah baharu, persis seperti makhluk-Nya, karena Dia berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Tentu hal seperti ini mustahil atas Allah.
Dengan demikian makna yang benar dari ayat dalam QS. Yasin: 82 diatas adalah sebagai ungkapan bahwa Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu tanpa lelah, tanpa kesulitan, dan tanpa ada siapapun yang dapat menghalangi-Nya. Dengan kata lain, bahwa bagi Allah sangat mudah untuk menciptakan segala sesuatu yang Ia kehendaki, sesuatu tersebut dengan cepat akan terjadi, tanpa ada penundaan sedikitpun dari waktu yang Ia kehendakinya.
_
#freetoshare
Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube
Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!
Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
Dengan demikian makna yang benar dari ayat dalam QS. Yasin: 82 diatas adalah sebagai ungkapan bahwa Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu tanpa lelah, tanpa kesulitan, dan tanpa ada siapapun yang dapat menghalangi-Nya. Dengan kata lain, bahwa bagi Allah sangat mudah untuk menciptakan segala sesuatu yang Ia kehendaki, sesuatu tersebut dengan cepat akan terjadi, tanpa ada penundaan sedikitpun dari waktu yang Ia kehendakinya.
_
#freetoshare
Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube
Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!
Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
id.shp.ee
Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore | Shopee Indonesia
Beli Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore Original & Terbaru di Shopee. Cek Review Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore. Nikmati Promo Diskon☑ Gratis Ongkir☑ Cashback☑
Ta'alluq Sifat Qudrah dan Iradah Allah hanya kepada perkara-perkara jaiz 'aqli saja.
Jika ditanya:
Mampukah Allah menciptakan Allah yang lain?
Jawab:
👇🏻👇🏻
https://vt.tiktok.com/ZSYggcfyG/
Jika ditanya:
Mampukah Allah menciptakan Allah yang lain?
Jawab:
👇🏻👇🏻
https://vt.tiktok.com/ZSYggcfyG/
TikTok
TikTok · Tauhid Corner
Check out Tauhid Corner’s video.
IMAN DENGAN PARA RASUL ALLAH
(Bagian 1 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA
Dalam al-Qur’an Alah berfirman:
ءَامَنَ الرّسُولُ بِمَا أنْزِلَ إلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالمُؤمِنُونَ كُلٌّ ءَامَنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ (البقرة:285)
“Rasulullah (Muhammad) telah beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan kepadanya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya, (mereka mengatakan), kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari Rasul-rasul-Nya”. (QS. al-Baqarah: 285)
Diantara dasar-dasar iman yang enam (Ushul al-Iman as-Sittah) setelah iman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, dan kitab-kitab-Nya adalah iman kepada Rasul-rasul Allah. Iman kepada para Rasul artinya meyakini bahwa Allah telah memilih mereka untuk mengemban tugas kenabian dan menyampaikan misi kerasulan, dan bahwa Allah telah memuliakan mereka dengan wahyu sebagai petunjuk dari-Nya untuk para hamba-Nya, serta meyakini bahwa Allah telah memberikan kepada mereka beberapa kekuatan sebagai mu’jizat sehingga mereka mampu melaksanakan tugas-tugasnya tersebut.
Kemudian yang dimaksud beriman kepada para Rasul Allah artinya mencakup juga beriman kepada para Nabi yang bukan sebagai Rasul. Dengan demikian, iman kepada para Rasul Allah adalah mempercayai utusan-utusan Allah, baik yang sebagai Rasul, maupun yang hanya Nabi saja. Adapun Nabi yang sekaligus sebagai Rasul pertama adalah Adam, dan Nabi serta Rasul terakhir adalah Nabi Muhammad -‘Alaihimash-Shalah Wa as-Salam–.
Para Nabi dan Rasul diutus oleh Allah merupakan karunia dan rahmat dari-Nya bagi para hamba-Nya. Karena dengan akal semata manusia tidak akan mampu mengetahui perkara-perkara yang bisa menyelamatkannya di akhirat kelak. Maka dengan diutusnya para Nabi dan Rasul, menjadi dapat diperoleh maslahat-maslahat yang pokok bagi manusia, karena memang manusia sangat membutuhkan kepada kehadiran para Nabi dan para Rasul.
_
#freetoshare
Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube
Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!
Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
(Bagian 1 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA
Dalam al-Qur’an Alah berfirman:
ءَامَنَ الرّسُولُ بِمَا أنْزِلَ إلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالمُؤمِنُونَ كُلٌّ ءَامَنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ (البقرة:285)
“Rasulullah (Muhammad) telah beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan kepadanya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya, (mereka mengatakan), kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari Rasul-rasul-Nya”. (QS. al-Baqarah: 285)
Diantara dasar-dasar iman yang enam (Ushul al-Iman as-Sittah) setelah iman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, dan kitab-kitab-Nya adalah iman kepada Rasul-rasul Allah. Iman kepada para Rasul artinya meyakini bahwa Allah telah memilih mereka untuk mengemban tugas kenabian dan menyampaikan misi kerasulan, dan bahwa Allah telah memuliakan mereka dengan wahyu sebagai petunjuk dari-Nya untuk para hamba-Nya, serta meyakini bahwa Allah telah memberikan kepada mereka beberapa kekuatan sebagai mu’jizat sehingga mereka mampu melaksanakan tugas-tugasnya tersebut.
Kemudian yang dimaksud beriman kepada para Rasul Allah artinya mencakup juga beriman kepada para Nabi yang bukan sebagai Rasul. Dengan demikian, iman kepada para Rasul Allah adalah mempercayai utusan-utusan Allah, baik yang sebagai Rasul, maupun yang hanya Nabi saja. Adapun Nabi yang sekaligus sebagai Rasul pertama adalah Adam, dan Nabi serta Rasul terakhir adalah Nabi Muhammad -‘Alaihimash-Shalah Wa as-Salam–.
Para Nabi dan Rasul diutus oleh Allah merupakan karunia dan rahmat dari-Nya bagi para hamba-Nya. Karena dengan akal semata manusia tidak akan mampu mengetahui perkara-perkara yang bisa menyelamatkannya di akhirat kelak. Maka dengan diutusnya para Nabi dan Rasul, menjadi dapat diperoleh maslahat-maslahat yang pokok bagi manusia, karena memang manusia sangat membutuhkan kepada kehadiran para Nabi dan para Rasul.
_
#freetoshare
Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube
Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!
Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
id.shp.ee
Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore | Shopee Indonesia
Beli Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore Original & Terbaru di Shopee. Cek Review Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore. Nikmati Promo Diskon☑ Gratis Ongkir☑ Cashback☑
Media is too big
VIEW IN TELEGRAM
Aqidah 50 Perkara | Aqidatul Khamsin | Aqidah Seket
IMAN DENGAN PARA RASUL ALLAH
(Bagian 2 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA
Kenabian (An-Nubuwwah)
Kata an-Nubuwwah berasal dari kata an-naba’ yang berarti kabar atau berita, karena kenabian adalah penyampaian berita atau pemberitaan dari Allah. Atau kata tersebut berasal dari kata an-Nabwah yang bererti ar-Rif’ah yang berarti ketinggian, karena memang derajat para Nabi sangat tinggi dan mulia. Kerasulan adalah derajat yang paling tinggi dan mulia. Tidak ada derajat amal ibadah, keta’atan, kemuliaan, dan kehormatan menurut Allah yang melebihi diatas kerasulan.
Kenabian tidak dapat diperoleh dengan jalan ibadah yang sungguh-sungguh, dengan memperbanyak amal saleh, maupun dengan memperindah akhlak. Kenabian bukan sesuatu yang bisa diperoleh dengan jalan usaha dan upaya (Ghair Muktasab). Kenabian adalah murni pemilihan dan pemberian Allah kepada beberapa hamba-Nya yang Ia kehendaki. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
يُؤْتِي الحِكْمَةَمَنْ يَشَاءُ (البقرة: 269)
“Allah menganugerahkan al-Hikmah kepada siapa saja yang Ia kehendaki”.(QS. al-Baqarah: 269).
Yang dimaksud al-Hikmah dalam ayat tersebut adalah “an-Nubuwwah Wa ar-Risalah”, artinya kenabian dan kerasulan. Demikian ditafsirkan oleh sahabat ‘Abdullah ibn Mas’ud, sebagaimana dikutip oleh al-Imam Ibn Furak kitab al-Mujarrad.
Para Nabi dan para Rasul pasti lebih sempurna dan lebih unggul dari pada para umat Nabi dan Rasul itu sendiri (Mursal Ilaihim), baik dalam segi kecerdasan, keutamaan, pengetahuan, kesalehan, sifat iffah (kejauhandari maksiat), keberanian, kedermawanan, kezuhudan, dan dalam berbagai hal lainnya. Allah berfirman:
إنَّ اللهَ اصْطَفَى ءَادَمَ وَنُوحًا وَءَالَ إبْرَاهِيْمَ وَءَالَ عِمْرَانَ عَلَى العَالَمِيْنَ (ءال عمران: 33)
“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat”. (QS. Ali Imran: 33)
Nabi tidak ada yang seorang perempuan, atau yang berstatus sebagai budak atau hamba sahaya. Seorang Nabi harus sempurna memiliki panca indra, karena hal ini sangat perlu dalam mengemban tugas risalah dan segala hal yang berkaitan dengannya. Rasulullah bersabda:
مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيًّا إلاّ حَسَنَ الوَجْهِ حََسَنَ الصَّوْتِ وَإنَّ نَبِيَّكُمْ أحْسَنُهُمْ وَجْهًا وَأحْسَنُهُمْ صَوتًا (رَوَاهُ التِّرمذِيُّ)
“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan ia bagus wajahnya, dan indah suaranya, dan sesungguhnya Nabi kalian (Muhammad) adalah yang paling tampan wajahnya dan paling indah suaranya diantara mereka”. (HR. at-Tirmidzi).
_
#freetoshare
Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube
Jangan lupa _share_ jika tulisan ini bermanfaat!
Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
(Bagian 2 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA
Kenabian (An-Nubuwwah)
Kata an-Nubuwwah berasal dari kata an-naba’ yang berarti kabar atau berita, karena kenabian adalah penyampaian berita atau pemberitaan dari Allah. Atau kata tersebut berasal dari kata an-Nabwah yang bererti ar-Rif’ah yang berarti ketinggian, karena memang derajat para Nabi sangat tinggi dan mulia. Kerasulan adalah derajat yang paling tinggi dan mulia. Tidak ada derajat amal ibadah, keta’atan, kemuliaan, dan kehormatan menurut Allah yang melebihi diatas kerasulan.
Kenabian tidak dapat diperoleh dengan jalan ibadah yang sungguh-sungguh, dengan memperbanyak amal saleh, maupun dengan memperindah akhlak. Kenabian bukan sesuatu yang bisa diperoleh dengan jalan usaha dan upaya (Ghair Muktasab). Kenabian adalah murni pemilihan dan pemberian Allah kepada beberapa hamba-Nya yang Ia kehendaki. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
يُؤْتِي الحِكْمَةَمَنْ يَشَاءُ (البقرة: 269)
“Allah menganugerahkan al-Hikmah kepada siapa saja yang Ia kehendaki”.(QS. al-Baqarah: 269).
Yang dimaksud al-Hikmah dalam ayat tersebut adalah “an-Nubuwwah Wa ar-Risalah”, artinya kenabian dan kerasulan. Demikian ditafsirkan oleh sahabat ‘Abdullah ibn Mas’ud, sebagaimana dikutip oleh al-Imam Ibn Furak kitab al-Mujarrad.
Para Nabi dan para Rasul pasti lebih sempurna dan lebih unggul dari pada para umat Nabi dan Rasul itu sendiri (Mursal Ilaihim), baik dalam segi kecerdasan, keutamaan, pengetahuan, kesalehan, sifat iffah (kejauhandari maksiat), keberanian, kedermawanan, kezuhudan, dan dalam berbagai hal lainnya. Allah berfirman:
إنَّ اللهَ اصْطَفَى ءَادَمَ وَنُوحًا وَءَالَ إبْرَاهِيْمَ وَءَالَ عِمْرَانَ عَلَى العَالَمِيْنَ (ءال عمران: 33)
“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat”. (QS. Ali Imran: 33)
Nabi tidak ada yang seorang perempuan, atau yang berstatus sebagai budak atau hamba sahaya. Seorang Nabi harus sempurna memiliki panca indra, karena hal ini sangat perlu dalam mengemban tugas risalah dan segala hal yang berkaitan dengannya. Rasulullah bersabda:
مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيًّا إلاّ حَسَنَ الوَجْهِ حََسَنَ الصَّوْتِ وَإنَّ نَبِيَّكُمْ أحْسَنُهُمْ وَجْهًا وَأحْسَنُهُمْ صَوتًا (رَوَاهُ التِّرمذِيُّ)
“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan ia bagus wajahnya, dan indah suaranya, dan sesungguhnya Nabi kalian (Muhammad) adalah yang paling tampan wajahnya dan paling indah suaranya diantara mereka”. (HR. at-Tirmidzi).
_
#freetoshare
Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube
Jangan lupa _share_ jika tulisan ini bermanfaat!
Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
id.shp.ee
Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore | Shopee Indonesia
Beli Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore Original & Terbaru di Shopee. Cek Review Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore. Nikmati Promo Diskon☑ Gratis Ongkir☑ Cashback☑
Selagi stok masih ada, silahkan pesan bagi yang berminat:
Penjelasan Lengkap Allah Ada Tanpa Tempat dan Tanpa Arah dari Para Ulama Ahlussunah Lintas Masa >>> https://id.shp.ee/pUo4jSA
Shopee : https://shopee.co.id/nurulhikmahpress
WhatsApp : https://wa.me/c/6287878023938
Penjelasan Lengkap Allah Ada Tanpa Tempat dan Tanpa Arah dari Para Ulama Ahlussunah Lintas Masa >>> https://id.shp.ee/pUo4jSA
Shopee : https://shopee.co.id/nurulhikmahpress
WhatsApp : https://wa.me/c/6287878023938
*IMAN DENGAN PARA RASUL ALLAH*
(Bagian 3 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA
*Perbedaan Nabi Dan Rasul*
Nabi dan Rasul sama-sama menerima wahyu dari Allah, dan kedua diperintah untuk menyampaikan wahyu tersebut. Artinya, baik Nabi maupun Rasul wajib bertabligh. Adapun perbedaan antara Nabi dan Rasul adalah sebagai berikut:
A. Rasul ialah seorang yang menerima wahyu dari Allah yang menghapus (Nasikh) sebagian hukum-hukum syari’at Rasul sebelumnya, atau ia membawa hukum-hukum yang baru sama sekali. Artinya membawa hukum-hukum yang belum pernah dibawa oleh Rasul-Rasul sebelumnya. Sedangkan seorang Nabi yang bukan Rasul ialah seorang yang menerima wahyu dari Allah dan datang dengan mengikuti syari’at Rasul sebelumnya.
Keduanya, baik Rasul maupun yang Nabi saja wajib bertabligh kepada umat. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:
الأنبيَاءُ إخْوَةٌ لِعَلاّتٍ دِيْنُهُمْ وَاحِدٌ وَأمَّهَاتُهُمْ شَتَّى (رَوَاهُ الشّيْخَان)
“Para nabi (bagaikan) saudara seayah, -artinya- agama mereka satu (yaitu Islam) dan ibu-ibu mereka (artinya syari’at-syari’at mereka) berbeda-beda”. (HR. al-Bukhari, Muslim, Ibn Hibban, Ahmad ibn Hanbal dan lainnya).
https://linktr.ee/tauhidcorner
Contoh perbedaan hukum-hukum syari’at; di dalam syari’at Nabi Ya’qub diperbolehkan seorang laki-laki menikahi dua perempuan bersaudara sekaligus. Sedangkan hal ini diharamkan di dalam syari’at Nabi Muhammad.
B. Kerasulan berlaku di kalangan manusia dan Malaikat, sedangkan kenabian hanya berlaku dikalangan manusia saja. Allah berfirman:
اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ (الحج: 75)
“Allah memilih utusan-utusan-Nya (para Rasul-Nya) dari kalangan Malaikat dan dari kalangan manusia”. (QS. al-Hajj: 75)
Rasuldari kalangan Malaikat di antaranya seperti Jibril. Beliau bertugas untuk menyampaikan perintah-perintah Allah kepada para Malaikat lainnya, di samping manyampaikan wahyu-wahyu Allah kepada para Nabi dan para Rasul dari kalangan manusia.
Seperti halnya para Rasul, para Nabi juga diperintah untuk bertabligh. Artinya diperintah untuk menyampaikan apa yang diwahyukan oleh Allah kepada mereka bagi segenap manusia. Dengan demikian bukan hanya para Rasul saja yang wajib bertabligh, tapi juga para Nabi. Inilah pemahaman yang sesuai dengan nash-nash al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah. Karena di antara hikmah diangkatnya seseorang menjadi Nabi adalah untuk menyebarkan petunjuk yang ia terima kepada umat. Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukan bahwa para Nabi diperintahkan untuk bertabligh. Diantaranya firman Allah:
وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا أَخَذْنَا أَهْلَهَا بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَضَّرَّعُونَ (الأعراف: 94)
“Kami (Allah) tidak-lah mengutus seorang Nabi-pun kepada suatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan Nabi itu) melainkan kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendah kandiri”. (QS al-A’raf: 94)
Makna “al-Irsal” (pengutusan) terhadap seorang Nabi yang disebutkan dalam ayat di atas artinya pengutusan untuk bertabligh dan menyeru kepada segenap umat untuk menyembah Allah.
Dari sini kita dapat tarik kesimpulan bahwa sebagian definisi tentang Nabi dan Rasul yang berkembang di sebagian masyarakat kita, mengatakan: “Seorang Rasul mendapatkan wahyu dan wajib atau diperintah bertabligh, sedangkan seorang Nabi menerima wahyu tetapi tidak diperintah dan tidak wajib untuk bertabligh” adalah definisi yang tidak sejalan dengan nash-nash al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah.
Dalam ayat lain Allahberfirman:
وَكَمْ أَرْسَلْنَا مِنْ نَبِيٍّ فِي الْأَوَّلِينَ، وَمَا يَأْتِيهِمْ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ (الزخرف: 6-7)
“Alangkah banyak Nabi-Nabi yang telah Kami utus kepada umat-umat terdahulu. Dan tidak ada seorang Nabi-pun yang datang kepada mereka kecuali mereka selalu memperolok-oloknya”. (QS. az-Zukhruf: 6-7).
(Bagian 3 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA
*Perbedaan Nabi Dan Rasul*
Nabi dan Rasul sama-sama menerima wahyu dari Allah, dan kedua diperintah untuk menyampaikan wahyu tersebut. Artinya, baik Nabi maupun Rasul wajib bertabligh. Adapun perbedaan antara Nabi dan Rasul adalah sebagai berikut:
A. Rasul ialah seorang yang menerima wahyu dari Allah yang menghapus (Nasikh) sebagian hukum-hukum syari’at Rasul sebelumnya, atau ia membawa hukum-hukum yang baru sama sekali. Artinya membawa hukum-hukum yang belum pernah dibawa oleh Rasul-Rasul sebelumnya. Sedangkan seorang Nabi yang bukan Rasul ialah seorang yang menerima wahyu dari Allah dan datang dengan mengikuti syari’at Rasul sebelumnya.
Keduanya, baik Rasul maupun yang Nabi saja wajib bertabligh kepada umat. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:
الأنبيَاءُ إخْوَةٌ لِعَلاّتٍ دِيْنُهُمْ وَاحِدٌ وَأمَّهَاتُهُمْ شَتَّى (رَوَاهُ الشّيْخَان)
“Para nabi (bagaikan) saudara seayah, -artinya- agama mereka satu (yaitu Islam) dan ibu-ibu mereka (artinya syari’at-syari’at mereka) berbeda-beda”. (HR. al-Bukhari, Muslim, Ibn Hibban, Ahmad ibn Hanbal dan lainnya).
https://linktr.ee/tauhidcorner
Contoh perbedaan hukum-hukum syari’at; di dalam syari’at Nabi Ya’qub diperbolehkan seorang laki-laki menikahi dua perempuan bersaudara sekaligus. Sedangkan hal ini diharamkan di dalam syari’at Nabi Muhammad.
B. Kerasulan berlaku di kalangan manusia dan Malaikat, sedangkan kenabian hanya berlaku dikalangan manusia saja. Allah berfirman:
اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ (الحج: 75)
“Allah memilih utusan-utusan-Nya (para Rasul-Nya) dari kalangan Malaikat dan dari kalangan manusia”. (QS. al-Hajj: 75)
Rasuldari kalangan Malaikat di antaranya seperti Jibril. Beliau bertugas untuk menyampaikan perintah-perintah Allah kepada para Malaikat lainnya, di samping manyampaikan wahyu-wahyu Allah kepada para Nabi dan para Rasul dari kalangan manusia.
Seperti halnya para Rasul, para Nabi juga diperintah untuk bertabligh. Artinya diperintah untuk menyampaikan apa yang diwahyukan oleh Allah kepada mereka bagi segenap manusia. Dengan demikian bukan hanya para Rasul saja yang wajib bertabligh, tapi juga para Nabi. Inilah pemahaman yang sesuai dengan nash-nash al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah. Karena di antara hikmah diangkatnya seseorang menjadi Nabi adalah untuk menyebarkan petunjuk yang ia terima kepada umat. Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukan bahwa para Nabi diperintahkan untuk bertabligh. Diantaranya firman Allah:
وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا أَخَذْنَا أَهْلَهَا بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَضَّرَّعُونَ (الأعراف: 94)
“Kami (Allah) tidak-lah mengutus seorang Nabi-pun kepada suatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan Nabi itu) melainkan kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendah kandiri”. (QS al-A’raf: 94)
Makna “al-Irsal” (pengutusan) terhadap seorang Nabi yang disebutkan dalam ayat di atas artinya pengutusan untuk bertabligh dan menyeru kepada segenap umat untuk menyembah Allah.
Dari sini kita dapat tarik kesimpulan bahwa sebagian definisi tentang Nabi dan Rasul yang berkembang di sebagian masyarakat kita, mengatakan: “Seorang Rasul mendapatkan wahyu dan wajib atau diperintah bertabligh, sedangkan seorang Nabi menerima wahyu tetapi tidak diperintah dan tidak wajib untuk bertabligh” adalah definisi yang tidak sejalan dengan nash-nash al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah.
Dalam ayat lain Allahberfirman:
وَكَمْ أَرْسَلْنَا مِنْ نَبِيٍّ فِي الْأَوَّلِينَ، وَمَا يَأْتِيهِمْ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ (الزخرف: 6-7)
“Alangkah banyak Nabi-Nabi yang telah Kami utus kepada umat-umat terdahulu. Dan tidak ada seorang Nabi-pun yang datang kepada mereka kecuali mereka selalu memperolok-oloknya”. (QS. az-Zukhruf: 6-7).
Linktree
tauhidcorner | Instagram, Facebook, TikTok | Linktree
Linktree. Make your link do more.
Ayat ini dengan jelas memberikan pemahaman bahwa para Nabi wajib melakukan tabligh. Yaitu wajib menyampaikan apa yang diwahyukan oleh Allah kepada mereka bagi segenap umat. Selain dua ayat ini, masih banyak ayat-ayat lainnya yang menunjukan hal tersebut. Seperti di antaranya dalam QS. al-Hajj: 52, QS. Saba’:34, dan lainnya.
Inilah keterangan tentang perbedaan antara Nabi dan Rasul yang telah ditegaskan oleh para ulama Muhaqqiqin, seperti al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam Kitab Ushuluddin [1], al-Imam al-Baidlawi dalam Tafsir al-Baidlawi [2], al-Imam al-Qunawi dalam Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah [3], al-‘Allamah al-Bayyadli dalam kitab Isyarat al-Maram Min ‘Ibaratal-Imam [4], al-Imam al-Munawi dalam kitab al-Faidl al-Qadir [5], dan oleh para ulama terkemuka lainnya.
