Tauhid Corner
563 subscribers
90 photos
38 videos
6 files
770 links
Catatan Teologi Islam Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah

https://linktr.ee/tauhidcorner
Download Telegram
*IMAN DENGAN QADLA DAN QADAR*
(Bagian 9 / 10) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

*Golongan-Golongan Dalam Masalah Qadla Dan Qadar*

Dalam masalah Qadla dan Qadar umat Islam terpecah menjadi tiga golongan. Kelompok pertama disebut dengan golongan Jabriyyah, kedua disebut dengan golongan Qadariyyah, dan ketiga adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Golongan pertama dan golongan ke dua adalah golongan sesat, dan hanya golongan ke tiga yang selamat. Kelompok pertama, yaitu golongan Jabriyyah, berkeyakinan bahwa para hamba itu dipaksa (Majbur) dalam segala perbuatannya. Mereka berkeyakinan bahwa seorang hamba sama sekali ia tidak memiliki usaha atau ikhtiar (al-Kasab) dalam perbuatannya tersebut. Bagi kaum Jabriyyah, manusia laksana sehelai bulu atau lakasana kapas yang terbang ditiup angin, ia mengarah ke manapun angin itu membawanya.

Keyakinan sesat kaum Jabriyyah ini bertentangan dengan firman Allah:

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ (التكوير: 29)

“Dan kalian tidaklah berkehendak kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. at-Takwir: 26).

Ayat ini memberikan penjelasan bahwa manusia diberi kehendak (al-Masyi’ah) oleh Allah. Hanya saja kehendak hamba tersebut dibawah kehendak Allah. Pemahaman ayat ini berbeda dengan keyakinan kaum Jabriyyah yang sama sekali menafikan Masyi’ah dari hamba.

Bahkan dalam ayat lain secara tegas dinyatakan bahwa manusia memiliki usaha dan ikhtiar (al-Kasb). Yaitu dalam firman Allah:

لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ (البقرة: 286)

“Bagi setiap jiwa -balasan kebaikan- dari segala apa yang telah ia usahakan – dari amal baik-, dan atas setiap jiwa -balasan keburukan- dari segala apa yang ia usahakan -dari amal buruk-”. (QS. al-Baqarah: 286)

Kebalikan dari golongan Jabriyyah adalah golongan Qadariyyah. Kaum ini memiliki keyakinan bahwa manusia memiliki sifat Qadar (menentukan) dalam melakukan segala amal perbuatannya, tanpa adanya kehendak dari Allah terhadap perbuatan-perbuatan tersebut. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, tetapi manusia sendiri yang menciptakan perbuatan-perbuatannya tersebut.

Terhadap golongan Qadariyyah yang berkeyakinan seperti ini kita tidak boleh ragu sedikitpun untuk mengkafirkannya. Mereka sama sekali bukan orang-orang Islam. Karenanya, para ulama kita-pun sepakat dalam mengkafirkan kaum Qadariyyah yang berkeyakinan semacam ini. Mereka telah menyekutukan Allah dengan makhluk-makhluk-Nya, karena mereka menetapkan adanya pencipta kepada selain Allah. Mereka juga telah menjadikan Allah lemah (‘Ajiz), karena dalam keyakinan mereka Allah tidak menciptakan segala perbuatan hamba-Nya. Padahal di dalam al-Qur’an Allah telah berfirman:

قُلِ اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ (الرعد: 16)

“Katakan (Wahai Muhammad), Allah adalah yang menciptakan segala sesuatu”. (QS. ar-Ra’ad: 16)

https://wa.me/p/2748021258638875/6287878023938

Mustahil bagi Allah tidak kuasa atau lemah untuk menciptakan segala perbuatan hamba-Nya. Sesungguhnya Allah yang menciptakan segala benda, dari mulai benda paling kecil bentuknya, yaitu adz-dzarrah, hingga benda yang paling besar, yaitu ‘arsy, termasuk tubuh manusia, yang notabene sebagai benda, juga ciptaan Allah. Artinya, bila Allah yang menciptakan segala benda tersebut, maka demikian pula Allah yang menciptakan segala sifat dari benda-benda tersebut, juga segala perbuatan-perbuatannya. Sangat mustahil jika satu benda diciptakan oleh Allah, tapi kemudian sifat-sifat benda tersebut diciptakan oleh benda itu sendiri. Karena itu al-Imam al-Bukhari telah menulis satu kitab berjudul “Khalq Af’al al-‘Ibad”, berisi penjelasan bahwa segala perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, bukan ciptaan manusia itu sendiri.

Dengan demikian menjadi sangat jelas bagi kita kesesatan kaum Qadariyyah. Bahwa mereka adalah kaum yang kafir kepada Allah, karena mereka menetapkan adanya pencipta kepada selain Allah. Mereka telah menjadikan Allah setara dengan makhluk-makhluk-Nya sendiri.
Mereka tidak hanya menetapkan adanya satu sekutu bagi Allah, tapi mereka menetapkan banyak sekutu bagi-Nya. Karena dalam keyakinan mereka bahwa setiap manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya sendiri, sebagimana Allah adalah Pencipta bagi tubuh-tubuh semua manusia tersebut. Na’udzu Billah.

Golongan terakhir, yaitu Ahluassunnah Wal Jama’ah, adalah golongan yang selamat. Keyakinan golongan ini adalah keyakinan yang telah dipegang teguh oleh mayoritas umat Islam dari masa ke masa, antar genarasi ke genarasi. Dan inilah keyakinan yang telah diwariskan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya. Mereka menetapkan bahwa tidak ada pencipta selain Allah. Hanya Allah yang menciptakan semua makhluk, dari segala dzat-dzat atau tubuh-tubuh mereka, hingga segala sifat-sifat dan perbuatannya masing-masing.

Perbuatan manusia terbagi kepada dua bagian. Pertama; Af’al Ikhtiyariyyah, yaitu segala perbuatan yang terjadi dengan inisiatif, dengan usaha, dan dengan ikhtiar dari manusia itu sendiri, seperti makan, minum, berjalan, dan lain-lain. Kedua; Af’al Idlthirariyyah, yaitu segala perbuatan yang terjadi pada diri hamba yang terjadi di luar usaha, dan di luar ikhtiar manusia itu sendiri, seperti detak jantung, aliran darah dalam tubuh, dan lain sebagainya. Seluruh perbuatan manusia ini, baik Af’al Ikhtiyariyyah, maupun Af’al Idlthirariyyah adalah ciptaan Allah.
___
#freetoshare

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*

*Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>>* https://id.shp.ee/a3p7Cyk
*IMAN DENGAN QADLA DAN QADAR*
(Bagian 10 / 10) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

*Kesimpulan*

Dari uraian di atas menjadi jelas bagi kita bahwa apapun yang terjadi di alam ini tidak lepas dari Qadla dan Qadar Allah. Artinya bahwa semuanya terjadi dengan penciptaan Allah dan dengan ketentuan Allah. Segala apa yang dikehendaki oleh Allah untuk terjadi pasti terjadi, dan segala apa yang tidak Dia kehendaki kejadiannya maka tidak akan pernah terjadi. Seandainya seluruh makhluk bersatu untuk merubah apa telah diciptakan dan ditentukan oleh Allah, maka sedikitpun mereka tidak akan mampu melakukan itu.

Bagi seorang yang beriman kepada al-Qur’an hendaklah ia berpegang teguh kepada firman Allah:

لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ (الأنبياء: 23)

“(Dia Allah) tidak ditanya (tidak diminta tanggung jawab) terhadap apa yang Dia perbuat, dan -justru- merekalah (para makhluk) yang akan diminta pertanggungjawaban”. (QS. al-Anbiya:23).

Kita dituntut untuk melaksanakan apa yang telah dibebankan di dalam syari’at. Bila kita melanggar maka kita sendiri yang akan mempertanggungjawabkannya, dan bila kita patuh maka kita sendiri pula yang akan menuai hasilnya. Dalam hal ini kita tidak boleh meminta “tanggungjawab” atau “protes” kepada Allah. Kita tidak boleh berkata: “Mengapa Allah menyiksa orang-orang berbuat maksiat dan orang-orang kafir, padahal Allah sendiri yang berkehendak akan adanya kemaksiatan dan kekufuran pada diri mereka?”. Karena Allah tidak ada yang meminta tanggung jawab dari-Nya. Dia berhak melakukan apapun terhadap makhluk-makhluk-Nya karena semuanya adalah milik Allah.

Kita hendaklah bersyukur sedalamnya, bacalah “al-Hamdu Lillah”, pujilah Allah seluas-luasnya, karena Allah telah memberikan karunia besar kepada kita, Dia telah menjadikan kita sebagai orang-orang yang beriman kepada-Nya. al-Hamdulillah Rabbal-‘Alamin.
___
#freetoshare

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*

*Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>>* https://id.shp.ee/a3p7Cyk
🔅🔆🔅🔆🔅🔆🔅
🔅🔆 *Urgensi Ilmu Kalam (Bagian 1 | 31)* 🔆🔅

*Mengenal Ilmu Kalam*

*(Masalah):* Jika timbul pertanyaan bahwa tidak terdapat hadits yang memberitakan bahwa Rasulullah telah mengajarkan Ilmu Kalam ini kepada para sahabatnya. Demikian juga tidak ada berita yang menyebutkan bahwa di antara para sahabat Nabi ada yang menggeluti ilmu ini, atau mengajarkannya kepada orang-orang lain di bawah mereka. Bukankah ilmu ini baru muncul setelah periode sahabat habis?! Seandainya ilmu ini sangat penting di dalam agama maka tentu akan banyak digeluti oleh para sahabat dan para tabi’in, juga oleh para ulama sesuadah mereka?!

*(Jawab):* Jika yang dimaksud bahwa para sahabat tersebut adalah orang-orang yang tidak mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya, tidak mengenal makna tauhid, tidak mengenal kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya, tidak mengenal Rasul-Nya, tidak mengenal kebenaran mukjizat-mukjizatnya dengan dalil-dalil akal; artinya bahwa keimanan para sahabat tersebut hanya ikut-ikutan saja (Taqlîd) maka jelas pendapat ini adalah pendapat yang rusak dan batil. Karena dalam al-Qur’an sendiri Allah telah mencela orang-orang yang dalam keyakinannya hanya ikut-ikutan belaka terhadap orang-orang tua mereka dalam menyembah berhala. Allah berfirman tentang perkataan mereka:

إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ (سورة الزخرف: 23)

*“Sesungguhnya kami mendapati orang-orang tua kami di atas suatu ajaran, dan sesungguhnya kami di atas peninggalan-peninggalan mereka adalah orang-orang yang mengikuti” (QS. az-Zukhruf: 23).*

https://wa.me/p/3808024109249877/6287878023938

Dalam ayat ini terkandung cacian terhadap orang-orang kafir, bahwa mereka adalah orang-orang yang hanya ikut-ikutan terhadap para leluhur mereka dalam menyekutukan Allah. Mereka sama sekali tidak memiliki memiliki argumen kuat dalam dasar-dasar keyakinan mereka. Suatu saat al-Imâm Abu Hanifah ditanya; Mengapa kalian bergelut dengan Ilmu Kalam, sementara para sahabat tidak pernah memperdalam ilmu tersebut?! Beliau menjawab: “Perumpamaan para sahabat tersebut adalah laksana orang-orang yang hidup di zaman yang tidak ada musuh, dengan demikian mereka tidak butuh untuk mengeluarkan senjata. Sementara kita adalah orang-orang yang hidup di zaman yang banyak musuh, maka kita sangat butuh untuk mengeluarkan senjata”. *[Lihat al-Bayyadli dalam Isyârât al-Marâm Min ’Ibârât al-Imâm, h. 33].*

Adapun jika dimaksud dari pertanyaan di atas bahwa para sahabat Rasulullah tersebut tidak pernah mengungkapkan istilah-istilah yang belakangan baru dikenal dalam Ilmu Kalam, seperti al-jawhar (benda), al-‘Aradl (sifat benda), al-Jâ-iz (perkara yang ada dan tidak adanya dapat diterima oleh akal), al-Muhâl (perkara yang mustahil adanya), al-Hûdûts (baharu), al-Qidam (tanpa permulaan) dan sebagainya; maka pendapat tersebut dapat diterima. Hanya saja kita bantah dengan perkara-perkara yang serupa dengan itu semua dalam semua disiplin ilmu. Karena sesungguhnya tidak pernah dikenal di masa Rasulullah, juga di masa para sahabatnya, tentang istilah-istilah semacam al-Nâsikh dan al-Mansûkh, al-Mujmal dan al-Mutasyâbih, dan lain sebagainya yang biasa dipakai oleh para ulama tafsir.

