Tauhid Corner
563 subscribers
90 photos
38 videos
6 files
770 links
Catatan Teologi Islam Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah

https://linktr.ee/tauhidcorner
Download Telegram
IMAN DENGAN QADLA DAN QADAR
(Bagian 5 / 10) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

Kisah Hikmah

Diriwayat kanbahwa suatu ketika seorang Majusi berbincang-bincang dengan seorang Qadari. Seorang Qadari (pengikut faham Qadariyyah) ialah orang yang berkeyakinan bahwa segala perbuatan manusia adalah ciptaan manusia sendiri, bukan ciptaan Allah. Kaum Qadariyyah adalah kaum yang ingkar terhadap Qadar Allah. Mereka mengaku sebagai orang-orang Islam, namun pada hakekatnya mereka adalah orang-orang kafir.

al-Qadari berkata kepada al-Majusi: “Wahai orang Majusi, masuk Islam-lah engkau!”. Al-Majusi ini tahu bahwa Tuhan orang-orang Islam adalah Allah, maka ia menjawab: “Allah tidak berkehendak agar saya masuk Islam…!”.

https://tokopedia.link/bznt4F0jvLb

Al-Qadari berkata: “Tidak begitu. Sesungguhnya Allah berkehendak supaya engkau masuk Islam. Namun engkau sendiri tetap berkehendak dalam kekufuranmu…!”.

Al-Majusi berkata: “Jika demikian, maka berarti kehendakku mengalahkan kehendak Tuhanmu. Karena buktinya sampai saat ini aku tidak berkehendak keluar dari agamaku…!”.

Al-Qadari terdiam seribu bahasa. Ia tidak bisa “menundukkan” orang majusi tersebut karena kesesatannya sendiri. Pertama; al-Qadari sesat karena ia berkeyakinan bahwa segala perbuatan manusia adalah ciptaan manusia itu sendiri. Kedua; ia sesat kerena ia tidak membedakah antara kehendak Allah (Masyi’ah Allah) dengan perintah Allah (Amr Allah).
___
#freetoshare

Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!

Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
Makna Firman Allah: "Kun Fayakun" (QS. Yasin: 82)

Dalam al-Qur'an Allah berfirman: "Inama Amruhu Idza Arada Sya'ian An Yaqula Lahu Kun Fayakun" (QS. Yasin: 82). Makna ayat ini bukan berarti bahwa setiap Allah berkehendak menciptakan sesuatu, maka dia berkata: "Kun", dengan huruf "Kaf" dan "Nun" yang artinya "Jadilah...!". Karena seandainya setiap berkehendak menciptakan sesuatu Allah harus berkata "Kun", maka dalam setiap saat perbuatan-Nya tidak ada yang lain kecuali hanya berkata-kata: "kun, kun, kun...". Hal ini tentu mustahil atas Allah. Karena sesungguhnya dalam waktu yang sesaat saja bagi kita, Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu yang tidak terhitung jumlanya. Deburan ombak di lautan, rontoknya dedaunan, tetesan air hujan, tumbuhnya tunas-tunas, kelahiran bayi manusia, kelahiran anak hewan dari induknya, letusan gunung, sakitnya manusia dan kematiannya, serta berbagai peristiwa lainnya, semua itu adalah hal-hal yang telah dikehendaki Allah dan merupakan ciptaan-Nya. Semua perkara tersebut bagi kita terjadi dalam hitungan yang sangat singkat, bisa terjadi secara beruntun bahkan bersamaan.

Bukan Huruf Bukan Suara Bukan Bahasa >>> https://wa.me/p/4383946308345674/6287878023938

Adapun sifat perbuatan Allah sendiri (Shifat al-Fi'il) tidak terikat oleh waktu. Allah menciptakan segala sesuatu, sifat perbuatan-Nya atau sifat menciptakan-Nya tersebut tidak boleh dikatakan "di masa lampau", "di masa sekarang", atau "di masa mendatang". Sebab perbuatan Allah itu azali, tidak seperti perbuatan makhluk yang baharu. Perbuatan Allah tidak terikat oleh waktu, dan tidak dengan mempergunakan alat-alat. Benar, segala kejadian yang terjadi pada alam ini semuanya baharu, semuanya diciptakan oleh Allah, namun sifat perbuatan Allah atau sifat menciptakan Allah (Shifat al-Fi'il) tidak boleh dikatakan baharu.

Kemudian dari pada itu, kata "Kun" adalah bahasa Arab yang merupakan ciptaan Allah (al-Makhluk). Sedangkan Allah adalah Pencipta (Khaliq) bagi segala bahasa. Maka bagaimana mungkin Allah sebagai al-Khaliq membutuhkan kepada ciptaan-Nya sendiri (al-Makhluq)?! Seandainya Kalam Allah merupakan bahasa, tersusun dari huruf-huruf, dan merupakan suara, maka berarti sebelum Allah menciptakan bahasa Dia diam; tidak memiliki sifat Kalam, dan Allah baru memiliki sifat Kalam setelah Dia menciptakan bahasa-bahasa tersebut. Bila seperti ini maka berarti Allah baharu, persis seperti makhluk-Nya, karena Dia berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Tentu hal seperti ini mustahil atas Allah.

Dengan demikian makna yang benar dari ayat dalam QS. Yasin: 82 diatas adalah sebagai ungkapan bahwa Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu tanpa lelah, tanpa kesulitan, dan tanpa ada siapapun yang dapat menghalangi-Nya. Dengan kata lain, bahwa bagi Allah sangat mudah untuk menciptakan segala sesuatu yang Ia kehendaki, sesuatu tersebut dengan cepat akan terjadi, tanpa ada penundaan sedikitpun dari waktu yang Ia kehendakinya.

#freetoshare #freetocopy

📌

Follow medsos kami @tauhidcorner
https://linktr.ee/tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

ℹ️ Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!

📚 Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
IMAN DENGAN QADLA DAN QADAR
(Bagian 6 / 10) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

Takdir Allah Tidak Berubah

Di atas telah dijelaskan bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah. Apa bila Allah menghendaki sesuatu akan terjadi pada seorang hamba-Nya, maka pasti sesuatu itu akan menimpanya, sekalipun orang tersebut bersedekah, berdoa, bersilaturrahim, dan berbuat baik kepada sanak kerabatnya; kepada ibunya, dan saudara-saudaranya. Artinya, apa yang telah ditentukan oleh Allah tidak dapat dirubah oleh amalan-amalan kebaikan.

Adapun hadits Rasulullah yang berbunyi:

لَا يَرُدُّ القَضاَءَ شَيءٌ إلّاالدُّعَاءُ (رواه الترمذي)

“Tidak ada sesuatu yang dapat menolak Qadla kecuali doa”. (HR. at-Tirmidzi).

Yang dimaksud dengan Qadla di dalam hadits ini adalah Qadla Mu’allaq. Disini harus kita ketahui bahwa Qadla terbagi kepada dua bagian: Qadla Mubrab dan Qadla Mu’allaq.