Ini adalah pemahaman yang sesuai bagi derajat kenabian. Karena itu kita meyakini sepenuhnya bahwa semua Nabi diperintah untuk mengemban tugas kenabian dan mereka semua telah menunaikan tugas tersebut dengan sangat baik dan sempurna. Bukankah termasuk di antara sifat-saifat para Nabi adalah tabligh?! Bila seorang muslim biasa saja, -yang bukan sebagai Nabi juga bukan seorang Rasul-, telah diwajibkan dan diperintah untuk bertabligh, yaitu mengajak kepada perkara-perkara yang diperintahkan oleh Allah (al-Ma’ruf) dan mencegah dari perkara-perkara yang dilarang oleh Allah (al-Munkar), maka terlebih lagi bagi seorang yang diangkat menjadi Nabi, tentunya kewajiban bertabligh tersebut sudah pasti ada.
_
#freetoshare
*Follow medsos kami @tauhidcorner*
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube
*Jangan lupa _share_ jika tulisan ini bermanfaat!*
Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
Inilah keterangan tentang perbedaan antara Nabi dan Rasul yang telah ditegaskan oleh para ulama Muhaqqiqin, seperti al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam Kitab Ushuluddin [1], al-Imam al-Baidlawi dalam Tafsir al-Baidlawi [2], al-Imam al-Qunawi dalam Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah [3], al-‘Allamah al-Bayyadli dalam kitab Isyarat al-Maram Min ‘Ibaratal-Imam [4], al-Imam al-Munawi dalam kitab al-Faidl al-Qadir [5], dan oleh para ulama terkemuka lainnya.
Ini adalah pemahaman yang sesuai bagi derajat kenabian. Karena itu kita meyakini sepenuhnya bahwa semua Nabi diperintah untuk mengemban tugas kenabian dan mereka semua telah menunaikan tugas tersebut dengan sangat baik dan sempurna. Bukankah termasuk di antara sifat-saifat para Nabi adalah tabligh?! Bila seorang muslim biasa saja, -yang bukan sebagai Nabi juga bukan seorang Rasul-, telah diwajibkan dan diperintah untuk bertabligh, yaitu mengajak kepada perkara-perkara yang diperintahkan oleh Allah (al-Ma’ruf) dan mencegah dari perkara-perkara yang dilarang oleh Allah (al-Munkar), maka terlebih lagi bagi seorang yang diangkat menjadi Nabi, tentunya kewajiban bertabligh tersebut sudah pasti ada.
_
#freetoshare
*Follow medsos kami @tauhidcorner*
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube
*Jangan lupa _share_ jika tulisan ini bermanfaat!*
Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
id.shp.ee
Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore | Shopee Indonesia
Beli Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore Original & Terbaru di Shopee. Cek Review Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore. Nikmati Promo Diskon☑ Gratis Ongkir☑ Cashback☑
*IMAN DENGAN PARA RASUL ALLAH*
(Bagian 4 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA
*Jumlah Para Nabi Dan Rasul*
Para ulama berbeda pendapat tentang menetapkan jumlah bagi para Nabi dan Rasul, sebagai berikut:
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa jumlah para Nabi adalah 124.000 (seratus dua puluh empat ribu) Nabi. Dan sebanyak 313 orang dari jumlah tersebut adalah sekaligus memiliki predikat sebagai Rasul. Keterangan ini berdasarkan kepada sebuah hadits riwayat Ibn Hibban dari sahabat Abu Dzarr, dari Rasulullah.
2. Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa yang benar kita tidak harus memastikan jumlah tertentu bagi jumlah para Nabi tersebut. Karena dengan menentukan jumlah tertentu dikhawatirkan akan memasukkan yang bukan bagian dari mereka, atau sebaliknya, tidak memasukkan yang sebenarnya bagian dari mereka. Adapun hadits riwayat Ibn Hibban di atas menurut pendapat kedua ini adalah hadits yang masih diperselisihkan tentang keshahihannya (Mukhtalaf Fi Shihhatih).
Nabi dan Rasul pertama adalah Nabi Adam, dan Nabi serta Rasul terakhir adalah Nabi Muhammad -‘Alaihim ash-Shalah Wa as-Salam-. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Adam bukan seorang Nabi dan Rasul, atau mengatakan bahwa Adam adalah seorang Nabi saja, bukan seorang Rasul, adalah pendapat sesat dan batil [6].
Secara umum para Rasul lebih utama dari pada Nabi yang bukan Rasul. Ada lima orang Nabi yang paling utama, mereka adalah; Muhammad, Ibrahim, Musa, ‘Isa, dan Nuh. Dan yang paling utama diantara mereka adalah Nabi Muhammad. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa sahabat Abu Hurairah berkata:
خِيَارُ الأنْبِيَاءِ خَمْسَةٌ مُحَمَّدٌ وَإبْرَاهِيْمُ وَمُوْسَى وَعِيْسَى وَنُوْحٌ وَخِيَارُهُمْ مُحَمَّدٌ (صَلّى اللهُ عَليه وسَلّم)
“Para Nabi pilihan (diantara nabi yang lain) adalah Muhammad, Ibrahim, Musa, Isa, Nuh (dengan urutan seperti ini) dan yang paling utama diantara mereka adalah Muhammad”.
Kelima Nabi tersebut dikenal dengan sebutan ‘Ulul ‘Azmi al-Khamsah. Disebut demikian karena mereka telah mencapai puncak kesabaran dan keteguhan dalam memegang teguh ajaran-ajaran Islam dan dalam berdakwah kepadanya. Adapun mengutamakan sebagian Nabi atas sebagian yang lainnya tanpa didasarkan kepada nash-nash yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan hadits maka hal itu tidak dibenarkan.
Kemudian, dua puluh lima Nabi yang disebutkan dalam al-Qur’an kebanyakan mereka adalah sebagai Rasul, dan ada beberapa saja yang bukan Rasul.
__
[6] Sebagian orang dari kaum Wahhabiyyah mengingkari kenabian dan kerasulan Nabi Adam. Mereka mengatakan bahwa Rasul pertama adalah Nuh. Ini adalah pendapat sesat dan menyesatkan. Pendapat ini tertulis dalam buku mereka berjudul “al-Iman Bi al-Anbiya’ Bi Jumlatihim”, h. 15
_
#freetoshare
*Follow medsos kami @tauhidcorner*
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube
*Jangan lupa _share_ jika tulisan ini bermanfaat!*
Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
(Bagian 4 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA
*Jumlah Para Nabi Dan Rasul*
Para ulama berbeda pendapat tentang menetapkan jumlah bagi para Nabi dan Rasul, sebagai berikut:
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa jumlah para Nabi adalah 124.000 (seratus dua puluh empat ribu) Nabi. Dan sebanyak 313 orang dari jumlah tersebut adalah sekaligus memiliki predikat sebagai Rasul. Keterangan ini berdasarkan kepada sebuah hadits riwayat Ibn Hibban dari sahabat Abu Dzarr, dari Rasulullah.
2. Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa yang benar kita tidak harus memastikan jumlah tertentu bagi jumlah para Nabi tersebut. Karena dengan menentukan jumlah tertentu dikhawatirkan akan memasukkan yang bukan bagian dari mereka, atau sebaliknya, tidak memasukkan yang sebenarnya bagian dari mereka. Adapun hadits riwayat Ibn Hibban di atas menurut pendapat kedua ini adalah hadits yang masih diperselisihkan tentang keshahihannya (Mukhtalaf Fi Shihhatih).
Nabi dan Rasul pertama adalah Nabi Adam, dan Nabi serta Rasul terakhir adalah Nabi Muhammad -‘Alaihim ash-Shalah Wa as-Salam-. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Adam bukan seorang Nabi dan Rasul, atau mengatakan bahwa Adam adalah seorang Nabi saja, bukan seorang Rasul, adalah pendapat sesat dan batil [6].
Secara umum para Rasul lebih utama dari pada Nabi yang bukan Rasul. Ada lima orang Nabi yang paling utama, mereka adalah; Muhammad, Ibrahim, Musa, ‘Isa, dan Nuh. Dan yang paling utama diantara mereka adalah Nabi Muhammad. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa sahabat Abu Hurairah berkata:
خِيَارُ الأنْبِيَاءِ خَمْسَةٌ مُحَمَّدٌ وَإبْرَاهِيْمُ وَمُوْسَى وَعِيْسَى وَنُوْحٌ وَخِيَارُهُمْ مُحَمَّدٌ (صَلّى اللهُ عَليه وسَلّم)
“Para Nabi pilihan (diantara nabi yang lain) adalah Muhammad, Ibrahim, Musa, Isa, Nuh (dengan urutan seperti ini) dan yang paling utama diantara mereka adalah Muhammad”.
Kelima Nabi tersebut dikenal dengan sebutan ‘Ulul ‘Azmi al-Khamsah. Disebut demikian karena mereka telah mencapai puncak kesabaran dan keteguhan dalam memegang teguh ajaran-ajaran Islam dan dalam berdakwah kepadanya. Adapun mengutamakan sebagian Nabi atas sebagian yang lainnya tanpa didasarkan kepada nash-nash yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan hadits maka hal itu tidak dibenarkan.
Kemudian, dua puluh lima Nabi yang disebutkan dalam al-Qur’an kebanyakan mereka adalah sebagai Rasul, dan ada beberapa saja yang bukan Rasul.
__
[6] Sebagian orang dari kaum Wahhabiyyah mengingkari kenabian dan kerasulan Nabi Adam. Mereka mengatakan bahwa Rasul pertama adalah Nuh. Ini adalah pendapat sesat dan menyesatkan. Pendapat ini tertulis dalam buku mereka berjudul “al-Iman Bi al-Anbiya’ Bi Jumlatihim”, h. 15
_
#freetoshare
*Follow medsos kami @tauhidcorner*
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube
*Jangan lupa _share_ jika tulisan ini bermanfaat!*
Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
id.shp.ee
Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore | Shopee Indonesia
Beli Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore Original & Terbaru di Shopee. Cek Review Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore. Nikmati Promo Diskon☑ Gratis Ongkir☑ Cashback☑
*IMAN DENGAN PARA RASUL ALLAH*
(Bagian 5 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA
*Pembenaran Terhadap Semua Nabi Dan Rasul*
Semua Nabi membawa misi pembenaran terhadap semua Nabi-Nabi Allah sebelumnya. Artinya, semua Nabi dan Rasul datang dengan membawa prinsip dan misi yang sama. Yaitu membawa misi mentauhidkan Allah, dan datang dengan membawa satu agama yaitu agama Islam.Nabi Muhammad bukan sebagai Nabi pertama yang membawa agama Islam, melainkan beliau datang untuk memperbaharui dakwah kepada agama Allah tersebut. Karena itu semua Nabi beragama Islam. Nabi Adam seorang muslim, Nabi Ibrahim muslim, Nabi Musa muslim, Nabi ‘Isa muslim, dan seluruh Nabi Allah adalah orang-orang Islam. Perbedaan diantara para Nabi tersebut hanya pada syari’at yang mereka bawa. Tentang hal ini secara eksplisit al-Qur’an menyebutkan:
مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (ءال عمران: 67)
“Ibrahim bukanlah seorang yang memeluk agama orang-orang Yahudi dan Nasrani, melainkania adalah seorang muslim, dan tidak-lah ia termasuk orang-orang yang musyrik”.(QS. Ali ‘Imran: 67)
Atas dasar ini maka kita wajib membenarkan semua para Nabi dan Rasul yang telah diutus oleh Allah. Semua Nabi Allah, yaitu seseorang yang mengaku sebagai Nabi dimasa berlakunya kemungkinan itu yaitu sebelum diutusnya Nabi terakhir; Nabi Muhammad, dibenarkan pengakuannya bila ia menunjukkan mukjizat sebagai bukti kebenarannya, juga mereka semua dibenarkan karena semuanya datang dengan membawa agama Islam. Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi ‘Isa, dan seluruh Nabi lainnya, semuanya wajib dibenarkan sebagai Nabi-Nabi Allah karena semuanya datang dengan membawa agama Islam, yang inti ajarannya adalah mentauhidkan Allah.
Inilah yang dimaksud “persaksian” Nabi Muhammad dan seluruh orang Islam dalam al-Qur’an yang terdapat pada QS. al-Baqarah: 285, yang telah disebutkan pada awal tema ini: “Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya, (mereka mengatakan), kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari Rasul-rasul-Nya”.
Kandungan ayat ini sama sekali bukan merupakan pengakuan, pembenaran, atau legitimasi bagi apa yang diyakini oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani di masa sekarang. Karena mereka telah menyelewengkan agama Islam dan ajara-ajaran yang telah dibawa oleh Nabi Musa dan Nabi ‘Isa. Karena itu, menyatukan agama Yahudi, agama Nasrani dan agama Islam di dalam satu rumpun, sebagai “Agama Monotheisme”, atau sebagai agama-agama yang menyeru kepada mentauhidkan Allah, adalah pendapat yang sama sekali tidak berdasar. Karena pada kenyataannnya hanya agama Islam saja yang masih murni dan konsisten menyeru kepada mentuhidkan Allah.
Dengan demikian tidak boleh dikatakan bahwa agama samawi ada tiga; Islam, Yahudi, dan Nasrani. Karena agama samawi hanya satu, yaitu agama Islam. Tidak boleh kita mengatakan “al-Adyan as-Samawiyyah” (agama-agama samawi), tetapi yang benar adalah “ad-Dinas-Samawi”, karena hanya agama Islam agama yang diridlai oleh Allah dan dibawa oleh seluruh Nabi dan para Rasul-Nya.
_
#freetoshare
*Follow medsos kami @tauhidcorner*
https://linktr.ee/tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube
*Jangan lupa _share_ jika tulisan ini bermanfaat!*
Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
(Bagian 5 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA
*Pembenaran Terhadap Semua Nabi Dan Rasul*
Semua Nabi membawa misi pembenaran terhadap semua Nabi-Nabi Allah sebelumnya. Artinya, semua Nabi dan Rasul datang dengan membawa prinsip dan misi yang sama. Yaitu membawa misi mentauhidkan Allah, dan datang dengan membawa satu agama yaitu agama Islam.Nabi Muhammad bukan sebagai Nabi pertama yang membawa agama Islam, melainkan beliau datang untuk memperbaharui dakwah kepada agama Allah tersebut. Karena itu semua Nabi beragama Islam. Nabi Adam seorang muslim, Nabi Ibrahim muslim, Nabi Musa muslim, Nabi ‘Isa muslim, dan seluruh Nabi Allah adalah orang-orang Islam. Perbedaan diantara para Nabi tersebut hanya pada syari’at yang mereka bawa. Tentang hal ini secara eksplisit al-Qur’an menyebutkan:
مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (ءال عمران: 67)
“Ibrahim bukanlah seorang yang memeluk agama orang-orang Yahudi dan Nasrani, melainkania adalah seorang muslim, dan tidak-lah ia termasuk orang-orang yang musyrik”.(QS. Ali ‘Imran: 67)
Atas dasar ini maka kita wajib membenarkan semua para Nabi dan Rasul yang telah diutus oleh Allah. Semua Nabi Allah, yaitu seseorang yang mengaku sebagai Nabi dimasa berlakunya kemungkinan itu yaitu sebelum diutusnya Nabi terakhir; Nabi Muhammad, dibenarkan pengakuannya bila ia menunjukkan mukjizat sebagai bukti kebenarannya, juga mereka semua dibenarkan karena semuanya datang dengan membawa agama Islam. Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi ‘Isa, dan seluruh Nabi lainnya, semuanya wajib dibenarkan sebagai Nabi-Nabi Allah karena semuanya datang dengan membawa agama Islam, yang inti ajarannya adalah mentauhidkan Allah.
Inilah yang dimaksud “persaksian” Nabi Muhammad dan seluruh orang Islam dalam al-Qur’an yang terdapat pada QS. al-Baqarah: 285, yang telah disebutkan pada awal tema ini: “Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya, (mereka mengatakan), kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari Rasul-rasul-Nya”.
Kandungan ayat ini sama sekali bukan merupakan pengakuan, pembenaran, atau legitimasi bagi apa yang diyakini oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani di masa sekarang. Karena mereka telah menyelewengkan agama Islam dan ajara-ajaran yang telah dibawa oleh Nabi Musa dan Nabi ‘Isa. Karena itu, menyatukan agama Yahudi, agama Nasrani dan agama Islam di dalam satu rumpun, sebagai “Agama Monotheisme”, atau sebagai agama-agama yang menyeru kepada mentauhidkan Allah, adalah pendapat yang sama sekali tidak berdasar. Karena pada kenyataannnya hanya agama Islam saja yang masih murni dan konsisten menyeru kepada mentuhidkan Allah.
Dengan demikian tidak boleh dikatakan bahwa agama samawi ada tiga; Islam, Yahudi, dan Nasrani. Karena agama samawi hanya satu, yaitu agama Islam. Tidak boleh kita mengatakan “al-Adyan as-Samawiyyah” (agama-agama samawi), tetapi yang benar adalah “ad-Dinas-Samawi”, karena hanya agama Islam agama yang diridlai oleh Allah dan dibawa oleh seluruh Nabi dan para Rasul-Nya.
_
#freetoshare
*Follow medsos kami @tauhidcorner*
https://linktr.ee/tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube
*Jangan lupa _share_ jika tulisan ini bermanfaat!*
Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
Linktree
tauhidcorner | Instagram, Facebook, TikTok | Linktree
Linktree. Make your link do more.
*Kabar Gembira Bagi Kaum Asy'ariyyah dari Rasulullah | Firman Allah QS. Al Ma’idah: 54*
Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآَئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَآءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (المائدة: 54)
Maknanya:
*“Wahai sekalian orang beriman barangsiapa di antara kalian murtad dari agamanya, maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah, mereka adalah orang-orang yang lemah lembut kepada sesama orang mukmin dan sangat kuat -ditakuti- oleh orang-orang kafir. Mereka berjihad dijalan Allah, dan mereka tidak takut terhadap cacian orang yang mencaci”. (QS. Al-Ma’idah: 54).*
Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa ketika turun ayat ini, *Rasulullah memberitakannya sambil menepuk pundak sahabat Abu Musa al-Asy’ari, seraya bersabda: “Mereka (kaum tersebut) adalah kaum orang ini!!”*. *Dari hadits ini para ulama menyimpulkan bahwa kaum yang dipuji dalam ayat di atas tidak lain adalah kaum Asy’ariyyah, karena sahabat Abu Musa al-Asy’ari adalah moyang dari al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari,* sebagaimana telah kita tulis dalam biografi ringkas al-Imâm Abu al-Hasan sendiri.
Dalam penafsiran firman Allah di atas: *“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah....”* (QS. Al-Ma’idah: 54), al-Imâm Mujahid berkata: *“Mereka adalah kaum dari negeri Saba’ (Yaman)”*. Kemudian al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî menambahkan: *“Dan orang-orang Asy’ariyyah adalah kaum yang berasal dari negeri Saba’”*[1].
Penafsiran ayat di atas bahwa kaum yang dicintai Allah dan mencintai Allah tersebut adalah kaum Asy’ariyyah telah dinyatakan pula oleh para ulama terkemuka dari para ahli hadits. Lebih dari cukup bagi kita bahwa hal itu telah dinyatakan oleh orang sekelas al-Imâm al-Hâfizh Ibn Asakir dalam kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî. Beliau adalah seorang ahli hadits terkemuka (Afdlal al-Muhaditsîn) di seluruh daratan Syam pada masanya. Al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah menuliskan: “Ibn Asakir adalah termasuk orang-orang pilihan dari umat ini, baik dalam ilmunya, agamanya, maupun dalam hafalannya. Setelah al-Imâm ad-Daraquthni tidak ada lagi orang yang sangat kuat dalam hafalan selain Ibn Asakir. Semua orang sepakat dalam hal ini, baik mereka yang sejalan dengan Ibn Asakir sendiri, atau mereka yang memusuhinya”[2].
Lebih dari pada itu Ibn Asakir sendiri dalam kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî telah mengutip pernyataan para ulama hadits terkemuka (Huffâzh al-Hadîts) sebelumnya yang telah menafsirkan ayat tersebut demikian, di antaranya ahli hadits terkemuka al-Imâm al-Hâfizh Abu Bakar al-Bayhaqi penulis kitab Sunan al-Bayhaqi dan berbagai karya besar lainnya.
Al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî menuliskan pernyataan al-Imâm al-Bayhaqi dengan sanad-nya dari Yahya ibn Fadlillah al-Umari, dari Makky ibn Allan, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami al-Hâfizh Abu al-Qasim ad-Damasyqi, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Syaikh Abu Abdillah Muhammad ibn al-Fadl al-Furawy, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami al-Hâfizh Abu Bakar Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Bayhaqi, bahwa ia (al-Bayhaqi) berkata:
“Sesungguhnya sebagian para Imam kaum Asy’ariyyah -semoga Allah merahmati mereka- mengingatkanku dengan sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Iyadl al-Asy’ari, bahwa ketika turun firman Allah: (Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah) QS. Al-Ma’idah: 54, Rasulullah kemudian berisyarat kepada sahabat Abu Musa al-Asy’ari, seraya berkata: “Mereka adalah kaum orang ini”. Dalam hadits ini terdapat isyarat akan keutamaan dan derajat mulia bagi al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, karena tidak lain beliau adalah berasal dari kaum dan keturunan sahabat Abu Musa al-Asy’ari.
Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآَئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَآءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (المائدة: 54)
Maknanya:
*“Wahai sekalian orang beriman barangsiapa di antara kalian murtad dari agamanya, maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah, mereka adalah orang-orang yang lemah lembut kepada sesama orang mukmin dan sangat kuat -ditakuti- oleh orang-orang kafir. Mereka berjihad dijalan Allah, dan mereka tidak takut terhadap cacian orang yang mencaci”. (QS. Al-Ma’idah: 54).*
Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa ketika turun ayat ini, *Rasulullah memberitakannya sambil menepuk pundak sahabat Abu Musa al-Asy’ari, seraya bersabda: “Mereka (kaum tersebut) adalah kaum orang ini!!”*. *Dari hadits ini para ulama menyimpulkan bahwa kaum yang dipuji dalam ayat di atas tidak lain adalah kaum Asy’ariyyah, karena sahabat Abu Musa al-Asy’ari adalah moyang dari al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari,* sebagaimana telah kita tulis dalam biografi ringkas al-Imâm Abu al-Hasan sendiri.
Dalam penafsiran firman Allah di atas: *“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah....”* (QS. Al-Ma’idah: 54), al-Imâm Mujahid berkata: *“Mereka adalah kaum dari negeri Saba’ (Yaman)”*. Kemudian al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî menambahkan: *“Dan orang-orang Asy’ariyyah adalah kaum yang berasal dari negeri Saba’”*[1].
Penafsiran ayat di atas bahwa kaum yang dicintai Allah dan mencintai Allah tersebut adalah kaum Asy’ariyyah telah dinyatakan pula oleh para ulama terkemuka dari para ahli hadits. Lebih dari cukup bagi kita bahwa hal itu telah dinyatakan oleh orang sekelas al-Imâm al-Hâfizh Ibn Asakir dalam kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî. Beliau adalah seorang ahli hadits terkemuka (Afdlal al-Muhaditsîn) di seluruh daratan Syam pada masanya. Al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah menuliskan: “Ibn Asakir adalah termasuk orang-orang pilihan dari umat ini, baik dalam ilmunya, agamanya, maupun dalam hafalannya. Setelah al-Imâm ad-Daraquthni tidak ada lagi orang yang sangat kuat dalam hafalan selain Ibn Asakir. Semua orang sepakat dalam hal ini, baik mereka yang sejalan dengan Ibn Asakir sendiri, atau mereka yang memusuhinya”[2].
Lebih dari pada itu Ibn Asakir sendiri dalam kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî telah mengutip pernyataan para ulama hadits terkemuka (Huffâzh al-Hadîts) sebelumnya yang telah menafsirkan ayat tersebut demikian, di antaranya ahli hadits terkemuka al-Imâm al-Hâfizh Abu Bakar al-Bayhaqi penulis kitab Sunan al-Bayhaqi dan berbagai karya besar lainnya.
Al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî menuliskan pernyataan al-Imâm al-Bayhaqi dengan sanad-nya dari Yahya ibn Fadlillah al-Umari, dari Makky ibn Allan, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami al-Hâfizh Abu al-Qasim ad-Damasyqi, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Syaikh Abu Abdillah Muhammad ibn al-Fadl al-Furawy, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami al-Hâfizh Abu Bakar Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Bayhaqi, bahwa ia (al-Bayhaqi) berkata:
“Sesungguhnya sebagian para Imam kaum Asy’ariyyah -semoga Allah merahmati mereka- mengingatkanku dengan sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Iyadl al-Asy’ari, bahwa ketika turun firman Allah: (Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah) QS. Al-Ma’idah: 54, Rasulullah kemudian berisyarat kepada sahabat Abu Musa al-Asy’ari, seraya berkata: “Mereka adalah kaum orang ini”. Dalam hadits ini terdapat isyarat akan keutamaan dan derajat mulia bagi al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, karena tidak lain beliau adalah berasal dari kaum dan keturunan sahabat Abu Musa al-Asy’ari.
Linktree
tauhidcorner | Instagram, Facebook, TikTok | Linktree
Linktree. Make your link do more.
Mereka adalah kaum yang diberi karunia ilmu dan pemahaman yang benar. Lebih khusus lagi mereka adalah kaum yang memiliki kekuatan dalam membela sunah-sunnah Rasulullah dan memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka memiliki dalil-dalil yang kuat dalam memerangi bebagai kebatilan dan kesesatan. Dengan demikian pujian dalam ayat di atas terhadap kaum Asy’ariyyah, bahwa mereka kaum yang dicintai Allah dan mencintai Allah, adalah karena telah terbukti bahwa akidah yang mereka yakini sebagai akidah yang hak, dan bahwa ajaran agama yang mereka bawa sebagai ajaran yang benar, serta terbukti bahwa mereka adalah kaum yang memiliki kayakinan yang sangat kuat. Maka siapapun yang di dalam akidahnya mengikuti ajaran-ajaran mereka, artinya dalam konsep meniadakan keserupaan Allah dengan segala makhluk-Nya, dan dalam metode memegang teguh al-Qur’an dan Sunnah, sesuai dan sejalan dengan faham-faham Asy’ariyyah maka ia berarti termasuk dari golongan mereka”[3].
https://linktr.ee/tauhidcorner
Al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah mengomentari pernyataan al-Imâm al-Bayhaqi di atas, berkata:
“Kita katakan; -tanpa kita memastikan bahwa ini benar-benar maksud Rasulullah-, bahwa *ketika Rasulullah menepuk punggung sahabat Abu Musa al-Asy’ari, sebagaimana dalam hadits di atas, seakan beliau sudah mengisyaratkan akan adanya kabar gembira bahwa kelak akan lahir dari keturunannya yang ke sembilan al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Sesungguhnya Rasulullah itu dalam setiap ucapannya terdapat berbagai isyarat yang tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang yang mendapat karunia petunjuk Allah. Dan mereka itu adalah orang yang kuat dalam ilmu (ar-Râsikhûn Fi al-‘Ilm) dan memiliki mata hati yang cerah.* Firman Allah: “Seorang yang oleh Allah tidak dijadikan petunjuk baginya, maka sama sekali ia tidak akan mendapatkan petunjuk” (QS. An-Nur: 40)”[4].
*---Catatan Kaki---*
[1] Thabaqât asy-Syafi’iyyah, j. 3, h. 364 mengutip dari Tabyîn Kadzib al-Muftarî.
[2] Ibid.
[3] Tabyîn Kadzib al-Mufarî, h. 49-50. Tulisan Ibn Asakir ini dikutip pula oleh Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 3, h. 362-363
[4] Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 3, h. 363
_______
#freetoshare
Follow medsos kami @tauhidcorner
https://linktr.ee/tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube
Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!
Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
https://linktr.ee/tauhidcorner
Al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah mengomentari pernyataan al-Imâm al-Bayhaqi di atas, berkata:
“Kita katakan; -tanpa kita memastikan bahwa ini benar-benar maksud Rasulullah-, bahwa *ketika Rasulullah menepuk punggung sahabat Abu Musa al-Asy’ari, sebagaimana dalam hadits di atas, seakan beliau sudah mengisyaratkan akan adanya kabar gembira bahwa kelak akan lahir dari keturunannya yang ke sembilan al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Sesungguhnya Rasulullah itu dalam setiap ucapannya terdapat berbagai isyarat yang tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang yang mendapat karunia petunjuk Allah. Dan mereka itu adalah orang yang kuat dalam ilmu (ar-Râsikhûn Fi al-‘Ilm) dan memiliki mata hati yang cerah.* Firman Allah: “Seorang yang oleh Allah tidak dijadikan petunjuk baginya, maka sama sekali ia tidak akan mendapatkan petunjuk” (QS. An-Nur: 40)”[4].
*---Catatan Kaki---*
[1] Thabaqât asy-Syafi’iyyah, j. 3, h. 364 mengutip dari Tabyîn Kadzib al-Muftarî.
[2] Ibid.
[3] Tabyîn Kadzib al-Mufarî, h. 49-50. Tulisan Ibn Asakir ini dikutip pula oleh Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 3, h. 362-363
[4] Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 3, h. 363
_______
#freetoshare
Follow medsos kami @tauhidcorner
https://linktr.ee/tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube
Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!
Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
Linktree
tauhidcorner | Instagram, Facebook, TikTok | Linktree
Linktree. Make your link do more.
📌 DALIL TABARRUK
Para sahabat Rasulullah dan kaum Tabi'in melakukan tabarruk dengan bekas tempat telapak tangan Rasulullah
____
Dalam sebuah hadits diriwayatkan sebagai berikut:
عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ حَذْيَمٍ قَالَ: وَفَدْتُ مَعَ جَدّيْ حَذْيَمٍ إلَى رَسُولِ اللهِ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ، فَقَال: يَا رَسُولَ اللهِ إنّ لِيْ بَنِيْنَ ذَوِيْ لِحًى وَغَيْرَهُمْ وَهَذَا أصْغَرُهُمْ، فَأدْنَانِي رَسُولُ الله صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَمَسَحَ رَأسِي، وَقَال: بَارَك اللهُ فِيْكَ، قَالَ الذّيالُ: فَلَقَدْ رَأيْتُ حَنْظَلَةَ يُؤْتَى بالرّجُلِ الوَارِمِ وَجْهُهُ أوِ الشّاةِ الوَارِمِ ضَرْعُهَا، فَيَقُوْلُ: بسْمِ اللهِ عَلَى مَوْضِعِ كَفّ رَسُوْلِ اللهِ صَلّى اللهُ عَليْهِ وَسَلّمَ فَيَمْسَحُهُ فُيَذْهَبُ الوَرمُ (روَاه الطّبَرانيّ في الأوْسَط وَالكَبيْر بنَحْوِه، وأحمَدُ فِي حَديثٍ طَوِيْلٍ وَرِجَالُ أحْمَدَ ثِقَاتٌ)
“Dari sahabat Hanzhalah ibn Hadzyam, bahwa ia berkata: “Aku mengikuti rombongan bersama kakekku; Hadzyam menuju Rasulullah. Kakekku berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulallah, aku memiliki beberapa anak laki-laki yang sudah besar dan ini yang paling kecil di antara mereka". Kemudian Rasulullah mendekatkan diriku ke dekatnya, lalu ia mengusap kepalaku seraya berkata: “Barakallah Fik” (Semoga Allah memberikan berkah kepadamu)
Adz-Dzayyal berkata: “Aku melihat Hanzhalah didatangi orang yang bengkak wajahnya atau orang yang membawa kambing yang bengkak susunya, kemudian Hanzhalah mengucapkan:
بِسْمِ اللهِ عَلَى مَوْضِعِ كَفِّ رَسُوْلِ اللهِ
“Dengan nama Allah atas tempat usapan telapak tangan Rasulullah”, kemudian ia mengusap orang tersebut hingga hilanglah bengkaknya. (Diriwayatkan Al-Imam ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath dan al-Mu’jam al-Kabir, juga diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam hadits yang panjang yang semua para perawinya tsiqat (terpercaya)
https://linktr.ee/tauhidcorner
#tauhid #aqidah #aswaja #hatihatijadiwahhabi #ilmutauhid #ilmuaqidah #ilmukalam #theology #islamictheology #bidah #tabarruk #berkah
Para sahabat Rasulullah dan kaum Tabi'in melakukan tabarruk dengan bekas tempat telapak tangan Rasulullah
____
Dalam sebuah hadits diriwayatkan sebagai berikut:
عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ حَذْيَمٍ قَالَ: وَفَدْتُ مَعَ جَدّيْ حَذْيَمٍ إلَى رَسُولِ اللهِ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ، فَقَال: يَا رَسُولَ اللهِ إنّ لِيْ بَنِيْنَ ذَوِيْ لِحًى وَغَيْرَهُمْ وَهَذَا أصْغَرُهُمْ، فَأدْنَانِي رَسُولُ الله صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَمَسَحَ رَأسِي، وَقَال: بَارَك اللهُ فِيْكَ، قَالَ الذّيالُ: فَلَقَدْ رَأيْتُ حَنْظَلَةَ يُؤْتَى بالرّجُلِ الوَارِمِ وَجْهُهُ أوِ الشّاةِ الوَارِمِ ضَرْعُهَا، فَيَقُوْلُ: بسْمِ اللهِ عَلَى مَوْضِعِ كَفّ رَسُوْلِ اللهِ صَلّى اللهُ عَليْهِ وَسَلّمَ فَيَمْسَحُهُ فُيَذْهَبُ الوَرمُ (روَاه الطّبَرانيّ في الأوْسَط وَالكَبيْر بنَحْوِه، وأحمَدُ فِي حَديثٍ طَوِيْلٍ وَرِجَالُ أحْمَدَ ثِقَاتٌ)
“Dari sahabat Hanzhalah ibn Hadzyam, bahwa ia berkata: “Aku mengikuti rombongan bersama kakekku; Hadzyam menuju Rasulullah. Kakekku berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulallah, aku memiliki beberapa anak laki-laki yang sudah besar dan ini yang paling kecil di antara mereka". Kemudian Rasulullah mendekatkan diriku ke dekatnya, lalu ia mengusap kepalaku seraya berkata: “Barakallah Fik” (Semoga Allah memberikan berkah kepadamu)
Adz-Dzayyal berkata: “Aku melihat Hanzhalah didatangi orang yang bengkak wajahnya atau orang yang membawa kambing yang bengkak susunya, kemudian Hanzhalah mengucapkan:
بِسْمِ اللهِ عَلَى مَوْضِعِ كَفِّ رَسُوْلِ اللهِ
“Dengan nama Allah atas tempat usapan telapak tangan Rasulullah”, kemudian ia mengusap orang tersebut hingga hilanglah bengkaknya. (Diriwayatkan Al-Imam ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath dan al-Mu’jam al-Kabir, juga diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam hadits yang panjang yang semua para perawinya tsiqat (terpercaya)
https://linktr.ee/tauhidcorner
#tauhid #aqidah #aswaja #hatihatijadiwahhabi #ilmutauhid #ilmuaqidah #ilmukalam #theology #islamictheology #bidah #tabarruk #berkah
Linktree
tauhidcorner | Instagram, Facebook, TikTok | Linktree
Linktree. Make your link do more.