Demikian pula di masa Rasulullah tidak pernah dikenal istilah al-Qiyâs, al-Istihsân, al-Mu’âradlah, al-Munâqadlah, al-‘Illah, dan lain sebagainya yang biasa dipergunakan oleh para ahli fiqih. Juga tidak ada istilah al-Jarh dan at-Ta’dîl, al-Âhâd, al-Masyhûr, al-Mutawâtir, ash-Shahîh, al-Gharîb, dan lain sebagainya yang biasa digunakan oleh para ahli hadits. Apakah kemudian dengan alasan bahwa disiplin ilmu-ilmu tersebut tidak pernah ada di masa Rasulullah dan para sahabatnya lalu itu semua harus kita ditolak?! Sesungguhnya di masa Rasulullah belum nampak berbagai kesesatan dan bermacam bid’ah. Karena itu di masa beliau tidak butuh kepada berbagai ungkapan dengan berbagai rincian istilah.

📌

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
https://linktr.ee/tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*
🔅🔆 *Urgensi Ilmu Kalam (Bagian 2 | 31)* 🔆🔅

*Sebab Dinamakan Ilmu Kalam*

Ilmu Tauhid ini, dengan segala dalil-dalil di dalamnya, baik dalil rasional maupun dalil tekstual yang berasal dari al-Qur’an dan Sunnah, dinamakan juga dengan Ilmu Kalam. Prihal sebab penamaan dengan Ilmu Kalam terdapat beberapa pendapat. Satu pendapat menyebutkan bahwa dinamakan demikian adalah karena ada beberapa firqah yang mengaku Islam namun memiliki banyak perselisihan pendapat dengan Ahlussunnah hingga terjadi perang argumen (al-Kalâm) antar mereka dalam menetapkan kebenaran. Pendapat lain menyebutkan bahwa dinamakan Ilmu Kalam adalah karena perselisihan dan perbedaan mendasar antara Ahlussunnah dengan kelompok lainnya adalah dalam masalah Kalam Allah. Apakah Kalam Allah itu Qadim seperti yang ditegaskan oleh kaum Ahlussunnah? Ataukah Kalam Allah tersebut baharu seperti yang diyakini kaum Mu’tazilah? Ataukah Kalam Dzat Allah itu dalam bentuk huruf-huruf, suara, dan bahasa seperti yang diyakini kaum Hasyawiyyah?

Dalam masalah Kalam Allah ini setidaknya terdapat tiga firqah besar yang satu sama lainnya saling bertentangan. Pertama; kaum Hasyawiyyah, yaitu salah satu sub sekte firqah Musyabbihah; kaum sesat yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, mereka berkeyakinan bahwa Kalam Allah berupa huruf-huruf, suara dan bahasa. Bahkan sebagian mereka dengan sangat ekstrim mengatakan bahwa suara dari setiap bacaan kita terhadap al-Qur’an, juga huruf-huruf yang tersusun di dalam al-Qur’an itu sendiri adalah sesuatu Azaly dan Qadim; tidak memiliki permulaan. Keyakinan kaum Hasyawiyyah ini jelas tidak dapat diterima oleh akal sehat. Karena bila demikian maka berarti Allah serupa dengan makhluk-makhluk-Nya.

https://wa.me/p/4383946308345674/6287878023938

Kelompok lainnya yang juga ekstrim, seratus delapan puluh derajat berseberangan dengan kaum Hasyawiyyah, namun kelompok ini sama sesatnya dengan kaum Hasyawiyyah tersebut. Kelompok ini berpendapat bahwa Allah tidak memiliki sifat Kalam, juga tidak memiliki sifat-sifat lainnya. Menurut mereka Allah disebut “Mutakallim” adalah dalam pengertian bahwa Allah menciptakan sifat Kalam pada makhluk, seperti pada pohon misalkan atau lainnya. Kalam yang ada pada pohon itulah yang dimaksud Kalam Allah yang didengar oleh Nabi Musa. Kelompok ini sama sekali tidak meyakini bahwa Allah memiliki sifat Kalam dalam pengertian bahwa sifat Kalam tersebut tidak tetap dengan Dzat-Nya. Kelompok ini dinamakan dengan Mu’tazilah.

Adapun Ahlussunnah dalam masalah Kalam Allah ini berpendapat moderat. Mereka mengambil faham pertengahan antara dua faham sesat di atas. Pertengahan antara kaum Hasyawiyyah dan kaum Mu’tazilah. Oleh karenanya Ahlussunnah dikenal dengan sebutan al-Firqah al-Mu’tadilah (kelompok moderat). Mereka mengatakan bahwa Allah memiliki sifat Kalam yang Azaly (Qadim) dan Abady, bukan berupa huruf-huruf, bukan suara, dan bukan bahasa. Adapun lafazh-lafazh yang diturunkan (al-Lafzh al-Munazzal) yang berbentuk huruf, tertulis di antara lembaran-lebaran kertas, dan dalam bentuk bahasa Arab, maka itu semua adalah ungkapan (‘Ibârah) dari sifat Kalam Allah yang Azaly dan yang Abady di atas. Secara khusus akan kita kupas masalah Kalam Allah ini dalam bahasan tersendiri.

📌

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
https://linktr.ee/tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*

*Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>>* https://id.shp.ee/a3p7Cyk
🔅 *Urgensi Ilmu Kalam (Bagian 3 | 31)* 🔅

*Ilmu Kalam Pada Periode Salaf | Part 1*

Pada dasarnya tonggak dasar Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam sudah berkembang dari semenjak masa sahabat Rasulullah. Bahkan perkembangan Ilmu Tauhid ini merupakan konsentrasi dakwah seluruh komponen sahabat Rasulullah. Karenanya perkembangan Ilmu Tauhid saat itu justru lebih mapan dan lebih pesat di banding dengan periode-periode sesudahnya. Bantahan-bantahan terhadap berbagai kelompok ahli bid’ah sudah berkembang di masa para sahabat. Misalkan, sahabat Abdullah ibn Abbas (w 68 H) dan sahabat Abdullah ibn Umar (w 74 H) yang telah memerangi faham Mu’tazilah. Atau dari kalangan tabi’in, seperti Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (w 101 H) dan al-Imâm al-Hasan ibn al-Hanafiyah yang giat memerangi faham para ahli bid’ah tersebut.

https://wa.me/p/5583694061725369/6287878023938

Bahkan Khalifah Ali ibn Abi Thalib (w 40 H) dengan argumen kuatnya telah memecahkan faham Khawarij dan faham kaum Dahriyyah; kaum yang mengatakan bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan. Demikian pula beliau telah membungkam empat puluh orang dari kaum Yahudi yang mengatakan bahwa Tuhan adalah benda yang memiliki tubuh dan memiliki tempat. Di antara pernyataan sahabat Ali ibn Abi Thalib dalam masalah tauhid yang merupakan bantahan terhadap kaum Musyabbihah Mujassimah, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imâm al-Hâfizh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyah al-Awliyâ’, adalah: “Barangsiapa berkeyakinan bahwa Tuhan kita (Allah) memiliki bentuk maka ia tidak mengetahui Pencipta yang wajib disembah (Artinya; ia seorang yang kafir)”.
Kemudian Iyas ibn Mu’awiyah, yang sangat terkenal dengan kecerdesannya, juga telah memecahkan argumen-argumen kaum Qadariyyah (Mu’tazilah). Lalu Umar ibn Abd al-Aziz telah membungkam para pengikut Syauzdab; salah seorang pemuka kaum Khawarij. Dan bahkan Umar ibn Abd al-Aziz ini telah menulis beberapa risalah sebagai bantahan terhadap faham-faham Mu’tazilah. Kemudian al-Imâm Rabi’ah ar-Ra’y (w 136 H), salah seorang guru al-Imâm Malik Ibn Anas, dengan dalil yang sangat kuat telah membungkam Ghailan ibn Muslim; salah seorang pemuka kaum Qadariyyah. Lalu al-Imâm al-Hasan al-Bashri, salah seorang ulama besar dan terkemuka di kalangan tabi’in, juga telah menyibukan diri bergelut dengan Ilmu Kalam ini.


📌

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
https://linktr.ee/tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*

*Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>>* https://id.shp.ee/a3p7Cyk
🔅 *Urgensi Ilmu Kalam (Bagian 4 | 31)* 🔅

*Ilmu Kalam Pada Periode Salaf | Part 2*

*(Masalah):* Jika seseorang berkata: Abdullah ibn Abbas telah berkata: “Berpikirlah kalian tentang makhluk, dan janganlah kalian berpikir tentang al-Khâliq (Allah)”. Bukankah ini artinya berpikir tentang Allah adalah sesuatu yang dilarang?!

https://wa.me/p/3215328888509592/6287878023938

*(Jawab):* Yang dilarang dalam hal ini adalah berpikir tentang Allah, namun demikian kita diperintahkan untuk berpikir tentang makhluk-Nya. Ini artinya bahwa kita diperintahkan untuk berpikir tentang kekuasaan-kekuasaan Allah baik yang terdapat di langit maupun yang terdapat di bumi, agar supaya hal itu semua dijadikan bukti akan adanya Allah sebagai penciptanya, dan bahwa Dia Allah tidak menyerupai makhluk-makhluk-Nya tersebut. Seorang yang tidak mengenal Allah; Tuhan yang ia sembahnya, bagaimana mungkin ia dapat mengamalkan atsar shahih dari sahabat Ibn Abbas di atas?! Kemudian dari pada itu al-Qur’an telah memerintahkan kepada kita untuk mempelajari dalil-dalil akal tentang kebenaran akidah Islam. Mempelajari tentang dalil-dalil akal tentang adanya Allah, bahwa Dia maha mengatahui, maha kuasa, maha berkenhandak, tidak menyerupai makhluk-Nya dan berbagai perkara lainnya. Karenanya tidak ada seorangpun dari ulama kita dari kalangan Ahlussunnah, baik ulama Salaf maupun Khalaf, yang mencaci Ilmu Kalam ini.

📌

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
https://linktr.ee/tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*

*Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>>* https://id.shp.ee/a3p7Cyk
🔅 *Urgensi Ilmu Kalam (Bagian 5 | 31)* 🔅

*Ilmu Kalam Pada Periode Salaf | Part 3*

*(Masalah):* Jika seseorang berkata: al-Imâm asy-Syafi’i telah berkata: “Seorang manusia bila bertemu dengan Allah (artinya meninggal) dalam keadaam membawa banyak dosa selain dosa syirik maka hal ini jauh lebih baik baginya dari pada ia meninggal dengan membawa Ilmu Kalam”, bukankah ini artinya bahwa al-Imâm asy-Syafi’i membenci dan bahkan mencaci Ilmu Kalam?!

*(Jawab):* Statemen seperti itu tidak benar sebagai ungkapan al-Imâm Syafi’i, dan tidak ada riwayat dengan sanad yang benar bahwa beliau telah berkata demikian. Adapun pernyataan yang benar dari ucapan beliau dengan sanad yang shahih adalah: “Seorang manusia bila bertemu Allah (meninggal) dalam keadaam membawa banyak dosa selain dosa syirik maka hal ini jauh lebih baik baginya dari pada ia meninggal dengan membawa al-Ahwâ’” *[1]* .

https://wa.me/p/4242193262555791/6287878023938

Kata al-Ahwâ’ adalah jamak dari kata al-Hawâ, artinya sesuatu yang diyakini oleh para ahli bid’ah yang berada di luar jalur ulama Salaf. Maka pengertian al-Hawâ di sini adalah keyakinan-keyakinan yang yakini oleh golongan-golongan sesat, seperti keyakinan Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah, Najjariyyah, dan berbagai kelompok lainnya; yang telah disebutkan dalam hadits nabi sebanyak tujuh puluh dua golongan. Dalam sebuah hadits mashur Rasulullah bersabda:

وَإنّ هَذِهِ الْمِلّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ (رَوَاهُ أبُوْ دَاوُد)

“Dan sesungguhnya -umat- agama ini akan pecah kepada tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua di neraka, dan hanya satu di surga; dan dia adalah kelompok mayoritas”. (HR. Abu Dawud) *[2]* .

Dengan demikian yang dicaci oleh al-Imâm asy-Syafi’i bukan mutlak keseluruhan Ilmu Kalam, tapi yang dimaksud adalah Ilmu Kalam tercela; yaitu yang digeluti oleh para ahli bid’ah di atas. Adapun Ilmu Kalam yang digeluti Ahlussunnah yang berdasar kepada al-Qur’an dan Sunnah maka ini adalah Ilmu Kalam terpuji, dan sama sekali tidak pernah dicaci oleh al-Imâm asy-Syafi’i. Sebaliknya beliau adalah seorang yang sangat kompeten dan terkemuka dalam Ilmu Kalam ini. Karenannya argumen beliau telah mematahkan pendapat Bisyr al-Marisi dan Hafsh al-Fard; di antara pemuka kaum Mu’tazilah yang mengatakan bahwa al-Qur’an makhluk dan bahwa Allah tidak memiliki sifat Kalam.

Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Asakir dalam karya yang beliau tulis sebagai pembelaan terhadap al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari berjudul Tabyîn Kadzib al-Muftarî Fîmâ Nusiba Ilâ al-Imâm Abî al-Hasan al-Asy’ari menuliskan sebagai berikut:

“Ilmu Kalam yang tercela adalah Ilmu Kalam yang digeluti oleh Ahl al-Ahwâ’ dan yang diyakini oleh para ahli bid’ah. Adapun Ilmu Kalam yang sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah yang dibahas untuk menetapkan dasar-dasar akidah yang benar dan untuk memerangi fitnah Ahl al-Ahwâ’ maka ia telah disepakati ulama sebagai Ilmu Kalam terpuji. Dalam Ilmu Kalam terpuji inilah al-Imâm asy-Syafi’i adalah di antara ulama besar yang sangat kompeten. Dalam berbagai kesempatan beliau telah banyak membantah orang-orang ahli bid’ah dengan argumen-argumen kuatnya hingga mereka terpecahkan” *[3]* .

Dalam karyanya tersebut Ibn Asakir kemudian mengutip salah satu kasus yang terjadi dengan al-Imâm asy-Syafi’i dengan sanad-nya dari ar-Rabi’ ibn Sulaiman, bahwa ia (ar-Rabi’ ibn Sulaiman) berkata:

“Ketika aku berada di majelis asy-Syafi’i, Abu Sa’id A’lam memberitahukan kepadaku bahwa suatu ketika datang Abdullah ibn Abd al-Hakam, Yusuf ibn Amr ibn Zaid, dan Hafsh al-Fard. Orang yang terakhir ini oleh asy-Syafi’i disebut dengan al-Munfarid (yang berpaham ekstrim). Kemudian Hafsh al-Fard bertanya kepada Abdullah ibn Abd al-Hakam: “Bagaimana pendapatmu tentang al-Qur’an?” Namun Abdullah ibn Abd al-Hakam enggan menjawab. Lalu Hafsh bertanya kepada Yusuf ibn Amr. Namun ia juga enggan menjawab. Keduanya lalu berisyarat untuk bertanya kepada asy-Syafi’i.
Kemudian Hafsh bertanya kepada asy-Syafi’i, dan asy-Syafi’i memberikan dalil kuat atas Hafsh.

Namun kemudian antara keduanya terjadi perdebatan yang cukup panjang. Akhirnya asy-Syafi’i dengan argumennya yang sangat kuat mengalahkan Hafsh dan menetapkan bahwa al-Qur’an adalah Kalam Allah bukan makhluk. Kemudian asy-Syafi’i mengkafirkan Hafsh. (Ar-Rabi’ ibn Sulaiman berkata): “Beberapa saat kemudian di masjid aku bertemu dengan Hafsh, ia berkata kepadaku bahwa asy-Syafi’i hendak memenggal leherku” *[4]* .
__
*[1]* Ibn Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 337 dengan berbagai jalur sanad.
*[2]* Kajian konprehensif tentang firqah-firqah dalam Islam lihat _al-Farq Bayn al-Firaq_ karya Abu Manshur al-Baghdadi (w 429 H), _al-Milal Wa an-Nihal_ karya Abu al-Fath asy-Syahrastani (w 548 H), _at-Tabshîr Fî ad-Dîn_ karya Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini (w 471 H), dan lainnya.
*[3]* _Tabyîn Kadzib al-Mutftarî_ , h. 339.
*[4]* _Manâqib asy-Syâfi’i_ karya ar-Razi, h. 194-195. Lihat juga al-Asmâ’ Wa ash-Shifât karya al-Bayhaqi, h. 252.

📌

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
https://linktr.ee/tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*

*Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>>* https://id.shp.ee/a3p7Cyk
🔅🔆 *Urgensi Ilmu Kalam (Bagian 6 | 31)* 🔆🔅

*Ilmu Kalam Pada Periode Salaf | Part 4*

*(Masalah):* Jika seseorang berkata: Diriwayatkan dari al-Imâm asy-Sya’bi bahwa ia berkata: “Barangsiapa mempelajari agama dengan Ilmu Kalam maka ia menjadi seorang zindik. Barangsiapa mencari harta dengan Kimia maka ia akan bangkrut. Barangsiapa mengajarkan hadits dengan mengutip hadits-hadits Gharîb maka ia seorang pembohong”. Pernyataan semacam ini juga telah diriwayatkan dari al-Imâm Malik dan al-Qâdlî Abu Yusuf (sahabat al-Imâm Abu Hanifah). Dan ada beberapa ulama Salaf lain yang mencaci Ilmu Kalam?!

*(Jawab):* Masalah ini telah dijawab oleh al-Imâm al-Bayhaqi. Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ilmu Kalam oleh sebagian ulama Salaf tersebut adalah Ilmu Kalam tercela yang digeluti oleh para ahli bid’ah. Karena di masa mereka penyebutan Ilmu Kalam konotasinya adalah Ilmu Kalam yang digeluti oleh para ahli bid’ah. Benar, kaum Ahlussunnah saat itu belum banyak membahas secara detail tentang Ilmu Kalam, sebelum kemudian ilmu ini menjadi sangat dibutuhkan untuk dibukukan dan dibahas secara komprehensif.

https://wa.me/p/3233787109994924/6287878023938

Masih menurut al-Bayhaqi, mungkin pula yang dimaksud Ilmu Kalam yang dicela oleh para ulama Salaf di atas adalah bagi seorang yang hanya mempalajari Ilmu Kalam semata, dengan menyampingkan Ilmu-Ilmu fiqih yang sangat dibutuhkan untuk mengenal hukum halal dan haram, atau menolak hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam syari’at hingga tidak terlakasananya hukum-hukum itu sendiri.

Kemudian al-Bayhaqi juga mengatakan bahwa banyak para ulama Salaf yang memuji Ilmu Kalam sebagai media untuk memerangi faham-faham ahli bid’ah. Di antaranya Hatim al-Ashamm, salah seorang seorang sufi terkemuka ahli zuhud dimasanya, mengatakan bahwa Ilmu Kalam merupakan ilmu pokok agama, sementara Ilmu Fiqih merupakan cabangnya, dan pengamalan adalah buah dari ilmu-ilmu tersebut. Dengan demikian, (masih menurut Hatim), barangsiapa yang menggeluti Ilmu Kalam dengan menyampingkan Ilmu Fiqih dan pengamalannya maka ia akan menjadi seorang zindik, dan barangsiapa yang mencukupkan dengan hanya amalan saja tanpa didasarkan kepada Ilmu Kalam dan Ilmu Fiqih maka akan menjadi seorang ahli bid’ah, dan barangsiapa yang mencukupkan dengan Ilmu Fiqih saja dengan menyampingkan Ilmu Kalam maka ia akan menjadi seorang fasik. Tetapi barangsiapa yang mempelajari semua disiplin ilmu tersebut maka dialah yang akan selamat *[1]*.
____
*[1]* Lihat _Tabyîn Kadzib al-Mutftarî_, h. 334


📌

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
https://linktr.ee/tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*

*Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>>* https://id.shp.ee/a3p7Cyk
🔅🔆 *Urgensi Ilmu Kalam (Bagian 7 | 31)* 🔆🔅

*Ilmu Kalam Pada Periode Salaf | Part 5*

Al-Imâm al-Qâdlî Abu al-Ma’ali Abdul Malik, yang lebih dikenal dengan sebutan Imam al-Juwaini, mengatakan bahwa orang yang berkeyakinan bahwa para ulama Salaf tidak mengetahui Ilmu Kalam atau Ilmu Ushul, atau berkeyakinan bahwa mereka menghindari ilmu ini dan bersikap apatis terhadapanya, maka orang ini telah berburuk sangka terhadap mereka. Karena sangat mustahil, baik secara akal sehat maupun dari tinjuan agama, bahwa para ulama Salaf tersebut menghindari Ilmu Kalam ini. Padahal di kalangan mereka seringkali terjadi perdebatan dalam masalah-masalah Furû’iyyah, misalkan dalam masalah ‘Aul, atau dalam masalah hak-hak seorang kakek dalam hukum waris, atau metode penetapan hukuman dan praktek Qishâsh, dan berbagai masalah lainnya. Bahkan tidak jarang antar mereka terjadi dengan sama-sama melakukan Mubâhalah (saling bersumpah dengan keberanian tertimpa musibah bagi yang salah) demi untuk menetapkan kebenaran pendapat yang diyakini oleh masing-masing individu. Atau lihat misalnya, hanya untuk menetapkan masalah najis saja, mereka dengan sekuat tenaga dan pikiran seringkali berusaha mencari banyak dalil, baik dalil-dalil untuk dirinya sendiri atau dalil-dalil untuk mematahkan pendapat lawan. Artinya, bila keadaan mereka dalam masalah-masalah Furû’iyyah saja semacam ini, maka sudah barang tentu merekapun demikian adanya dalam masalah-masalah Ushûliyyah. Bukankah masalah-masalah Ushûliyyah jauh lebih besar porsi urgensitasnya dibanding masalah-masalah Furû’iyyah?! *[1]*.

https://wa.me/p/2644660135596525/6287878023938

Dengan demikian sangat tidak logis jika diklaim bahwa para ulama Salaf tidak memiliki kompetensi dalam permasalahan-permasalahan Ilmu Kalam. Bukankah mereka dekat dengan masa kenabian?! Bukankah mereka menerima langsung ajaran-ajaran Islam ini dari pembawa syari’at itu sendiri, yaitu Rasulullah?! Kemudian kaum tabi’in, kaum pasca sahabat Nabi, walaupun mereka tidak secara langsung menerima ajaran Islam dari Rasulullah, tapi bukankah mereka menerima ajaran-ajaran tersebut dari para sahabat Rasulullah?! Jika diklaim bahwa kaum tabi’in tidak mumpuni dalam Ilmu Kalam, berarti klaim ini sama saja dialamatkan kepada para sahabat Rasulullah. Dan klaim ini jika dialamatkan kepada para sahabat Rasulullah, maka berarti sama juga dialamatkan kepada Rasulullah sendiri. Lalu siapakah yang berani berkata bahwa Rasulullah tidak mengenal Allah, tidak ma’rifat kepada-Nya, tidak mengenal Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam?! Karena itu dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya segala permasalahan yang berkembang dalam Ilmu Kalam telah benar-benar diketahui dan dipahami oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
____
*[1]* Lihat _Tabyîn Kadzib al-Mutftarî_ , h. 334

📌

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
https://linktr.ee/tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*

*Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>>* https://id.shp.ee/a3p7Cyk
Selagi stok masih ada, silahkan pesan bagi yang berminat:

*Penjelasan Lengkap Allah Ada Tanpa Tempat dan Tanpa Arah dari Para Ulama Ahlussunah Lintas Masa >>>* https://id.shp.ee/pUo4jSA

*Shopee :* https://shopee.co.id/nurulhikmahpress
*WhatsApp :* https://wa.me/c/6287878023938
🔅🔆 *Urgensi Ilmu Kalam (Bagian 8 | 31)* 🔆🔅

*Ilmu Kalam Pada Periode Salaf | Part 6*

Salah satu bukti bahwa para ulama Salaf benar-benar menggeluti Ilmu Kalam adalah adanya beberapa karya dari al-Imâm Abu Hanifah dalam disiplin ilmu ini. Di antaranya; al-Fiqh al-Akbar, ar-Risâlah, al-Fiqh al-Absath, al-‘Âlim Wa al-Muta’allim, dan al-Washiyyah. Yang terakhir disebut, yaitu al-Washiyyah, terdapat perbedaan pendapat tentang benar tidaknya sebagai risalah dari al-Imâm Abu Hanifah. Satu pendapat mengingkari risalah tersebut sabagai risalah dari al-Imâm Abu Hanifah dengan alasan bukan dari hasil tangannya. Pendapat lain mengatakan bahwa risalah al-Washiyyah ini karya dari Muhammad ibn Yusuf al-Bukhari yang memiliki nama panggilan (Kunyah) Abu Hanifah.

Pendapat yang mengingkari risalah tersebut berasal dari al-Imâm Abu Hanifah umumnya diungkapkan orang-orang Mu’tazilah. Hal ini karena isi dari risalah-risalah tersebut adalah bantahan terhadap kelompok-kelompok bid’ah, seperti faham Mu’tazilah sendiri. Pengingkaran kaum Mu’tazilah juga didasari pengakuan bahwa keyakinan al-Imâm Abu Hanifah adalah persis sama dengan keyakinan mereka sendiri. Tentu pendapat Mu’tazilah ini hanyalah kedustaan belaka. Karena seperti yang sudah diketahui, al-Imâm Abu Hanifah adalah sosok yang paling gigih memerangi para ahli bid’ah termasuk faham-faham Mu’tazilah sendiri.
Dalam Ilmu Kalam, dan dalam seluruh disiplin ilmu lainnya, al-Imâm Abu Hanifah adalah ulama terkemuka sebagai ahli ijtihad pada abad pertama hijriyah. Tentang hal ini dalam kitab at-Tabshirah al-Baghdâdiyyah disebutkan sebagai berikut:

https://wa.me/p/2881673821949034/6287878023938

“Orang paling pertama sebagai ahli Kalam dikalangan ulama fiqih Ahlussunnah adalah al-Imâm Abu Hanifah dan al-Imâm asy-Syafi’i. Abu Hanifah telah menuliskan al-Fiqh al-Akbar dan ar-Risâlah yang kemudian dikirimkan kepada Muqatil ibn Sulaiman untuk membantahnya. Karena Muqatil ibn Sulaiman ini adalah seorang yang berkeyakinan tajsîm; mengatakan bahwa Allah adalah benda. Demikian pula beliau telah banyak membantah para ahli bid’ah dari kaum Khawarij, Rawafidl, Qadariyyah (Mu’tazilah) dan kelompok sesat lainnya. Para pemuka ahli bid’ah tersebut banyak tinggal di wilayah Bashrah, dan al-Imâm Abu Hanifah lebih dari dua puluh kali pulang pergi antara Bashrah dan Baghdad hanya untuk membantah mereka, (padahal perjalanan saat itu sangat jauh dan sulit). Dan tentunya al-Imâm Abu Hanifah telah memecahkan dan membungkam mereka dengan argumen-argumen kuatnya, hingga beliau menjadi panutan dan rujukan dalam segala permasalahan Ilmu Kalam ini”.

Al-Imâm al-Hâfizh al-Khathib al-Baghdadi dengan sanad-nya hingga al-Imâm Abu Hanifah, meriwayatkan bahwa al-Imâm Abu Hanifah berkata: “Saya telah benar-benar mempelajari Ilmu Kalam, hingga saya telah mencapai puncak sebagai rujukan dalam bidang ilmu ini” *[1]*. Kemudian al-Imâm Abu Hanifah menceritakan bahwa ia baru benar-benar terjun dalam mempelajari fiqih setelah ia duduk belajar kepada al-Imâm Hammad ibn Sulaiman, dan ia baru melakukan itu setelah ia benar-benar kompeten dalam Ilmu Kalam.
Dalam riwayat lain dengan sanad-nya dari al-Haritsi, bahwa al-Imâm Abu Hanifah berkata:

“Saya telah dikaruniai kekuatan dalam Ilmu Kalam. Dengan ilmu tersebut saya memerangi dan membantah faham-faham ahli bid’ah. Kebanyakan mereka saat itu berada di Bashrah. Maka pada masa itu saya sering pulang pergi antara Bashrah dan Baghdad lebih dari dua puluh kali. Di antara perjalananku tersebut ada yang hingga menetap satu tahun di Bashrah, ada pula yang kurang dari satu tahun, dan ada pulah yang lebih. Dalam hal ini aku telah membantah berbagai tingkatan atau sub sekte kaum Khawarij; seperti golongan Abadliyyah, Shafariyyah dan lainnya. Juga telah aku bantah berbagai faham kaum Hasyawiyyah” *[2]*.
__
*[1]* _Târîkh Baghdâd_ , j. 13, h. 333.
*[2]* Lihat Mukadimah _Isyârât al-Marâm_ karya al-Imâm al-Bayyadli yang ditulis oleh al-Imâm asy-Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari mengutip dari kitab Manâqib al-Imâm Abî Hanîfah.


📌
*Follow medsos kami @tauhidcorner*
https://linktr.ee/tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*

*Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>>* https://id.shp.ee/a3p7Cyk
🔅🔆 *Urgensi Ilmu Kalam (Bagian 18 | 31)* 🔆🔅

*Kerancuan Pembagian Tauhid Kepada Tiga Bagian | Part 1*

Pendapat sebagian orang yang membagi tauhid kepada tiga bagian; tauhid Ulûhiyyah, tauhid Rubûbiyyah, dan tauhid al-Asmâ’ Wa ash-Shifât adalah bid’ah batil yan menyesatkan. Pembagian tauhid seperti ini sama sekali tidak memiliki dasar, baik dari al-Qur’an, hadits, dan tidak ada seorang-pun dari para ulama Salaf atau seorang ulama saja yang kompeten dalam keilmuannya yang membagi tauhid kepada tiga bagian tersebut. Pembagian tauhid kepada tiga bagian ini adalah pendapat ekstrim dari kaum Musyabbihah masa sekarang; mereka mengaku datang untuk memberantas bid’ah namun sebenarnya mereka adalah orang-orang yang membawa bid’ah.

https://shopee.co.id/product/289903238/13451774952?smtt=0.289922441-1640212881.9

Di antara dasar yang dapat membuktikan kesesatan pembagian tauhid ini adalah sabda Rasulullah:

أمِرْتُ أنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتىّ يَشْهَدُوْا أنْ لاَ إلهَ إلاّ اللهُ وَأنّيْ رَسُوْل اللهِ، فَإذَا فَعَلُوْا ذَلكَ عُصِمُوْا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وأمْوَالَهُمْ إلاّ بِحَقّ (روَاه البُخَاريّ)

*“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (Ilâh) yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa saya adalah utusan Allah. Jika mereka melakukan itu maka terpelihara dariku darang-darah mereka dan harta-harta mereka kecuali karena hak”. (HR al-Bukhari).*

Dalam hadits ini Rasulullah tidak membagi tauhid kepada tiga bagian, beliau tidak mengatakan bahwa seorang yang mengucapkan “Lâ Ilâha Illallâh” saja tidak cukup untuk dihukumi masuk Islam, tetapi juga harus mengucapkan “Lâ Rabba Illallâh”. Tetapi makna hadits ialah bahwa seseorang dengan hanya bersaksi dengan mengucapkan “Lâ Ilâha Illallâh”, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah maka orang ini telah masuk dalam agama Islam. Hadits ini adalah hadits mutawâtir dari Rasulullah, diriwayatkan oleh sejumlah orang dari kalangan sahabat, termasuk di antaranya oleh sepuluh orang sahabat yang telah medapat kabar gembira akan masuk ke surga. Dan hadits ini telah diriwayatkan oleh al-Imâm al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya.

📌

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
https://linktr.ee/tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*

*Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>>* https://id.shp.ee/a3p7Cyk
🔅🔆 *Urgensi Ilmu Kalam (Bagian 19 | 31)* 🔆🔅

*Kerancuan Pembagian Tauhid Kepada Tiga Bagian | Part 2*

Tujuan kaum Musyabbihah membagi tauhid kepada tiga bagian ini adalah tidak lain hanya untuk mengkafirkan orang-orang Islam ahi tauhid yang melakukan tawassul dengan Nabi Muhammad, atau dengan seorang wali Allah dan orang-orang saleh. Mereka mengklaim bahwa seorang yang melakukan tawassul seperti itu tidak mentauhidkan Allah dari segi tauhid Ulûhiyyah. Demikian pula ketika mereka membagi tauhid kepada tauhid al-Asmâ’ Wa ash-Shifât, tujuan mereka tidak lain hanya untuk mengkafirkan orang-orang yang melakukan takwil terhadap ayat-ayat Mutasyâbihât. Oleh karenanya, kaum Musyabbihah ini adalah kaum yang sangat kaku dan keras dalam memegang teguh zhahir teks-teks Mutasyâbihât dan sangat “alergi” terhadap takwil. Bahkan mereka mengatakan: “al-Mu’aw-wil Mu’ath-thil”; artinya seorang yang melakukan takwil sama saja dengan mengingkari sifat-sifat Allah. Na’ûdzu Billâh.

https://shopee.co.id/nurulhikmahpress

Dengan hanya hadits shahih di atas, cukup bagi kita untuk menegaskan bahwa pembagian tauhid kepada tiga bagian di atas adalah bid’ah batil yang dikreasi oleh orang-orang yang mengaku memerangi bid’ah yang sebenarnya mereka sendiri ahli bid’ah. Bagaimana mereka tidak disebut sebagai ahli bid’ah, padahal mereka membuat ajaran tauhid yang sama sekali tidak pernah dikenal oleh orang-orang Islam?! Di mana logika mereka, ketika mereka mengatakan bahwa tauhid Ulûhiyyah saja tidak cukup, tetapi juga harus dengan pengakuan tauhid Rubûbiyyah?! Bukankah ini berarti menyalahi hadits Rasulullah di atas?! Dalam hadits di atas sangat jelas memberikan pemahaman kepada kita bahwa seorang yang mengakui ”Lâ Ilâha Illallâh” ditambah dengan pengakuan kerasulan Nabi Muhammad maka cukup bagi orang tersebut untuk dihukumi sebagai orang Islam. Dan ajaran inilah yang telah dipraktekan oleh Rasulullah ketika beliau masih hidup. Apa bila ada seorang kafir bersaksi dengan ”Lâ Ilâha Illallâh” dan ”Muhammad Rasûlullâh” maka oleh Rasulullah orang tersebut dihukumi sebagai seorang muslim yang beriman. Kemudian Rasulullah memerintahkan kepadanya untuk melaksanakan shalat sebelum memerintahkan kewajiban-kewajiban lainnya; sebagaimana hal ini diriwayatkan dalam sebuah hadits oleh al-Imâm al-Bayhaqi dalam Kitâb al-I’tiqâd. Sementara kaum Musyabbihah di atas membuat ajaran baru; mengatakan bahwa tauhid Ulûhiyyah saja tidak cukup, ini sangat nyata telah menyalahi apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Mereka tidak paham bahwa ”Ulûhiyyah” itu sama saja dengan ”Rubûbiyyah”, bahwa ”Ilâh” itu sama saja artinya dengan ”Rabb”.

Kemudian kita katakan pula kepada mereka; Di dalam banyak hadits diriwayatkan bahwa di antara pertanyaan dua Malaikat; Munkar dan Nakir yang ditugaskan untuk bertanya kepada ahli kubur adalah: ”Man Rabbuka?”. Tidak bertanya dengan ”Man Rabbuka?” lalu diikutkan dengan ”Man Ilahuka?”. Lalu seorang mukmin ketika menjawab pertanyaan dua Malaikat tersebut cukup dengan hanya berkata ”Allâh Rabbi”, tidak harus diikutkan dengan ”Allâh Ilâhi”. Malaikat Munkar dan Nakir tidak membantah jawaban orang mukmin tersebut dengan mengatakan: ”Kamu hanya mentauhidkan tauhid Rubûbiyyah saja, kamu tidak mentauhidkan tauhid Ulûhiyyah!!”. Inilah pemahaman yang dimaksud dalam hadits Nabi tentang pertanyaan dua Malaikat dan jawaban seorang mukmin dikuburnya kelak. Dengan demikian kata ”Rabb” sama saja dengan kata ”Ilâh”, demikian pula ”tauhid Ulûhiyyah” sama saja dengan ”tauhid Rubûbiyyah”.

📌

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
https://linktr.ee/tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*

*Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>>* https://id.shp.ee/a3p7Cyk