Pertama: Qadla Mubram, ialah ketentuan Allah yang pasti terjadi dan tidak dapat berubah. Ketentuan ini hanya ada pada Ilmu Allah, tidak ada siapapun mengetahuinya selain Dia. Seperti ketentuan mati dalam keadaan kufur (asy-Syaqawah), dan mati dalam keadaan beriman (as-Sa’adah). Ketentuan dua hal ini tidak dapat berubah. Seorang yang telah ditentukan oleh Allah baginya mati dalam keadaan beriman maka hanya hal itu yang akan terjadi padanya, tidak akan pernah berubah. Sebaliknya, seorang yang telah ditentukan oleh Allah baginya mati dalam keadaan kufur maka pasti hal tersebut akan terjadi pada dirinya, tidak ada siapapun, dan tidak ada perbuatan apapun yang dapat merubahnya. Allah berfirman:

يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ (النحل: 93)

“Allah menyesatkan terhadap orang yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki”. (QS. an-Nahl: 93).

📚 Mendalami Ilmu Kalam >>> https://wa.me/p/3808024109249877/6287878023938

Kedua: Qadla Mu’allaq, yaitu ketentuan Allah yang berada pada lambaran-lembaran para Malaikat. Para Malaikat tersebut mengutipnya dari al-Lauhal-Mahfuzh. Seperti si fulan misalkan, apa bila ia berdoa maka ia akan berumur seratus tahun, atau akan mendapat rizki yang luas, atau akan mendapatkan kesehatan, dan seterusnya. Namun, misalkan si fulan ini tidak mau berdoa, atau tidak mau bersillaturrahim, maka umurnya hanya enam puluh tahun, ia tidak akan mendapatkan rizki yang luas, dan tidak akan mendapatkan kesehatan. Inilah yang dimaksud dengan Qadla Mu’allaq atau Qadar Mu’allaq, yaitu ketentuan-ketentuan Allah yang berada pada lebaran-lembaran para Malaikat.

Dari uraian ini dapat dipahami bahwa doa tidak dapat merubah ketentuan (Taqdir) Allah yang Azali yang merupakan sifat-Nya. Karena mustahil sifat Allah bergantung kepada perbuatan-perbuatan atau doa-doa hamba-Nya. Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu, tidak ada yang tersembunyi dari-Nya suatu apapun. Allah maha mengetahui perbuatan manakah yang akan dipilih oleh si fulan dan apa yang akan terjadi padanya sesuai yang telah tertulis di al-Lauh al-Mahfuzh.

Namun demikian doa ini adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah atas para hamba-Nya. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (البقرة: 186)

“Dan jika hamba-hamba-ku bertanya kepadamu (Wahai Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat (bukan dalam pengertian jarak), Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa jika ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memohon terkabulkan doa kepada-Ku dan beriman kepada-Ku, semoga mereka mendapatkan petunjuk” (QS. al-Baqarah: 187)

Artinya bahwa seorang yang berdoa tidak akan sia-sia belaka. Ia pasti akan mendapatkan salah satu dari tiga kebaikan; dosa yang diampuni, permintaan yang dikabulkan, atau mendapatkan kebaikan yang disimpan baginya untuk di kemudian hari kelak. Semua dari tiga kebaikan ini adalah merupakan kebaikan baginya. Dengan demikian maka tidak mutlak bahwa setiap doa yang dipintakan oleh para hamba pasti dikabulkan oleh Allah.
Akan tetapi ada yang dikabulkan dan ada pula yang tidak dikabulkan. Yang jelas, bahwa setiap doa yang dipintakan oleh seorang hamba kepada Allah adalah sebagai kebaikan bagi dirinya sendiri, artinya bukan sebuah kesia-siaan belaka. Dalam keadaan apapun, seorang yang berdoa paling tidak akan mendapatkan salah satu dari kebaikan yang telah kita sebutkan di atas.
___
#freetoshare

Follow medsos kami @tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!

Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>> https://id.shp.ee/a3p7Cyk
*IMAN DENGAN QADLA DAN QADAR*
(Bagian 7 / 10) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

*Allah Pencipta Segala Kebaikan Dan Keburukan*

Akidah Ahlussunnah menetapkan bahwa Allah yang menciptakan kebaikan dan keburukan. Namun demikian ada beberapa faham yang berusaha mengaburkan kebenaran ini dengan mengutip beberapa ayat yang sering disalahpahami oleh mereka. Di antaranya, mereka mengutip firman Allah:

بِيَدِكَ الْخَيْرُ (ءال عمرا: 26)

“… dengan kekuasaan-Mu (Ya Allah) segala kebaikan”. (QS. Ali ‘Imran: 26).

Mereka berkata: “Dalam ayat ini Allah hanya menyebutkan al-Khair (kebaikan) saja, Dia tidak menyebutkan asy-Syarr (keburukan). Dengan demikian Allah hanya menciptakan kebaikan saja, adapun keburukan bukan ciptaan-Nya?!”.

Jawab:
Kata asy-Syarr (keburukan) tidak disandingkan dengan kata al-Khair (kabaikan) dalam ayat di atas bukan berarti bahwa Allah bukan pencipta keburukan. Ungkapan semacam ini dalam istilah Ilmu Bayan (salah satu cabang Ilmu Balaghah) dinamakan dengan al-Iktifa’. Yaitu meninggalkan penyebutan suatu kata karena telah diketahui padanannya. Contoh semacam ini di dalam al-Qur’an firman Allah:

وَجَعَلَ لَكُمْ سَرَابِيلَ تَقِيكُمُ الْحَرَّ (النحل: 81)

“Dia (Allah) menjadikan bagi kalian pakaian-pakaian yang memelihara kalian dari dari panas”. (QS. an-Nahl:81)

Yang dimaksud ayat ini adalah pakaian yang memelihara kalian dari panas, dan juga dari dingin. Artinya, tidak khusus memelihara dari panas saja. Demikian pula dengan firman Allah dalam QS. Ali ‘Imran:26 di atas bukan berarti Allah khusus menciptakan kebaikan saja, tapi yang yang dimaksud adalah menciptakan segala kebaikan dan juga segala keburukan.

Kemudian dari pada itu, dalam ayat lain dalam al-Qur’an Allah berfirman:

وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ (الفرقان: 2)

“Dan Dia (Allah) yang telah menciptakan segala sesuatu”. (QS. al-Furqan: 2)

*Membela Kedua Orang Tua Rasulullah Dari Tuduhan Keji Kaum Wahhabi Yang Mengkafirkan Keduanya >>>* https://wa.me/p/3215328888509592/6287878023938

Kata “Syai’”, yang secara hafiyah bermakna “sesuatu”, dalam ayat ini mencakup segala suatu apapun selain Allah. Mencakup segala benda dan semua sifat benda, termasuk segala perbuatan manusia, juga termasuk segala kebaikan dan segala keburukan Artinya, segala apapun selain Allah adalah ciptaan Allah.

Dalam ayat lain Allah berfirman:

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ (ءال عمران: 26)

“Katakanlah (Wahai Muhammad), Ya Allah yang memiliki kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki”. (QS.Ali ‘Imran: 26)

Dari makna firman Allah: “Engkau (Ya Allah) berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki”, kita dapat memahami bahwa Allah adalah Pencipta kebaikan dan keburukan. Allah yang memberikan kerajaan kepada raja-raja kafir seperti Fir’aun, dan Allah pula yang memberikan kerajaan kepada raja-raja mukmin seperti Dzul Qarnain.

Adapun firman Allah:

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ (النساء: 79)

Makna ayat ini bukan berarti kebaikan ciptaan Allah, sementara keburukan ciptaan manusia. Pemaknaan seperti ini adalah pemaknaan yang rusak dan merupakan kekufuran. Makna yang benar ialah -sebagaimana telah ditafsirkan oleh para ulama- bahwa kata “Hasanah” dalam ayat di atas artinya nikmat, sedangkan kata “Sayyi’ah” artinya musibah atau bala (bencana). Dengan demikian makna ayat di atas ialah: “Segala apapun dari nikmat yang kamu peroleh adalah berasal dari Allah, dan segala apapun dari musibah dan bencana yang menimpamu adalah balasan dari kesalahanmu”. Artinya, amal buruk yang kamu lakukan dibalas oleh Allah dengan musibah dan bala.
___
#freetoshare

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*

*Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>>* https://id.shp.ee/a3p7Cyk
*IMAN DENGAN QADLA DAN QADAR*
(Bagian 8 / 10) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

*Pencipta Sebab Dan Akibat*

Di dunia ini ada sesuatu yang dinamakan “sebab” dan ada yang dinamakan “akibat”. Misalnya, obat sebagai sebab bagi -akibat- sembuh, api sebagai sebab bagi -akibat- kebakaran, makan sebagai sebab bagi -akibat- kenyang, dan lain-lain. Akidah Ahlussunnah menetapkan bahwa sebab dan akibat ini tidak berlaku dengan sendirinya. Artinya, setiap sebab sama sekali tidak menciptakan akibatnya masing-masing. Tapi keduanya, baik sebab maupun akibat, adalah ciptaan Allah dan dengan ketentuan (Taqdir) Allah. Dengan demikian, obat dapat menyembuhkan sakit karena kehendak Allah, api dapat membakar karena kehendak Allah, dan demikian seterusnya. Segala akibat dari segala sebabnya, jika akibat-akibat tersebut tidak dikehendaki oleh Allah akan kejadiannya maka itu semua tidak akan pernah terjadi.

*Memahami Makna Bid'ah Secara Komprehensif >>>* https://wa.me/p/2644660135596525/6287878023938

Dalam sebuah hadits Shahih, Rasulullah bersabda:

إنّ اللهَ خَلَقَ الدّوَاءَ وَخَلقَ الدَّاءَ فَإذاَ أُصِيْبَ دَوَاءُ الدّاء بَرِأ بإِذْنِ اللهِ (رواه ابن حبّان)

“Sesungguhnya Allah yang menciptakan segala obat dan yang menciptakan segala penyakit. Apa bila obat mengenai penyakit maka sembuhlah ia dengan izin Allah”. (HR. Ibn Hibban).

Sabda Rasulullah dalam hadits di atas: “… maka sembuhlah ia dengan izin Allah” adalah bukti bahwa obat tidak dapat memberikan kesembuhan dengan sendirinya. Dan perkara ini nyata dalam kehidupan kita sehari-hari. Sering kita melihat banyak orang dengan berbagai macam penyakit, dalam berobat mereka mempergunakan obat yang sama, padahal jelas penyakit mereka bermacam-macam. Dan ternyata, sebagian orang tersebut ada yang sembuh, namun sebagian lainnya tidak sembuh. Tentunya apa bila obat bisa memberikan kesembuhan dengan sendirinya maka pastilah setiap orang yang mempergunakan obat tersebut akan sembuh, namun kenyataan tidak demikian. Inilah yang dimaksud sabda Rasulullah: “… maka akan sembuh dengan izin Allah”.

Dengan demikian kita bisa mengetahui bahwa adanya obat tersebut adalah dengan kehendak Allah, demikian pula adanya kesembuhan sebagai akibat dari obat tersebut juga dengan kehendak dan ketentuan Allah. Obat dengan sendirinya tidak menciptakan kesembuhan. Demikian pula dengan sebab-sebab lainnya, semua itu tidak menciptakan akibatnya masing-masing. Kesimpulannya, kita wajib berkeyakinan bahwa sebab tidak menciptakan akibat, akan tetapi Allah yang menciptakan segala sebab dan segala akibat.
___
#freetoshare

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*

*Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>>* https://id.shp.ee/a3p7Cyk
*IMAN DENGAN QADLA DAN QADAR*
(Bagian 9 / 10) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

*Golongan-Golongan Dalam Masalah Qadla Dan Qadar*

Dalam masalah Qadla dan Qadar umat Islam terpecah menjadi tiga golongan. Kelompok pertama disebut dengan golongan Jabriyyah, kedua disebut dengan golongan Qadariyyah, dan ketiga adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Golongan pertama dan golongan ke dua adalah golongan sesat, dan hanya golongan ke tiga yang selamat. Kelompok pertama, yaitu golongan Jabriyyah, berkeyakinan bahwa para hamba itu dipaksa (Majbur) dalam segala perbuatannya. Mereka berkeyakinan bahwa seorang hamba sama sekali ia tidak memiliki usaha atau ikhtiar (al-Kasab) dalam perbuatannya tersebut. Bagi kaum Jabriyyah, manusia laksana sehelai bulu atau lakasana kapas yang terbang ditiup angin, ia mengarah ke manapun angin itu membawanya.

Keyakinan sesat kaum Jabriyyah ini bertentangan dengan firman Allah:

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ (التكوير: 29)

“Dan kalian tidaklah berkehendak kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. at-Takwir: 26).

Ayat ini memberikan penjelasan bahwa manusia diberi kehendak (al-Masyi’ah) oleh Allah. Hanya saja kehendak hamba tersebut dibawah kehendak Allah. Pemahaman ayat ini berbeda dengan keyakinan kaum Jabriyyah yang sama sekali menafikan Masyi’ah dari hamba.

Bahkan dalam ayat lain secara tegas dinyatakan bahwa manusia memiliki usaha dan ikhtiar (al-Kasb). Yaitu dalam firman Allah:

لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ (البقرة: 286)

“Bagi setiap jiwa -balasan kebaikan- dari segala apa yang telah ia usahakan – dari amal baik-, dan atas setiap jiwa -balasan keburukan- dari segala apa yang ia usahakan -dari amal buruk-”. (QS. al-Baqarah: 286)

Kebalikan dari golongan Jabriyyah adalah golongan Qadariyyah. Kaum ini memiliki keyakinan bahwa manusia memiliki sifat Qadar (menentukan) dalam melakukan segala amal perbuatannya, tanpa adanya kehendak dari Allah terhadap perbuatan-perbuatan tersebut. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, tetapi manusia sendiri yang menciptakan perbuatan-perbuatannya tersebut.

Terhadap golongan Qadariyyah yang berkeyakinan seperti ini kita tidak boleh ragu sedikitpun untuk mengkafirkannya. Mereka sama sekali bukan orang-orang Islam. Karenanya, para ulama kita-pun sepakat dalam mengkafirkan kaum Qadariyyah yang berkeyakinan semacam ini. Mereka telah menyekutukan Allah dengan makhluk-makhluk-Nya, karena mereka menetapkan adanya pencipta kepada selain Allah. Mereka juga telah menjadikan Allah lemah (‘Ajiz), karena dalam keyakinan mereka Allah tidak menciptakan segala perbuatan hamba-Nya. Padahal di dalam al-Qur’an Allah telah berfirman:

قُلِ اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ (الرعد: 16)

“Katakan (Wahai Muhammad), Allah adalah yang menciptakan segala sesuatu”. (QS. ar-Ra’ad: 16)

https://wa.me/p/2748021258638875/6287878023938

Mustahil bagi Allah tidak kuasa atau lemah untuk menciptakan segala perbuatan hamba-Nya. Sesungguhnya Allah yang menciptakan segala benda, dari mulai benda paling kecil bentuknya, yaitu adz-dzarrah, hingga benda yang paling besar, yaitu ‘arsy, termasuk tubuh manusia, yang notabene sebagai benda, juga ciptaan Allah. Artinya, bila Allah yang menciptakan segala benda tersebut, maka demikian pula Allah yang menciptakan segala sifat dari benda-benda tersebut, juga segala perbuatan-perbuatannya. Sangat mustahil jika satu benda diciptakan oleh Allah, tapi kemudian sifat-sifat benda tersebut diciptakan oleh benda itu sendiri. Karena itu al-Imam al-Bukhari telah menulis satu kitab berjudul “Khalq Af’al al-‘Ibad”, berisi penjelasan bahwa segala perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, bukan ciptaan manusia itu sendiri.

Dengan demikian menjadi sangat jelas bagi kita kesesatan kaum Qadariyyah. Bahwa mereka adalah kaum yang kafir kepada Allah, karena mereka menetapkan adanya pencipta kepada selain Allah. Mereka telah menjadikan Allah setara dengan makhluk-makhluk-Nya sendiri.
Mereka tidak hanya menetapkan adanya satu sekutu bagi Allah, tapi mereka menetapkan banyak sekutu bagi-Nya. Karena dalam keyakinan mereka bahwa setiap manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya sendiri, sebagimana Allah adalah Pencipta bagi tubuh-tubuh semua manusia tersebut. Na’udzu Billah.

Golongan terakhir, yaitu Ahluassunnah Wal Jama’ah, adalah golongan yang selamat. Keyakinan golongan ini adalah keyakinan yang telah dipegang teguh oleh mayoritas umat Islam dari masa ke masa, antar genarasi ke genarasi. Dan inilah keyakinan yang telah diwariskan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya. Mereka menetapkan bahwa tidak ada pencipta selain Allah. Hanya Allah yang menciptakan semua makhluk, dari segala dzat-dzat atau tubuh-tubuh mereka, hingga segala sifat-sifat dan perbuatannya masing-masing.

Perbuatan manusia terbagi kepada dua bagian. Pertama; Af’al Ikhtiyariyyah, yaitu segala perbuatan yang terjadi dengan inisiatif, dengan usaha, dan dengan ikhtiar dari manusia itu sendiri, seperti makan, minum, berjalan, dan lain-lain. Kedua; Af’al Idlthirariyyah, yaitu segala perbuatan yang terjadi pada diri hamba yang terjadi di luar usaha, dan di luar ikhtiar manusia itu sendiri, seperti detak jantung, aliran darah dalam tubuh, dan lain sebagainya. Seluruh perbuatan manusia ini, baik Af’al Ikhtiyariyyah, maupun Af’al Idlthirariyyah adalah ciptaan Allah.
___
#freetoshare

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*

*Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>>* https://id.shp.ee/a3p7Cyk
*IMAN DENGAN QADLA DAN QADAR*
(Bagian 10 / 10) | Oleh Dr. K.H. Kholilurrohman, MA

*Kesimpulan*

Dari uraian di atas menjadi jelas bagi kita bahwa apapun yang terjadi di alam ini tidak lepas dari Qadla dan Qadar Allah. Artinya bahwa semuanya terjadi dengan penciptaan Allah dan dengan ketentuan Allah. Segala apa yang dikehendaki oleh Allah untuk terjadi pasti terjadi, dan segala apa yang tidak Dia kehendaki kejadiannya maka tidak akan pernah terjadi. Seandainya seluruh makhluk bersatu untuk merubah apa telah diciptakan dan ditentukan oleh Allah, maka sedikitpun mereka tidak akan mampu melakukan itu.

Bagi seorang yang beriman kepada al-Qur’an hendaklah ia berpegang teguh kepada firman Allah:

لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ (الأنبياء: 23)

“(Dia Allah) tidak ditanya (tidak diminta tanggung jawab) terhadap apa yang Dia perbuat, dan -justru- merekalah (para makhluk) yang akan diminta pertanggungjawaban”. (QS. al-Anbiya:23).

Kita dituntut untuk melaksanakan apa yang telah dibebankan di dalam syari’at. Bila kita melanggar maka kita sendiri yang akan mempertanggungjawabkannya, dan bila kita patuh maka kita sendiri pula yang akan menuai hasilnya. Dalam hal ini kita tidak boleh meminta “tanggungjawab” atau “protes” kepada Allah. Kita tidak boleh berkata: “Mengapa Allah menyiksa orang-orang berbuat maksiat dan orang-orang kafir, padahal Allah sendiri yang berkehendak akan adanya kemaksiatan dan kekufuran pada diri mereka?”. Karena Allah tidak ada yang meminta tanggung jawab dari-Nya. Dia berhak melakukan apapun terhadap makhluk-makhluk-Nya karena semuanya adalah milik Allah.

Kita hendaklah bersyukur sedalamnya, bacalah “al-Hamdu Lillah”, pujilah Allah seluas-luasnya, karena Allah telah memberikan karunia besar kepada kita, Dia telah menjadikan kita sebagai orang-orang yang beriman kepada-Nya. al-Hamdulillah Rabbal-‘Alamin.
___
#freetoshare

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*

*Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>>* https://id.shp.ee/a3p7Cyk
🔅🔆🔅🔆🔅🔆🔅
🔅🔆 *Urgensi Ilmu Kalam (Bagian 1 | 31)* 🔆🔅

*Mengenal Ilmu Kalam*

*(Masalah):* Jika timbul pertanyaan bahwa tidak terdapat hadits yang memberitakan bahwa Rasulullah telah mengajarkan Ilmu Kalam ini kepada para sahabatnya. Demikian juga tidak ada berita yang menyebutkan bahwa di antara para sahabat Nabi ada yang menggeluti ilmu ini, atau mengajarkannya kepada orang-orang lain di bawah mereka. Bukankah ilmu ini baru muncul setelah periode sahabat habis?! Seandainya ilmu ini sangat penting di dalam agama maka tentu akan banyak digeluti oleh para sahabat dan para tabi’in, juga oleh para ulama sesuadah mereka?!

*(Jawab):* Jika yang dimaksud bahwa para sahabat tersebut adalah orang-orang yang tidak mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya, tidak mengenal makna tauhid, tidak mengenal kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya, tidak mengenal Rasul-Nya, tidak mengenal kebenaran mukjizat-mukjizatnya dengan dalil-dalil akal; artinya bahwa keimanan para sahabat tersebut hanya ikut-ikutan saja (Taqlîd) maka jelas pendapat ini adalah pendapat yang rusak dan batil. Karena dalam al-Qur’an sendiri Allah telah mencela orang-orang yang dalam keyakinannya hanya ikut-ikutan belaka terhadap orang-orang tua mereka dalam menyembah berhala. Allah berfirman tentang perkataan mereka:

إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ (سورة الزخرف: 23)

*“Sesungguhnya kami mendapati orang-orang tua kami di atas suatu ajaran, dan sesungguhnya kami di atas peninggalan-peninggalan mereka adalah orang-orang yang mengikuti” (QS. az-Zukhruf: 23).*

https://wa.me/p/3808024109249877/6287878023938

Dalam ayat ini terkandung cacian terhadap orang-orang kafir, bahwa mereka adalah orang-orang yang hanya ikut-ikutan terhadap para leluhur mereka dalam menyekutukan Allah. Mereka sama sekali tidak memiliki memiliki argumen kuat dalam dasar-dasar keyakinan mereka. Suatu saat al-Imâm Abu Hanifah ditanya; Mengapa kalian bergelut dengan Ilmu Kalam, sementara para sahabat tidak pernah memperdalam ilmu tersebut?! Beliau menjawab: “Perumpamaan para sahabat tersebut adalah laksana orang-orang yang hidup di zaman yang tidak ada musuh, dengan demikian mereka tidak butuh untuk mengeluarkan senjata. Sementara kita adalah orang-orang yang hidup di zaman yang banyak musuh, maka kita sangat butuh untuk mengeluarkan senjata”. *[Lihat al-Bayyadli dalam Isyârât al-Marâm Min ’Ibârât al-Imâm, h. 33].*

Adapun jika dimaksud dari pertanyaan di atas bahwa para sahabat Rasulullah tersebut tidak pernah mengungkapkan istilah-istilah yang belakangan baru dikenal dalam Ilmu Kalam, seperti al-jawhar (benda), al-‘Aradl (sifat benda), al-Jâ-iz (perkara yang ada dan tidak adanya dapat diterima oleh akal), al-Muhâl (perkara yang mustahil adanya), al-Hûdûts (baharu), al-Qidam (tanpa permulaan) dan sebagainya; maka pendapat tersebut dapat diterima. Hanya saja kita bantah dengan perkara-perkara yang serupa dengan itu semua dalam semua disiplin ilmu. Karena sesungguhnya tidak pernah dikenal di masa Rasulullah, juga di masa para sahabatnya, tentang istilah-istilah semacam al-Nâsikh dan al-Mansûkh, al-Mujmal dan al-Mutasyâbih, dan lain sebagainya yang biasa dipakai oleh para ulama tafsir.

Demikian pula di masa Rasulullah tidak pernah dikenal istilah al-Qiyâs, al-Istihsân, al-Mu’âradlah, al-Munâqadlah, al-‘Illah, dan lain sebagainya yang biasa dipergunakan oleh para ahli fiqih. Juga tidak ada istilah al-Jarh dan at-Ta’dîl, al-Âhâd, al-Masyhûr, al-Mutawâtir, ash-Shahîh, al-Gharîb, dan lain sebagainya yang biasa digunakan oleh para ahli hadits. Apakah kemudian dengan alasan bahwa disiplin ilmu-ilmu tersebut tidak pernah ada di masa Rasulullah dan para sahabatnya lalu itu semua harus kita ditolak?! Sesungguhnya di masa Rasulullah belum nampak berbagai kesesatan dan bermacam bid’ah. Karena itu di masa beliau tidak butuh kepada berbagai ungkapan dengan berbagai rincian istilah.

📌

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
https://linktr.ee/tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*
🔅🔆 *Urgensi Ilmu Kalam (Bagian 2 | 31)* 🔆🔅

*Sebab Dinamakan Ilmu Kalam*

Ilmu Tauhid ini, dengan segala dalil-dalil di dalamnya, baik dalil rasional maupun dalil tekstual yang berasal dari al-Qur’an dan Sunnah, dinamakan juga dengan Ilmu Kalam. Prihal sebab penamaan dengan Ilmu Kalam terdapat beberapa pendapat. Satu pendapat menyebutkan bahwa dinamakan demikian adalah karena ada beberapa firqah yang mengaku Islam namun memiliki banyak perselisihan pendapat dengan Ahlussunnah hingga terjadi perang argumen (al-Kalâm) antar mereka dalam menetapkan kebenaran. Pendapat lain menyebutkan bahwa dinamakan Ilmu Kalam adalah karena perselisihan dan perbedaan mendasar antara Ahlussunnah dengan kelompok lainnya adalah dalam masalah Kalam Allah. Apakah Kalam Allah itu Qadim seperti yang ditegaskan oleh kaum Ahlussunnah? Ataukah Kalam Allah tersebut baharu seperti yang diyakini kaum Mu’tazilah? Ataukah Kalam Dzat Allah itu dalam bentuk huruf-huruf, suara, dan bahasa seperti yang diyakini kaum Hasyawiyyah?

Dalam masalah Kalam Allah ini setidaknya terdapat tiga firqah besar yang satu sama lainnya saling bertentangan. Pertama; kaum Hasyawiyyah, yaitu salah satu sub sekte firqah Musyabbihah; kaum sesat yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, mereka berkeyakinan bahwa Kalam Allah berupa huruf-huruf, suara dan bahasa. Bahkan sebagian mereka dengan sangat ekstrim mengatakan bahwa suara dari setiap bacaan kita terhadap al-Qur’an, juga huruf-huruf yang tersusun di dalam al-Qur’an itu sendiri adalah sesuatu Azaly dan Qadim; tidak memiliki permulaan. Keyakinan kaum Hasyawiyyah ini jelas tidak dapat diterima oleh akal sehat. Karena bila demikian maka berarti Allah serupa dengan makhluk-makhluk-Nya.

https://wa.me/p/4383946308345674/6287878023938

Kelompok lainnya yang juga ekstrim, seratus delapan puluh derajat berseberangan dengan kaum Hasyawiyyah, namun kelompok ini sama sesatnya dengan kaum Hasyawiyyah tersebut. Kelompok ini berpendapat bahwa Allah tidak memiliki sifat Kalam, juga tidak memiliki sifat-sifat lainnya. Menurut mereka Allah disebut “Mutakallim” adalah dalam pengertian bahwa Allah menciptakan sifat Kalam pada makhluk, seperti pada pohon misalkan atau lainnya. Kalam yang ada pada pohon itulah yang dimaksud Kalam Allah yang didengar oleh Nabi Musa. Kelompok ini sama sekali tidak meyakini bahwa Allah memiliki sifat Kalam dalam pengertian bahwa sifat Kalam tersebut tidak tetap dengan Dzat-Nya. Kelompok ini dinamakan dengan Mu’tazilah.

Adapun Ahlussunnah dalam masalah Kalam Allah ini berpendapat moderat. Mereka mengambil faham pertengahan antara dua faham sesat di atas. Pertengahan antara kaum Hasyawiyyah dan kaum Mu’tazilah. Oleh karenanya Ahlussunnah dikenal dengan sebutan al-Firqah al-Mu’tadilah (kelompok moderat). Mereka mengatakan bahwa Allah memiliki sifat Kalam yang Azaly (Qadim) dan Abady, bukan berupa huruf-huruf, bukan suara, dan bukan bahasa. Adapun lafazh-lafazh yang diturunkan (al-Lafzh al-Munazzal) yang berbentuk huruf, tertulis di antara lembaran-lebaran kertas, dan dalam bentuk bahasa Arab, maka itu semua adalah ungkapan (‘Ibârah) dari sifat Kalam Allah yang Azaly dan yang Abady di atas. Secara khusus akan kita kupas masalah Kalam Allah ini dalam bahasan tersendiri.

📌

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
https://linktr.ee/tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*

*Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>>* https://id.shp.ee/a3p7Cyk
🔅 *Urgensi Ilmu Kalam (Bagian 3 | 31)* 🔅

*Ilmu Kalam Pada Periode Salaf | Part 1*

Pada dasarnya tonggak dasar Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam sudah berkembang dari semenjak masa sahabat Rasulullah. Bahkan perkembangan Ilmu Tauhid ini merupakan konsentrasi dakwah seluruh komponen sahabat Rasulullah. Karenanya perkembangan Ilmu Tauhid saat itu justru lebih mapan dan lebih pesat di banding dengan periode-periode sesudahnya. Bantahan-bantahan terhadap berbagai kelompok ahli bid’ah sudah berkembang di masa para sahabat. Misalkan, sahabat Abdullah ibn Abbas (w 68 H) dan sahabat Abdullah ibn Umar (w 74 H) yang telah memerangi faham Mu’tazilah. Atau dari kalangan tabi’in, seperti Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (w 101 H) dan al-Imâm al-Hasan ibn al-Hanafiyah yang giat memerangi faham para ahli bid’ah tersebut.

https://wa.me/p/5583694061725369/6287878023938

Bahkan Khalifah Ali ibn Abi Thalib (w 40 H) dengan argumen kuatnya telah memecahkan faham Khawarij dan faham kaum Dahriyyah; kaum yang mengatakan bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan. Demikian pula beliau telah membungkam empat puluh orang dari kaum Yahudi yang mengatakan bahwa Tuhan adalah benda yang memiliki tubuh dan memiliki tempat. Di antara pernyataan sahabat Ali ibn Abi Thalib dalam masalah tauhid yang merupakan bantahan terhadap kaum Musyabbihah Mujassimah, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imâm al-Hâfizh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyah al-Awliyâ’, adalah: “Barangsiapa berkeyakinan bahwa Tuhan kita (Allah) memiliki bentuk maka ia tidak mengetahui Pencipta yang wajib disembah (Artinya; ia seorang yang kafir)”.
Kemudian Iyas ibn Mu’awiyah, yang sangat terkenal dengan kecerdesannya, juga telah memecahkan argumen-argumen kaum Qadariyyah (Mu’tazilah). Lalu Umar ibn Abd al-Aziz telah membungkam para pengikut Syauzdab; salah seorang pemuka kaum Khawarij. Dan bahkan Umar ibn Abd al-Aziz ini telah menulis beberapa risalah sebagai bantahan terhadap faham-faham Mu’tazilah. Kemudian al-Imâm Rabi’ah ar-Ra’y (w 136 H), salah seorang guru al-Imâm Malik Ibn Anas, dengan dalil yang sangat kuat telah membungkam Ghailan ibn Muslim; salah seorang pemuka kaum Qadariyyah. Lalu al-Imâm al-Hasan al-Bashri, salah seorang ulama besar dan terkemuka di kalangan tabi’in, juga telah menyibukan diri bergelut dengan Ilmu Kalam ini.


📌

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
https://linktr.ee/tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*

*Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>>* https://id.shp.ee/a3p7Cyk
🔅 *Urgensi Ilmu Kalam (Bagian 4 | 31)* 🔅

*Ilmu Kalam Pada Periode Salaf | Part 2*

*(Masalah):* Jika seseorang berkata: Abdullah ibn Abbas telah berkata: “Berpikirlah kalian tentang makhluk, dan janganlah kalian berpikir tentang al-Khâliq (Allah)”. Bukankah ini artinya berpikir tentang Allah adalah sesuatu yang dilarang?!

https://wa.me/p/3215328888509592/6287878023938

*(Jawab):* Yang dilarang dalam hal ini adalah berpikir tentang Allah, namun demikian kita diperintahkan untuk berpikir tentang makhluk-Nya. Ini artinya bahwa kita diperintahkan untuk berpikir tentang kekuasaan-kekuasaan Allah baik yang terdapat di langit maupun yang terdapat di bumi, agar supaya hal itu semua dijadikan bukti akan adanya Allah sebagai penciptanya, dan bahwa Dia Allah tidak menyerupai makhluk-makhluk-Nya tersebut. Seorang yang tidak mengenal Allah; Tuhan yang ia sembahnya, bagaimana mungkin ia dapat mengamalkan atsar shahih dari sahabat Ibn Abbas di atas?! Kemudian dari pada itu al-Qur’an telah memerintahkan kepada kita untuk mempelajari dalil-dalil akal tentang kebenaran akidah Islam. Mempelajari tentang dalil-dalil akal tentang adanya Allah, bahwa Dia maha mengatahui, maha kuasa, maha berkenhandak, tidak menyerupai makhluk-Nya dan berbagai perkara lainnya. Karenanya tidak ada seorangpun dari ulama kita dari kalangan Ahlussunnah, baik ulama Salaf maupun Khalaf, yang mencaci Ilmu Kalam ini.

📌

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
https://linktr.ee/tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*

*Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>>* https://id.shp.ee/a3p7Cyk
🔅 *Urgensi Ilmu Kalam (Bagian 5 | 31)* 🔅

*Ilmu Kalam Pada Periode Salaf | Part 3*

*(Masalah):* Jika seseorang berkata: al-Imâm asy-Syafi’i telah berkata: “Seorang manusia bila bertemu dengan Allah (artinya meninggal) dalam keadaam membawa banyak dosa selain dosa syirik maka hal ini jauh lebih baik baginya dari pada ia meninggal dengan membawa Ilmu Kalam”, bukankah ini artinya bahwa al-Imâm asy-Syafi’i membenci dan bahkan mencaci Ilmu Kalam?!

*(Jawab):* Statemen seperti itu tidak benar sebagai ungkapan al-Imâm Syafi’i, dan tidak ada riwayat dengan sanad yang benar bahwa beliau telah berkata demikian. Adapun pernyataan yang benar dari ucapan beliau dengan sanad yang shahih adalah: “Seorang manusia bila bertemu Allah (meninggal) dalam keadaam membawa banyak dosa selain dosa syirik maka hal ini jauh lebih baik baginya dari pada ia meninggal dengan membawa al-Ahwâ’” *[1]* .

https://wa.me/p/4242193262555791/6287878023938

Kata al-Ahwâ’ adalah jamak dari kata al-Hawâ, artinya sesuatu yang diyakini oleh para ahli bid’ah yang berada di luar jalur ulama Salaf. Maka pengertian al-Hawâ di sini adalah keyakinan-keyakinan yang yakini oleh golongan-golongan sesat, seperti keyakinan Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah, Najjariyyah, dan berbagai kelompok lainnya; yang telah disebutkan dalam hadits nabi sebanyak tujuh puluh dua golongan. Dalam sebuah hadits mashur Rasulullah bersabda:

وَإنّ هَذِهِ الْمِلّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ (رَوَاهُ أبُوْ دَاوُد)

“Dan sesungguhnya -umat- agama ini akan pecah kepada tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua di neraka, dan hanya satu di surga; dan dia adalah kelompok mayoritas”. (HR. Abu Dawud) *[2]* .

Dengan demikian yang dicaci oleh al-Imâm asy-Syafi’i bukan mutlak keseluruhan Ilmu Kalam, tapi yang dimaksud adalah Ilmu Kalam tercela; yaitu yang digeluti oleh para ahli bid’ah di atas. Adapun Ilmu Kalam yang digeluti Ahlussunnah yang berdasar kepada al-Qur’an dan Sunnah maka ini adalah Ilmu Kalam terpuji, dan sama sekali tidak pernah dicaci oleh al-Imâm asy-Syafi’i. Sebaliknya beliau adalah seorang yang sangat kompeten dan terkemuka dalam Ilmu Kalam ini. Karenannya argumen beliau telah mematahkan pendapat Bisyr al-Marisi dan Hafsh al-Fard; di antara pemuka kaum Mu’tazilah yang mengatakan bahwa al-Qur’an makhluk dan bahwa Allah tidak memiliki sifat Kalam.

Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Asakir dalam karya yang beliau tulis sebagai pembelaan terhadap al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari berjudul Tabyîn Kadzib al-Muftarî Fîmâ Nusiba Ilâ al-Imâm Abî al-Hasan al-Asy’ari menuliskan sebagai berikut:

“Ilmu Kalam yang tercela adalah Ilmu Kalam yang digeluti oleh Ahl al-Ahwâ’ dan yang diyakini oleh para ahli bid’ah. Adapun Ilmu Kalam yang sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah yang dibahas untuk menetapkan dasar-dasar akidah yang benar dan untuk memerangi fitnah Ahl al-Ahwâ’ maka ia telah disepakati ulama sebagai Ilmu Kalam terpuji. Dalam Ilmu Kalam terpuji inilah al-Imâm asy-Syafi’i adalah di antara ulama besar yang sangat kompeten. Dalam berbagai kesempatan beliau telah banyak membantah orang-orang ahli bid’ah dengan argumen-argumen kuatnya hingga mereka terpecahkan” *[3]* .

Dalam karyanya tersebut Ibn Asakir kemudian mengutip salah satu kasus yang terjadi dengan al-Imâm asy-Syafi’i dengan sanad-nya dari ar-Rabi’ ibn Sulaiman, bahwa ia (ar-Rabi’ ibn Sulaiman) berkata:

“Ketika aku berada di majelis asy-Syafi’i, Abu Sa’id A’lam memberitahukan kepadaku bahwa suatu ketika datang Abdullah ibn Abd al-Hakam, Yusuf ibn Amr ibn Zaid, dan Hafsh al-Fard. Orang yang terakhir ini oleh asy-Syafi’i disebut dengan al-Munfarid (yang berpaham ekstrim). Kemudian Hafsh al-Fard bertanya kepada Abdullah ibn Abd al-Hakam: “Bagaimana pendapatmu tentang al-Qur’an?” Namun Abdullah ibn Abd al-Hakam enggan menjawab. Lalu Hafsh bertanya kepada Yusuf ibn Amr. Namun ia juga enggan menjawab. Keduanya lalu berisyarat untuk bertanya kepada asy-Syafi’i.
Kemudian Hafsh bertanya kepada asy-Syafi’i, dan asy-Syafi’i memberikan dalil kuat atas Hafsh.

Namun kemudian antara keduanya terjadi perdebatan yang cukup panjang. Akhirnya asy-Syafi’i dengan argumennya yang sangat kuat mengalahkan Hafsh dan menetapkan bahwa al-Qur’an adalah Kalam Allah bukan makhluk. Kemudian asy-Syafi’i mengkafirkan Hafsh. (Ar-Rabi’ ibn Sulaiman berkata): “Beberapa saat kemudian di masjid aku bertemu dengan Hafsh, ia berkata kepadaku bahwa asy-Syafi’i hendak memenggal leherku” *[4]* .
__
*[1]* Ibn Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî, h. 337 dengan berbagai jalur sanad.
*[2]* Kajian konprehensif tentang firqah-firqah dalam Islam lihat _al-Farq Bayn al-Firaq_ karya Abu Manshur al-Baghdadi (w 429 H), _al-Milal Wa an-Nihal_ karya Abu al-Fath asy-Syahrastani (w 548 H), _at-Tabshîr Fî ad-Dîn_ karya Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini (w 471 H), dan lainnya.
*[3]* _Tabyîn Kadzib al-Mutftarî_ , h. 339.
*[4]* _Manâqib asy-Syâfi’i_ karya ar-Razi, h. 194-195. Lihat juga al-Asmâ’ Wa ash-Shifât karya al-Bayhaqi, h. 252.

📌

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
https://linktr.ee/tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*

*Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>>* https://id.shp.ee/a3p7Cyk
🔅🔆 *Urgensi Ilmu Kalam (Bagian 6 | 31)* 🔆🔅

*Ilmu Kalam Pada Periode Salaf | Part 4*

*(Masalah):* Jika seseorang berkata: Diriwayatkan dari al-Imâm asy-Sya’bi bahwa ia berkata: “Barangsiapa mempelajari agama dengan Ilmu Kalam maka ia menjadi seorang zindik. Barangsiapa mencari harta dengan Kimia maka ia akan bangkrut. Barangsiapa mengajarkan hadits dengan mengutip hadits-hadits Gharîb maka ia seorang pembohong”. Pernyataan semacam ini juga telah diriwayatkan dari al-Imâm Malik dan al-Qâdlî Abu Yusuf (sahabat al-Imâm Abu Hanifah). Dan ada beberapa ulama Salaf lain yang mencaci Ilmu Kalam?!

*(Jawab):* Masalah ini telah dijawab oleh al-Imâm al-Bayhaqi. Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ilmu Kalam oleh sebagian ulama Salaf tersebut adalah Ilmu Kalam tercela yang digeluti oleh para ahli bid’ah. Karena di masa mereka penyebutan Ilmu Kalam konotasinya adalah Ilmu Kalam yang digeluti oleh para ahli bid’ah. Benar, kaum Ahlussunnah saat itu belum banyak membahas secara detail tentang Ilmu Kalam, sebelum kemudian ilmu ini menjadi sangat dibutuhkan untuk dibukukan dan dibahas secara komprehensif.

https://wa.me/p/3233787109994924/6287878023938

Masih menurut al-Bayhaqi, mungkin pula yang dimaksud Ilmu Kalam yang dicela oleh para ulama Salaf di atas adalah bagi seorang yang hanya mempalajari Ilmu Kalam semata, dengan menyampingkan Ilmu-Ilmu fiqih yang sangat dibutuhkan untuk mengenal hukum halal dan haram, atau menolak hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam syari’at hingga tidak terlakasananya hukum-hukum itu sendiri.

Kemudian al-Bayhaqi juga mengatakan bahwa banyak para ulama Salaf yang memuji Ilmu Kalam sebagai media untuk memerangi faham-faham ahli bid’ah. Di antaranya Hatim al-Ashamm, salah seorang seorang sufi terkemuka ahli zuhud dimasanya, mengatakan bahwa Ilmu Kalam merupakan ilmu pokok agama, sementara Ilmu Fiqih merupakan cabangnya, dan pengamalan adalah buah dari ilmu-ilmu tersebut. Dengan demikian, (masih menurut Hatim), barangsiapa yang menggeluti Ilmu Kalam dengan menyampingkan Ilmu Fiqih dan pengamalannya maka ia akan menjadi seorang zindik, dan barangsiapa yang mencukupkan dengan hanya amalan saja tanpa didasarkan kepada Ilmu Kalam dan Ilmu Fiqih maka akan menjadi seorang ahli bid’ah, dan barangsiapa yang mencukupkan dengan Ilmu Fiqih saja dengan menyampingkan Ilmu Kalam maka ia akan menjadi seorang fasik. Tetapi barangsiapa yang mempelajari semua disiplin ilmu tersebut maka dialah yang akan selamat *[1]*.
____
*[1]* Lihat _Tabyîn Kadzib al-Mutftarî_, h. 334


📌

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
https://linktr.ee/tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*

*Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>>* https://id.shp.ee/a3p7Cyk
🔅🔆 *Urgensi Ilmu Kalam (Bagian 7 | 31)* 🔆🔅

*Ilmu Kalam Pada Periode Salaf | Part 5*

Al-Imâm al-Qâdlî Abu al-Ma’ali Abdul Malik, yang lebih dikenal dengan sebutan Imam al-Juwaini, mengatakan bahwa orang yang berkeyakinan bahwa para ulama Salaf tidak mengetahui Ilmu Kalam atau Ilmu Ushul, atau berkeyakinan bahwa mereka menghindari ilmu ini dan bersikap apatis terhadapanya, maka orang ini telah berburuk sangka terhadap mereka. Karena sangat mustahil, baik secara akal sehat maupun dari tinjuan agama, bahwa para ulama Salaf tersebut menghindari Ilmu Kalam ini. Padahal di kalangan mereka seringkali terjadi perdebatan dalam masalah-masalah Furû’iyyah, misalkan dalam masalah ‘Aul, atau dalam masalah hak-hak seorang kakek dalam hukum waris, atau metode penetapan hukuman dan praktek Qishâsh, dan berbagai masalah lainnya. Bahkan tidak jarang antar mereka terjadi dengan sama-sama melakukan Mubâhalah (saling bersumpah dengan keberanian tertimpa musibah bagi yang salah) demi untuk menetapkan kebenaran pendapat yang diyakini oleh masing-masing individu. Atau lihat misalnya, hanya untuk menetapkan masalah najis saja, mereka dengan sekuat tenaga dan pikiran seringkali berusaha mencari banyak dalil, baik dalil-dalil untuk dirinya sendiri atau dalil-dalil untuk mematahkan pendapat lawan. Artinya, bila keadaan mereka dalam masalah-masalah Furû’iyyah saja semacam ini, maka sudah barang tentu merekapun demikian adanya dalam masalah-masalah Ushûliyyah. Bukankah masalah-masalah Ushûliyyah jauh lebih besar porsi urgensitasnya dibanding masalah-masalah Furû’iyyah?! *[1]*.

https://wa.me/p/2644660135596525/6287878023938

Dengan demikian sangat tidak logis jika diklaim bahwa para ulama Salaf tidak memiliki kompetensi dalam permasalahan-permasalahan Ilmu Kalam. Bukankah mereka dekat dengan masa kenabian?! Bukankah mereka menerima langsung ajaran-ajaran Islam ini dari pembawa syari’at itu sendiri, yaitu Rasulullah?! Kemudian kaum tabi’in, kaum pasca sahabat Nabi, walaupun mereka tidak secara langsung menerima ajaran Islam dari Rasulullah, tapi bukankah mereka menerima ajaran-ajaran tersebut dari para sahabat Rasulullah?! Jika diklaim bahwa kaum tabi’in tidak mumpuni dalam Ilmu Kalam, berarti klaim ini sama saja dialamatkan kepada para sahabat Rasulullah. Dan klaim ini jika dialamatkan kepada para sahabat Rasulullah, maka berarti sama juga dialamatkan kepada Rasulullah sendiri. Lalu siapakah yang berani berkata bahwa Rasulullah tidak mengenal Allah, tidak ma’rifat kepada-Nya, tidak mengenal Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam?! Karena itu dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya segala permasalahan yang berkembang dalam Ilmu Kalam telah benar-benar diketahui dan dipahami oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
____
*[1]* Lihat _Tabyîn Kadzib al-Mutftarî_ , h. 334

📌

*Follow medsos kami @tauhidcorner*
https://linktr.ee/tauhidcorner
Facebook | Instagram | TikTok | YouTube

*Jangan lupa share jika tulisan ini bermanfaat!*

*Buku-Buku karya Dr. K.H. Kholilurrohman, MA Tema Aqidah Tauhid Tasawuf Fiqih >>>* https://id.shp.ee/a3p7Cyk
Selagi stok masih ada, silahkan pesan bagi yang berminat:

*Penjelasan Lengkap Allah Ada Tanpa Tempat dan Tanpa Arah dari Para Ulama Ahlussunah Lintas Masa >>>* https://id.shp.ee/pUo4jSA

*Shopee :* https://shopee.co.id/nurulhikmahpress
*WhatsApp :* https://wa.me/c/6287878023938