IMAN DENGAN PARA RASUL ALLAH
(Bagian 6 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA
Sifat-sifat Nabi Dan Rasul
Sesungguhnya Allah mengutus para Nabi untuk menyampaikan kepada umat manusia perkara-perkara yang menjadi kemaslahatan manusia itu sendiri, baik kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan agama dan akhirat. Para Nabi adalah manusia-manusia panutan dan teladan bagi seluruh manusia. Mengikuti segala teladan dan perbuatan mereka adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Karena itu sudah pasti Allah telah menganugerahkan kepada mereka sifat-sifat terpuji dan budi pekerti yang mulia. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
وَكُلًّا فَضَّلْنَا عَلَى الْعَالَمِينَ (الأنعام: 86)
“… dan kepada masing-masing (para Nabi itu) Kami (Allah) lebihkan derajat mereka di atas sekalian alam”. (QS.al-An’am: 86).
Diantara sifat-sifat terpuji yang ada pada diri mereka adalah jujur (as-Sidq), mustahil pada diri mereka terdapat sifat dusta (al-Kidzb). Nabi Muhammad misalkan, sebelum diangkat menjadi Nabi, beliau sudah terkenal di kalangan penduduk Mekah sebagai orang yang jujur dan terpercaya (ash-Shadiq al-Amin). Kejujuran beliau ini diakui oleh setiap orang yang beriman kepadanya, dan bahkan juga diakui oleh orang-orang kafir yang sangat memusuhinya.
Para Nabi juga memiliki sifat cerdas (al-fathanah). Mustahil pada diri mereka terdapat sifat bodoh dan bebal (al-Ghabawah). Karena seandainya para Nabi sebagai orang-orang bebal dan bodoh maka umat yang merupakan obyek dakwah mereka tidak akan pernah menerima, bahkan akan menyingkir. Para Nabi juga memiliki sifat amanah. Artinya bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat dipercaya. Mustahil pada diri mereka terdapat sifat khianat. Mereka juga memiliki sifat Shiyanahdan ‘Iffah, artinya terjaga dari segala perbuatan tercela. Mustahil mereka memiliki sifat Radzalah, yaitu sifat yang menjadikan seseorang berbuat tercela dan tidak senonoh, seperti mencuri-curi pandang terhadap perempuan yang bukan mahramnya, atau mencuri sebiji anggur, dan semisalnya. Juga mustahil bagi mereka sifat Safahah, seperti berkata-kata dengan keji dan kotor.
Kemudian, para Nabi pasti memiliki sifat Syaja’ah. Artinya bahwa mereka adalah orang-orang yang berani. Mustahil mereka memiliki sifat pengecut (al-jubn). Sebagian sahabat Rasulullah dalam menggambarkan sifat Syaja’ah-nya berkata: “Apa bila kami sedang berada di tengah peperangan berkecamuk, maka kami semua berlindung di belakang Rasulullah”. Allah telah menganugerahkan kekuatan kepada Nabi Muhammad setara dengan kekuatan empat puluh orang laki-laki paling kuat di antara manusia-manusia biasa.
Demikian pula para Nabi memiliki sifat tabligh. Artinya bahwa mereka telah menyampaikan segala perkara yang diperintahkan oleh Allah untuk disampaikan kepada umatnya dengan sempurna. Mustahil bagi mereka menyembunyikan apa harus disampaikan (al-Kitman).
Para Nabi mustahil terjangkit penyakit gila, atau penyakit-penyakit yang menyebabkan orang lain tidak mau mendekat dan menyingkir, serta tidak mau mendengar dakwah mereka. Seperti penyakit lepra, borok-borok yang menjijikan hingga mengeluarkan belatung darinya.
Para Nabi juga memiliki sifat Fashahah. Artinya, mereka adalah orang-orang yang sangat fasih dalam berbicara. Tidak ada seorangpun dari mereka yang gagap, atau ta’ta’; yaitu yang selalu terdengar huruf ta’ dalam setiap pembicaraan, juga tidak ada yang alstagh; yaitu seperti yang mengucapkan huruf ra’ menjadi huruf ghain, atau huruf lam menjadi huruf tsa’.
Juga mustahil bagi para Nabi berbicara salah dalam berkata-kata (Sabq al-Lisan; keseleo lidah), baik dalam perkara-perkara syari’at maupun dalam perkara-perkara biasa. Karena bilahal ini terjadi dalam perkataan mereka maka segala kebenaran yang diucapkannya akan diragukan oleh umatnya. Tentu pula umatnya akan berkata kepadanya: “Mungkin ia salah ucap ketika menyampaikannya”. Demikian pula mustahil pulapara Nabi terpangaruh akal mereka oleh sihir.
(Bagian 6 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA
Sifat-sifat Nabi Dan Rasul
Sesungguhnya Allah mengutus para Nabi untuk menyampaikan kepada umat manusia perkara-perkara yang menjadi kemaslahatan manusia itu sendiri, baik kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan agama dan akhirat. Para Nabi adalah manusia-manusia panutan dan teladan bagi seluruh manusia. Mengikuti segala teladan dan perbuatan mereka adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Karena itu sudah pasti Allah telah menganugerahkan kepada mereka sifat-sifat terpuji dan budi pekerti yang mulia. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
وَكُلًّا فَضَّلْنَا عَلَى الْعَالَمِينَ (الأنعام: 86)
“… dan kepada masing-masing (para Nabi itu) Kami (Allah) lebihkan derajat mereka di atas sekalian alam”. (QS.al-An’am: 86).
Diantara sifat-sifat terpuji yang ada pada diri mereka adalah jujur (as-Sidq), mustahil pada diri mereka terdapat sifat dusta (al-Kidzb). Nabi Muhammad misalkan, sebelum diangkat menjadi Nabi, beliau sudah terkenal di kalangan penduduk Mekah sebagai orang yang jujur dan terpercaya (ash-Shadiq al-Amin). Kejujuran beliau ini diakui oleh setiap orang yang beriman kepadanya, dan bahkan juga diakui oleh orang-orang kafir yang sangat memusuhinya.
Para Nabi juga memiliki sifat cerdas (al-fathanah). Mustahil pada diri mereka terdapat sifat bodoh dan bebal (al-Ghabawah). Karena seandainya para Nabi sebagai orang-orang bebal dan bodoh maka umat yang merupakan obyek dakwah mereka tidak akan pernah menerima, bahkan akan menyingkir. Para Nabi juga memiliki sifat amanah. Artinya bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat dipercaya. Mustahil pada diri mereka terdapat sifat khianat. Mereka juga memiliki sifat Shiyanahdan ‘Iffah, artinya terjaga dari segala perbuatan tercela. Mustahil mereka memiliki sifat Radzalah, yaitu sifat yang menjadikan seseorang berbuat tercela dan tidak senonoh, seperti mencuri-curi pandang terhadap perempuan yang bukan mahramnya, atau mencuri sebiji anggur, dan semisalnya. Juga mustahil bagi mereka sifat Safahah, seperti berkata-kata dengan keji dan kotor.
Kemudian, para Nabi pasti memiliki sifat Syaja’ah. Artinya bahwa mereka adalah orang-orang yang berani. Mustahil mereka memiliki sifat pengecut (al-jubn). Sebagian sahabat Rasulullah dalam menggambarkan sifat Syaja’ah-nya berkata: “Apa bila kami sedang berada di tengah peperangan berkecamuk, maka kami semua berlindung di belakang Rasulullah”. Allah telah menganugerahkan kekuatan kepada Nabi Muhammad setara dengan kekuatan empat puluh orang laki-laki paling kuat di antara manusia-manusia biasa.
Demikian pula para Nabi memiliki sifat tabligh. Artinya bahwa mereka telah menyampaikan segala perkara yang diperintahkan oleh Allah untuk disampaikan kepada umatnya dengan sempurna. Mustahil bagi mereka menyembunyikan apa harus disampaikan (al-Kitman).
Para Nabi mustahil terjangkit penyakit gila, atau penyakit-penyakit yang menyebabkan orang lain tidak mau mendekat dan menyingkir, serta tidak mau mendengar dakwah mereka. Seperti penyakit lepra, borok-borok yang menjijikan hingga mengeluarkan belatung darinya.
Para Nabi juga memiliki sifat Fashahah. Artinya, mereka adalah orang-orang yang sangat fasih dalam berbicara. Tidak ada seorangpun dari mereka yang gagap, atau ta’ta’; yaitu yang selalu terdengar huruf ta’ dalam setiap pembicaraan, juga tidak ada yang alstagh; yaitu seperti yang mengucapkan huruf ra’ menjadi huruf ghain, atau huruf lam menjadi huruf tsa’.
Juga mustahil bagi para Nabi berbicara salah dalam berkata-kata (Sabq al-Lisan; keseleo lidah), baik dalam perkara-perkara syari’at maupun dalam perkara-perkara biasa. Karena bilahal ini terjadi dalam perkataan mereka maka segala kebenaran yang diucapkannya akan diragukan oleh umatnya. Tentu pula umatnya akan berkata kepadanya: “Mungkin ia salah ucap ketika menyampaikannya”. Demikian pula mustahil pulapara Nabi terpangaruh akal mereka oleh sihir.
id.shp.ee
Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore | Shopee Indonesia
Beli Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore Original & Terbaru di Shopee. Cek Review Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore. Nikmati Promo Diskon☑ Gratis Ongkir☑ Cashback☑
Kemudian para Nabi juga terpelihara, -baik sebelum diangkat manjadi nabi atau sesudahnya-, dari segala kekufuran, dari dosa-dosa besar, dan dari dosa-dosa kecil yang mengandung kekeruhan dan kerendahan jiwa (al-Khisah Wa ad-Dana’ah). Dosa kecil yang mengandung kerendahan jiwa, seperti mencuri-curi pandang terhadap perempuan yang bukan mahram, atau mencuri sebiji anggur, dan lain sebagainya. Adapun dosa kecil yang tidak mengandung kerendahan dan kekeruhan jiwa, maka pendapat yang kuat dan didukung oleh ayat-ayat al-Qur’an mengatakan bahwa hal tersebut mungkin terjadi pada diri mereka. Akan tetapi mereka langsung diingatkan oleh Allah untuk bartaubat sebelum perbuatan mereka tersebut diikuti oleh orang lain. Contoh dalam hal ini adalah perbuatan Nabi Adam ketika di surga, beliau mamakan buah dari pohon yang dilarang oleh Allah. Perbuatan beliau ini adalah dosa kecil yang sama sekali tidak mengandung kerendahan dan kekeruhan jiwa. Karenanya didalam al-Qur’an Allah berfirman tentang Nabi Adam:
وَعَصَى آَدَمُ (طه: 121)
“Dan Adam telah berbuat maksiat kepada Tuhannya”. (QS. Thaha: 121)
Yang dimaksud “maksiat” dalam ayat ini bukan sebagai dosa besar, juga bukan merupakan dosa kecil yang mengandung kehinaan dan kekeruhan jiwa. Melainkan hanya dosa kecil saja, yang hal itu sama sekali tidak mengandung kerendahan dan kekeruahan jiwa.
Selain memiliki sifat-sifat wajib dan sifat-sifat mustahil sebagaimana telah diuraikan di atas, para Nabi juga memiliki sifat Ja’iz. Yaitu sifat-sifat yang terjadi pada diriumumnya manusia yang hal tersebut sama sekali tidak merendahkan derajat kenabian, seperti makan, minum, tidur, sakit dengan penyakit yang tidak menyebabkan orang lain menjauh dan menyingkir, pingsan yang disebabkan rasasakit, dan meninggal. Termasuk kemungkinan buta beberapa saat; artinya tidak selamanya dan bukan buta sebagai bawaan dari lahir, seperti buta beberapa saat yang terjadi pada diri Nabi Ya’qub, yang kemudian beliau dapat melihat normal kembali seperti sediakala.
__
#freetoshare
Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube
Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!
Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
وَعَصَى آَدَمُ (طه: 121)
“Dan Adam telah berbuat maksiat kepada Tuhannya”. (QS. Thaha: 121)
Yang dimaksud “maksiat” dalam ayat ini bukan sebagai dosa besar, juga bukan merupakan dosa kecil yang mengandung kehinaan dan kekeruhan jiwa. Melainkan hanya dosa kecil saja, yang hal itu sama sekali tidak mengandung kerendahan dan kekeruahan jiwa.
Selain memiliki sifat-sifat wajib dan sifat-sifat mustahil sebagaimana telah diuraikan di atas, para Nabi juga memiliki sifat Ja’iz. Yaitu sifat-sifat yang terjadi pada diriumumnya manusia yang hal tersebut sama sekali tidak merendahkan derajat kenabian, seperti makan, minum, tidur, sakit dengan penyakit yang tidak menyebabkan orang lain menjauh dan menyingkir, pingsan yang disebabkan rasasakit, dan meninggal. Termasuk kemungkinan buta beberapa saat; artinya tidak selamanya dan bukan buta sebagai bawaan dari lahir, seperti buta beberapa saat yang terjadi pada diri Nabi Ya’qub, yang kemudian beliau dapat melihat normal kembali seperti sediakala.
__
#freetoshare
Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube
Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!
Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
id.shp.ee
Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore | Shopee Indonesia
Beli Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore Original & Terbaru di Shopee. Cek Review Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore. Nikmati Promo Diskon☑ Gratis Ongkir☑ Cashback☑
*IMAN DENGAN PARA RASUL ALLAH*
(Bagian 7 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA
*Beberapa Cerita Dusta Tetang Sebagian Nabi*
Berikut ini akan diuraikan beberapa cerita dusta sekitar para Nabi yang sama sekali cerita tersebut tidak berdasar. Cerita-cerita ini bertentangan dengan penjelasan sifat-sifat para Nabi yang telah kita jelaskan di atas:
*1. Cerita dusta tentang Nabi Ibrahim*
Cerita ini menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim sebelum diangkat menjadi Nabi pernah ragu-raguakan adanya Allah beberapa saat lamanya. Dia menyembah bintang, kemudian menyembah bulan, dan kemudian ia menyembah matahari.
Cerita ini bohong belaka. Karena seorang Nabi wajib selalu terpelihara dari kekufuran dan perbuatan syirik, baik sebelum maupun setelah mereka diangkat menjadi Nabi. Nabi Ibrahim sudah mengetahui dari semenjak kecil bahwa bulan, bintang, dan matahari tidak layak untuk disembah dan dijadikan Tuhan. Karena semua itu adalah benda yang memiliki bentuk dan ukuran, serta mengalami perubahan dari satu keadaan kepada keadaan lain. Benda-benda tersebut bergerak, terbit, kemudian terbenam dan lenyap. Segala sesuatu yang berubah pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam perubahan tersebut. Demikian pula segala benda yang memiliki ukuran pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya pada ukuran tersebut. Dan setiap sesuatu yang membutuhkan maka berarti dia itu lemah. Dan setiap yang lemah sangat tidak patut untuk disembah dan dituhankan.
Nabi Ibrahim telah mengetahui dari semenjak kecil bahwa hanya Allah yang berhak untuk disembah. Beliau meyakini bahwa Allah tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya. Beliau juga mengetahui bahwa segala sesuatu selain Allah adalah ciptaan Allah, maka mustahil Allah sama dengan yang diciptakan-Nya. Tentang halini Allah berfirman:
وَلَقَدْ آَتَيْنَا إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهِ عَالِمِينَ (الأنبياء: 51)
“Dan sesungguhnya Kami (Allah) telah menganugerahkan kepada Ibrahim akan kebenaran dari dahulu (artinya dari semenjak kecil), dan sungguh Kami mengetahi segala keadaannya”. (QS. al-Anbiya: 51).
Adapun firman Allah dalam QS. al-An’am tentang perkataan Nabi Ibrahim ketika beliau melihat bintang, bulan, dan matahari:
هَذَا رَبِّي (الأنعام: 76، 77، 78)
adalah gaya bahasa dalam pengertian Istifham Inkari. Artinya, sebuah kalimat dalam bentuk pertanyaan tapi untuk tujuan mengingkari, bukan untuk tujuan menetapkan. Dengan demikian makna ayat di atas adalah: “Inikah tuhanku seperti yang kalian (umat Nabi Ibrahim) sangka?”. Artinya, ini bukan tuhanku seperti yang kalian sangka.
__
#freetoshare
*Follow medsos kami* @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube
*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*
*Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih* >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
(Bagian 7 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA
*Beberapa Cerita Dusta Tetang Sebagian Nabi*
Berikut ini akan diuraikan beberapa cerita dusta sekitar para Nabi yang sama sekali cerita tersebut tidak berdasar. Cerita-cerita ini bertentangan dengan penjelasan sifat-sifat para Nabi yang telah kita jelaskan di atas:
*1. Cerita dusta tentang Nabi Ibrahim*
Cerita ini menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim sebelum diangkat menjadi Nabi pernah ragu-raguakan adanya Allah beberapa saat lamanya. Dia menyembah bintang, kemudian menyembah bulan, dan kemudian ia menyembah matahari.
Cerita ini bohong belaka. Karena seorang Nabi wajib selalu terpelihara dari kekufuran dan perbuatan syirik, baik sebelum maupun setelah mereka diangkat menjadi Nabi. Nabi Ibrahim sudah mengetahui dari semenjak kecil bahwa bulan, bintang, dan matahari tidak layak untuk disembah dan dijadikan Tuhan. Karena semua itu adalah benda yang memiliki bentuk dan ukuran, serta mengalami perubahan dari satu keadaan kepada keadaan lain. Benda-benda tersebut bergerak, terbit, kemudian terbenam dan lenyap. Segala sesuatu yang berubah pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam perubahan tersebut. Demikian pula segala benda yang memiliki ukuran pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya pada ukuran tersebut. Dan setiap sesuatu yang membutuhkan maka berarti dia itu lemah. Dan setiap yang lemah sangat tidak patut untuk disembah dan dituhankan.
Nabi Ibrahim telah mengetahui dari semenjak kecil bahwa hanya Allah yang berhak untuk disembah. Beliau meyakini bahwa Allah tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya. Beliau juga mengetahui bahwa segala sesuatu selain Allah adalah ciptaan Allah, maka mustahil Allah sama dengan yang diciptakan-Nya. Tentang halini Allah berfirman:
وَلَقَدْ آَتَيْنَا إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهِ عَالِمِينَ (الأنبياء: 51)
“Dan sesungguhnya Kami (Allah) telah menganugerahkan kepada Ibrahim akan kebenaran dari dahulu (artinya dari semenjak kecil), dan sungguh Kami mengetahi segala keadaannya”. (QS. al-Anbiya: 51).
Adapun firman Allah dalam QS. al-An’am tentang perkataan Nabi Ibrahim ketika beliau melihat bintang, bulan, dan matahari:
هَذَا رَبِّي (الأنعام: 76، 77، 78)
adalah gaya bahasa dalam pengertian Istifham Inkari. Artinya, sebuah kalimat dalam bentuk pertanyaan tapi untuk tujuan mengingkari, bukan untuk tujuan menetapkan. Dengan demikian makna ayat di atas adalah: “Inikah tuhanku seperti yang kalian (umat Nabi Ibrahim) sangka?”. Artinya, ini bukan tuhanku seperti yang kalian sangka.
__
#freetoshare
*Follow medsos kami* @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube
*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*
*Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih* >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
id.shp.ee
Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore | Shopee Indonesia
Beli Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore Original & Terbaru di Shopee. Cek Review Produk Nurul Hikmah Islamic Bookstore. Nikmati Promo Diskon☑ Gratis Ongkir☑ Cashback☑
IMAN DENGAN PARA RASUL ALLAH
(Bagian 8 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA
2. Cerita dusta tentang Nabi Yusuf
Menurut cerita ini bahwa Nabi Yusuf saat berumur 17 tahun dan tinggal di rumah penguasa Mesir hendak berbuat zina. Na’uzdu Billah. Suatu hari, menurut cerita dusta ini, istri penguasa Mesir tersebut yang bernama Zalikha menggodanya untuk berbuat zina. Kemudian demi melihat kecantikan, timbul keinginan dalam diri Nabi Yusuf untuk menyambut godaan tersebut. Peristiwa semacam ini jelas suatu yang mustahil pada diri seorang Nabi. Benar, saat itu Zalikha yang memiliki keinginan untuk berbuat zina, tapi sama sekali tidak benar kalau Nabi Yusuf memiliki keinginan yang sama.
Adapun firman Allah dalam QS. Yusuf: 24 tidak boleh dipahami bahwa Nabi Yusuf memiliki keinginan untuk berbuat zina. Ayat tersebut ialah:
وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَا أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ (يوسف: 24)
Ayat ini memiliki beberapa penafsiran sebagaiman telah disebutkan oleh para ulama ahli tafsir sendiri. Di antaranya ialah bahwa kalimat jawab dari lafazh “LawLa…” dibuang (mahdzuf). Ini ditunjukan oleh lafazh sebelumnya, yaitu lafazh “Hamma Biha”. Kemungkinan tujuan kalimat (Taqdir al-Kalam) tersebut adalah “Law La An Ra’a Burhana Rabbih Hamma Biha”.
Buku: Mengenal Tasawuf Rasulullah Representasi Ajaran Al-Qur'an dan Sunnah >>> https://id.shp.ee/w9tCBma
Jelasnya ialah, bahwa Zalikha saat itu benar-benar ingin berbuat zina dengan Nabi Yusuf. Sedangkan Nabi Yusuf, kalau saja beliau tidak mendapatkan petunjuk dari Tuhannya bahwa ia akan menjadi seorang Nabi, dan bahwa seorang Nabi itu pasti terjaga dari berbuat zina, maka dia akan memiliki keinginan yang sama untuk berbuat zina. Dan pada kenyataannya bahwa Nabi Yusuf telah mendapatkan petunjuk dari Tuhannya, sehingga beliau sama sekali tidak memiliki keinginan untuk berbuat zina, terlebih lagi melakukannya.
Penafsiran lainnya menyebutkan bahwa lafazh “Hamma Biha” artinya “Hamma Bi Daf’iha”. Maksudnya ialah bahwa saat Zalikha hendak merangkul Nabi Yusuf dari arah depannya, Nabi Yusuf memiliki keinginan untuk mendorongnya. Namun Nabi Yusuf melihat petunjuk dari Tuhannya untuk tidak melakukan hal tersebut. Karena apa bila beliau melakukan itu dan kemudian terjadi sesuatu pada pakaian Zalikha atau pakaian Nabi Yusuf sendiri, maka Nabi Yusuf sendiri yang akan disalahkan. Karena itu beliau tidak melakukan hal tersebut, tapi kemudian beliau lari ke arah pintu hendak keluar.
3. Cerita dusta tentang Nabi Dawud
Cerita ini menyebutkan bahwa Nabi Dawud memiliki 99 orang istri. Suatu ketika beliau terpesona dengan kecantikan istri salah seorang panglima perangnya. Kemudian Nabi Dawud mengutus panglima tersebut ke medan perang supaya ia mati di medan perang tersebut, dengan demikian ia dapat mempersunting perempuan itu.
__
#freetoshare
Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube
Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!
Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
(Bagian 8 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA
2. Cerita dusta tentang Nabi Yusuf
Menurut cerita ini bahwa Nabi Yusuf saat berumur 17 tahun dan tinggal di rumah penguasa Mesir hendak berbuat zina. Na’uzdu Billah. Suatu hari, menurut cerita dusta ini, istri penguasa Mesir tersebut yang bernama Zalikha menggodanya untuk berbuat zina. Kemudian demi melihat kecantikan, timbul keinginan dalam diri Nabi Yusuf untuk menyambut godaan tersebut. Peristiwa semacam ini jelas suatu yang mustahil pada diri seorang Nabi. Benar, saat itu Zalikha yang memiliki keinginan untuk berbuat zina, tapi sama sekali tidak benar kalau Nabi Yusuf memiliki keinginan yang sama.
Adapun firman Allah dalam QS. Yusuf: 24 tidak boleh dipahami bahwa Nabi Yusuf memiliki keinginan untuk berbuat zina. Ayat tersebut ialah:
وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَا أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ (يوسف: 24)
Ayat ini memiliki beberapa penafsiran sebagaiman telah disebutkan oleh para ulama ahli tafsir sendiri. Di antaranya ialah bahwa kalimat jawab dari lafazh “LawLa…” dibuang (mahdzuf). Ini ditunjukan oleh lafazh sebelumnya, yaitu lafazh “Hamma Biha”. Kemungkinan tujuan kalimat (Taqdir al-Kalam) tersebut adalah “Law La An Ra’a Burhana Rabbih Hamma Biha”.
Buku: Mengenal Tasawuf Rasulullah Representasi Ajaran Al-Qur'an dan Sunnah >>> https://id.shp.ee/w9tCBma
Jelasnya ialah, bahwa Zalikha saat itu benar-benar ingin berbuat zina dengan Nabi Yusuf. Sedangkan Nabi Yusuf, kalau saja beliau tidak mendapatkan petunjuk dari Tuhannya bahwa ia akan menjadi seorang Nabi, dan bahwa seorang Nabi itu pasti terjaga dari berbuat zina, maka dia akan memiliki keinginan yang sama untuk berbuat zina. Dan pada kenyataannya bahwa Nabi Yusuf telah mendapatkan petunjuk dari Tuhannya, sehingga beliau sama sekali tidak memiliki keinginan untuk berbuat zina, terlebih lagi melakukannya.
Penafsiran lainnya menyebutkan bahwa lafazh “Hamma Biha” artinya “Hamma Bi Daf’iha”. Maksudnya ialah bahwa saat Zalikha hendak merangkul Nabi Yusuf dari arah depannya, Nabi Yusuf memiliki keinginan untuk mendorongnya. Namun Nabi Yusuf melihat petunjuk dari Tuhannya untuk tidak melakukan hal tersebut. Karena apa bila beliau melakukan itu dan kemudian terjadi sesuatu pada pakaian Zalikha atau pakaian Nabi Yusuf sendiri, maka Nabi Yusuf sendiri yang akan disalahkan. Karena itu beliau tidak melakukan hal tersebut, tapi kemudian beliau lari ke arah pintu hendak keluar.
3. Cerita dusta tentang Nabi Dawud
Cerita ini menyebutkan bahwa Nabi Dawud memiliki 99 orang istri. Suatu ketika beliau terpesona dengan kecantikan istri salah seorang panglima perangnya. Kemudian Nabi Dawud mengutus panglima tersebut ke medan perang supaya ia mati di medan perang tersebut, dengan demikian ia dapat mempersunting perempuan itu.
__
#freetoshare
Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube
Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!
Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
IMAN DENGAN PARA RASUL ALLAH
(Bagian 9 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA
4. Kisah dusta tentang Nabi Ayyub
Cerita ini menyebutkan bahwa suatu ketika Iblis meniup pada Nabi Ayyub hingga beliau terjangkit penyakit kusta akut hingga mengeluarkan belatung-belatung dari luka-lukanya. Saat belatung-belatung tersebut berjatuhan dari tubuhnya, beliau mengambilnya satu persatu dan meletakannya kembali pada bagian tubuhnya seraya berkata: “Wahai makhluk Tuhanku, makanlah rizki yang telah diberikan Allah kepadamu”.
Cerita ini jelas tidak berdasar sama sekali. Tidak mungkin seorang Nabi memiliki penyakit yang menjijikan seperti itu. Karena penyakit semacam itu akan menghilangkan hikmah-hikmah kenabian. Artinya, tidak ada hikmah seorang Nabi diutus dalam keadaan “berpenyakitan” seperti ini, karena siapapun umatnya akan manjauh dan menghidar darinya. Juga mustahil Nabi Ayyub mengembalikan belatung-belatung tersebut ke tubuhnya agar menyakiti dirinya sendiri dan memakan daging-daging pada tubuhnya. Karena perbuatan semacam ini sama dengan bunuh diri. Allah berfirman:
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ (البقرة: 195)
“Dan jangalah kalian menjerumuskan diri kalian ke dalam kebinasaan”. (QS. al-Baqarah: 195).
Adapun cerita yang benar tentang Nabi Ayyub, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imam Ibn Hibban dan dishahihkannya, adalah bahwa beliau ditimpa musibah sakit selama 18 tahun. Namun Nabi Ayyub sabar dalam sakitnya tersebut, karena beliau tahu bahwa hal tersebut dapat meninggikan derajat seseorang. Dalam hadits ini tidak disebutkan macam penyakit yang telah menimpa Nabi Ayyub tersebut. Yang jelas bahwa penyakit tersebut bukan sesuatu yang menjijikan dan merendahkan derajat kenabian.
Katalog Buku >>> https://wa.me/c/6287878023938
5. Sebagian kitab menceritakan kisah dusta tentang Nabi Muhammad
Menurut cerita ini bahwa suatu ketika lidah Rasulullah dikuasai oleh setan, kemudian setan berkata-kata dengan lidah beliau: “Tilka al-Gharaniq al-‘Ula Wa Inna Syafa’atahunna Laturtaja…”. (Artinya, itulah berhala-berhala yang agung, dan sesungguhnya pertolongan mereka benar-benar sangat diharapkan). Setelah mendengar perkataan ini orang-orang kafir menjadi sangat gembira. Cerita ini sama sekali tidak memiliki dasar dan benar-benar sebuah kebatilan belaka. Mustahil Allah memberikan kemampuan kepada setan untuk menguasai lidah para Nabi-Nya, terlebih menggunakannya untuk memuji berhala-berhala.
Cerita yang benar tentang ini ialah bahwa suatu ketika Rasulullah membacakan QS. an-Najm. Ketika bacaan beliau sampai kepada ayat 19-20, beliau berhenti sejenak. Ayat tersebut ialah:
أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّى، وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَى (النجم: (19-20)
Kesempatan diamnya Rasulullah ini kemudian dimanfaatkan oleh setan untuk memperdengarkan suara yang dimirip-miripkan dengan suara Rasulullah kepada orang-orang musyrik yang saat itu berada dekat dengan Rasulullah sendiri. Saat terdengar suara tersebut orang-orang musyrik menganggap bahwa itu adalah suara Rasulullah. Setan itu berkata: “Itulah berhal-berhala yang agung, dan sesungguhnya pertolongan mereka benar-benar sangat diharapkan”. Seketika itu orang-orang musyrik menjadi sangat bersuka-ria. Mereka berkata: “Sebelum hari ini Muhammad tidak pernah memuji-muji tuhan-tuhan kita, dan hari ini ia telah memberikan pujiannya kepada mereka”. Kemudian Allah menurunkan ayat al-Qur’an QS. al-Hajj: 52 yang membantah dan mendustakan perkataan mereka:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ إِلَّا إِذَا تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آَيَاتِه (الحج: 52)
“Dan Kami (Allah) tidak mengutus sebelum engkau (Wahai Muhammad) seorang Rasul dan tidak pula seorang Nabi, melainkan apa bila ia mengajak kaumnya untuk mengikuti ajarannya maka setan akan menambah-nambahkan perkataan sesat yang bukan perkataan Nabi, dan ia (setan) memberikan sangkaan bahwa Nabi-lah yang mengucapkan perkataan rusak dan sesat tersebut.
(Bagian 9 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA
4. Kisah dusta tentang Nabi Ayyub
Cerita ini menyebutkan bahwa suatu ketika Iblis meniup pada Nabi Ayyub hingga beliau terjangkit penyakit kusta akut hingga mengeluarkan belatung-belatung dari luka-lukanya. Saat belatung-belatung tersebut berjatuhan dari tubuhnya, beliau mengambilnya satu persatu dan meletakannya kembali pada bagian tubuhnya seraya berkata: “Wahai makhluk Tuhanku, makanlah rizki yang telah diberikan Allah kepadamu”.
Cerita ini jelas tidak berdasar sama sekali. Tidak mungkin seorang Nabi memiliki penyakit yang menjijikan seperti itu. Karena penyakit semacam itu akan menghilangkan hikmah-hikmah kenabian. Artinya, tidak ada hikmah seorang Nabi diutus dalam keadaan “berpenyakitan” seperti ini, karena siapapun umatnya akan manjauh dan menghidar darinya. Juga mustahil Nabi Ayyub mengembalikan belatung-belatung tersebut ke tubuhnya agar menyakiti dirinya sendiri dan memakan daging-daging pada tubuhnya. Karena perbuatan semacam ini sama dengan bunuh diri. Allah berfirman:
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ (البقرة: 195)
“Dan jangalah kalian menjerumuskan diri kalian ke dalam kebinasaan”. (QS. al-Baqarah: 195).
Adapun cerita yang benar tentang Nabi Ayyub, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imam Ibn Hibban dan dishahihkannya, adalah bahwa beliau ditimpa musibah sakit selama 18 tahun. Namun Nabi Ayyub sabar dalam sakitnya tersebut, karena beliau tahu bahwa hal tersebut dapat meninggikan derajat seseorang. Dalam hadits ini tidak disebutkan macam penyakit yang telah menimpa Nabi Ayyub tersebut. Yang jelas bahwa penyakit tersebut bukan sesuatu yang menjijikan dan merendahkan derajat kenabian.
Katalog Buku >>> https://wa.me/c/6287878023938
5. Sebagian kitab menceritakan kisah dusta tentang Nabi Muhammad
Menurut cerita ini bahwa suatu ketika lidah Rasulullah dikuasai oleh setan, kemudian setan berkata-kata dengan lidah beliau: “Tilka al-Gharaniq al-‘Ula Wa Inna Syafa’atahunna Laturtaja…”. (Artinya, itulah berhala-berhala yang agung, dan sesungguhnya pertolongan mereka benar-benar sangat diharapkan). Setelah mendengar perkataan ini orang-orang kafir menjadi sangat gembira. Cerita ini sama sekali tidak memiliki dasar dan benar-benar sebuah kebatilan belaka. Mustahil Allah memberikan kemampuan kepada setan untuk menguasai lidah para Nabi-Nya, terlebih menggunakannya untuk memuji berhala-berhala.
Cerita yang benar tentang ini ialah bahwa suatu ketika Rasulullah membacakan QS. an-Najm. Ketika bacaan beliau sampai kepada ayat 19-20, beliau berhenti sejenak. Ayat tersebut ialah:
أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّى، وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَى (النجم: (19-20)
Kesempatan diamnya Rasulullah ini kemudian dimanfaatkan oleh setan untuk memperdengarkan suara yang dimirip-miripkan dengan suara Rasulullah kepada orang-orang musyrik yang saat itu berada dekat dengan Rasulullah sendiri. Saat terdengar suara tersebut orang-orang musyrik menganggap bahwa itu adalah suara Rasulullah. Setan itu berkata: “Itulah berhal-berhala yang agung, dan sesungguhnya pertolongan mereka benar-benar sangat diharapkan”. Seketika itu orang-orang musyrik menjadi sangat bersuka-ria. Mereka berkata: “Sebelum hari ini Muhammad tidak pernah memuji-muji tuhan-tuhan kita, dan hari ini ia telah memberikan pujiannya kepada mereka”. Kemudian Allah menurunkan ayat al-Qur’an QS. al-Hajj: 52 yang membantah dan mendustakan perkataan mereka:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ إِلَّا إِذَا تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آَيَاتِه (الحج: 52)
“Dan Kami (Allah) tidak mengutus sebelum engkau (Wahai Muhammad) seorang Rasul dan tidak pula seorang Nabi, melainkan apa bila ia mengajak kaumnya untuk mengikuti ajarannya maka setan akan menambah-nambahkan perkataan sesat yang bukan perkataan Nabi, dan ia (setan) memberikan sangkaan bahwa Nabi-lah yang mengucapkan perkataan rusak dan sesat tersebut.
WhatsApp.com
View Tauhid Corner | Nurul Hikmah Press's Catalog on WhatsApp
Learn more about their products & services