Tauhid Corner
563 subscribers
90 photos
38 videos
6 files
770 links
Catatan Teologi Islam Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah

https://linktr.ee/tauhidcorner
Download Telegram
Kemudian para Nabi juga terpelihara, -baik sebelum diangkat manjadi nabi atau sesudahnya-, dari segala kekufuran, dari dosa-dosa besar, dan dari dosa-dosa kecil yang mengandung kekeruhan dan kerendahan jiwa (al-Khisah Wa ad-Dana’ah). Dosa kecil yang mengandung kerendahan jiwa, seperti mencuri-curi pandang terhadap perempuan yang bukan mahram, atau mencuri sebiji anggur, dan lain sebagainya. Adapun dosa kecil yang tidak mengandung kerendahan dan kekeruhan jiwa, maka pendapat yang kuat dan didukung oleh ayat-ayat al-Qur’an mengatakan bahwa hal tersebut mungkin terjadi pada diri mereka. Akan tetapi mereka langsung diingatkan oleh Allah untuk bartaubat sebelum perbuatan mereka tersebut diikuti oleh orang lain. Contoh dalam hal ini adalah perbuatan Nabi Adam ketika di surga, beliau mamakan buah dari pohon yang dilarang oleh Allah. Perbuatan beliau ini adalah dosa kecil yang sama sekali tidak mengandung kerendahan dan kekeruhan jiwa. Karenanya didalam al-Qur’an Allah berfirman tentang Nabi Adam:

وَعَصَى آَدَمُ (طه: 121)

“Dan Adam telah berbuat maksiat kepada Tuhannya”. (QS. Thaha: 121)

Yang dimaksud “maksiat” dalam ayat ini bukan sebagai dosa besar, juga bukan merupakan dosa kecil yang mengandung kehinaan dan kekeruhan jiwa. Melainkan hanya dosa kecil saja, yang hal itu sama sekali tidak mengandung kerendahan dan kekeruahan jiwa.

Selain memiliki sifat-sifat wajib dan sifat-sifat mustahil sebagaimana telah diuraikan di atas, para Nabi juga memiliki sifat Ja’iz. Yaitu sifat-sifat yang terjadi pada diriumumnya manusia yang hal tersebut sama sekali tidak merendahkan derajat kenabian, seperti makan, minum, tidur, sakit dengan penyakit yang tidak menyebabkan orang lain menjauh dan menyingkir, pingsan yang disebabkan rasasakit, dan meninggal. Termasuk kemungkinan buta beberapa saat; artinya tidak selamanya dan bukan buta sebagai bawaan dari lahir, seperti buta beberapa saat yang terjadi pada diri Nabi Ya’qub, yang kemudian beliau dapat melihat normal kembali seperti sediakala.
__
#freetoshare

Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!

Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
*IMAN DENGAN PARA RASUL ALLAH*
(Bagian 7 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

*Beberapa Cerita Dusta Tetang Sebagian Nabi*

Berikut ini akan diuraikan beberapa cerita dusta sekitar para Nabi yang sama sekali cerita tersebut tidak berdasar. Cerita-cerita ini bertentangan dengan penjelasan sifat-sifat para Nabi yang telah kita jelaskan di atas:

*1. Cerita dusta tentang Nabi Ibrahim*

Cerita ini menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim sebelum diangkat menjadi Nabi pernah ragu-raguakan adanya Allah beberapa saat lamanya. Dia menyembah bintang, kemudian menyembah bulan, dan kemudian ia menyembah matahari.

Cerita ini bohong belaka. Karena seorang Nabi wajib selalu terpelihara dari kekufuran dan perbuatan syirik, baik sebelum maupun setelah mereka diangkat menjadi Nabi. Nabi Ibrahim sudah mengetahui dari semenjak kecil bahwa bulan, bintang, dan matahari tidak layak untuk disembah dan dijadikan Tuhan. Karena semua itu adalah benda yang memiliki bentuk dan ukuran, serta mengalami perubahan dari satu keadaan kepada keadaan lain. Benda-benda tersebut bergerak, terbit, kemudian terbenam dan lenyap. Segala sesuatu yang berubah pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam perubahan tersebut. Demikian pula segala benda yang memiliki ukuran pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya pada ukuran tersebut. Dan setiap sesuatu yang membutuhkan maka berarti dia itu lemah. Dan setiap yang lemah sangat tidak patut untuk disembah dan dituhankan.

Nabi Ibrahim telah mengetahui dari semenjak kecil bahwa hanya Allah yang berhak untuk disembah. Beliau meyakini bahwa Allah tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya. Beliau juga mengetahui bahwa segala sesuatu selain Allah adalah ciptaan Allah, maka mustahil Allah sama dengan yang diciptakan-Nya. Tentang halini Allah berfirman:

وَلَقَدْ آَتَيْنَا إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهِ عَالِمِينَ (الأنبياء: 51)

“Dan sesungguhnya Kami (Allah) telah menganugerahkan kepada Ibrahim akan kebenaran dari dahulu (artinya dari semenjak kecil), dan sungguh Kami mengetahi segala keadaannya”. (QS. al-Anbiya: 51).

Adapun firman Allah dalam QS. al-An’am tentang perkataan Nabi Ibrahim ketika beliau melihat bintang, bulan, dan matahari:

هَذَا رَبِّي (الأنعام: 76، 77، 78)

adalah gaya bahasa dalam pengertian Istifham Inkari. Artinya, sebuah kalimat dalam bentuk pertanyaan tapi untuk tujuan mengingkari, bukan untuk tujuan menetapkan. Dengan demikian makna ayat di atas adalah: “Inikah tuhanku seperti yang kalian (umat Nabi Ibrahim) sangka?”. Artinya, ini bukan tuhanku seperti yang kalian sangka.
__
#freetoshare

*Follow medsos kami* @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*

*Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih* >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk