Tauhid Corner
563 subscribers
90 photos
38 videos
6 files
770 links
Catatan Teologi Islam Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah

https://linktr.ee/tauhidcorner
Download Telegram
IMAN DENGAN ALLAH
(Bagian 6 / 7) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

Sifat-Sifat Allah (Tafsir QS. Al-Ikhlash)

Dua keyakinan di atas (Bagian 5), yaitu akidah Wahdah al-Wujud dan Hulul telah meracuni sebagian orang awam yang hanya mengutamakan dzikir tanpa mempelajari akidah yang benar dan cara beragama mereka. Dari sini mereka menganggap bahwa perbuatan mereka adalah jaminan keselamatan di akhirat kelak. Mereka juga menganggap bahwa mereka telah berbuat kebaikan “banyak” dan “besar” tiada tara. Padahal pada hakikatnya mereka tenggelam dalam kekufuran karena keyakinan sesat tersebut.

Asy-Syekh ‘Abd al-Ghani an-Nabulsi berkata:

ﺇﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻻَ يحل في ﺷَﻲﺀٍ ﻭَﻻَ ﻳَﻨْﺤَﻞُّ ﻣِﻨْﻪُ ﺷَﻲﺀٌ ﻭَﻻَ ﻳَﺤُﻞُّ ﻓِﻴْﻪِ ﺷَﻲﺀٌ ﻟَﻴْﺲَ كمثله شيء

“Sesungguhnya Allah tidak bertempat atau menyatu pada sesuatu apapun, dan tidak berpisah dari-Nya sesuatu apapun, serta tidak menyatu dengan-Nya sesuatu apapun. Dia tidak menyerupai segala sesuatu apapun dari makhluk-Nya” [al-Fath ar-Rabbani, h. 128]

Al-Imam Muhyiddin Ibn al-‘Arabi berkata:

ﻣَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﺑِﺎﻟﺤُﻠُﻮل فدينه ﻣَﻌْﻠُﻮﻝٌ ﻭَﻣَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﺑﺎﻻﺗّﺤَﺎﺩِ ﺇﻻَّ ﺃﻫْﻞُ ﺍﻻﻟْﺤَﺎﺩ ‏( ﺫﻛَﺮﻩُ ﺃﺑُﻮ ﺍﻟﻬُﺪَﻯ ﺍﻟﺼَّﻴَّﺎﺩﻱ ﻓِﻲ ﺭﺳَﺎﻟﺘِﻪِ

“Barangsiapa berkata (berkeyakinan) Hulul maka agamanya cacat. Dan tidak menyatakan Ittihad (Wahdah al-Wujud) kecuali golongan yang menyimpang (dari Islam)”. (Dituturkan oleh Abu al-Huda al-Shayyadi dalam
Risalah-nya)

Ayat keempat dari QS. al-Ikhlash merupakan penjelasan bahwa Allah tidak meyerupai segala makhluk-Nya. Ayat tersebut merupakan ayat Muhkamat; artinya merupakan ayat yang jelas maknanya dan tidak mengandung faham takwil. Pemaknaan ayat ini sama dengan pemaknaan ayat Muhkamat lainnya, yaitu dalam firman Allah:

ﻟَﻴْﺲَ ﻛَﻤِﺜﻠِﻪِ ﺷَﻲﺀٌ ‏( ﺍﻟﺸﻮﺭﻯ 11: )

“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhlukNya, baik dari satu segi maupun semua segi dan, tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya”. (QS. as-Syura: 11).
_
#freetoshare

Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!

Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
IMAN DENGAN ALLAH
(Bagian 7 / 7) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

Sifat-Sifat Allah (Tafsir QS. Al-Ikhlash)

Dalam menafsirkan QS. al-Ikhlash: 4 ini, para ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (yaitu segala sesuatu selain Allah) terbagi kepada dua bagian. Yaitu; benda dan sifat benda. Yang pertama; Benda, terbagi kepada dua bagian, yaitu:

1. Hajm Lathif : Yaitu benda yang tidak dapat dipegang atau disentuh oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, dan lain sebagainya.

2. Hajm Katsif : Yaitu benda yang dapat dipegang atau disentuh oleh tangan, seperti manusia, dan benda-benda padat lainnya.

Adapun yang kedua, yaitu sifat benda, artinya sifat-sifat dari Hajm Lathif dan sifat-sifat dari Hajm Katsif, contoh; gerak, diam, berubah, bersemayam, duduk, beridiri, terlentang, berada di tempat dan arah (baik atas, bawah, kanan, kiri, depan maupun belakang), turun, naik, panas, dingin, memiliki warna, bentuk, dan sebagainya.

Ayat QS. al-Ikhlash: 4 ini menjelaskan kepada kita bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-Nya. Bahwa Allah bukan sebagai Hajm Lathif, juga bukan sebagai Hajm Katsif, dan bahwa Allah tidak disifati dengan sifat-sifat benda tersebut.

Dari ayat ini para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah mengambil dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Karena bila Allah
mempunyai tempat dan arah maka berarti Allah mempunyai banyak keserupaan dengan makhluk-Nya, dan mempunyai dimensi, yaitu panjang, lebar, dan kedalaman. Padahal sesuatu yang memiliki dimensi semacam itu pastilah merupakan makhluk, bukan Tuhan. Mustahil Allah membutuhkan kepada yang menjadikan-Nya dalam dimensi tersebut. Karena bila Allah “membutuhkan” maka berarti Allah lemah, dan tidak layak dituhankan.

Di antara Imam terkemuka di kalangan Ahlussunnah, al-Imam Ahmad ibn Hanbal, dan al-Imam Dzunnun al-Mishri yang seorang sufi kenamaan, juga salah seorang murid terkemuka al-Imam Malik ibn Anas, berkata:

ﻣَﻬْﻤَﺎ ﺗَﺼَﻮَّﺭْت ببالك ﻓَﺎﻟﻠﻪُ ﺑِﺨِﻼَﻑِ ﺫﻟِﻚَ ‏( ﺭَﻭَﺍﻩُ ﻋﻦ ﺍﻻﻣَﺎﻡ ﺃﺣْﻤَﺪ ﺃﺑُﻮ ﺍﻟﻔَﻀْﻞ التميمي في كتابه ﺍﻋﺘﻘﺎﺩ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﺍﻟﻤُﺒَﺠَّﻞ ﺃﺣﻤَﺪ ﺑﻦ ﺣَﻨْﺒَﻞ، ﻭَﺭَﻭﺍﻩُ ﻋﻦْ ﺫَﻱ ﺍﻟﻨُّﻮﻥ ﺍﻟﻤِﺼْﺮي اﻟﺨَﻄﻴﺐُ ﺍﻟﺒَﻐْﺪَﺍﺩﻱّ ﻓﻲ ﺗَﺎﺭﻳْﺦ ﺑَﻐْﺪَﺍﺩ )

“Apapun yang terlintas dalam benakmu tentang Allah, maka Allah tidak seperti demikian itu”. (Dikutip dari al-Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Abu al-Fadl al-Tamimi dalam kitab I'tiqadal-Imam al-Mubajjal Ahmad ibn Hanbal. Dan diriwayatkan dari al-Imam Dzunnun al-Mishri oleh al-Hafizh al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh Baghdad).

Semoga kita termasuk Ahl al-Ma’rifah dan mengimani Allah dengan seteguh-teguhnya keimanan seperti yang telah digariskan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Amin.
_
#freetoshare

Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!

Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
Apa yang lebih anda sukai?
Anonymous Poll
27%
Konten video pendek
73%
Konten tulisan
IMAN KEPADA MALAIKAT
(Bagian 1 / 3) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

Dalam al-Qur’an tentang keberadaan para Malaikat, Allah berfirman:

وَإنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِيْنَ كِرَامًا كَاتِبِيْنَ يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ (الانفطار: 10-12)

“Sesungguhnya atas kalian ada (Malaikat-Malaikat) yang mengawasi (segala perbuatan), yang mulia dan selalu mencatat(perbuatan-perbuatan tersebut). Mereka mengetahui apa yang kalian kerjakan (baik perbuatan maupun perkataan yang baik dan buruk)”. (QS. al-Infithar:10-12)

Diantara Ushul al-Iman as-Sittah adalah kewajiban beriman kepada para Malaikat Allah. Beriman kepada para Malaikat artinya meyakini bahwa mereka adalah hamba-hamba Allah yang mulia. Para Malaikat tersebut bukan sebagai bintang atau planet-planet yang berada di arah langit. Tetapi mereka adalah para makhluk Allah yang termasuk dari Hajm Lathif (tidak dapat dipegang oleh tangan). Mereka bukan dari jenis laki-laki ataupun perempuan, mereka tidak makan, tidak minum, tidak tidur, tidak nikah, serta tidak berketurunan. Mereka tidak pernah berbuat dosa kepada Allah sedikitpun. Mereka selalu menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah atas mereka. Allah berfirman:

لاَ يَعْصُونَ اللهَ مَا أمَرَهُم وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُوْنَ .(التّحريم: 6)

“Mereka tidak pernah bermaksiat (durhaka) kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka, dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. at-Tahrim: 6)

Allah menjadikan tabi’at para Malaikat tersebut hanya untuk selalu taat kepada-Nya. Namun begitu, mereka taat bukan karena terpaksa (Majbur), karena mereka memiliki ikhtiar. Akan tetapi ikhtiar mereka, -dengan kehendak Allah-, hanya dalam ketaatan-ketaatan kepada-Nya saja. Maka sama sekali tidak ada ikhtiar pada diri mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan maksiat. Dan mereka sama sekali tidak merasa bosan atau lelah dalam beribadah kepada Allah.

Para Malaikat tersebut tidak boleh disebut sebagai pembantu-pembantu Allah (A’wan Allah). Karena Allah Maha Kaya atas seluruh alam ini. Allah yang menciptakan segala sesuatu maka Allah tidak membutuhkan kepada siapapun dari makhluk-makhluk-Nya ini. Allah berfirman:

فَإنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ العَالَمِيْنَ (ءال عمران :97)

“… maka sesungguhnya Allah Maha Kaya atas seluruhalam”. (QS. Ali ‘Imran: 97).

Allah menciptakan para Malaikat bukan untuk mendapatkan bantuan atau mengambil manfa’at dari mereka. Allah menciptakan para Malaikat dengan tujuan berbagai hikmah, baik hikmah tersebut kita ketahui atau tidak. Di antara hikmahnya adalah bahwa para Malaikat tersebut adalah sebagai bukti akan keluasan rahmat-rahmat Allah. Karena sebagian di antara para Malaikat tersebut ada yang mengemban tugas dengan tujuan kemaslahatan dan mempermudah bagi urusan-urusan manusia. Di samping itu, Allah menciptakan para Malaikat tersebut adalah untuk memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya.

Allah menciptakan para Malaikat dari cahaya. Rasulullah bersabda:

خُلِقَتِ المَلاَئِكَةُ مِنْ نُوْرٍ وَخُلِقَ الجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلقَ ءَادَمُ مِمَّا وُصفَلَكُم (رَوَاهُ مُسْلمٌ)

“Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api -murni- tidak berasap, dan Adam diciptakan dari apa yang telah diterangkan kepada kalian”. (HR Muslim)

Allah menciptakan para Malaikat dalam bentuk dan ukuran yang sangat besar, serta memiliki sayap-sayap. Malaikat Jibril misalnya, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa beliau mempunyai 600 sayap. Satu sayap Malaikat Jibril ini dapat menutupi ufuk langit, dari sebelah timur hingga sebelah barat. Artinya, satu sayap Malaikat Jibril tersebut dapat menutupi alam dunia ini.

Dijelaskan pula dalam sebuah hadits tentang gambaran besarnya para Malaikat Hamalah al-‘Arsy, yaitu Malaikat-Malaikat pengangkat ‘arsy, bahwa jarak antara cuping telinga dan pundak mereka adalah jarak perjalanan 700 tahun dengan kecepatan terbang seekor burung yang sangat cepat.
Pemimpin secara keseluruhan dari para Malaikat Allah adalah Malaikat Jibril. Beliau adalah Malaikat yang paling mulia. Selain Jibril, pemimpin para Malaikat lainnya (Ru-asa’ al-Mala’ikah) adalah Mika-il, ‘Azra-il dan Israfil.
_
#freetoshare

Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!

Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
IMAN KEPADA MALAIKAT
(Bagian 2 / 3) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

Dari uraian sifat-sifat Malaikat diatas (Bagian 1) dapat kita ketahui beberapa hal berikut:

Pertama:

Cerita yang tersebar mengenai Harut dan Marut, bahwa keduanya turun ke bumi, kemudian terpesona oleh kecantikan seorang wanita bernama al-Zuhrah, lalu keduanya menggoda wanita tersebut, hingga akhirnya berbuat zina dengannya, atau cerita yang menyebutkan bahwa Harut dan Marut terlebih dahulu minum khamr, kemudian berzina dengan wanita tersebut hingga melahirkan seorang anak yang kemudian dibunuh, adalah cerita bohong belaka. Karena sifat-sifat buruk semacam ini bukan sifat-sifat para Malaikat Allah, yang notabene selalu menjalankan perintah-Nya dan tidak pernah durhaka kepada-Nya.

Cerita keji ini bersumber dari orang-orang Yahudi yang memang sangat membenci para Malaikat. Cerita seperti ini jelas bertentangan dengan al-Qur’an, serta menyalahi akal sehat. Karena itu, para ulama kita mengatakan bahwa cerita ini sama sekali tidak berdasar dan boleh diyakini kebenarannya. Pembahasan ini semua telah dijelaskan oleh para ulama tafsir, seperti al-Imam al-Mufassir al-Fakhrurrazi, al-Mufassir al-Baidlawi, al-Mufassir Abu as-Su’ud, al-Mufassir al-Khazin dan lain-lain. Juga telah dijelaskan oleh para ulama hadits, seperti al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab al-Musnad dan kitab ad-Durr al-Mantsur, asy-syekh Muhammad Hut al-Bairuti dalam kitab Asna al-Mathalib, dan oleh para ulama terkemuka lainnya.

Kedua:

Bahwa Iblis bukan termasuk golongan Malaikat. Karena dzat dan sifat-sifat Iblis berbeda dengan sifat-sifat Malaikat. Bahkan sifat-sifat Iblis ini bertolak belakang dengan sifat-sifat Malaikat. Hal ini berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:

1. Iblis adalah termasuk golongan Jin. Allah berfirman:

إلاَّ إبْليْس كَانَ مِنَ الجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أمْرِ رَبِّهِ (الكهف: 50)

“…kecuali Iblis, dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya…” (QS al-Kahfi: 50)

2. Iblis adalah makhluk kafir, seperti pernyataan jelas dalam al-Qur’an:

إلاَّ إبْلِيسَ أبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الكَافِرِيْنَ (البقرة :34)

“…kecuali Iblis, ia enggan dan takabur dan ia termasuk golongan yang kafir”. (QS al-Baqarah: 34)

3. Iblis memiliki keturunan, sebagaimana firman Allah:

أفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَتَهُ أوْلِيَاءُ مِنْ دُوْنِي (الكهف: 50)

“…patutkah kamu menjadikannya dan keurunan-keturunannya sebagai pemimpin selain Aku…” (QS al-Kahfi: 50)

4. Iblis mengaku bahwa dirinya diciptakan oleh Allah dari api, seperti dijelaskan dalam al-Qur’an:

قَالَ أنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِيْنٍ (الاعراف: 12)

“Iblis berkata: Aku lebih baik darinya (Adam), Engkau mencipakanku dari api sedangkan dia Engkau ciptakan ia dari tanah”. (QS. al-A’raf: 12)

Dengan demikian jelaslah bahwa Iblis bukan termasuk golongan Malaikat, karena ia kafir kepada Allah, ia berketurunan, dan ia diciptakan dari api, sementara Malaikat diciptakan dari cahaya.

Ketiga:

Pernyataan yang mengatakan bahwa para Malaikat sebagai dari jenis perempuan adalah merupakan perkataan orang-orang kafir. Sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur’an:

إنَّ الّذِيْنَ لاَيُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ المَلاَئِكَةَ تَسْمِيَةَ الأنْثى (النجم:27)

“Sesungguhnya orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat (artinya orang-orang kafir), mereka benar-benar menamakan Malaikat dengan nama perempuan”. (QS. an-Najm: 27)

Dengan demikian Malaikat bukan dari jenis laki-laki dan bukan pula dari jenis perempuan.
_
#freetoshare

Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!

Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
IMAN KEPADA MALAIKAT
(Bagian 3 / 3) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

Tugas-Tugas Para Malaikat

Jumlah para Malaikat sangat banyak. Tidak ada yang mengetahui jumlah mereka secara pasti kecuali Allah sendiri. Allah berfirman:

وَمَا يَعْلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَ (المدثر: 31)

“Dan tidak ada yang mengetahui akan bala tentara (para Malaikat) Tuhanmu (Wahai Muhammad) kecuali Dia sendiri”. (QS al-Mudatsir: 31)

Jumlah para Malaikat lebih banyak dari seluruh jumlah manusia, jin, kerikil, dedaunan dan bahkan lebih banyak dari setiap tetes air hujan. Mereka adalah para penduduk langit, dari mulai langit pertama hingga langit ke tujuh. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:

مَا فِي السَّمَوَاتِ مَوضِع أرْبَع أصَا بع إلاَّ وَفِيْهِ مَلَكٌ قَائِمٌ أَوْ رَاكِعٌ أوْ سَاجِدٌ. (رَوَاهُالتّرمِذيّ)

“Tidaklah ada tempat -kosong- dengan ukuran empat jari tangan di semua lapisan langit, kecuali pada tempat tersebut ada Malaikat yang sedang berdiri, ruku’ atau sujud (artinya semuanya dalam keadaan beribadah kepada Allah)”. (HR Tirmidzi).

Hadits ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa setiap lapis langit dipenuhi oleh para Malaikat Allah. Dengan demikian mustahil jika Allah berada di dalam langit seperti yang diyakini oleh kaum Musyabbihah, atau kaum Wahhabiyyah di masa sekarang. Karena bila demikian maka berarti Allah berdesak-desakan dengan para Malaikat-Nya, dan berarti Allah membutuhkan kepada langit yang notabene sebagai makhluk-Nya sendiri. Na’udzuBillah.

Dari beberapa ayat al-Qur’an dan hadits Nabi di atas dapat disimpulkan bahwa para Malaikat mempunyai tugas yang beragam. Malaikat Jibril misalnya, ditugaskan untuk menyampaikan wahyu Allah kepada para Nabi dan Rasul-Nya serta menyampaikan perintah-perintah Allah kepada para Malaikat lainnya. Beliau juga ditugaskan mengatur angin, dan membantu para Nabi Allah. Malaikat Mika-il diperintahkan untuk mengatur hujan dan memelihara tumbuh-tumbuhan. Malaikat ‘Azra-il bertugas mencabut nyawa. Malaikat Israfil bertugas meniup sangkakala (at-Tsur). Malaikat Malik sebagi penjaga (Khazin) Neraka. Ada sebagian Malaikat yang bertugas mancatat amal baik dan amal buruk manusia. Ada pula yang bertugas menanyai manusia di kubur, yaitu Malaikat Munkar dan Nakir. Ada yang bertugas menjaga manusia dari gangguan jin. Ada yang bertugas menyampaikan shalawat dan salam umat orang Islam kepada Nabi Muhammad. Ada yang bertugas menjaga surga, membantu orang mukmin dalam peperangan seperti yang terjadi dalam perang Badr, mengatur gunung-gunung, menghibur hati orang-orang mukmin yang berada dalam kesedihan dan kesusahan. Ada pula Malaikat pembawa adzab atau siksa, dan adapula yang membawa rahmat.

Ketika Rasulullah Mi’raj, beliau menyaksikan al-Bait al-Makmur di langit ke tujuh. Al-Bait al-Ma’mur ini adalah rumah yang dimuliakan bagi para penduduk langit (para Malaikat), seperti halnya Ka’bah sebagai rumah yang dimuliakan bagi para penduduk bumi (Manusia dan Jin). Setiap harinya, al-Bait al-Ma’mur dimasuki oleh 70.000 Malaikat. Para Malaikat tersebut melaksanakan shalat di dalamnya. Setelah itu kemudian mereka keluar dan tidak akan pernah kembali lagi ke dalamnya selamanya. Artinya para Malaikat dengan jumlah tersebut dalam setiap harinya terus-menerus bergantian.

Kesimpulannya, bahwa Allah menciptakan para Malaikat bukan karena membutuhkan bantuan dari mereka. Dengan demikian tidak boleh dikatakan: “Jika Allah maha kuasa atas segala sesuatu mengapa Dia memerintahkan para Malaikat untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut?”. Karena Allah melakukan terhadap apa yang Ia kehendaki. Allah tidak dipertanyakan kepada-Nya “apa yang Ia berbuat”?! atau “kenapa berbuat demikian”?! Sebaliknya, seluruh hamba yang akan ditanya dan diminta mempertanggungjawabkan perbuatannya masing-masing.

Benar, segala perbuatan Allah tidak lepas berbagai hikmah, baik hikmah yang kita ketahui ataupun tidak. Di antara hikmah pemberian tugas-tugas terhadap para Malaikat tersebut adalah untuk mengangkat derajat mereka.
Karena dengan selalu berbuat ketaatan-ketaatan kepada-Nya maka setiap makhluk akan semakin tinggi kemuliaan dan derajatnya bagi Allah.

Kemudian dari pada itu, sesungguhnya para Malaikat hanya mengatur dalam perkara-perkara tertentu saja. Seperti mengatur hujan, angin, tumbuh-tumbuhan atau lainnya. Artinya bahwa para Malaikat tidak mengatur segala sesuatu secara mutlak. Karena pengaturan terhadap segala sesuatu secara mutlak hanya milik Allah saja. Inilah di antara makna yang dimaksud oleh salah satu nama Allah “al-Qayyum”. Artinya, hanya Allah yang mengatur secara mutlakakan segala urusan makhluk-makhluk-Nya. Karena itu, pengaturan para Malaikat terhadap perkara-perkara tertentu tersebut berada dibawah kemutlakan pengaturan dan pengawasan Allah.

Kemudian para Malaikat tersebut oleh Allah diberi kemampuan untuk beralih rupa menjadi bentuk laki-laki yang tampan, tetapi tanpa alat kelamin. Namun mereka tidak akan menjelma menjadi perempuan, atau bentuk-bentuk yang buruk. Selain itu, Allah juga memberi mereka kekuatan yang sangat dahsyat. Tentang Malaikat Jibril, misalkan dinyatakan dalam al-Qur’an:

ذِيْ قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي العَرْشِ مَكِيْن (التكوير:20)

“(Dia Jibril) yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai derajat yang agung menurut Allah”. (QS at-Takwir: 20)

Malaikat Jibril ini dengan hanya satu helai sayapnya pernah mengangkat empat atau lima kota dengan seluruh penduduk yang ada di dalamnya, yaitu kota kaum Nabi Luth. Beliau mengangkat seluruh kota-kota tersebut beserta isinya sampai jauh tinggi hingga mendekati langit pertama, kemudian beliau membalikannya, menjadikan arah bawahnya sebagai arah atas. Semua ini beliau lakukan tanpa rasa lelah dan tanpa kesulitan. Serta masih banyak contoh-contoh lainnya.

Kaedah Penting

Seseorang tidak dibenarkan mancaci maki para Malaikat Allah, baik Malaikat ‘Izra-il maupun Malaikat lainnya. Menghina, merendahkan, melecehkan para Malaikat dapat mengakibatkan kufur, keluar dari Islam (Riddah). Karena seluruh para Malaikat Allah adalah hamba-hamba yang senantiasa saleh dan bertaqwa kepada-Nya. Mereka semua adalah para kekasih Allah (Auliya’ Allah,Ahbab Allah). Seorang muslim yang dicintai oleh Allah adalah yang mencintai para Malaikat-Nya dengan setulus hati, tidak seperti orang-orang Yahudi yang membenci dan memusuhi para Malaikat tersebut.

Semoga Allah menggolongkan kita sebagai hamba-hambanya yang saleh bersama para Nabi-Nya, para Malaikat-Nya dan parawali-Nya. Amin
_
#freetoshare

Follow medsos kami
https://linktr.ee/tauhidcorner
@tauhidcorner | Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!

Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
IMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH
(Bagian 1 / 4) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

Di antara Ushul al-Iman al-Sittah, setelah iman kepada Allah dan iman kepada Malaikat adalah iman kepada kitab-kitab-Nya. Iman kepada kitab-kitab Allah artinya mempercayai dan membenarkan bahwa Allah telah menurunkan beberapa Kitab sebagai wahyu kepada beberapa orang Nabi-Nya. Didalam hal ini, tidak ada keterlibatan, baik dari Nabi yang bersangkutan maupun dari para Malaikat, dalam penyusunan kalimat-kalimat maupun makna-makna bagi kitab-kitab tersebut.

Jumlah kitab-kitab Samawi yang diturunkan kepada para Nabi Allah adalah sebanyak 104 kitab. Sebanyak 50 kitab diantaranya diturunkan kepada Nabi Syits. Beliau adalah putra Nabi Adam yang diangkat oleh Allah sebagai Nabi dan Rasul setelah Nabi Adam wafat. Sebanyak 30 kitab diturunkan kepada Nabi Idris, 10 kitab kepada Nabi Ibrahim, 10 kitab kepada Nabi Musa sebelum diturunkan kitab at-Taurat, kemudian kitab at-Taurat kepada beliau, kitab az-Zabur kepada Nabi Dawud, kitab al-Injil kepada Nabi ‘Isa dan kitab al-Qur’an di turunkan kepada Nabi akhir zaman, Nabi Muhammad.

Adapun para Rasul yang tidak diturunkan kitab-kitab kepada mereka, Allah menurunkan bagi mereka ash-Shuhuf (lembaran-lembaran). Wahb ibn Munabbih, salah seorang ulama kaum Yahudi yang masuk Islam setelah Rasulullah wafat, berkata: “Aku telah membaca tujuh puluh kitab dari kitab-kitab yang telah diturunkan oleh Allah”.

Seluruh para Nabi dan para Rasul Allah menyerukan ajaran tauhid. Menyerukan bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Dan agama seluruh para Nabi tersebut hanya satu, yaitu agama Islam. Semua Nabi tersebut menyeru hanya kepada agama yang satu ini. Tentang hal ini Rasulullah bersabda:

الأنْبِيَاءُ إخْوَةٌلِعَلاَّتٍ دِيْنُهُمْ وَاحِدٌ وَأمَّهَاتُهُمْ شَتَّى (رَوَاهُ الشَّيْخَانِ وَأحْمَدُ وَابْنُ حِبَّانَ وَغَيْرُهُمْ)

“Para Nabi (ibarat) saudara seayah, -artinya- agama mereka satu, dan ibu-ibu mereka (artinya syari’at-syari’at mereka) berbeda-beda”. (HR. al-Bukhari, Muslim, Ahmad ibn Hanbal, Ibn Hibban dan lainnya).

Al-Qur’an adalah kitab terakhir yang di turunkan. Ia adalah kitab yang membawahi kitab-kitab sebelumnya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah QS. al-Ma’idah: 48. Artinya bahwa al-Qur’an menetapkan kebenaran isi kitab-kitab sebelumnya, sekaigus menjelaskan penyelewengan isi dan perubahan lafazh yang dilakukan oleh sebagian orang terhadap kitab-kitab terdahulu tersebut.

Al-Qur’an, tidak seperti kitab-kitab sebelumnya yang telah banyak mengalami penyelewengan-penyelewengan pada isi (makna) dan perubahan-perubahan pada lafazh (at-Tahrif Wa at-tabdil). Kemurnian dan kebenaran al-Qur’an selalu terjaga. Hal ini sebagaimana dijanjikan Allah dalam firman-Nya:

إنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذّكْرَ وَإنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ (الحجر:9)

“Sesungguhnya Kami (Allah) yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami (pula) yang menjaganya”. (QS. al-Hijr: 9)

Adapun kitab at-Taurat dan al-Injil yang sekarang beredar, keduanya telah banyak mengalami penyelewengan makna-makna dan perubahan lafazh-lafazhnya. Orang-orang Yahudi pada awal mulanya hanya merubah dan menyelewengkan makna kitab at-Taurat, tapi pada akhirnya mereka juga merubah dan menyelewengkan lafazh-lafazhnya. Allah berfirman:

فَوَيْلٌ لِلًّذِيْنَ يَكْتُبُوْنَ الكِتَابَ بِأيْدِيْهِمْ ثُمَّ يَقُوْلُوْنَ هَذِهِ مِنْ عِنْدِ اللهِ لِيَشْتَرُوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيْلاً فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أيْدِيْهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُوْنَ (البَقَرَةُ:79)

“Maka celaka besar bagi orang-orang yang menulis at-Taurat dengan tangan mereka sendiri lalu mereka menyatakan: “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka celaka besar bagi mereka akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri dan celaka besar bagi mereka akibat dari apa yang mereka kerjakan”. (QS. al-Baqarah: 79)
Seperti halnya kitab at-Taurat, isi kitab al-Injil-pun telah diselewengkan oleh kaum Nashrani. Hal ini telah dibuktikan dengan banyaknya versi kitab Injil yang beredar. Versi yang satu tidak sama dengan versi lainnya. Bahkan saringkali ditemukan antara satu versi atausatu cetakan bertentangan dalam banyak hal dengan versi atau cetakan lainnya. Kitab-kitab al-Injil yang beragam versi ini antara lain, Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, Injil Yohana dan Injil Barnabas.
_
#freetoshare

Follow medsos kami
https://linktr.ee/tauhidcorner
@tauhidcorner Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!

Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
*IMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH*
(Bagian 2 / 4) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

Perlu diketahui bahwa para pengikut Nabi Musa dan Nabi ‘Isa adalah orang-orang Islam, sebagaimana juga para pengikut Nabi-nabi lainnya. Adapun kaum Yahudi dinamakan dengan “Yahudi” adalah karena setelah beberapa orang pengikut Nabi Musa menyembah anak sapi yang dibuat dari emas oleh seorang bernama Musa as-Samiri, maka Nabi Musa sangat marah kepada mereka karena telah menyembah selain Allah. Kemudian Nabi Musa memilih tujuh puluh orang dari pengikutnya tersebut untuk melakukan tadharr’u (berserahdiri) kepada Allah. Lalu Nabi Musa dengan kepasrahannya yang total kepada Allah berkata:

إنَّا هُدْنَا إلَيْكَ (الأعْرَافُ:156)

“… sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepadaEngkau”. (QS. al-A’raf: 156)

Dengan demikian asal nama “Yahudi” diambil dari perkataan Nabi Musa: “Hudna”, yang artinya kami kembali, artinya kami bertaubat.

Sementara kaum Nashrani dinamakan dengan “Nashrani” adalah karena orang-orang muslim dari pengikut Nabi ‘Isa dahulu merupakan orang-orang yang membela Nabi ‘Isa dalam menegakan agama Islam yang dibawa olehnya (Anshar ‘Isa). Tentang hal ini Allah berfirman:

فلَمَّا أحَسَّ عِيْسَى مِنْ هُمُ الكُفْرَ قَالَ مَنْ أنْصَارِيْ إلىَ اللهِ قالَ الحَوَارِيُّوْنَ نَحْنُ أنْصَارُ اللهِ ءَامَنَّا بِاللهِ وَاشْهَدْ بِأنَّا مُسْلِمُوْنَ (ءَالِ عِمْرَانَ: 52)

“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran Bani Israil, ia berkata: Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah? Para sahabat setianya (al-Hawariyyun) menjawab: Kami adalah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah dan saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Islam”. (QS. Ali ‘Imran: 52).

Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa parapengikut Nabi Musa dahulu yang mendapat sebutan nama Yahudi dan pengikut Nabi ‘Isa dahulu yang mendapat sebutan nama Nashrani, bahwa pada awal mulanya mereka adalah orang-orang Islam. Yaitu ketika mereka masih setia mengikuti ajaran-ajaran Islam yang dibawa Nabi Musa dan Nabi ‘Isa sendiri. Hanya saja beberapa ratus tahun kemudian setelah Nabi Musa wafat, dan setelah nama Yahudi melekat pada diri mereka, banyak dari mereka yang kemudian menyeleweng dari ajaran-ajaran Nabi Musa sendiri.

Demikian pula yang terjadi dengan pengikut Nabi ‘Isa. Setelah lewat sekitar 300 tahun dari diangkatnya beliau oleh Allah ke langit, banyak dari para pengikut Nabi ‘Isa tersebut yang dengan menyandang nama Nashrani telah menyeleweng dari ajaran Nabi ‘Isa sendiri. Dan persisnya, setelah sekitar 500 tahun kemudian orang-orang yang mengaku sebagai pengikut Nabi ‘Isa ini semuanya telah menyeleweng dari ajaran yang dibawa Nabi ‘Isa. Tidak ada seorangpun diantara mereka yang mengikuti ajaran Nabi ‘Isa dengan benar. Karenanya, setelah lewat 500 tahun tersebut tidak ada seorang pun dari mereka yang muslim.

Maka sebelum kemudian Nabi Muhammad diutus oleh Allah sebagai Rasul, secara praktis saat itu tidak ada lagi seorang muslim di atas mukabumi ini. Dengan demikian pengikut murni Nabi Musa yang mendapat sebutan Yahudi dan pengikut murni Nabi ‘Isa yang mendapat sebutan Nashrani sebenarnya mereka adalah orang-orang Islam. Hanya saja ketika sebagian dari mereka atau generasi-generasi setelah mereka menjadi orang-orang kafir kepada Allah, sebutan tersebut masih melekat pada mereka hingga mereka lebih dikenal dengan nama Yahudi dan Nashrani. Karena itu, Ahl al-Kitab, yaitu orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashrani yang mengaku sebagai pengikut ajaran kitab at-Taurat dan kitab al-Injil namun mereka menyeleweng dari keduanya, mereka semua adalah orang-orang yang kafir kepada Allah. Tentang hal ini Allah berfirman:

يَا أهْلَ الكِتَابِ لِمَ تَكْفُرُوْنَ بِآيَاتِ اللهِ وَأنْتُمْ تَشْهَدُوْنَ (ءَالِ عِمْرَانَ:70)

“Wahai Ahl al-Kitab (Yahudi dan Nashrani), mengapa kalian kufur (mengingkari) ayat-ayat Allah, padahal kalian mengetahui (kebenarannya)”. (QS. Ali ‘Imran: 70)
Dalam beberapa kitab tentang sejarah hidup Rasulullah (Sirah Nabawiyyah) diterangkan bahwa Rasulullah menyeru Ahl al-Kitab untuk masuk ke dalam Islam. Ini artinya bahwa mereka adalah orang-orang kafir, karena Rasulullah tidak akan mengajak orang-orang Islam untuk masuk ke dalam Islam kembali. Rasulullah bersabda:

مَا مِنْ يَهُوْدِيٍّ وَلاَ نَصْرَانِيٍّ يَسْمَعُ بِيْ ثُمَّ لاَ يُؤْمِنُ بِيْ وَبِمَا جِئْتُ بِهِ إلاَّ كَانَ مِنْ أصْحَابِ النَّارِ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)

“Tidaklah seorang Yahudi dan Nashrani yang telah mendengar tentang Aku kemudian tidak beriman kepadaku dan kepada (ajaran) yang aku bawa, kecuali ia akan tergolong penduduk neraka”. (HR. Muslim)
_
#freetoshare

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa _share_ jika tulisan ini bermanfaat!*

Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
IMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH
(Bagian 3 / 4) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

Al-Qur’an Kalam Allah

Ketika kita katakan: “al-Qur’an Kalam Allah”, maka dalam pemaknaannya terdapat dua pengertian:

Pertama: al-Qur’an dalam pengertian lafazh-lafazh yang diturunkan (al-Lafzh al-Munazzal), yang ditulis dengan tinta di antara lebaran-lembaran kertas (al-Maktub Bain al-Masha-hif), yang dibaca dengan lisan (al-Maqru’ Bi al-Lisan), dan dihapalkan didalam hati (al-Mahfuzh Fi ash-Shudur). al-Qur’an dalam pengertian ini maka tentunya ia berupa bahasa Arab, tersusun dari huruf-huruf, serta berupa suara saat dibaca.

Kedua: al-Qur’an dalam pengertian Kalam Allah ad-Dzati. Artinya dalam pengertian salah satu sifat Allah yang wajib kita yakini, yaitu sifat al-Kalam. Sifat Kalam Allah ini, sebagaimana seluruh sifat-sifat Allah lainnya, tidak menyerupai makhluk-Nya. Sifat Kalam Allah tanpa permulaan dan tanpa penghabisan, serta tidak menyerupai sifat kalam yang ada pada makhluk. Sifat kalam pada makhluk berupa huruf-huruf, suara dan bahasa. Adapun Kalam Allah bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa.

Al-Qur’an dalam pengertian pertama (al-Lafzh al-Munazzal) maka ia adalah makhluk. Dan al-Qur’an dalam pengertian yang kedua (al-Kalam adz-Dzati) maka jelas ia bukan makhluk. Namun demikian, al-Qur’an baik dalam pengertian pertama maupun dalam pengertian kedua tetap disebut “Kalam Allah”. Kita tidak boleh mengucapkan secara mutlak; “al-Qur’an Makhluk”. Sebab pengertian al-Qur’an ada dua; dalam pengertian al-Lafzh al-Munazzal dan dalam pengertian al-Kalam adz-Dzati, sebagaimana di atas.

Al-Qur’an dalam pengertian pertama adalah sebagai ungkapan dari sifat Kalam Allah adz-Dzati. Maka al-Qur’an yang berupa kitab yang kita baca dan kita hafalkan, tersusun dari huruf-huruf, dan dalam bentuk bahasa Arab, bukan sebagai Kalam Allah al-Dzati (sifat Kalam Allah), melainkan kitabtersebut adalah ungkapan (‘Ibarah) dari Kalam Allah al-Dzati yang bukansuara, bukan huruf-huruf, dan bukan bahasa.

https://linktr.ee/tauhidcorner

Sebagai pendekatan, apabila kita menulis lafazh “Allah” di papan tulis, maka hal itu bukan berarti bahwa “Allah” yang berupa tulisan itu Tuhan yang kita sembah. Melainkan lafazh atau tulisan “Allah” tersebut hanya sebagai ungkapan (‘Ibarah) bagi adanya Tuhan yang wajib kita sembah, yang bernama “Allah”. Demikian pula dengan “al-Qur’an”, ia disebut “Kalam Allah” bukan dalam pengertian bahwa itulah sifat Kalam Allah; berupa huruf-huruf, dan dalam bahasa Arab. Tetapi al-Qur’an yang dalam bentuk huruf-huruf dan dalam bentuk bahasa Arab tersebut adalah sebagai ungkapan dari sifat Kalam Allah adz-Dzati.

Dengan demikian harus dibedakan antara al-Lafzh al-Munazzal dan al-Kalam adz-Dzati. Sebab apa bila tidak dibedakan antara dua perkara ini, maka setiap orang yang mendengar bacaan al-Qur’an akan mendapatkan gelar “Kalimullah” sebagaimana Nabi Musa yang telah mendapat gelar “Kalimullah”. Tentu hal ini menjadi rancu dan tidak dapat diterima. Padahal, Nabi Musa mendapat gelar “Kalimullah” adalah karena beliau pernah mendengar al-Kalam adz-Dzati yang bukan berupa huruf, bukan suara dan bukan bahasa. Dan seandainya setiap orang yang mendengar bacaan al-Qur’an mendapat gelar “Kalimullah” seperti gelar Nabi Musa, maka berarti tidak ada keistimewaan sama sekali bagi Nabi Musa yang telah mendapatkan gelar “Kalimullah” tersebut.

Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّه (التوبة: 6)

“Dan apa bila seseorang dari orang-orang musyrik meminta perlidungan darimu (wahai Muhammad) maka lindungilah ia hingga ia mendengar Kalam Allah”. (QS. at-Taubah: 6)

Dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk memberikan perlidungan kepada seorang musyrik kafir yang diburu oleh kaumnya, jika memang orang musyrik ini meminta perlindungan darinya. Artinya, Orang musyrik ini diberi keamanan untuk hidup di kalangan orang-orang Islam hingga ia mendengar Kalam Allah.
Setelah orang musyrik ini diberi keamanan dan mendengar Kalam Allah, namun ternyata ia tidak masuk Islam, maka ia dikembalikan ke wilayah tempat tinggalnya.

Kemudian, yang dimaksud bahwa orang musyrik tersebut “mendengar Kalam Allah” adalah mendengar bacaan kitab al-Qur’an yang berupa lafazh-lafazh dalam bentuk bahasa Arab (al-Lafzh al-Munazzal), bukan dalam pengertian mendengar al-Kalam adz-Dzati. Sebab jika yang dimaksud mendengar al-Kalam adz-Dzati maka berarti sama saja antara orang musyrik tersebut dengan Nabi Musa yang telah mendapatkan gelar “Kalimullah”. Dan bila demikian maka berarti orang musyrik tersebut juga mendaptkan gelar “Kalimullah”, persis seperti Nabi Musa. Tentunya hal ini tidak bisa dibenarkan.
_
#freetoshare

Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!

Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
IMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH
(Bagian 4 / 4) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

Diantara dalil lainnya yang menguatkan bahwa al-Kalam adz-Dzati bukan berupa huruf-huruf, bukan suara, dan bukan bahasa adalah firman Allah:

وَهُوَ أسْرَعُ الحَاسِبِيْنَ (الأنْعَامُ:62)

“… dan Dia Allah yang menghisab paling cepat”. (QS.al-An’am: 62)

Pada hari kiamat kelak, Allah akan menghisab seluruh hamba-Nya dari bangsa manusia dan jin. Allah akan memperdengarkan kalam-Nya kepada setiap orang dari mereka. Dan mereka akan memahami dari kalam Allah tersebut pertanyaan-pertanyaan tentang segala apa yang telah mereka kerjakan, segala apa yang mereka katakan, dan apa yang mereka yakini ketika mereka hidup di dunia. Rasulullah bersabda:

مَا مِنْكُمْ مِنُ أحَدٍ إلاَّ سَيُكَلِّمُهُ رَبُّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تُرْجُمَانُ (رَوَاهُ البُخَارِيُّ)

“Setiap orang akan Allah perdengarkan Kalam-Nya kepadanya (menghisabnya) pada hari kiamat, tidak ada penerjemah antara dia dengan Allah”. (HR. al-Bukhari)

Allah akan menghisab seluruh hamba-Nya dalam waktu yang sangat singkat. Seandainya Allah menghisab mereka dengan suara, susunan huruf, dan dengan bahasa, maka Allah akan membutuhkan waktu beratus-ratus ribu tahun untuk menyelesaikan hisab tersebut, karena makhluk Allah sangat banyak. Kaum Ya’juj dan Ma’juj saja jumlah mereka 100 kalilipat dari jumlah seluruh manusia, bahkan dalam satu riwayat disebutkan jumlah mereka 1000 kali lipat dari jumlah manusia. Belum lagi bangsa jin yang sebagian mereka hidup hingga ribuan tahun. Manusia sendiri, sebelum umat Nabi Muhammad ada yang mencapai umurnya hingga 2000 tahun, ada yang berumur hingga 1000 tahun, dan ada pula yang hanya 100 tahun. Kelak mereka semua akan dihisab, bukan hanya dalam urusan perkataan atau ucapan saja, tapi juga menyangkut segala perbuatan dan keyakinan-keyakinan mereka. Seandainya Kalam Allah berupa suara, huruf, dan bahasa maka dalam menghisab semua makhluk tersebut Allah akan membutuhkan kepada waktu yang sangat panjang. Karena dalam penggunaan huruf-huruf dan bahasa jelas membutuhkan kepada waktu. Huruf berganti huruf, kemudian kata menyusul kata, dan demikian seterusnya. Dan bila demikian maka maka berarti Allah bukan sebagai Asra’ al-Hasibin (Penghisab yang paling cepat), tapi sebaliknya; Abtha’ al-Hasibin (Penghisab yang paling lambat). Tentunya hal ini mustahil bagi Allah.

Dalam ayat lain Allah berfirman:

إنَّمَا أمْرُهُ إذَا أرَادَ شَيْئًا أنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ (يس: 82)

Maknanya ayat ini bukan berarti bahwa setiap Allah berkehendak menciptakan sesuatu, maka dia berkata: “Kun”, dengan huruf “Kaf” dan “Nun” yang artinya “Jadilah…!”. Karena seandainya setiap berkehendak menciptakan sesuatu Allah harus berkata “Kun”, maka dalam setiap saat perbuatan-Nya tidak ada yang lain kecuali hanya berkata-kata: “kun, kun, kun…”. Hal ini tentu mustahil atas Allah. Karena sesungguhnya dalam waktu yang sesaat saja bagi kita, Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu yang tidak terhitung jumlanya. Deburan ombak di lautan, rontoknya dedaunan, tetesan air hujan, tumbuhnya tunas-tunas, kelahiran bayi manusia, kelahiran anak hewan dari induknya, letusan gunung, sakitnya manusia dan kematiannya, serta berbagai peristiwa lainnya, semua itu adalah hal-hal yang telah dikehendaki Allah dan merupakan ciptaan-Nya. Semua perkara tersebut bagi kita terjadi dalam hitungan yang sangat singkat, bisa terjadi secara beruntun bahkan bersamaan.

Adapun sifat perbuatan Allah sendiri (Shifat al-Fi’il) tidak terikat oleh waktu. Allah menciptakan segala sesuatu, sifat perbuatan-Nya atau sifat menciptakan-Nya tersebut tidak boleh dikatakan “dimasa lampau”, “di masa sekarang”, atau “di masa mendatang”. Sebab perbuatan Allah itu azali, tidak seperti perbuatan makhluk yang baharu. Perbuatan Allah tidak terikat oleh waktu, dan tidak dengan mempergunakan alat-alat. Benar, segala kejadian yang terjadi pada alam ini semuanya baharu, semuanya diciptakan oleh Allah, namun sifat perbuatan Allah atau sifat menciptakan Allah (Shifat al-Fi’il) tidak boleh dikatakan baharu.
Kemudian dari pada itu, kata “Kun” adalah bahasa Arab yang merupakan ciptaan Allah (al-Makhluk). Sedangkan Allah adalah Pencipta (Khaliq) bagi segala bahasa. Maka bagaimana mungkin Allah sebagai al-Khaliq membutuhkan kepada ciptaan-Nya sendiri (al-Makhluq)?! Seandainya Kalam Allah merupakan bahasa, tersusun dari huruf-huruf, dan merupakan suara, maka berarti sebelum Allah menciptakan bahasa Dia diam; tidak memiliki sifat Kalam, dan Allah baru memiliki sifat Kalam setelah Dia menciptakan bahasa-bahasa tersebut. Bila seperti ini maka berarti Allah baharu, persis seperti makhluk-Nya, karena Dia berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Tentu hal seperti ini mustahil atas Allah.

Dengan demikian makna yang benar dari ayat dalam QS. Yasin: 82 diatas adalah sebagai ungkapan bahwa Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu tanpa lelah, tanpa kesulitan, dan tanpa ada siapapun yang dapat menghalangi-Nya. Dengan kata lain, bahwa bagi Allah sangat mudah untuk menciptakan segala sesuatu yang Ia kehendaki, sesuatu tersebut dengan cepat akan terjadi, tanpa ada penundaan sedikitpun dari waktu yang Ia kehendakinya.
_
#freetoshare

Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!

Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
Ta'alluq Sifat Qudrah dan Iradah Allah hanya kepada perkara-perkara jaiz 'aqli saja.

Jika ditanya:
Mampukah Allah menciptakan Allah yang lain?

Jawab:
👇🏻👇🏻
https://vt.tiktok.com/ZSYggcfyG/
IMAN DENGAN PARA RASUL ALLAH
(Bagian 1 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

Dalam al-Qur’an Alah berfirman:

ءَامَنَ الرّسُولُ بِمَا أنْزِلَ إلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالمُؤمِنُونَ كُلٌّ ءَامَنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ (البقرة:285)

“Rasulullah (Muhammad) telah beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan kepadanya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya, (mereka mengatakan), kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari Rasul-rasul-Nya”. (QS. al-Baqarah: 285)

Diantara dasar-dasar iman yang enam (Ushul al-Iman as-Sittah) setelah iman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, dan kitab-kitab-Nya adalah iman kepada Rasul-rasul Allah. Iman kepada para Rasul artinya meyakini bahwa Allah telah memilih mereka untuk mengemban tugas kenabian dan menyampaikan misi kerasulan, dan bahwa Allah telah memuliakan mereka dengan wahyu sebagai petunjuk dari-Nya untuk para hamba-Nya, serta meyakini bahwa Allah telah memberikan kepada mereka beberapa kekuatan sebagai mu’jizat sehingga mereka mampu melaksanakan tugas-tugasnya tersebut.

Kemudian yang dimaksud beriman kepada para Rasul Allah artinya mencakup juga beriman kepada para Nabi yang bukan sebagai Rasul. Dengan demikian, iman kepada para Rasul Allah adalah mempercayai utusan-utusan Allah, baik yang sebagai Rasul, maupun yang hanya Nabi saja. Adapun Nabi yang sekaligus sebagai Rasul pertama adalah Adam, dan Nabi serta Rasul terakhir adalah Nabi Muhammad -‘Alaihimash-Shalah Wa as-Salam–.

Para Nabi dan Rasul diutus oleh Allah merupakan karunia dan rahmat dari-Nya bagi para hamba-Nya. Karena dengan akal semata manusia tidak akan mampu mengetahui perkara-perkara yang bisa menyelamatkannya di akhirat kelak. Maka dengan diutusnya para Nabi dan Rasul, menjadi dapat diperoleh maslahat-maslahat yang pokok bagi manusia, karena memang manusia sangat membutuhkan kepada kehadiran para Nabi dan para Rasul.
_
#freetoshare

Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!

Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
Media is too big
VIEW IN TELEGRAM
Aqidah 50 Perkara | Aqidatul Khamsin | Aqidah Seket
IMAN DENGAN PARA RASUL ALLAH
(Bagian 2 / 9) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

Kenabian (An-Nubuwwah)

Kata an-Nubuwwah berasal dari kata an-naba’ yang berarti kabar atau berita, karena kenabian adalah penyampaian berita atau pemberitaan dari Allah. Atau kata tersebut berasal dari kata an-Nabwah yang bererti ar-Rif’ah yang berarti ketinggian, karena memang derajat para Nabi sangat tinggi dan mulia. Kerasulan adalah derajat yang paling tinggi dan mulia. Tidak ada derajat amal ibadah, keta’atan, kemuliaan, dan kehormatan menurut Allah yang melebihi diatas kerasulan.

Kenabian tidak dapat diperoleh dengan jalan ibadah yang sungguh-sungguh, dengan memperbanyak amal saleh, maupun dengan memperindah akhlak. Kenabian bukan sesuatu yang bisa diperoleh dengan jalan usaha dan upaya (Ghair Muktasab). Kenabian adalah murni pemilihan dan pemberian Allah kepada beberapa hamba-Nya yang Ia kehendaki. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

يُؤْتِي الحِكْمَةَمَنْ يَشَاءُ (البقرة: 269)

“Allah menganugerahkan al-Hikmah kepada siapa saja yang Ia kehendaki”.(QS. al-Baqarah: 269).

Yang dimaksud al-Hikmah dalam ayat tersebut adalah “an-Nubuwwah Wa ar-Risalah”, artinya kenabian dan kerasulan. Demikian ditafsirkan oleh sahabat ‘Abdullah ibn Mas’ud, sebagaimana dikutip oleh al-Imam Ibn Furak kitab al-Mujarrad.

Para Nabi dan para Rasul pasti lebih sempurna dan lebih unggul dari pada para umat Nabi dan Rasul itu sendiri (Mursal Ilaihim), baik dalam segi kecerdasan, keutamaan, pengetahuan, kesalehan, sifat iffah (kejauhandari maksiat), keberanian, kedermawanan, kezuhudan, dan dalam berbagai hal lainnya. Allah berfirman:

إنَّ اللهَ اصْطَفَى ءَادَمَ وَنُوحًا وَءَالَ إبْرَاهِيْمَ وَءَالَ عِمْرَانَ عَلَى العَالَمِيْنَ (ءال عمران: 33)

“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat”. (QS. Ali Imran: 33)

Nabi tidak ada yang seorang perempuan, atau yang berstatus sebagai budak atau hamba sahaya. Seorang Nabi harus sempurna memiliki panca indra, karena hal ini sangat perlu dalam mengemban tugas risalah dan segala hal yang berkaitan dengannya. Rasulullah bersabda:

مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيًّا إلاّ حَسَنَ الوَجْهِ حََسَنَ الصَّوْتِ وَإنَّ نَبِيَّكُمْ أحْسَنُهُمْ وَجْهًا وَأحْسَنُهُمْ صَوتًا (رَوَاهُ التِّرمذِيُّ)

“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan ia bagus wajahnya, dan indah suaranya, dan sesungguhnya Nabi kalian (Muhammad) adalah yang paling tampan wajahnya dan paling indah suaranya diantara mereka”. (HR. at-Tirmidzi).
_
#freetoshare

Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

Jangan lupa _share_ jika tulisan ini bermanfaat!

Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk