*Aqidah Imam Syafi'i (w 204 H); Allah Ada Tanpa Tempat Dan Tanpa Arah.* Oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA
Imam asy-Syafi’i Muhammad ibn Idris (w 204 H), seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Syafi’i, berkata:
*إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)*
*“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (LIhat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24).*
Dalam salah satu kitab karnya; al-Fiqh al-Akbar[selain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi'i juga menuliskan Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar], Imam asy-Syafi’i berkata:
*واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه الأكبر، ص13)*
*“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).*
Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Imam asy-Syafi’i berkata:
*إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات (الفقه الأكبر، ص 13)*
*“Ini termasuk ayat mutasyâbihât. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak --secara mendetail-- membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh. Kewajiban atas orang ini --dan semua orang Islam-- adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).*
Secara panjang lebar dalam kitab yang sama, Imam asy-Syafi’i membahas bahwa adanya batasan (bentuk) dan penghabisan adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah. Karena pengertian batasan (al-hadd; bentuk) adalah ujung dari sesuatu dan penghabisannya. Dalil bagi kemustahilan hal ini bagi Allah adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa bentuk, maka demikian pula Dia tetap ada tanpa penghabisan dan tanpa bentuk. Karena setiap sesuatu yang memiliki bentuk dan penghabisan secara logika dapat dibenarkan bila sesuatu t
Imam asy-Syafi’i Muhammad ibn Idris (w 204 H), seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Syafi’i, berkata:
*إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)*
*“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (LIhat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24).*
Dalam salah satu kitab karnya; al-Fiqh al-Akbar[selain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi'i juga menuliskan Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar], Imam asy-Syafi’i berkata:
*واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه الأكبر، ص13)*
*“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).*
Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Imam asy-Syafi’i berkata:
*إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات (الفقه الأكبر، ص 13)*
*“Ini termasuk ayat mutasyâbihât. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak --secara mendetail-- membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh. Kewajiban atas orang ini --dan semua orang Islam-- adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).*
Secara panjang lebar dalam kitab yang sama, Imam asy-Syafi’i membahas bahwa adanya batasan (bentuk) dan penghabisan adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah. Karena pengertian batasan (al-hadd; bentuk) adalah ujung dari sesuatu dan penghabisannya. Dalil bagi kemustahilan hal ini bagi Allah adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa bentuk, maka demikian pula Dia tetap ada tanpa penghabisan dan tanpa bentuk. Karena setiap sesuatu yang memiliki bentuk dan penghabisan secara logika dapat dibenarkan bila sesuatu t
ersebut menerima tambahan dan pengurangan, juga dapat dibenarkan adanya sesuatu yang lain yang serupa dengannya. Kemudian dari pada itu “sesuatu” yang demikian ini, secara logika juga harus membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk dan batasan tersebut, dan ini jelas merupakan tanda-tanda makhluk yang nyata mustahil bagi Allah.
SAYA TEGASKAN: Imam asy-Syafi’i, seorang Imam mujtahid yang madzhabnya tersebar di seluruh pelosok dunia, telah menetapkan dengan jelas bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, maka bagi siapapun yang bukan seorang mujtahid tidak selayaknya menyalahi dan menentang pendapat Imam mujtahid. Sebaliknya, seorang yang tidak mencapai derajat mujtahid ia wajib mengikuti pendapat Imam mujtahid.
Jangan pernah sedikitpun anda meyakini keyakinan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), seperti keyakinan kaum Musyabbihah, (sekarang Wahhabiyyah) yang menetapkan bahwa Allah bertempat di atas arsy. Bahkan mereka juga mengatakan Allah bertempat di langit. Ada di dua tempat?! Heh!!! Padahal mereka yakin bahwa arsy dan langit adalah makhluk Allah. Na’udzu Billahi Minhum.....
SAYA TEGASKAN: Imam asy-Syafi’i, seorang Imam mujtahid yang madzhabnya tersebar di seluruh pelosok dunia, telah menetapkan dengan jelas bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, maka bagi siapapun yang bukan seorang mujtahid tidak selayaknya menyalahi dan menentang pendapat Imam mujtahid. Sebaliknya, seorang yang tidak mencapai derajat mujtahid ia wajib mengikuti pendapat Imam mujtahid.
Jangan pernah sedikitpun anda meyakini keyakinan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), seperti keyakinan kaum Musyabbihah, (sekarang Wahhabiyyah) yang menetapkan bahwa Allah bertempat di atas arsy. Bahkan mereka juga mengatakan Allah bertempat di langit. Ada di dua tempat?! Heh!!! Padahal mereka yakin bahwa arsy dan langit adalah makhluk Allah. Na’udzu Billahi Minhum.....
*Allah Bukan Benda Dan Tidak Disifati Dengan Sifat-Sifat Benda | Oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA*
Boigrafi Penulis : https://nurulhikmah.ponpes.id/biografi-pengasuh/
Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَـمِيًّا (سورة مريم : 65)
“Apakah engkau mengetahui adanya keserupaan bagi-Nya? (artinya engkau tidak akan menemukan keserupaan bagi Allah)”. (QS. Maryam: 65)
Sesungguhnya keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat adalah aqidah Nabi Muhammad, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka. Mereka dikenal dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah; ialah kelompok mayoritas ummat yang merupakan al-Firqah an-Nâjiyah (golongan yang selamat). Dalil atas keyakinan ini selain ayat di atas adalah firman Allah:
ليْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ (سورة الشورى: 11)
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya, dan tidak ada sesuatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya”. (QS. as-Syura: 11)
Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al-Qur’an dalam menerangkan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (segala sesuatu selain Allah) terbagi kepada dua bagian; yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi-bagi lagi karena telah mencapai batas terkecil (para ulama kita menyebutnya dengan al-Jawhar al-Fard), dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian (al-Jism). Benda yang terakhir ini (al-Jism) terbagi menjadi dua macam;
1. Jism Lathîf; yaitu benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya.
2. Jism Katsîf; yaitu benda yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.
Sedangkan sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-Nya, Dia bukan sebagai al-Jawhar al-Fard, bukan Jism Lathîf, dan juga bukan Jism Katsîf, serta Dia tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti Ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan kedalaman), sedangkan sesuatu yang demikian itu maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya pada dimensi tersebut.
Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:
كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَىءٌ غَيْـرُهُ (رواه البخاري والبيهقي وابن الجارود)
“Allah ada pada azal (ada tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (HR. al-Bukhari, al-Bayhaqi dan Ibn al-Jarud)
Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat, arah dan lainnya. Artinya bahwa Allah ada sebelum Dia menciptakan tempat dan arah, dengan demikian maka Dia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Dia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan tanpa arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk). Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah begitu pula akal menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah. Sebagaimana ditegaskan juga oleh sahabat Ali ibn Abi Thalib -semoga ridla Allah selalu tercurah atasnya-:
كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ
“Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat, dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) ada seperti semula; tanpa tempat”. (Dituturkan oleh Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitab al-Farq Bayn al-Firaq, h. 333).
Imam al-Bayhaqi (w 458 H) dalam kitab al-Asmâ Wa ash-Shifât, hlm. 506, berkata:
“Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasul
Boigrafi Penulis : https://nurulhikmah.ponpes.id/biografi-pengasuh/
Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَـمِيًّا (سورة مريم : 65)
“Apakah engkau mengetahui adanya keserupaan bagi-Nya? (artinya engkau tidak akan menemukan keserupaan bagi Allah)”. (QS. Maryam: 65)
Sesungguhnya keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat adalah aqidah Nabi Muhammad, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka. Mereka dikenal dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah; ialah kelompok mayoritas ummat yang merupakan al-Firqah an-Nâjiyah (golongan yang selamat). Dalil atas keyakinan ini selain ayat di atas adalah firman Allah:
ليْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ (سورة الشورى: 11)
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya, dan tidak ada sesuatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya”. (QS. as-Syura: 11)
Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al-Qur’an dalam menerangkan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (segala sesuatu selain Allah) terbagi kepada dua bagian; yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi-bagi lagi karena telah mencapai batas terkecil (para ulama kita menyebutnya dengan al-Jawhar al-Fard), dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian (al-Jism). Benda yang terakhir ini (al-Jism) terbagi menjadi dua macam;
1. Jism Lathîf; yaitu benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya.
2. Jism Katsîf; yaitu benda yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.
Sedangkan sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-Nya, Dia bukan sebagai al-Jawhar al-Fard, bukan Jism Lathîf, dan juga bukan Jism Katsîf, serta Dia tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti Ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan kedalaman), sedangkan sesuatu yang demikian itu maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya pada dimensi tersebut.
Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:
كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَىءٌ غَيْـرُهُ (رواه البخاري والبيهقي وابن الجارود)
“Allah ada pada azal (ada tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (HR. al-Bukhari, al-Bayhaqi dan Ibn al-Jarud)
Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat, arah dan lainnya. Artinya bahwa Allah ada sebelum Dia menciptakan tempat dan arah, dengan demikian maka Dia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Dia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan tanpa arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk). Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah begitu pula akal menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah. Sebagaimana ditegaskan juga oleh sahabat Ali ibn Abi Thalib -semoga ridla Allah selalu tercurah atasnya-:
كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ
“Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat, dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) ada seperti semula; tanpa tempat”. (Dituturkan oleh Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitab al-Farq Bayn al-Firaq, h. 333).
Imam al-Bayhaqi (w 458 H) dalam kitab al-Asmâ Wa ash-Shifât, hlm. 506, berkata:
“Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasul
PONDOK PESANTREN NURUL HIKMAH
BIOGRAFI PENGASUH
Dr. H. Kholilurrohman Abu Fateh, lahir di Subang 15 November 1975, Dosen Unit Kerja Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (DPK/Diperbantukan di Program Pasca Sarjana PTIQ Jakar…
ullah:
أنْتَ الظّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَىءٌ وَأنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَىءٌ (رَوَاهُ مُسلم وَغيـرُه)
“Engkau wahai Allah azh-Zhâhir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya) tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau wahai Allah al-Bâthin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu (HR. Muslim dan lainnya)”. Jika tidak ada sesuatu apapun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa tempat”.
Imam as-Sajjâd Zayn al-Abidin Ali ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib (w 94 H) -semoga ridla Allah selalu tercurah atas mereka- berkata:
أنْتَ اللهُ الّذِيْ لاَ يَحْوِيْكَ مَكَانٌ (رواه الحافظ الزبيدي)
“Engkaulah wahai Allah yang tidak diliputi oleh tempat”. (Diriwayatkan oleh al-Hâfizh az-Zabidi dalam Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn Bi Syarh Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua perawinya adalah Ahl al-Bayt; keturunan Rasulullah).
Adapun ketika seseorang menghadapkan kedua telapak tangan ke arah langit ketika berdoa maka hal ini tidak menandakan bahwa Allah berada di arah langit, akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana apabila seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap ke ka’bah maka hal ini tidak berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena ka’bah adalah kiblat shalat. Penjelasan seperti ini telah dituturkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti Imam al-Mutawalli (w 478 H) dalam kitabnya al-Ghun-yah, Imam al-Ghazali (w 505 H) dalam kitabnya Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, Imam an-Nawawi (w 676 H) dalam kitabnya Syarh Shahîh Muslim, Imam Taqiyyuddin as-Subki (w 756 H) dalam kitab as-Sayf ash-Shaqîl, dan masih banyak lagi.
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga ridla Allah selalu tercurah atasnya- (w 321 H) berkata:
تَعَالَـى (يَعْنِي اللهَ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَاْلغَايَاتِ وَاْلأرْكَانِ وَالأعْضَاءِ وَالأدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ
“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, artinya bahwa Allah tidak berukuran), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang); Dia tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi oleh enam arah penjuru tersebut”.
Perkataan Imam Abu Ja’far ath-Thahawi ini merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan ulama Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah). Diambil dalil dari perkataan tersebut bahwasannya bukanlah maksud dari Mi’raj bahwa Allah berada di arah atas lalu Nabi Muhammad naik ke arah sana untuk bertemu dengan-Nya, melainkan maksud Mi’raj adalah untuk memuliakan Rasulullah dan memperlihatkan kepadanya keajaiban-keajaiban makhluk Allah sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur'an surat al-Isra ayat 1.
Dengan demikian tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu tempat, atau disemua tempat, atau ada di mana-mana. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu arah atau semua arah penjuru. Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari (w 324 H) -semoga ridla Allah selalu tercurah atasnya- berkata:
إنَّ اللهَ لاَ مَكَانَ لَهُ (رواه البيهقي في الأسماء والصفات)
“Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat”. (Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asmâ’ Wa ash-Shifât).
Imam al-Asy’ari juga berkata: “Tidak boleh dikatakan bahwa Allah di satu tempat atau di semua tempat”. Perkataan Imam al-Asy’ari ini dinukil oleh Imam Ibn Furak (w 406 H) dalam kitab al-Mujarrad. Syekh Abd al-Wahhab asy-Sya’rani (w 973 H) dalam kitab al-Yawâqît Wa al-Jawâhir menukil perkataan Syekh Ali al-Khawwash, berkata: “Tidak boleh dikatakan Allah ada di mana-mana”. Maka aqidah yang wajib diyakini adalah bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat.
Perkataan Imam ath-Thahawi di atas juga merupakan bantahan terhadap pengikut paham Wahdah al-Wujud; mereka yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-makhluk-Nya, juga sebagai
أنْتَ الظّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَىءٌ وَأنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَىءٌ (رَوَاهُ مُسلم وَغيـرُه)
“Engkau wahai Allah azh-Zhâhir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya) tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau wahai Allah al-Bâthin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu (HR. Muslim dan lainnya)”. Jika tidak ada sesuatu apapun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa tempat”.
Imam as-Sajjâd Zayn al-Abidin Ali ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib (w 94 H) -semoga ridla Allah selalu tercurah atas mereka- berkata:
أنْتَ اللهُ الّذِيْ لاَ يَحْوِيْكَ مَكَانٌ (رواه الحافظ الزبيدي)
“Engkaulah wahai Allah yang tidak diliputi oleh tempat”. (Diriwayatkan oleh al-Hâfizh az-Zabidi dalam Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn Bi Syarh Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua perawinya adalah Ahl al-Bayt; keturunan Rasulullah).
Adapun ketika seseorang menghadapkan kedua telapak tangan ke arah langit ketika berdoa maka hal ini tidak menandakan bahwa Allah berada di arah langit, akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana apabila seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap ke ka’bah maka hal ini tidak berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena ka’bah adalah kiblat shalat. Penjelasan seperti ini telah dituturkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti Imam al-Mutawalli (w 478 H) dalam kitabnya al-Ghun-yah, Imam al-Ghazali (w 505 H) dalam kitabnya Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, Imam an-Nawawi (w 676 H) dalam kitabnya Syarh Shahîh Muslim, Imam Taqiyyuddin as-Subki (w 756 H) dalam kitab as-Sayf ash-Shaqîl, dan masih banyak lagi.
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga ridla Allah selalu tercurah atasnya- (w 321 H) berkata:
تَعَالَـى (يَعْنِي اللهَ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَاْلغَايَاتِ وَاْلأرْكَانِ وَالأعْضَاءِ وَالأدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ
“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, artinya bahwa Allah tidak berukuran), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang); Dia tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi oleh enam arah penjuru tersebut”.
Perkataan Imam Abu Ja’far ath-Thahawi ini merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan ulama Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah). Diambil dalil dari perkataan tersebut bahwasannya bukanlah maksud dari Mi’raj bahwa Allah berada di arah atas lalu Nabi Muhammad naik ke arah sana untuk bertemu dengan-Nya, melainkan maksud Mi’raj adalah untuk memuliakan Rasulullah dan memperlihatkan kepadanya keajaiban-keajaiban makhluk Allah sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur'an surat al-Isra ayat 1.
Dengan demikian tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu tempat, atau disemua tempat, atau ada di mana-mana. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu arah atau semua arah penjuru. Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari (w 324 H) -semoga ridla Allah selalu tercurah atasnya- berkata:
إنَّ اللهَ لاَ مَكَانَ لَهُ (رواه البيهقي في الأسماء والصفات)
“Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat”. (Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asmâ’ Wa ash-Shifât).
Imam al-Asy’ari juga berkata: “Tidak boleh dikatakan bahwa Allah di satu tempat atau di semua tempat”. Perkataan Imam al-Asy’ari ini dinukil oleh Imam Ibn Furak (w 406 H) dalam kitab al-Mujarrad. Syekh Abd al-Wahhab asy-Sya’rani (w 973 H) dalam kitab al-Yawâqît Wa al-Jawâhir menukil perkataan Syekh Ali al-Khawwash, berkata: “Tidak boleh dikatakan Allah ada di mana-mana”. Maka aqidah yang wajib diyakini adalah bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat.
Perkataan Imam ath-Thahawi di atas juga merupakan bantahan terhadap pengikut paham Wahdah al-Wujud; mereka yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-makhluk-Nya, juga sebagai
bantahan atas pengikut paham Hulul; mereka yang berkeyakinan bahwa Allah menempati sebagian makhluk-Nya. Dua keyakinan ini adalah keyakinan kufur dengan Ijma’ (konsensus) seluruh orang Islam sebagaimana dikatakan oleh Imam as-Suyuthi (w 911 H) dalam kitab al-Hâwî Li al-Fatâwî, dan Imam lainnya. Para Imam panutan kita dari ahli tasawuf sejati seperti Imam al-Junaid al-Baghdadi (w 297 H), Imam Ahmad ar-Rifa’i (w 578 H), Syekh Abd al-Qadir al-Jailani (w 561 H) dan semua Imam tasawwuf sejati; mereka semua selalu mengingatkan orang-orang Islam dari para pendusta yang menjadikan tarekat dan tasawuf sebagai wadah untuk meraih dunia, padahal mereka berkeyakinan Wahdah al-Wujud dan atau Hulul.
Dengan demikian keyakinan ummat Islam dari kalangan Salaf dan Khalaf telah sepakat bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Sementara keyakinan sebagian orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya; seperti mereka yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas arsy adalah keyakinan sesat. Keyakinan ini adalah penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, karena duduk adalah salah satu sifat manusia. Para ulama Salaf telah sepakat bahwa siapa yang mensifati Allah dengan satu sifat di antara sifat-sifat manusia maka ia telah keluar dari Islam, sebagaimana hal ini telah dituliskan oleh Imam al-Muhaddits as-Salafi Abu Ja’far ath-Thahawi (w 321 H) dalam kitab aqidahnya yang dikenal dengan nama al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah”, beliau berkata:
وَمَنْ وَصَفَ اللهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِي اْلبَشَرِ فَقَدْ كَفَر
“Barang siapa mensifati Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia maka ia telah kafir”.
Padahal telah diketahui bahwa beribadah kepada Allah hanya sah dilakukan oleh orang yang meyakini bahwa Allah dan tidak menyerupakan-Nya dengan sesuatu apapun dari makhluk-Nya. Imam al-Ghazali berkata:
لاَ تَصِحُّ اْلعِبَادَةُ إلاّ بَعْدَ مَعْرِفَةِ الْمَعْبُوْدِ
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (Allah) yang wajib disembah”.
Hal itu karena beriman kepada Allah dengan benar adalah syarat diterimanya amal saleh seseorang, tanpa beriman kepada Allah dengan benar maka segala bentuk amal saleh tidak akan diterima oleh Allah.
Dengan demikian keyakinan ummat Islam dari kalangan Salaf dan Khalaf telah sepakat bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Sementara keyakinan sebagian orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya; seperti mereka yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas arsy adalah keyakinan sesat. Keyakinan ini adalah penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, karena duduk adalah salah satu sifat manusia. Para ulama Salaf telah sepakat bahwa siapa yang mensifati Allah dengan satu sifat di antara sifat-sifat manusia maka ia telah keluar dari Islam, sebagaimana hal ini telah dituliskan oleh Imam al-Muhaddits as-Salafi Abu Ja’far ath-Thahawi (w 321 H) dalam kitab aqidahnya yang dikenal dengan nama al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah”, beliau berkata:
وَمَنْ وَصَفَ اللهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِي اْلبَشَرِ فَقَدْ كَفَر
“Barang siapa mensifati Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia maka ia telah kafir”.
Padahal telah diketahui bahwa beribadah kepada Allah hanya sah dilakukan oleh orang yang meyakini bahwa Allah dan tidak menyerupakan-Nya dengan sesuatu apapun dari makhluk-Nya. Imam al-Ghazali berkata:
لاَ تَصِحُّ اْلعِبَادَةُ إلاّ بَعْدَ مَعْرِفَةِ الْمَعْبُوْدِ
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (Allah) yang wajib disembah”.
Hal itu karena beriman kepada Allah dengan benar adalah syarat diterimanya amal saleh seseorang, tanpa beriman kepada Allah dengan benar maka segala bentuk amal saleh tidak akan diterima oleh Allah.
*Pelajaran Penting: Mengenal Sebab Kesesatan Aqidah Tasybih; Dari Tulisan Imam Ibn al-Jauzi (Waspadai Ajaran Wahhabi, Sebarkan!!) | Oleh Dr. H. Khlolilurrohman, MA*
al-Hâfizh Ibn al-Jauzi menuliskan bahwa sebab kerancuan sebagian orang yang mengaku bermadzhab Hanbali dalam akidah mereka hingga mereka dicap sebagai golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya (ahl al-tasybîh) adalah karena beberapa hal berikut;
Pertama: Mereka selalu menamakan setiap teks yang dinisbatkan kepada Allâh sebagai sifat-sifatnya (Akhbâr al-Shifât). Padahal tidak semua teks yang dinisbatkan kepada Allâh merupakan sifat-sifat-Nya. Bisa jadi penisbatan tersebut hanya penisbatan mudlâf dan mudlâf ilaih. Dan tidak semua nisbat idlafâh semacam ini bermakna sifat. Seperti dalam firman Allâh tentang nabi Adam: “Wa Nafakhtu Fîhi Min Rûhî…”. QS. Shad: 72. Ayat ini maknannya bukan berari Allâh memiliki sifat ruh yang kemudian sebagian ruh tersebut ditiupkan kepada nabi Adam. Tapi makna ayat yang dimaksud adalah idlâfah tasyrîf; artinya ruh tersebut adalah ruh yang dimuliakan oleh Allâh. Dengan demikian jelas salah bila setiap ayat dalam bentuk mudlaf dan mudlaf ilaih dianggap sebagai pengertian sifat.
Ke dua: Mereka selalu berkata bahwa teks-teks al-Qur’ân atau hadits tersebut adalah bagian dari teks-teks mutasyâbihât yang tidak diketahui maknanya kecuali oleh Allâh. Kemudian mereka berkata; Kewajiban kita hanya memaknai dan memberlakukan teks-teks tersebut sesuai zhahirnya. Pernyataan mereka ini adalah pernyataan yang sangat aneh. Mereka mengatakan bahwa teks-teks tersebut tidak diketahui oleh siapapun kecuali oleh Allâh, namun pada saat yang sama mereka memaknai teks-teks tersebut dengan makna zhahirnya. Padahal lafazh “yad” dalam bahasa Arab makna zhahirnya adalah “tangan”, yang berupa jari-jemari, daging, tulang darah dan lainnya. Kemudian lafazh “’ain” makna zhahirnya tidak lain adalah mata. Juga lafazh “istawa” makna zhahirnya adalah duduk dan bertempat. Atau lafazh “yanzil” yang makna zhahirnya adalah turun dalam arti berpindah tempat dari atas ke bawah. Apakah makna-makna zhahir semacam ini sesuai begi keagungan Allâh?! Bila tidak, lantas mengapa dikatakan bahwa kita harus memberlakukannya sesuai makna zhahirnya?!
Ke tiga: Mereka selalu menetapkan sifat-sifat bagi Allâh dengan sekehendak mereka sendiri. Setiap teks yang ada kaitannya dengan Allâh seringkali diklaim oleh mereka sebagai sifat-sifat-Nya. Padahal sifat-sifat bagi Allâh tidak boleh ditetapkan kecuali dengan adanya dalil-dalil yang pasti atas hal tersebut.
Ke empat: Mereka tidak membeda-bedakan dalam menetapkan sifat bagi Allâh antara hadits yang mashur dengan hadits yang tidak shahih. Hadits yang mashur contohnya hadîts al-nuzûl; “Yanzil Rabbunâ Ilâ al-Samâ’ al-Dunyâ…”. Contoh hadits yang tidak shahih seperti hadits yang mengatakan: “Raitu Rabbî Fî Ahsan al-Shûrah…”. Mereka memandang bahwa kedua hadits tersebut merupakan hadits-hadist tentang sifat Allâh. Dan kerananya mereka kemudian menetapkan dengan landasan dua hadits tersebut adanya sifat “turun” dan “bentuk” bagi Allâh.
Ke lima: Mereka tidak membeda-bedakan antara hadits marfû’ yang bersambung hingga Rasulullah dan hadits mauqûf yang hanya bersambung sampai kepada para sahabat, bahkan juga membedakannya dengan hadits maqthû’ yang hanya bersambung hingga tabi’in saja. Baik hadits marfû’, hadits mauqûf atau hadits maqthû’ oleh mereka dapat dijadikan dalil dalam menetapkan sifat-sifat bagi Allâh.
Ke enam: Yang aneh dari mereka, beberapa teks al-Qur’ân atau hadits yang terkait dengan masalah ini dipahami dengan takwil, namun dalam teks-teks lain mereka memaknainya dengan makna-makna zhahir. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki keteguhan keyakinan. Seperti sebuah hadits yang berbunyi: “Wa Man Atânî Yamsyî, Ataituh Harwalah…”, mereka memaknai hadits ini dengan mentakwilnya. Maksud kandungan hadits ini, menurut mereka sebagai perumpamaan atau pendekatan kenikmatan kenikmatan dan karunia yang dianugerahkan oleh Allâh kepada hamba-hamba-Nya. Lantas di mana konsistensi mereka dalam memegang makna zhahir teks?! Padahal
al-Hâfizh Ibn al-Jauzi menuliskan bahwa sebab kerancuan sebagian orang yang mengaku bermadzhab Hanbali dalam akidah mereka hingga mereka dicap sebagai golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya (ahl al-tasybîh) adalah karena beberapa hal berikut;
Pertama: Mereka selalu menamakan setiap teks yang dinisbatkan kepada Allâh sebagai sifat-sifatnya (Akhbâr al-Shifât). Padahal tidak semua teks yang dinisbatkan kepada Allâh merupakan sifat-sifat-Nya. Bisa jadi penisbatan tersebut hanya penisbatan mudlâf dan mudlâf ilaih. Dan tidak semua nisbat idlafâh semacam ini bermakna sifat. Seperti dalam firman Allâh tentang nabi Adam: “Wa Nafakhtu Fîhi Min Rûhî…”. QS. Shad: 72. Ayat ini maknannya bukan berari Allâh memiliki sifat ruh yang kemudian sebagian ruh tersebut ditiupkan kepada nabi Adam. Tapi makna ayat yang dimaksud adalah idlâfah tasyrîf; artinya ruh tersebut adalah ruh yang dimuliakan oleh Allâh. Dengan demikian jelas salah bila setiap ayat dalam bentuk mudlaf dan mudlaf ilaih dianggap sebagai pengertian sifat.
Ke dua: Mereka selalu berkata bahwa teks-teks al-Qur’ân atau hadits tersebut adalah bagian dari teks-teks mutasyâbihât yang tidak diketahui maknanya kecuali oleh Allâh. Kemudian mereka berkata; Kewajiban kita hanya memaknai dan memberlakukan teks-teks tersebut sesuai zhahirnya. Pernyataan mereka ini adalah pernyataan yang sangat aneh. Mereka mengatakan bahwa teks-teks tersebut tidak diketahui oleh siapapun kecuali oleh Allâh, namun pada saat yang sama mereka memaknai teks-teks tersebut dengan makna zhahirnya. Padahal lafazh “yad” dalam bahasa Arab makna zhahirnya adalah “tangan”, yang berupa jari-jemari, daging, tulang darah dan lainnya. Kemudian lafazh “’ain” makna zhahirnya tidak lain adalah mata. Juga lafazh “istawa” makna zhahirnya adalah duduk dan bertempat. Atau lafazh “yanzil” yang makna zhahirnya adalah turun dalam arti berpindah tempat dari atas ke bawah. Apakah makna-makna zhahir semacam ini sesuai begi keagungan Allâh?! Bila tidak, lantas mengapa dikatakan bahwa kita harus memberlakukannya sesuai makna zhahirnya?!
Ke tiga: Mereka selalu menetapkan sifat-sifat bagi Allâh dengan sekehendak mereka sendiri. Setiap teks yang ada kaitannya dengan Allâh seringkali diklaim oleh mereka sebagai sifat-sifat-Nya. Padahal sifat-sifat bagi Allâh tidak boleh ditetapkan kecuali dengan adanya dalil-dalil yang pasti atas hal tersebut.
Ke empat: Mereka tidak membeda-bedakan dalam menetapkan sifat bagi Allâh antara hadits yang mashur dengan hadits yang tidak shahih. Hadits yang mashur contohnya hadîts al-nuzûl; “Yanzil Rabbunâ Ilâ al-Samâ’ al-Dunyâ…”. Contoh hadits yang tidak shahih seperti hadits yang mengatakan: “Raitu Rabbî Fî Ahsan al-Shûrah…”. Mereka memandang bahwa kedua hadits tersebut merupakan hadits-hadist tentang sifat Allâh. Dan kerananya mereka kemudian menetapkan dengan landasan dua hadits tersebut adanya sifat “turun” dan “bentuk” bagi Allâh.
Ke lima: Mereka tidak membeda-bedakan antara hadits marfû’ yang bersambung hingga Rasulullah dan hadits mauqûf yang hanya bersambung sampai kepada para sahabat, bahkan juga membedakannya dengan hadits maqthû’ yang hanya bersambung hingga tabi’in saja. Baik hadits marfû’, hadits mauqûf atau hadits maqthû’ oleh mereka dapat dijadikan dalil dalam menetapkan sifat-sifat bagi Allâh.
Ke enam: Yang aneh dari mereka, beberapa teks al-Qur’ân atau hadits yang terkait dengan masalah ini dipahami dengan takwil, namun dalam teks-teks lain mereka memaknainya dengan makna-makna zhahir. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki keteguhan keyakinan. Seperti sebuah hadits yang berbunyi: “Wa Man Atânî Yamsyî, Ataituh Harwalah…”, mereka memaknai hadits ini dengan mentakwilnya. Maksud kandungan hadits ini, menurut mereka sebagai perumpamaan atau pendekatan kenikmatan kenikmatan dan karunia yang dianugerahkan oleh Allâh kepada hamba-hamba-Nya. Lantas di mana konsistensi mereka dalam memegang makna zhahir teks?! Padahal
jelas secara zhahir makna hadits tersebut: “Siapa yang mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari keci…”.
Ke tujuh: Mereka seringkali memberlakukan makna-makna indrawi dalam memahami teks-teks tersebut. Ini ditandai dengan adalanya lafazh-lafazh yang sering kali mereka tambahkan terhadap teks-teks tersebut. Seperti seringkali mereka berkata: “Yanzil Bi Dzâtih…” (Allah turun dengan Dzat-Nya), “Yanzil Wa Yatahawwal…” (Allah turun dan bergerak), “Istawâ Bi Ma’nâ al-Haqîqah…” (Allah benar-benar bertempat/bersemayam) dan tambahan lafazh lainnya. Lalu untuk mengecoh orang-orang awam mereka berkata: “Lâ Kamâ Na’qil…” (Tidak seperti yang kita pikirkan). Terkadang mereka juga berkata: “Lahû Yad Lâ Ka al-Aidî…” (Allah memilki tangan tapai tidak seperti semua tangan), “Lahû ‘Ain Lâ Kasâ’ir al-A’yun…” (Allah punya mata tapi tidak seperti setiap mata), “Lahû Qadam Lâ Kasâ’ir al-Aqdâm…” (Allah memiliki kaki tapi tidak seperti setiap kaki). Yang tersisa bagi mereka adalah untuk mengatakan: “Huwa Insân Lâ Kasâ’ir al-Nâs…” (Allah adalah manusia tatapi tidak seperti seluruh manusia). Adakah tauhid dalam keyakinan orang-orang semacam ini?? (Penjelasan lebih luas lihat Ibn al-Jauzi, Daf’u Syubah at-Tasybih Bi Akaff at-Tanzih, h. 11-12).
Catatan:
Ibn al-Jauzi adalah al-Imam al-Hafizh Abdurrahman ibn Abi al-Hasan al-Jauzi (w 597 H), Imam Ahlussunnah terkemuka, ahli hadits, ahli tafsir, dan seorang teolog (ahli ushul) terdepan. Beliau bermadzhab Hanbali, dan apa yang beliau tuliskan dalam karya beliau di atas adalah keyakinan para ulama madzhab Hanbli terkemuka. Adapaun orang-orang Wahabi bahwa mereka mengaku bermadzhab Hanbali adalah BOHONG BESAR....baik di dalam aqidah maupun fiqih kaum Wahabi ini bukan di atas madzhab Hanbali; madzhab mereka adalah madzhab WAHABI..!!!
Awas salah; beda antara Ibn al-Jauzi dengan Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Adapun ibn Qayyim al-Jauziyyah ini adalah Muhammad ibn Abi Bakr az-Zar’i (w 751 H) murid dari Ibn Taimiyah yang dalam keyakinannya persis sama dengan Ibn Taimiyah sendiri; dua-duanya orang sesat dan menyesatkan.
Ingat-ingat neeeh...!!! Keduanya jauh berbeda; yang pertama (Ibn al-Jauzi) Imam Ahlussunnah terkemuka, sementara yang kedua (Ibn Qayyim al-Jauziyyah) adalah murid Ibn Taimiyah; yang dalam keyakinannya persis sama dengan kayakinan tasybih Ibn Taimiyah.
sekali lagi... Awas salah!! Ibn Qayyim; murid Ibn Taimiyah ini di antara keyakinannya yang juga persis keyakinan gurunya; 1. Orang yang tawassul dengan Nabi atau orang-orang saleh adalah orang musyrik, 2. Perjalanan untuk ziarah ke makam Rasulullah adalah perjanan maksiat, 3. Berkeyakinan Allah duduk di atas arsy, 4. Berkeyakinan bahwa neraka akan punah dan siksaan terhadap orang-orang kafir di dalamnya akan habis, dan berbagai lainnya. Bukan isapan jempol, ini semua ada datanya, bahkan dia tuliskan dalam karya-karyanya sendiri...
Ingat... Aqidah Rasulullah, para sahabatnya, dan aqidah mayoritas umat Islam, kaum Ahlussunnah wal Jama'ah adalah ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH.
Ke tujuh: Mereka seringkali memberlakukan makna-makna indrawi dalam memahami teks-teks tersebut. Ini ditandai dengan adalanya lafazh-lafazh yang sering kali mereka tambahkan terhadap teks-teks tersebut. Seperti seringkali mereka berkata: “Yanzil Bi Dzâtih…” (Allah turun dengan Dzat-Nya), “Yanzil Wa Yatahawwal…” (Allah turun dan bergerak), “Istawâ Bi Ma’nâ al-Haqîqah…” (Allah benar-benar bertempat/bersemayam) dan tambahan lafazh lainnya. Lalu untuk mengecoh orang-orang awam mereka berkata: “Lâ Kamâ Na’qil…” (Tidak seperti yang kita pikirkan). Terkadang mereka juga berkata: “Lahû Yad Lâ Ka al-Aidî…” (Allah memilki tangan tapai tidak seperti semua tangan), “Lahû ‘Ain Lâ Kasâ’ir al-A’yun…” (Allah punya mata tapi tidak seperti setiap mata), “Lahû Qadam Lâ Kasâ’ir al-Aqdâm…” (Allah memiliki kaki tapi tidak seperti setiap kaki). Yang tersisa bagi mereka adalah untuk mengatakan: “Huwa Insân Lâ Kasâ’ir al-Nâs…” (Allah adalah manusia tatapi tidak seperti seluruh manusia). Adakah tauhid dalam keyakinan orang-orang semacam ini?? (Penjelasan lebih luas lihat Ibn al-Jauzi, Daf’u Syubah at-Tasybih Bi Akaff at-Tanzih, h. 11-12).
Catatan:
Ibn al-Jauzi adalah al-Imam al-Hafizh Abdurrahman ibn Abi al-Hasan al-Jauzi (w 597 H), Imam Ahlussunnah terkemuka, ahli hadits, ahli tafsir, dan seorang teolog (ahli ushul) terdepan. Beliau bermadzhab Hanbali, dan apa yang beliau tuliskan dalam karya beliau di atas adalah keyakinan para ulama madzhab Hanbli terkemuka. Adapaun orang-orang Wahabi bahwa mereka mengaku bermadzhab Hanbali adalah BOHONG BESAR....baik di dalam aqidah maupun fiqih kaum Wahabi ini bukan di atas madzhab Hanbali; madzhab mereka adalah madzhab WAHABI..!!!
Awas salah; beda antara Ibn al-Jauzi dengan Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Adapun ibn Qayyim al-Jauziyyah ini adalah Muhammad ibn Abi Bakr az-Zar’i (w 751 H) murid dari Ibn Taimiyah yang dalam keyakinannya persis sama dengan Ibn Taimiyah sendiri; dua-duanya orang sesat dan menyesatkan.
Ingat-ingat neeeh...!!! Keduanya jauh berbeda; yang pertama (Ibn al-Jauzi) Imam Ahlussunnah terkemuka, sementara yang kedua (Ibn Qayyim al-Jauziyyah) adalah murid Ibn Taimiyah; yang dalam keyakinannya persis sama dengan kayakinan tasybih Ibn Taimiyah.
sekali lagi... Awas salah!! Ibn Qayyim; murid Ibn Taimiyah ini di antara keyakinannya yang juga persis keyakinan gurunya; 1. Orang yang tawassul dengan Nabi atau orang-orang saleh adalah orang musyrik, 2. Perjalanan untuk ziarah ke makam Rasulullah adalah perjanan maksiat, 3. Berkeyakinan Allah duduk di atas arsy, 4. Berkeyakinan bahwa neraka akan punah dan siksaan terhadap orang-orang kafir di dalamnya akan habis, dan berbagai lainnya. Bukan isapan jempol, ini semua ada datanya, bahkan dia tuliskan dalam karya-karyanya sendiri...
Ingat... Aqidah Rasulullah, para sahabatnya, dan aqidah mayoritas umat Islam, kaum Ahlussunnah wal Jama'ah adalah ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH.
*Beberapa Masalah Terkait Kaedah Dalam _Istinbath_ Dan _Istidlal_ | Oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA*
*Masalah Pertama:*
Perkataan yang sering dikemukakan oleh sebagian orang ketika membid’ahkan suatu amalan: “Itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabat, mereka tidak pernah melakukannya, seandainya itu perkara baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.
*Jawab:* Ketika Nabi tidak melakukan suatu perkara -dalam istilah ilmu Ushul Fiqh disebut at-Tark- mengandung beberapa kemungkinan selain tahrim (pengharaman). Mungkin saja Nabi tidak melakukan suatu perkara hanya karena tidak terbiasa, atau karena lupa atau karena memang tidak terpikirkan sama sekali oleh beliau, atau karena takut hal tersebut difardlukan atas umatnya sehingga memberatkan atau karena hal tersebut sudah masuk dalam keumuman sebuah ayat atau hadits atau kemungkinan-kemungkinan yang lain. Jelas bahwa tidak mungkin Nabi bisa melakukan semua hal yang dianjurkan, karena begitu sibuknya beliau dengan tugas-tugas dakwah, kemasyarakatan atau kenegaraan. Jadi hanya karena Nabi tidak melakukan sesuatu lalu sesuatu itu diharamkan, ini adalah istinbath yang keliru.
Demikian juga ketika para ulama salaf tidak melakukan suatu hal itu mengandung beberapa kemungkinan. Mungkin saja mereka tidak melakukannya karena kebetulan saja, atau karena menganggapnya tidak boleh atau menganggapnya boleh tetapi ada yang lebih afdlal sehingga mereka melakukan yang lebih afdlal…dan beberapa kemungkinan lain. Jika demikian halnya at-Tark (tidak melakukan) saja tidak bisa dijadikan dalil, karena kaedah mengatakan:
مَا دَخَلَهُ الاحْتِمَالُ سَقَطَ بِهِ الاسْتِدْلاَلُ
Maknanya: "Dalil yang mengandung beberapa kemungkinan tidak bisa lagi dijadikan dalil (untuk salah satu kemungkinan saja tanpa ada dalil lain)".
Oleh karena itu al Imam asy-Syafi'i mengatakan:
كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَّلَفُ
Maknanya: "Setiap perkara yang memiliki sandaran dari syara' bukanlah bid'ah meskipun tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf".
Jadi perlu diketahui bahwa ada sebuah kaedah ushul fiqh:
تَرْكُ الشَّىْءِ لاَ يَدُلُّ عَلَى مَنْعِهِ
Maknanya: "Tidak melakukan sesuatu tidak menunjukkan bahwa sesuatu tersebut terlarang".
At-Tark yang dimaksud adalah ketika Nabi tidak melakukan sesuatu atau salaf tidak melakukan sesuatu, tanpa ada hadits atau atsar lain yang melarang (untuk melakukan) sesuatu (yang ditinggalkan) tersebut yang menunjukkan keharaman atau kemakruhannya. Jadi at-Tark saja tidak menunjukkan keharaman sesuatu. At-Tark saja jika tidak disertai nash lain yang menunjukkan bahwa al matruk dilarang bukanlah dalil bahwa sesuatu itu haram, paling jauh itu menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu itu boleh. Sedangkan bahwa sesuatu itu dilarang tidak bisa dipahami dari at-Tark saja, tetapi harus diambil dari dalil lain yang menunjukkan pelarangan, jika tidak ada berarti tidak terlarang dengan dalil at-Tark saja.
Perlu diketahui bahwa pengharaman sesuatu hanya bisa diambil dari salah satu di antara tiga hal: ada Nahy (larangan), atau lafazh tahrim atau dicela dan diancam pelaku suatu perbuatan dengan dosa atau siksa. Karena at-Tark tidak termasuk dalam tiga hal ini berarti at-tark bukan dalil pengharaman. Karena itulah Allah berfirman:
وَمَآءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا )سورة الحشر(
Maknanya: "Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…" (Q.S. al Hasyr: 7)
Allah tidak menyatakan:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا تَرَكَهُ فَانْتَهُوْا عَنْهُ
Maknanya: "Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang ditinggalkannya maka tinggalkanlah".
Imam Abu Sa'id ibn Lubb mengatakan:
فَالتَّرْكُ لَيْسَ بِمُوْجِبٍ لِحُكْمٍ فِي ذَلِكَ الْمَتْرُوْكِ إِلاَّ جَوَازَ التَّرْكِ وَانْتِفَاءَ الْحَرَجِ فِيْهِ، وَأَمَّا تَحْرِيْمٌ أَوْ لُصُوْقُ كَرَاهِيَةٍ بِالْمَتْرُوْكِ فَلاَ، وَلاَ سِيَّمَا فِيْمَا لَهُ أَصْلٌ جُمْلِيٌّ مُتَقَرِّرٌ مِنَ الشَّرْعِ كَالدُّعَاءِ
Maknanya: "Jadi at-Tark tidak memiliki
*Masalah Pertama:*
Perkataan yang sering dikemukakan oleh sebagian orang ketika membid’ahkan suatu amalan: “Itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabat, mereka tidak pernah melakukannya, seandainya itu perkara baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.
*Jawab:* Ketika Nabi tidak melakukan suatu perkara -dalam istilah ilmu Ushul Fiqh disebut at-Tark- mengandung beberapa kemungkinan selain tahrim (pengharaman). Mungkin saja Nabi tidak melakukan suatu perkara hanya karena tidak terbiasa, atau karena lupa atau karena memang tidak terpikirkan sama sekali oleh beliau, atau karena takut hal tersebut difardlukan atas umatnya sehingga memberatkan atau karena hal tersebut sudah masuk dalam keumuman sebuah ayat atau hadits atau kemungkinan-kemungkinan yang lain. Jelas bahwa tidak mungkin Nabi bisa melakukan semua hal yang dianjurkan, karena begitu sibuknya beliau dengan tugas-tugas dakwah, kemasyarakatan atau kenegaraan. Jadi hanya karena Nabi tidak melakukan sesuatu lalu sesuatu itu diharamkan, ini adalah istinbath yang keliru.
Demikian juga ketika para ulama salaf tidak melakukan suatu hal itu mengandung beberapa kemungkinan. Mungkin saja mereka tidak melakukannya karena kebetulan saja, atau karena menganggapnya tidak boleh atau menganggapnya boleh tetapi ada yang lebih afdlal sehingga mereka melakukan yang lebih afdlal…dan beberapa kemungkinan lain. Jika demikian halnya at-Tark (tidak melakukan) saja tidak bisa dijadikan dalil, karena kaedah mengatakan:
مَا دَخَلَهُ الاحْتِمَالُ سَقَطَ بِهِ الاسْتِدْلاَلُ
Maknanya: "Dalil yang mengandung beberapa kemungkinan tidak bisa lagi dijadikan dalil (untuk salah satu kemungkinan saja tanpa ada dalil lain)".
Oleh karena itu al Imam asy-Syafi'i mengatakan:
كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَّلَفُ
Maknanya: "Setiap perkara yang memiliki sandaran dari syara' bukanlah bid'ah meskipun tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf".
Jadi perlu diketahui bahwa ada sebuah kaedah ushul fiqh:
تَرْكُ الشَّىْءِ لاَ يَدُلُّ عَلَى مَنْعِهِ
Maknanya: "Tidak melakukan sesuatu tidak menunjukkan bahwa sesuatu tersebut terlarang".
At-Tark yang dimaksud adalah ketika Nabi tidak melakukan sesuatu atau salaf tidak melakukan sesuatu, tanpa ada hadits atau atsar lain yang melarang (untuk melakukan) sesuatu (yang ditinggalkan) tersebut yang menunjukkan keharaman atau kemakruhannya. Jadi at-Tark saja tidak menunjukkan keharaman sesuatu. At-Tark saja jika tidak disertai nash lain yang menunjukkan bahwa al matruk dilarang bukanlah dalil bahwa sesuatu itu haram, paling jauh itu menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu itu boleh. Sedangkan bahwa sesuatu itu dilarang tidak bisa dipahami dari at-Tark saja, tetapi harus diambil dari dalil lain yang menunjukkan pelarangan, jika tidak ada berarti tidak terlarang dengan dalil at-Tark saja.
Perlu diketahui bahwa pengharaman sesuatu hanya bisa diambil dari salah satu di antara tiga hal: ada Nahy (larangan), atau lafazh tahrim atau dicela dan diancam pelaku suatu perbuatan dengan dosa atau siksa. Karena at-Tark tidak termasuk dalam tiga hal ini berarti at-tark bukan dalil pengharaman. Karena itulah Allah berfirman:
وَمَآءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا )سورة الحشر(
Maknanya: "Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…" (Q.S. al Hasyr: 7)
Allah tidak menyatakan:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا تَرَكَهُ فَانْتَهُوْا عَنْهُ
Maknanya: "Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang ditinggalkannya maka tinggalkanlah".
Imam Abu Sa'id ibn Lubb mengatakan:
فَالتَّرْكُ لَيْسَ بِمُوْجِبٍ لِحُكْمٍ فِي ذَلِكَ الْمَتْرُوْكِ إِلاَّ جَوَازَ التَّرْكِ وَانْتِفَاءَ الْحَرَجِ فِيْهِ، وَأَمَّا تَحْرِيْمٌ أَوْ لُصُوْقُ كَرَاهِيَةٍ بِالْمَتْرُوْكِ فَلاَ، وَلاَ سِيَّمَا فِيْمَا لَهُ أَصْلٌ جُمْلِيٌّ مُتَقَرِّرٌ مِنَ الشَّرْعِ كَالدُّعَاءِ
Maknanya: "Jadi at-Tark tidak memiliki
akibat hukum apapun terhadap al Matruk kecuali hanya kebolehan meninggalkan al Matruk dan ketiadaan cela dalam meninggalkan hal tersebut. Sedangkan pengharaman atau pengenaan kemakruhan terhadap al Matruk itu tidak ada padanya, apalagi dalam hal yang tentangnya terdapat dalil umum dan global dari syara' seperti doa misalnya".
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Syarh al Bukhari:
قَالَ ابْنُ بَطَّالٍ: فِعْلُ الرَّسُوْلِ إِذَا تَجَرَّدَ عَنِ القَرَائِنِ –وَكَذَا تَرْكُهُ- لاَ يَدُلُّ عَلَى وُجُوْبٍ وَتَحْرِيْمٍ". (فتح الباري 9/ 14)
Maknanya: “Ibnu Baththal mengatakan: Perbuatan Rasulullah jika tidak ada qarinah lain –demikian pula tark-nya - tidak menunjukkan kewajiban dan keharaman”.
Jadi perkataan al Hafizh Ibnu Hajar " وَكَذَا تَرْكُهُ" menunjukkan bahwa at-Tark saja (Mujarrad at-Tark) tidak menunjukkan pengharaman.
*Masalah Kedua:* “Sebagian kalangan sering mengatakan ketika melihat orang melakukan suatu amalan: Ini tidak ada dalilnya! dengan maksud tidak ada ayat atau hadits khusus yang berbicara tentang masalah tersebut”.
*Jawab:*
Dalam ushul fiqh dijelaskan bahwa jika sebuah ayat atau hadits dengan keumumannya mencakup suatu perkara, itu menunjukkan bahwa perkara tersebut masyru'. Jadi keumuman ayat atau hadits adalah dalil syar'i. Dalil-dalil umum tersebut adalah seperti:
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [سورة الحـجّ
Maknanya: “Dan lakukan kebaikan supaya kalian beruntung” (Q.S. al Hajj: 77)
Jadi dalil yang umum diberlakukan untuk semua cakupannya. Kaedah mengatakan:
" العَامُّ يُعْمَلُ بِهِ فِيْ جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهِ ".
"Dalil yang umum diterapkan (digunakan) dalam semua bagian-bagian (cakupannya)".
Ini sangat bertentangan dengan kebiasaan sebagian orang. Sebagian orang tidak menganggap cukup sebagai dalil dalam suatu masalah tertentu bahwa hal tersebut dicakup oleh keumuman sebuah dalil, mereka selalu menuntut dalil khusus tentang masalah tersebut. Sikap seperti ini sangat berbahaya dan bahkan bisa mengantarkan kepada kekufuran tanpa mereka sadari. Karena jika setiap peristiwa atau masalah disyaratkan untuk dikatakan masyru' dan tidak disebut sebagai bid'ah bahwa ada dalil khusus tentangnya, niscaya akan tidak berfungsi keumuman al Qur'an dan Sunnah dan tidak sah lagi berdalil dengan keumuman tersebut. Ini artinya merobohkan sebagian besar dalil-dalil syar'i dan mempersempit wilayah hukum dan itu artinya bahwa syari'at ini tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan tentang hukum peristiwa-peristiwa yang terus berkembang dengan berkembangnya zaman. Ini semua adalah akibat-akibat yang bisa mengantarkan kepada penghinaan dan pelecehan terhadap syari'at, padahal jelas penghinaan terhadap syari'at merupakan kekufuran yang sangat nyata.
*Kaedah Ke tiga:*
Dalam menetapkan hukum suatu permasalahan tidak diharuskan ada banyak dalil; berupa beberapa ayat atau beberapa hadits misalnya. Jika memang sudah ada satu hadits saja misalnya dan para mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hadits tersebut maka hal itu sudah cukup.
*Kaedah Ke empat:*
Dalam beristidlal sering dijumpai adanya hadits yang diperselisihkan status dan kehujjahannya di kalangan para ulama hadits sendiri. Perbedaan penilaian terhadap suatu hadits inilah salah satu faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama mujtahid. Seandainya bukan karena hal ini, niscaya para ulama tidak akan berbeda pendapat dalam sekian banyak masalah furu’ dalam bab ibadah dan mu’amalah. Oleh karenanya, jika ada hadits yang statusnya masih diperselisihkan di kalangan para ahli maka sah-sah saja jika kita mengikuti salah seorang ulama hadits, apalagi jika yang kita ikuti betul-betul ahli di bidangnya seperti Ibnu Hibban, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al Hakim, al Bayhaqi, an-Nawawi, al Hafizh Ibnu Hajar, as-Sakhawi, as-Suyuthi dan semacamnya. Karena memang menurut para ulama hadits sendiri, Hadits itu ada yang muttafaq ‘ala shihhatihi dan ada yang mukhtalaf fi Shihhatihi .
Dari penjelasan ini diketahui bahwa jika ada sebagian kalangan yang mengira bahwa hanya mereka yang mengetahui hadits yang sahih dan hanya mereka yang memiliki hadi
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Syarh al Bukhari:
قَالَ ابْنُ بَطَّالٍ: فِعْلُ الرَّسُوْلِ إِذَا تَجَرَّدَ عَنِ القَرَائِنِ –وَكَذَا تَرْكُهُ- لاَ يَدُلُّ عَلَى وُجُوْبٍ وَتَحْرِيْمٍ". (فتح الباري 9/ 14)
Maknanya: “Ibnu Baththal mengatakan: Perbuatan Rasulullah jika tidak ada qarinah lain –demikian pula tark-nya - tidak menunjukkan kewajiban dan keharaman”.
Jadi perkataan al Hafizh Ibnu Hajar " وَكَذَا تَرْكُهُ" menunjukkan bahwa at-Tark saja (Mujarrad at-Tark) tidak menunjukkan pengharaman.
*Masalah Kedua:* “Sebagian kalangan sering mengatakan ketika melihat orang melakukan suatu amalan: Ini tidak ada dalilnya! dengan maksud tidak ada ayat atau hadits khusus yang berbicara tentang masalah tersebut”.
*Jawab:*
Dalam ushul fiqh dijelaskan bahwa jika sebuah ayat atau hadits dengan keumumannya mencakup suatu perkara, itu menunjukkan bahwa perkara tersebut masyru'. Jadi keumuman ayat atau hadits adalah dalil syar'i. Dalil-dalil umum tersebut adalah seperti:
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [سورة الحـجّ
Maknanya: “Dan lakukan kebaikan supaya kalian beruntung” (Q.S. al Hajj: 77)
Jadi dalil yang umum diberlakukan untuk semua cakupannya. Kaedah mengatakan:
" العَامُّ يُعْمَلُ بِهِ فِيْ جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهِ ".
"Dalil yang umum diterapkan (digunakan) dalam semua bagian-bagian (cakupannya)".
Ini sangat bertentangan dengan kebiasaan sebagian orang. Sebagian orang tidak menganggap cukup sebagai dalil dalam suatu masalah tertentu bahwa hal tersebut dicakup oleh keumuman sebuah dalil, mereka selalu menuntut dalil khusus tentang masalah tersebut. Sikap seperti ini sangat berbahaya dan bahkan bisa mengantarkan kepada kekufuran tanpa mereka sadari. Karena jika setiap peristiwa atau masalah disyaratkan untuk dikatakan masyru' dan tidak disebut sebagai bid'ah bahwa ada dalil khusus tentangnya, niscaya akan tidak berfungsi keumuman al Qur'an dan Sunnah dan tidak sah lagi berdalil dengan keumuman tersebut. Ini artinya merobohkan sebagian besar dalil-dalil syar'i dan mempersempit wilayah hukum dan itu artinya bahwa syari'at ini tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan tentang hukum peristiwa-peristiwa yang terus berkembang dengan berkembangnya zaman. Ini semua adalah akibat-akibat yang bisa mengantarkan kepada penghinaan dan pelecehan terhadap syari'at, padahal jelas penghinaan terhadap syari'at merupakan kekufuran yang sangat nyata.
*Kaedah Ke tiga:*
Dalam menetapkan hukum suatu permasalahan tidak diharuskan ada banyak dalil; berupa beberapa ayat atau beberapa hadits misalnya. Jika memang sudah ada satu hadits saja misalnya dan para mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hadits tersebut maka hal itu sudah cukup.
*Kaedah Ke empat:*
Dalam beristidlal sering dijumpai adanya hadits yang diperselisihkan status dan kehujjahannya di kalangan para ulama hadits sendiri. Perbedaan penilaian terhadap suatu hadits inilah salah satu faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama mujtahid. Seandainya bukan karena hal ini, niscaya para ulama tidak akan berbeda pendapat dalam sekian banyak masalah furu’ dalam bab ibadah dan mu’amalah. Oleh karenanya, jika ada hadits yang statusnya masih diperselisihkan di kalangan para ahli maka sah-sah saja jika kita mengikuti salah seorang ulama hadits, apalagi jika yang kita ikuti betul-betul ahli di bidangnya seperti Ibnu Hibban, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al Hakim, al Bayhaqi, an-Nawawi, al Hafizh Ibnu Hajar, as-Sakhawi, as-Suyuthi dan semacamnya. Karena memang menurut para ulama hadits sendiri, Hadits itu ada yang muttafaq ‘ala shihhatihi dan ada yang mukhtalaf fi Shihhatihi .
Dari penjelasan ini diketahui bahwa jika ada sebagian kalangan yang mengira bahwa hanya mereka yang mengetahui hadits yang sahih dan hanya mereka yang memiliki hadi
ts yang sahih, hadits yang ada pada mereka saja yang sahih dan semua hadits yang ada pada selain mereka tidak sahih, maka orang seperti ini betul-betul tidak mengerti tentang apa yang dia katakan. Orang seperti ini tidak tahu menahu tentang ilmu hadits dan para ahli hadits yang sebenarnya.
*Kaedah Ke lima:*
Kaedah: ada sebuah kaedah yang sangat penting dalam beristidlal, orang yang tidak mengetahuinya bisa terperosok dalam kesesatan mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah atau sebaliknya. Al Hafizh al Faqih al Khathib al Baghdadi menyebutkan kaedah tersebut dalam kitab al Faqih Wal Mutafaqqih (h. 132):
"وَإِذَا رَوَى الثِّقَةُ الْمَأْمُوْنُ خَبَرًا مُتَّصِلَ الإِسْنَادِ رُدَّ بِأُمُوْرٍ" ثُمَّ قَالَ: "وَالثَّانِيْ أَنْ يُخَالِفَ نَصَّ الْكِتَابِ أَوْ السُّـنَّةِ الْمُتَوَاتِرَةِ فَيُعْلَمُ أَنَّهُ لاَ أَصْلَ لَهُ أَوْ مَنْسُوْخٌ، وَالثَّالِثُ أَنْ يُخَالِفَ الإِجْمَاعَ فَيُسْتَدَلُّ عَلَى أَنَّهُ مَنْسُوْخٌ أَوْ لاَ أَصْلَ لَهُ، لأَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ صَحِيْحًا غَيْرَ مَنْسُوْخٍ وَتُجْمِعُ الأُمَّةُ عَلَى خِلاَفِهِ" ا.هـ.
"Jika seorang perawi yang tsiqah ma'mun (terpercaya) meriwayatkan hadits yang bersambung sanadnya bisa tertolak karena beberapa hal", kemudian beliau mengatakan: "Kedua: hadits tersebut menyalahi nash al Qur'an, hadits mutawatir, sehingga dari sini diketahui bahwa hadits tersebut sebenarnya tidak memiliki asal atau mansukh (telah dihapus dan tidak berlaku lagi). Ketiga: hadits tersebut menyalahi ijma', sehingga itu menjadi petunjuk bahwa hadits tersebut sebenarnya mansukh atau tidak memiliki asal, karena tidak mungkin hadits tersebut sahih dan tidak mansukh lalu ummat sepakat untuk menyalahinya".
Orang yang tidak mengetahui kaedah ini bisa mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah, seperti sebagian orang yang mengaku mujtahid di masa kini yang mengharamkan bagi perempuan untuk memakai perhiasan emas yang berbentuk lingkaran (adz-Dzahab al Muhallaq) seperti cincin, gelang, kalung, anting dan semacamnya. Pengharaman itu dikarenakan ia menemukan beberapa hadits yang sahih menurutnya yang mengharamkan perhiasan emas tersebut. Padahal hadits-hadits tersebut sebenarnya menyalahi nash al Qur'an seperti firman Allah:
أَوَ مَن يُنَشَّؤُا فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ [سورة الزخرف
Maknanya: "Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran". (Q.S. az-Zukhruf: 18)
Hadits-hadits tersebut juga menyalahi ijma' sehingga dengan begitu diketahui bahwa hadits tersebut telah dinasakh (telah dihapus dan tidak berlaku lagi). Al Hafizh al Bayhaqi mengatakan:
"فَهذِهِ الأَخْبَارُ أَيْ فِيْ الإِبَاحَةِ وَمَا وَرَدَ فِيْ مَعْنَاهَا تَدُلُّ عَلَى إِبَاحَةِ التَّحَلِّيْ بِالذَّهَبِ لِلنِّسَاءِ، وَاسْتَدْلَلْنَا بِحُصُوْلِ الإِجْمَاعِ عَلَى إِبَاحَتِهِ لَهُنَّ عَلَى نَسْخِ الأَخْبَارِ الدَّالَّةِ عَلَى تَحْرِيْمِهِ فِيْهِنَّ خَاصَّةً"ا.هـ.
"Jadi hadits-hadits ini dan semacamnya menunjukkan dibolehkannya berhias dengan emas bagi perempuan, dan kita menjadikan adanya ijma' atas kebolehan permpuan memakai perhiasan emas sebagai dalil bahwa hadits-hadits yang mengharamkan emas bagi perempuan secara khusus telah dinasakh" .
Anehnya, di sisi lain, orang-orang semacam ini ketika bertemu dengan hadits yang bertentangan dengan pendapat mereka, dengan mudah mereka mengklaim bahwa hadits tersebut mansukh atau khusus berlaku bagi Nabi tanpa ada dalil yang menunjukkan nasakh atau-pun khushushiyyah. Tetapi dalam hal yang oleh para ulama ditegaskan ada nasikh mereka tidak mau mengikutinya sambil berlagak menegakkan dan membela sunnah Nabi ?!!.
*Kedah Ke enam:*
Kaedah: Para ulama mujtahid dalam bidang furu’ tidak pernah salah seorang dari mereka mengklaim bahwa dirinya saja yang benar dan selainnya sesat. Mereka tidak pernah mengatakan kepada mujtahid lain yang berbeda pendapat dengan mereka bahwa anda sesat dan haram orang mengikuti anda. Umar bin al Khaththab tidak pernah mengatakan hal itu kepada Ali bin Abi Thalib ketika mereka berbeda pendapat, demikian pula sebaliknya Ali tidak perna
*Kaedah Ke lima:*
Kaedah: ada sebuah kaedah yang sangat penting dalam beristidlal, orang yang tidak mengetahuinya bisa terperosok dalam kesesatan mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah atau sebaliknya. Al Hafizh al Faqih al Khathib al Baghdadi menyebutkan kaedah tersebut dalam kitab al Faqih Wal Mutafaqqih (h. 132):
"وَإِذَا رَوَى الثِّقَةُ الْمَأْمُوْنُ خَبَرًا مُتَّصِلَ الإِسْنَادِ رُدَّ بِأُمُوْرٍ" ثُمَّ قَالَ: "وَالثَّانِيْ أَنْ يُخَالِفَ نَصَّ الْكِتَابِ أَوْ السُّـنَّةِ الْمُتَوَاتِرَةِ فَيُعْلَمُ أَنَّهُ لاَ أَصْلَ لَهُ أَوْ مَنْسُوْخٌ، وَالثَّالِثُ أَنْ يُخَالِفَ الإِجْمَاعَ فَيُسْتَدَلُّ عَلَى أَنَّهُ مَنْسُوْخٌ أَوْ لاَ أَصْلَ لَهُ، لأَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ صَحِيْحًا غَيْرَ مَنْسُوْخٍ وَتُجْمِعُ الأُمَّةُ عَلَى خِلاَفِهِ" ا.هـ.
"Jika seorang perawi yang tsiqah ma'mun (terpercaya) meriwayatkan hadits yang bersambung sanadnya bisa tertolak karena beberapa hal", kemudian beliau mengatakan: "Kedua: hadits tersebut menyalahi nash al Qur'an, hadits mutawatir, sehingga dari sini diketahui bahwa hadits tersebut sebenarnya tidak memiliki asal atau mansukh (telah dihapus dan tidak berlaku lagi). Ketiga: hadits tersebut menyalahi ijma', sehingga itu menjadi petunjuk bahwa hadits tersebut sebenarnya mansukh atau tidak memiliki asal, karena tidak mungkin hadits tersebut sahih dan tidak mansukh lalu ummat sepakat untuk menyalahinya".
Orang yang tidak mengetahui kaedah ini bisa mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah, seperti sebagian orang yang mengaku mujtahid di masa kini yang mengharamkan bagi perempuan untuk memakai perhiasan emas yang berbentuk lingkaran (adz-Dzahab al Muhallaq) seperti cincin, gelang, kalung, anting dan semacamnya. Pengharaman itu dikarenakan ia menemukan beberapa hadits yang sahih menurutnya yang mengharamkan perhiasan emas tersebut. Padahal hadits-hadits tersebut sebenarnya menyalahi nash al Qur'an seperti firman Allah:
أَوَ مَن يُنَشَّؤُا فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ [سورة الزخرف
Maknanya: "Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran". (Q.S. az-Zukhruf: 18)
Hadits-hadits tersebut juga menyalahi ijma' sehingga dengan begitu diketahui bahwa hadits tersebut telah dinasakh (telah dihapus dan tidak berlaku lagi). Al Hafizh al Bayhaqi mengatakan:
"فَهذِهِ الأَخْبَارُ أَيْ فِيْ الإِبَاحَةِ وَمَا وَرَدَ فِيْ مَعْنَاهَا تَدُلُّ عَلَى إِبَاحَةِ التَّحَلِّيْ بِالذَّهَبِ لِلنِّسَاءِ، وَاسْتَدْلَلْنَا بِحُصُوْلِ الإِجْمَاعِ عَلَى إِبَاحَتِهِ لَهُنَّ عَلَى نَسْخِ الأَخْبَارِ الدَّالَّةِ عَلَى تَحْرِيْمِهِ فِيْهِنَّ خَاصَّةً"ا.هـ.
"Jadi hadits-hadits ini dan semacamnya menunjukkan dibolehkannya berhias dengan emas bagi perempuan, dan kita menjadikan adanya ijma' atas kebolehan permpuan memakai perhiasan emas sebagai dalil bahwa hadits-hadits yang mengharamkan emas bagi perempuan secara khusus telah dinasakh" .
Anehnya, di sisi lain, orang-orang semacam ini ketika bertemu dengan hadits yang bertentangan dengan pendapat mereka, dengan mudah mereka mengklaim bahwa hadits tersebut mansukh atau khusus berlaku bagi Nabi tanpa ada dalil yang menunjukkan nasakh atau-pun khushushiyyah. Tetapi dalam hal yang oleh para ulama ditegaskan ada nasikh mereka tidak mau mengikutinya sambil berlagak menegakkan dan membela sunnah Nabi ?!!.
*Kedah Ke enam:*
Kaedah: Para ulama mujtahid dalam bidang furu’ tidak pernah salah seorang dari mereka mengklaim bahwa dirinya saja yang benar dan selainnya sesat. Mereka tidak pernah mengatakan kepada mujtahid lain yang berbeda pendapat dengan mereka bahwa anda sesat dan haram orang mengikuti anda. Umar bin al Khaththab tidak pernah mengatakan hal itu kepada Ali bin Abi Thalib ketika mereka berbeda pendapat, demikian pula sebaliknya Ali tidak perna
h mengatakan hal seperti itu kepada Umar. Demikian pula para ulama ahli ijtihad yang lain seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ibnu al Mundzir, Ibnu Jarir ath-Thabari dan lainnya. Mereka juga tidak pernah melarang orang untuk mengikuti madzhab orang lain selama yang diikuti memang seorang ahli ijtihad. Mereka juga tidak pernah berambisi mengajak semua ummat Islam untuk mengikuti pendapatnya. Mereka tahu betul bahwa perbedaan dalam masalah-masalah furu’ telah terjadi sejak awal di masa para sahabat Nabi dan mereka tidak pernah saling menyesatkan atau melarang orang untuk mengikuti salah satu di antara mereka. Dalam berbeda pendapat, mereka berpegang pada sebuah kaedah yang disepakati :
"لاَ يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ".
“Tidak diingkari orang yang mengikuti salah satu pendapat para mujtahid dalam masalah yang memang diperselisihkan hukumnya (mukhtalaf fih) di kalangan mereka, melainkan yang diingkari adalah orang yang menyalahi para ulama mujtahid dalam masalah yang mereka sepakati hukumnya (mujma’ ‘alayhi)”.
Maksud dari kaedah ini bahwa jika para ulama mujtahid berbeda pendapat tentang suatu permasalahan, ada yang mengatakan wajib, sunnah atau makruh, haram, atau boleh dan tidak boleh, maka tidak dilarang seseorang untuk mengikuti salah satu pendapat mereka. Tetapi jika hukum suatu permasalahan telah mereka sepakati, mereka memiliki pendapat yang sama dan satu tentang masalah tersebut maka tidak diperbolehkan orang menyalahi kesepakatan mereka tersebut dan mengikuti pendapat lain atau memunculkan pendapat pribadi yang berbeda.
=== Referensi====
[1]Lihat as-Suyuthi, al Hawi li al Fataawi (2/210), Risalah Bulugh al Ma’mul fi Khidmah ar-Rasul.
[2] Lebih lanjut lihat Syekh Abdullah al Harari, Sharih al Bayan, 2/20-22
[3] Lihat as-Suyuthi, al Asybaah wa an-Nazha-ir, h. 107, Syekh Yasin al Fadani, al Fawa-id al Janiyyah, h. 579-584.
"لاَ يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ".
“Tidak diingkari orang yang mengikuti salah satu pendapat para mujtahid dalam masalah yang memang diperselisihkan hukumnya (mukhtalaf fih) di kalangan mereka, melainkan yang diingkari adalah orang yang menyalahi para ulama mujtahid dalam masalah yang mereka sepakati hukumnya (mujma’ ‘alayhi)”.
Maksud dari kaedah ini bahwa jika para ulama mujtahid berbeda pendapat tentang suatu permasalahan, ada yang mengatakan wajib, sunnah atau makruh, haram, atau boleh dan tidak boleh, maka tidak dilarang seseorang untuk mengikuti salah satu pendapat mereka. Tetapi jika hukum suatu permasalahan telah mereka sepakati, mereka memiliki pendapat yang sama dan satu tentang masalah tersebut maka tidak diperbolehkan orang menyalahi kesepakatan mereka tersebut dan mengikuti pendapat lain atau memunculkan pendapat pribadi yang berbeda.
=== Referensi====
[1]Lihat as-Suyuthi, al Hawi li al Fataawi (2/210), Risalah Bulugh al Ma’mul fi Khidmah ar-Rasul.
[2] Lebih lanjut lihat Syekh Abdullah al Harari, Sharih al Bayan, 2/20-22
[3] Lihat as-Suyuthi, al Asybaah wa an-Nazha-ir, h. 107, Syekh Yasin al Fadani, al Fawa-id al Janiyyah, h. 579-584.
*Lokasi Kajian Tauhid Dan Fiqh Bersama Dr. H. Kholilurrohman, MA | Google Map >>> Klik link di bawah, somoga bermanfaat*
Pondok Pesantren Nurul Hikmah - Tangerang :
https://goo.gl/maps/tZKGHMpnTdK2
Musholla Al-Mukhtariyah Karang Tengah Tangerang :
https://goo.gl/maps/THUqfSRmqwn
Masjid Lathiifussalaam (Di dalam Komplek R.S. Bhakti Asih Karang Tengah Tangerang) :
https://goo.gl/maps/9os6JD8QmB52
Masjid Al-Madinah CBD Ciledug Tangerang :
https://goo.gl/maps/1T5L94V6ZUK2
Pondok Pesantren Nurul Hikmah - Tangerang :
https://goo.gl/maps/tZKGHMpnTdK2
Musholla Al-Mukhtariyah Karang Tengah Tangerang :
https://goo.gl/maps/THUqfSRmqwn
Masjid Lathiifussalaam (Di dalam Komplek R.S. Bhakti Asih Karang Tengah Tangerang) :
https://goo.gl/maps/9os6JD8QmB52
Masjid Al-Madinah CBD Ciledug Tangerang :
https://goo.gl/maps/1T5L94V6ZUK2
Nurul Hikmah Mosque
★★★★☆ · Mosque · Jl. Karyawan III
Imam al-Ghazali (w 505 H) dalam al-Arba’în Fî Ushuliddîn; Allah Tidak Boleh Dikatakan Ada Di Semua Tempat Atau Ada Di Mana-Mana
Penjelasan Ulama Ahlussunnah Bahwa Allah Tidak Boleh
Dikatakan Ada Di Semua Tempat Atau Ada Di Mana-Mana
Oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA
Ketahuilah, tidak boleh dikatakan “Allah ada di setiap tempat”, (atau “ada di mana-mana”), walaupun tujuannya untuk mengungkapkan bahwa Allah mengetahui atau menguasai segala sesuatu dari makhluk-makhluk-Nya.
al-Imâm al-Mutakallim Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (w 505 H) dalam bantahan atas keyakinan Jahm ibn Shafwan dan para mengikutnya; yaitu kaum Jahmiyyah, menuliskan sebagai berikut:
"ولا ترتبك في مواقع غلطه، فمنه غلط من قال: إنه في كل مكان. وكل من نسبه إلى مكان أو جهة فقد زلّ فضلّ، ورجع غاية نظره إلى التصرف في محسوسات البهائم، ولم يجاوز الأجسام وعلائقها. وأول درجات الإيمان مجاوزتها، فبه يصير الإنسان إنسانًا فضلاً عن أن يصير مؤمنًا".
“Janganlah engkau ragu dalam banyak kesesatannya (Jahm ibn Shafwan). Di antara kesesatannya; ia mengatakan bahwa Allah berada di semua tempat. Sesungguhnya orang yang menetapkan adanya tempat atau arah bagi Allah adalah orang yang sesat. Seorang yang bekeyakinan semacam itu maka yang ada di dalam pikirannya tidak lain adalah penyerupaan Allah dengan binatang-binatang yang dapat diindra. Ia dengan keyakian sesatnya tersebut tidak akan terlepas dari memikirkan benda-benda dan sifat-sifat benda belaka. Padahal tingkatan paling pertama dalam keimanan yang benar (kepada Allah) adalah melepaskan dan menjauhkan diri dari keyakinan-keyakinan indarwi. Dengan keyakinan yang benar inilah seorang manusia menjadi benar-benar manusia (yang sehat akalnya), dan tentunya yang utama darinya adalah bahwa ia menjadi seorang mukmin”[1].
Anda perhatikan tulisan al-Imâm al-Ghazali di atas, sangat jelas berisi bantahan terhadap orang berkeyakinan bahwa Allah berada di semua tempat. Dengan demikian pernyataan sebagian orang “sok tahu” yang mengatakan bahwa al-Ghazali berkeyakinan Allah berada di semua tempat adalah dusta besar atasnya. Tentang hal ini al-Imâm al-Hâfizh asy-Syaikh Abdullah al-Harari dalam beberapa tulisannya mengingatkan bahwa klaim semacam itu adalah kebohongan yang disandarkan kepada al-Ghazali, termasuk di antaranya beberapa bait sya’ir yang dianggap berasal darinya. al-Hâfizh al-Harari dalam kitab ad-Dalîl al-Qawîm menuliskan sebagai berikut:
"تنبيه: ليحذر من كلمة في أبيات منسوبة للغزالي وليست له، وهي هذا الشطر :"وهو في كلِّ النّواحي لا يَزُول" فإنها مرادفة لقول المعتزلة الله بكل مكان. قال علي الخوّاص :"لا يجوز القول إنه تعالى بكل مكان"
“Peringatan: Waspadai beberapa bait sya’ir yang dianggap berasal dari al-Ghazali, padahal itu semua bukan berasal dari tulisannya, di antaranya bait sya’ir yang mengatakan: “Wa Huwa Fî Kull an-Nawâhî La Yazûl”, (Artinya; Allah berada di semua tempat dan di semua arah, tidak akan pernah hilang). Ini adalah keyakinan sesat kaum Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Allah berada di semua tempat dan semua arah. Al-Imâm Ali al-Khawwash berkata: ”Tidak boleh dikatakan bahwa Allah berada di semua tempat dan semua arah”[2].
Demikian perkataan al-Imâm al-Hâfizh asy-Syaikh Abdullah al-Harari dalam karyanya; ad Dalil al Qawim ‘Ala ash Shirath al Mustaqim, kitab yang sangat bermanfaat berisi penjelasan akidah Ahlussunnah Wal Jam’ah dengan argumen-argumen naqliyyah dan ‘aqliyyah yang sangat kuat. Dengan kitab ini semua faham sesat menjadi terbantahkan, seperti faham para filosof yang mengatakan bahwa alam ini tidak memiliki permulaan (azaly), faham Mu’tazilah, faham Murji’ah, dan faham Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah duduk (bertempat) di arsy, juga mengatakan bahwa Allah memiliki anggota-anggota badan. Allah maha suci dari keyakinan mereka.
[1] al-Arba’în Fî Ushuliddîn, h. 198
[2] ad-Dalîl al-Qawîm, h. 58
Penjelasan Ulama Ahlussunnah Bahwa Allah Tidak Boleh
Dikatakan Ada Di Semua Tempat Atau Ada Di Mana-Mana
Oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA
Ketahuilah, tidak boleh dikatakan “Allah ada di setiap tempat”, (atau “ada di mana-mana”), walaupun tujuannya untuk mengungkapkan bahwa Allah mengetahui atau menguasai segala sesuatu dari makhluk-makhluk-Nya.
al-Imâm al-Mutakallim Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (w 505 H) dalam bantahan atas keyakinan Jahm ibn Shafwan dan para mengikutnya; yaitu kaum Jahmiyyah, menuliskan sebagai berikut:
"ولا ترتبك في مواقع غلطه، فمنه غلط من قال: إنه في كل مكان. وكل من نسبه إلى مكان أو جهة فقد زلّ فضلّ، ورجع غاية نظره إلى التصرف في محسوسات البهائم، ولم يجاوز الأجسام وعلائقها. وأول درجات الإيمان مجاوزتها، فبه يصير الإنسان إنسانًا فضلاً عن أن يصير مؤمنًا".
“Janganlah engkau ragu dalam banyak kesesatannya (Jahm ibn Shafwan). Di antara kesesatannya; ia mengatakan bahwa Allah berada di semua tempat. Sesungguhnya orang yang menetapkan adanya tempat atau arah bagi Allah adalah orang yang sesat. Seorang yang bekeyakinan semacam itu maka yang ada di dalam pikirannya tidak lain adalah penyerupaan Allah dengan binatang-binatang yang dapat diindra. Ia dengan keyakian sesatnya tersebut tidak akan terlepas dari memikirkan benda-benda dan sifat-sifat benda belaka. Padahal tingkatan paling pertama dalam keimanan yang benar (kepada Allah) adalah melepaskan dan menjauhkan diri dari keyakinan-keyakinan indarwi. Dengan keyakinan yang benar inilah seorang manusia menjadi benar-benar manusia (yang sehat akalnya), dan tentunya yang utama darinya adalah bahwa ia menjadi seorang mukmin”[1].
Anda perhatikan tulisan al-Imâm al-Ghazali di atas, sangat jelas berisi bantahan terhadap orang berkeyakinan bahwa Allah berada di semua tempat. Dengan demikian pernyataan sebagian orang “sok tahu” yang mengatakan bahwa al-Ghazali berkeyakinan Allah berada di semua tempat adalah dusta besar atasnya. Tentang hal ini al-Imâm al-Hâfizh asy-Syaikh Abdullah al-Harari dalam beberapa tulisannya mengingatkan bahwa klaim semacam itu adalah kebohongan yang disandarkan kepada al-Ghazali, termasuk di antaranya beberapa bait sya’ir yang dianggap berasal darinya. al-Hâfizh al-Harari dalam kitab ad-Dalîl al-Qawîm menuliskan sebagai berikut:
"تنبيه: ليحذر من كلمة في أبيات منسوبة للغزالي وليست له، وهي هذا الشطر :"وهو في كلِّ النّواحي لا يَزُول" فإنها مرادفة لقول المعتزلة الله بكل مكان. قال علي الخوّاص :"لا يجوز القول إنه تعالى بكل مكان"
“Peringatan: Waspadai beberapa bait sya’ir yang dianggap berasal dari al-Ghazali, padahal itu semua bukan berasal dari tulisannya, di antaranya bait sya’ir yang mengatakan: “Wa Huwa Fî Kull an-Nawâhî La Yazûl”, (Artinya; Allah berada di semua tempat dan di semua arah, tidak akan pernah hilang). Ini adalah keyakinan sesat kaum Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Allah berada di semua tempat dan semua arah. Al-Imâm Ali al-Khawwash berkata: ”Tidak boleh dikatakan bahwa Allah berada di semua tempat dan semua arah”[2].
Demikian perkataan al-Imâm al-Hâfizh asy-Syaikh Abdullah al-Harari dalam karyanya; ad Dalil al Qawim ‘Ala ash Shirath al Mustaqim, kitab yang sangat bermanfaat berisi penjelasan akidah Ahlussunnah Wal Jam’ah dengan argumen-argumen naqliyyah dan ‘aqliyyah yang sangat kuat. Dengan kitab ini semua faham sesat menjadi terbantahkan, seperti faham para filosof yang mengatakan bahwa alam ini tidak memiliki permulaan (azaly), faham Mu’tazilah, faham Murji’ah, dan faham Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah duduk (bertempat) di arsy, juga mengatakan bahwa Allah memiliki anggota-anggota badan. Allah maha suci dari keyakinan mereka.
[1] al-Arba’în Fî Ushuliddîn, h. 198
[2] ad-Dalîl al-Qawîm, h. 58
Islam Tidak Pernah Membenarkan Kebebasan Berakidah
Makna Ayat :
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
(Surat al-Baqoroh: 256)
Jangan di pahami ayat ini sebagai dalil toleransi dalam beraqidah, simak kajian lengkapnya oleh Guru kita Dr. H. Kholilurrohman, MA!
https://www.youtube.com/watch?v=PJ5qaXA6sj4&t=122s&pbjreload=10
Makna Ayat :
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
(Surat al-Baqoroh: 256)
Jangan di pahami ayat ini sebagai dalil toleransi dalam beraqidah, simak kajian lengkapnya oleh Guru kita Dr. H. Kholilurrohman, MA!
https://www.youtube.com/watch?v=PJ5qaXA6sj4&t=122s&pbjreload=10
YouTube
Islam Tidak Pernah Membenarkan Kebebasan Berakidah | Majelis Ta'lim Nurul Hikmah - 31 Oktober 2018
Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Fiqh Syafi'iyyah Bersama Dr. H. Kholilurrohman, MA Tempat : Musholla Nurul Hik...
SALAH SATU AKAR TERORISME; KARENA SALAH PAHAM TERHADAP KANDUNGAN QS. AL-MA'IDAH : 44. Waspada, jangan sampai anda terjebak...!!! | Oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA
Firman Allah yang dimaksud adalah:
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون (المائدة: 44)
Para ulama kita menyatakan bahwa ayat di atas tidak boleh dimaknai secara harfiyah. Sebab mengambil faham harfiyah; dengan memaknai makna zhairnya akan menghasilkan bumerang. Artinya, klaim "kafir" secara mutlak terhadap orang yang tidak memakai hukum Allah akan kembali kepada dirinya sendiri. Artinya sadar atau tidak sadar ia akan mengkafirkan dirinya sendiri, karena seorang muslim siapapun dia, [kecuali para Nabi dalam masalah ajaran agama], akan jatuh dalam dosa dan maksiat. Artinya, ketika orang muslim tersebut melakukan dosa dan maksiat berarti ia sedang tidak melaksanakan hukum Allah. Lalu, apakah hanya karena dosa dan maksiat, bahkan bila dosa tersebut dalam kategori dosa kecil sekalipun, ia dihukumi sebagai orang kafir?! Bila demikian berarti semenjak dimulainya sejarah kehidupan manusia tidak ada seorangpun yang beragama Islam, sebab siapapun manusianya pasti berbuat dosa dan maksiat. karenanya, firman Allah di atas tidak boleh dipahami secara harfiyah "Barangsiapa tidak memakai hukum Allah maka ia adalah orang kafir", pemahaman harfiyah semacam ini salah dan menyesatkan.
Al-Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya dalam penjelasan ayat ini menyatakan bahwa ayat ini mengandung takwil sebagaimana dinyatakan oleh sahabat Abdullah ibn Abbas dan sahabat al-Bara’ ibn Azib. Al-Qurthubi menuliskan sebagai berikut:
“Seluruh ayat ini turun di kalangan orang-orang kafir (Yahudi). Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam Shahih Muslim dari hadits sahabat al-Bara’ ibn Azib. Adapun seorang muslim, walaupun ia melakukan dosa besar [selama ia tidak menghalalkannya], maka ia tetap dihukumi sebagai orang Islam, tidak menjadi kafir. Kemudian menurut satu pendapat lainnya; bahwa dalam ayat di atas terdapat makna tersembunyi (izhmar), yang dimaksud ialah: ”Barang siapa tidak memakai hukum Allah, karena menolak al-Qur’an dan mengingkarinya, maka ia digolongkan sebagai orang-orang kafir”. Sebagaimana hal ini telah dinyatakan dari Rasullah oleh sahabat Abdullah ibn Abbas dan Mujahid. Inilah yang dimaksud dengan ayat tersebut” [al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 6, h. 190].
Selain penafsiran sahabat Abdullah ibn Abbas dan al-Bara’ ibn Azib di atas, terdapat banyak penafsiran serupa dari para sahabat lainnya. Di antaranya penafsiran Abdullah ibn Mas’ud dan al-Hasan yang menyebutkan bahwa ayat tersebut berlaku umum bagi orang-orang Islam, orang-orang Yahudi maupun orang-orang kafir, dalam pengertian bahwa siapapun yang tidak memakai hukum Allah dengan menyakini bahwa perbuatan tersebut adalah sesuatu yang halal maka ia telah menjadi kafir. Adapun seorang muslim yang berbuat dosa atau tidak memakai hukum Allah dengan tetap menyakini bahwa hal tersebut suatu dosa yang haram dikerjakan maka ia digolongkan sebagai muslim fasik. Dan seorang muslim fasik semacam ini berada di bawah kehendak Allah; antara diampuni atau tidak.
Pendapat lainnya dari al-Imam al-Sya’bi menyebutkan bahwa ayat ini khusus tentang orang-orang Yahudi. Pendapat ini juga dipilih oleh al-Nahhas. Alasan pendapat ini ialah;
Bahwa pada permulaan ayat ini yang dibicarakan adalah orang-orang Yahudi, yaitu pada firman Allah; “Lilladzin Hadu…”. Dengan demikian maka dlamir [kata ganti] yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi, bukan orang-orang Islam.
Bahwa pada ayat sesudah ayat ini, yaitu pada ayat 45, adalah firman Allah; “Wa Katabna ‘Alaihim…”. Ayat 45 ini telah disepakati oleh para ahli tafsir, bahwa dlamir yang ada di dalamnya yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi. Dengan demikian jelas antara ayat 44 dan 45 memiliki korelasi kuat bahwa yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi [sebagaimana hal ini dapat dipahami dengan ’Ilm Munasabat al-Ayat].
Firman Allah yang dimaksud adalah:
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون (المائدة: 44)
Para ulama kita menyatakan bahwa ayat di atas tidak boleh dimaknai secara harfiyah. Sebab mengambil faham harfiyah; dengan memaknai makna zhairnya akan menghasilkan bumerang. Artinya, klaim "kafir" secara mutlak terhadap orang yang tidak memakai hukum Allah akan kembali kepada dirinya sendiri. Artinya sadar atau tidak sadar ia akan mengkafirkan dirinya sendiri, karena seorang muslim siapapun dia, [kecuali para Nabi dalam masalah ajaran agama], akan jatuh dalam dosa dan maksiat. Artinya, ketika orang muslim tersebut melakukan dosa dan maksiat berarti ia sedang tidak melaksanakan hukum Allah. Lalu, apakah hanya karena dosa dan maksiat, bahkan bila dosa tersebut dalam kategori dosa kecil sekalipun, ia dihukumi sebagai orang kafir?! Bila demikian berarti semenjak dimulainya sejarah kehidupan manusia tidak ada seorangpun yang beragama Islam, sebab siapapun manusianya pasti berbuat dosa dan maksiat. karenanya, firman Allah di atas tidak boleh dipahami secara harfiyah "Barangsiapa tidak memakai hukum Allah maka ia adalah orang kafir", pemahaman harfiyah semacam ini salah dan menyesatkan.
Al-Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya dalam penjelasan ayat ini menyatakan bahwa ayat ini mengandung takwil sebagaimana dinyatakan oleh sahabat Abdullah ibn Abbas dan sahabat al-Bara’ ibn Azib. Al-Qurthubi menuliskan sebagai berikut:
“Seluruh ayat ini turun di kalangan orang-orang kafir (Yahudi). Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam Shahih Muslim dari hadits sahabat al-Bara’ ibn Azib. Adapun seorang muslim, walaupun ia melakukan dosa besar [selama ia tidak menghalalkannya], maka ia tetap dihukumi sebagai orang Islam, tidak menjadi kafir. Kemudian menurut satu pendapat lainnya; bahwa dalam ayat di atas terdapat makna tersembunyi (izhmar), yang dimaksud ialah: ”Barang siapa tidak memakai hukum Allah, karena menolak al-Qur’an dan mengingkarinya, maka ia digolongkan sebagai orang-orang kafir”. Sebagaimana hal ini telah dinyatakan dari Rasullah oleh sahabat Abdullah ibn Abbas dan Mujahid. Inilah yang dimaksud dengan ayat tersebut” [al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 6, h. 190].
Selain penafsiran sahabat Abdullah ibn Abbas dan al-Bara’ ibn Azib di atas, terdapat banyak penafsiran serupa dari para sahabat lainnya. Di antaranya penafsiran Abdullah ibn Mas’ud dan al-Hasan yang menyebutkan bahwa ayat tersebut berlaku umum bagi orang-orang Islam, orang-orang Yahudi maupun orang-orang kafir, dalam pengertian bahwa siapapun yang tidak memakai hukum Allah dengan menyakini bahwa perbuatan tersebut adalah sesuatu yang halal maka ia telah menjadi kafir. Adapun seorang muslim yang berbuat dosa atau tidak memakai hukum Allah dengan tetap menyakini bahwa hal tersebut suatu dosa yang haram dikerjakan maka ia digolongkan sebagai muslim fasik. Dan seorang muslim fasik semacam ini berada di bawah kehendak Allah; antara diampuni atau tidak.
Pendapat lainnya dari al-Imam al-Sya’bi menyebutkan bahwa ayat ini khusus tentang orang-orang Yahudi. Pendapat ini juga dipilih oleh al-Nahhas. Alasan pendapat ini ialah;
Bahwa pada permulaan ayat ini yang dibicarakan adalah orang-orang Yahudi, yaitu pada firman Allah; “Lilladzin Hadu…”. Dengan demikian maka dlamir [kata ganti] yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi, bukan orang-orang Islam.
Bahwa pada ayat sesudah ayat ini, yaitu pada ayat 45, adalah firman Allah; “Wa Katabna ‘Alaihim…”. Ayat 45 ini telah disepakati oleh para ahli tafsir, bahwa dlamir yang ada di dalamnya yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi. Dengan demikian jelas antara ayat 44 dan 45 memiliki korelasi kuat bahwa yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi [sebagaimana hal ini dapat dipahami dengan ’Ilm Munasabat al-Ayat].
Kemudian diriwayatkan bahwa sahabat Hudzifah ibn al-Yaman suatu ketika ditanya tentang ayat 44 ini; “Apakah yang dimaksud oleh ayat ini adalah Bani Isra’il?” sahabat Hudzaifah menjawab menjawab; “Benar, ayat itu tentang Bani Isra’il”.
Sementara menurut al-Imam Thawus [murid Abdullah ibn Abbas] bahwa yang dimaksud “kufur” dalam ayat 44 ini bukan pengertian kufur yang mengeluarkan seseorang dari Islam, tetapi yang dimaksud “kufur” disini adalah dosa besar. Tentu berbeda, masih menurut Imam Thawus, dengan apa bila seseorang membuat hukum dari dirinya sendiri kemudian ia meyakini bahwa hukumnya tersebut adalah hukum Allah [atau lebih baik dari hukum Allah], maka orang semacam ini telah jatuh dalam kufur; yang telah benar-benar mengeluarkannya dari Islam.
Al-Imam Abu Nashr al-Qusyairi, [dan Jumhur Ulama] berkata bahwa pendapat yang menyatakan orang yang tidak memakai hukum Allah maka ia telah menjadi kafir adalah pendapat kaum Khawarij. [Kelompok Khawarij terbagi kepada beberapa sub sekte. Salah satunya sekte bernama al-Baihasiyyah. Kelompok ini mengatakan bahwa siapa saja yang tidak memakai hukum Allah, walaupun dalam masalah kecil, maka ia telah menjadi kafir; keluar dari Islam].
Dalam kitab al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, al-Imam al-Hakim meriwayatkan dari sahabat Abdullah ibn Abbas dalam mengomentari tiga ayat dari surat al-Ma’idah (ayat 44, 45 dan 46) di atas, bahwa Abdullah ibn Abbas berkata:
“Yang dimaksud kufur dalam ayat tersebut bukan seperti yang dipahami oleh mereka [kaum Khawarij], bukan kufur dalam pengertian keluar dari Islam. Tetapi firman Allah: “Fa Ula-ika Hum al-Kafirun” adalah dalam pengertian bahwa hal tersebut [tidak memakai hukum Allah] adalah merupakan dosa besar”.
Artinya, bahwa dosa besar tersebut seperti dosa kufur dalam keburukan dan kekejiannya, namun demikian bukan berarti benar-benar dalam makna kufur keluar dari Islam. Pemahaman semacam ini seperti sebuah hadits dari Rasulullah, bahwa ia bersabda:
سباب المسلم فسوق وقتاله كفر (رواه أحمد)
(Mencaci-maki muslim adalah perbuatan fasik dan membunuhnya/memeranginya adalah perbuatan “kufur”). HR. Ahmad.
“Kufur” yang dimaksud dalam hadits ini bukan pengertian keluar dari Islam. Bukan artinya; bila dua orang muslim saling bunuh, maka yang membunuhnya menjadi kafir. Bukankah ”hukum bunuh” itu sendiri salah satu yang disyari’atkan oleh Allah, misalkan terhadap para pelaku zina muhsan [yang telah memliki pasangan], hukum qishas; bunuh dengan bunuh, memerangi kaum bughat [orang-orang Islam yang memberontak], dan lain-lain. Apakah kemudian mereka yang memberlakukan hukum bunuh tersebut telah menjadi kafir??!! Tentu tidak, karena nyatanya jelas mereka sedang memberlakukan hukum Allah.
Oleh karenanya peperangan sesama orang Islam sudah terjadi dari semenjak masa sahabat dahulu [lihat misalkan antara kelompok sahabat Ali ibn Abi Thalib, sebagai khalifah yang sah saat itu, dengan kelompok Mu’awiyah], dan kejadian semacam ini terus berlanjut hingga sekarang. Apakah kemudian orang-orang mukmin yang berperang atau saling bunuh sesama mereka tersebut menjadi kafir; keluar dari Islam??! Siapa yang berani mengkafirkan sahabat Ali ibn Abi Thalib, Ammar ibn Yasir, az-Zubair ibn al-Awwam, Thalhah ibn Ubadillah, Siti Aisyah [yang notabene Istri Rasulullah], dan para sahabat lainnya yang terlibat dalam perang tersebut??!! Orang yang berani mengkafirkan mereka maka dia sendiri yang kafir. Kemudian dari pada itu, dalam al-Qur’an Allah berfirman:
وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا (الحجرات: 9)
Dalam ayat ini dengan sangat jelas disebutkan: “Apa bila ada dua kelompok mukmin saling membunuh....”, artinya sangat jelas bahwa Allah tetap menyebut dua kelompok mukmin yang saling membunuh tersebut sebagai orang-orang mukmin; bukan orang kafir.
Sementara menurut al-Imam Thawus [murid Abdullah ibn Abbas] bahwa yang dimaksud “kufur” dalam ayat 44 ini bukan pengertian kufur yang mengeluarkan seseorang dari Islam, tetapi yang dimaksud “kufur” disini adalah dosa besar. Tentu berbeda, masih menurut Imam Thawus, dengan apa bila seseorang membuat hukum dari dirinya sendiri kemudian ia meyakini bahwa hukumnya tersebut adalah hukum Allah [atau lebih baik dari hukum Allah], maka orang semacam ini telah jatuh dalam kufur; yang telah benar-benar mengeluarkannya dari Islam.
Al-Imam Abu Nashr al-Qusyairi, [dan Jumhur Ulama] berkata bahwa pendapat yang menyatakan orang yang tidak memakai hukum Allah maka ia telah menjadi kafir adalah pendapat kaum Khawarij. [Kelompok Khawarij terbagi kepada beberapa sub sekte. Salah satunya sekte bernama al-Baihasiyyah. Kelompok ini mengatakan bahwa siapa saja yang tidak memakai hukum Allah, walaupun dalam masalah kecil, maka ia telah menjadi kafir; keluar dari Islam].
Dalam kitab al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, al-Imam al-Hakim meriwayatkan dari sahabat Abdullah ibn Abbas dalam mengomentari tiga ayat dari surat al-Ma’idah (ayat 44, 45 dan 46) di atas, bahwa Abdullah ibn Abbas berkata:
“Yang dimaksud kufur dalam ayat tersebut bukan seperti yang dipahami oleh mereka [kaum Khawarij], bukan kufur dalam pengertian keluar dari Islam. Tetapi firman Allah: “Fa Ula-ika Hum al-Kafirun” adalah dalam pengertian bahwa hal tersebut [tidak memakai hukum Allah] adalah merupakan dosa besar”.
Artinya, bahwa dosa besar tersebut seperti dosa kufur dalam keburukan dan kekejiannya, namun demikian bukan berarti benar-benar dalam makna kufur keluar dari Islam. Pemahaman semacam ini seperti sebuah hadits dari Rasulullah, bahwa ia bersabda:
سباب المسلم فسوق وقتاله كفر (رواه أحمد)
(Mencaci-maki muslim adalah perbuatan fasik dan membunuhnya/memeranginya adalah perbuatan “kufur”). HR. Ahmad.
“Kufur” yang dimaksud dalam hadits ini bukan pengertian keluar dari Islam. Bukan artinya; bila dua orang muslim saling bunuh, maka yang membunuhnya menjadi kafir. Bukankah ”hukum bunuh” itu sendiri salah satu yang disyari’atkan oleh Allah, misalkan terhadap para pelaku zina muhsan [yang telah memliki pasangan], hukum qishas; bunuh dengan bunuh, memerangi kaum bughat [orang-orang Islam yang memberontak], dan lain-lain. Apakah kemudian mereka yang memberlakukan hukum bunuh tersebut telah menjadi kafir??!! Tentu tidak, karena nyatanya jelas mereka sedang memberlakukan hukum Allah.
Oleh karenanya peperangan sesama orang Islam sudah terjadi dari semenjak masa sahabat dahulu [lihat misalkan antara kelompok sahabat Ali ibn Abi Thalib, sebagai khalifah yang sah saat itu, dengan kelompok Mu’awiyah], dan kejadian semacam ini terus berlanjut hingga sekarang. Apakah kemudian orang-orang mukmin yang berperang atau saling bunuh sesama mereka tersebut menjadi kafir; keluar dari Islam??! Siapa yang berani mengkafirkan sahabat Ali ibn Abi Thalib, Ammar ibn Yasir, az-Zubair ibn al-Awwam, Thalhah ibn Ubadillah, Siti Aisyah [yang notabene Istri Rasulullah], dan para sahabat lainnya yang terlibat dalam perang tersebut??!! Orang yang berani mengkafirkan mereka maka dia sendiri yang kafir. Kemudian dari pada itu, dalam al-Qur’an Allah berfirman:
وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا (الحجرات: 9)
Dalam ayat ini dengan sangat jelas disebutkan: “Apa bila ada dua kelompok mukmin saling membunuh....”, artinya sangat jelas bahwa Allah tetap menyebut dua kelompok mukmin yang saling membunuh tersebut sebagai orang-orang mukmin; bukan orang kafir.
Yang ironis adalah ayat 44 QS. Al-Ma’idah ini oleh beberapa komunitas yang mengaku gerakan keislaman seringkali dipakai untuk mengklaim kafir terhadap orang-orang yang tidak memakai hukum Allah, termasuk klaim kafir terhadap orang yang hidup dalam suatu negara yang tidak memakai hukum Islam. Bahkan mereka juga mengklaim bahwa negara tersebut sebagai Dar Harb atau Dar al Kufr. Klaim ini termasuk di antaranya mereka sematkan kepada negara Indonesia. pertanyaannya; negara manakah yang secara murni memberlakukan hukum Islam??
Sayyid Quthub dalam karyanya “Fi Zhilal al-Qur’an” menyatakan bahwa masa sekarang tidak ada lagi orang Islam yang hidup di dunia ini, karena tidak ada satupun negara yang memakai hukum Allah. Menurutnya suatu negara yang tidak memakai hukum Allah waluapun dalam masalah sepele maka pemerintahan negara tersebut dan rakyat yang ada di dalamnya adalah orang-orang kafir. Kondisi semacam ini menurutnya tak ubah seperti kehidupan masa jahiliyah dahulu sebelum kedatangan Islam. Pernyataan Sayyid Quthub ini banyak terulang dalam karyanya; Fi Zhilal al-Qur’an. Lihat misalkan j. 2, h. 590, dan h. 898/ j. 2, Juz 6, h. 898/ j. 2, h. 1057/ j. 2, h. 1077/ j. 2, h. 841/ j. 2, h. 972/ j. 2, h. 1018/ j. 4, h. 1945 dan dalam beberapa tempat lainnya. Juga ia sebutkan dalam karyanya yang lain, seperti Ma’alim Fi al-Thariq, h. 5-6/ h. 17-18
Terakhir, saya kutip tulisan A. Maftuh Abegebriel yang menyimpulkan bahwa kekeliruan dalam memahami QS. al-Ma'idah: 44 tersebut adalah salah satu akar teologis dan politis dari berkembangnya gerakan radikal di beberapa negara timur tengah, seperti gerakan Ikhwan al-Muslimin pasca kepempinan dan wafatnya Syaikh Hasan al-Banna (Rahimahullah). Padahal di negara Mesir, yang merupakan basis awal gerakan al-Ikhwan al-Muslimun, belakangan menolak keras kelompok yang dianggap ekstrim ini bahkan memejarakan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Faham Sayyid Quthub di atas seringkali dijadikan “ajaran dasar” oleh banyak gerakan, seperti Syabab Muhammad, Jama’ah al-Takfir Wa al-Hijrah, Jama’ah al-Jihad, al-Jama’ah al-Islamiyyah dan banyak lainnya. Muara semua gerakan tersebut adalah menggulingkan kekuasan setempat dan mengklaim mereka sebagai orang-orang kafir dengan alasan tidak memakai hukum Islam. [Lebih luas tentang ini baca di antaranya; A. Maftuh Abegebriel, Fundamentalisme Islam; Akar teologis dan politis (Negara Tuhan; The Thematic Incyclopaedia), h. 459-555]. karenanya oleh beberapa kalangan, Sayyid Quthub dianggap sebagai orang yang menghidupkan kembali faham sekte al-Baihasiyyah di atas.
Sekali lagi, anda jangan memahami ayat di atas secara harfiyah. karena bila anda memahami secara harfiyah maka berarti sama saja anda menanamkan "akar terorisme" pada diri anda...!!! Hati-hati...!!!
Sayyid Quthub dalam karyanya “Fi Zhilal al-Qur’an” menyatakan bahwa masa sekarang tidak ada lagi orang Islam yang hidup di dunia ini, karena tidak ada satupun negara yang memakai hukum Allah. Menurutnya suatu negara yang tidak memakai hukum Allah waluapun dalam masalah sepele maka pemerintahan negara tersebut dan rakyat yang ada di dalamnya adalah orang-orang kafir. Kondisi semacam ini menurutnya tak ubah seperti kehidupan masa jahiliyah dahulu sebelum kedatangan Islam. Pernyataan Sayyid Quthub ini banyak terulang dalam karyanya; Fi Zhilal al-Qur’an. Lihat misalkan j. 2, h. 590, dan h. 898/ j. 2, Juz 6, h. 898/ j. 2, h. 1057/ j. 2, h. 1077/ j. 2, h. 841/ j. 2, h. 972/ j. 2, h. 1018/ j. 4, h. 1945 dan dalam beberapa tempat lainnya. Juga ia sebutkan dalam karyanya yang lain, seperti Ma’alim Fi al-Thariq, h. 5-6/ h. 17-18
Terakhir, saya kutip tulisan A. Maftuh Abegebriel yang menyimpulkan bahwa kekeliruan dalam memahami QS. al-Ma'idah: 44 tersebut adalah salah satu akar teologis dan politis dari berkembangnya gerakan radikal di beberapa negara timur tengah, seperti gerakan Ikhwan al-Muslimin pasca kepempinan dan wafatnya Syaikh Hasan al-Banna (Rahimahullah). Padahal di negara Mesir, yang merupakan basis awal gerakan al-Ikhwan al-Muslimun, belakangan menolak keras kelompok yang dianggap ekstrim ini bahkan memejarakan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Faham Sayyid Quthub di atas seringkali dijadikan “ajaran dasar” oleh banyak gerakan, seperti Syabab Muhammad, Jama’ah al-Takfir Wa al-Hijrah, Jama’ah al-Jihad, al-Jama’ah al-Islamiyyah dan banyak lainnya. Muara semua gerakan tersebut adalah menggulingkan kekuasan setempat dan mengklaim mereka sebagai orang-orang kafir dengan alasan tidak memakai hukum Islam. [Lebih luas tentang ini baca di antaranya; A. Maftuh Abegebriel, Fundamentalisme Islam; Akar teologis dan politis (Negara Tuhan; The Thematic Incyclopaedia), h. 459-555]. karenanya oleh beberapa kalangan, Sayyid Quthub dianggap sebagai orang yang menghidupkan kembali faham sekte al-Baihasiyyah di atas.
Sekali lagi, anda jangan memahami ayat di atas secara harfiyah. karena bila anda memahami secara harfiyah maka berarti sama saja anda menanamkan "akar terorisme" pada diri anda...!!! Hati-hati...!!!
Sering kita mendengar perkataan “Saya mah orang bodoh, gak tau, taunya segitu-gitu doang…Kalo gak tau mah kan di maafin”
Jangan mengiria, karena kebodahan atau ketidaktahuan kita tentang perkara-perkara Ilmu pokok Agama dapat menyebabkan kita dimaafkan atau selamat dan tidak mau belajar Ilmu-Ilmu Agama
Karena Allah dan Rasul-Nya telah menyampaikan tentang kewajiban mempelajari Ilmu-Ilmu Agama. Bahkan, satu-satunya do’a yang Rasulullah minta kepada Allah yaitu “Tambahkanlah Ilmu-Ilmu Agama kepadaku”
Simak kajian oleh Guru kita Dr. H. Kholilurrohman, MA berikut >>>
https://youtu.be/UYZWo86yUjw
Jangan mengiria, karena kebodahan atau ketidaktahuan kita tentang perkara-perkara Ilmu pokok Agama dapat menyebabkan kita dimaafkan atau selamat dan tidak mau belajar Ilmu-Ilmu Agama
Karena Allah dan Rasul-Nya telah menyampaikan tentang kewajiban mempelajari Ilmu-Ilmu Agama. Bahkan, satu-satunya do’a yang Rasulullah minta kepada Allah yaitu “Tambahkanlah Ilmu-Ilmu Agama kepadaku”
Simak kajian oleh Guru kita Dr. H. Kholilurrohman, MA berikut >>>
https://youtu.be/UYZWo86yUjw
YouTube
Kebodohan Dalam Ilmu-Ilmu Pokok Agama Tidak Dimaafkan | Majelis Ta'lim Nurul Hikmah - 1 Nov 2018
Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Fiqh Syafi'iyyah Bersama Dr. H. Kholilurrohman, MA Tempat : Musholla Nurul Hik...
Jangan biarkan channel-channel yang berisikan konten video tentang aqidah sesat kaum _mujassim dan musyabbih_ dan kelompok aqidah sesat lainnya menempati posisi teratas hasil pencarian kata “aqidah”, “tauhid” dan kata kunci lainnya mengenai ilmu-ilmu pokok agama Islam di YouTube.
Mari dukung dan viralkan salah satu channel yang berisi konten-konten tentang kajian aqidah tauhid ahlussunnah wal jama’ah Asy’ariyyah Maturidiyyah di bawah asuhan Guru kita Dr. H. Kholilurrohman, MA (Abou Fateh) dan channel-channel YouTube lainnya yang berisi konten-konten Aqidah Tauhid Ahlussunnah Wal jama’ah yang benar >>> _*Allah Maha Suci Dari Segala Bentuk Dan Sifat Benda Atau Makhluk-Nya. Apapun Yang Terlintas Dalam Benakmu Tentang Allah Maka Allah Tidak Seperti Demikian Itu. Allah Ada Tanpa Tempat Dan Tanpa Arah*_
*Klik Link di bawah :*
*Abou Fateh YouTube Channel :*
https://m.youtube.com/c/aboufateh?sub_confirmation=1
*Klik subscribe/berlangganan!*
*Klik like/suka!*
*Berkomentar dan Sebarkan video yang bermanfaat!*
========================
Pondok Pesantren Nurul Hikmah Untuk Menghafal al-Qur'an Dan Kajian Ilmu Agama Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Fiqh Syafi'iyyah Diampu oleh Ustadz Dr. H. Kholilurrohman, MA
Informasi lebih lanjut kunjungi :
https://nurulhikmah.ponpes.id
Facebook Page :
https://facebook.com/nurulhikmah.ponpes.id
Mari dukung dan viralkan salah satu channel yang berisi konten-konten tentang kajian aqidah tauhid ahlussunnah wal jama’ah Asy’ariyyah Maturidiyyah di bawah asuhan Guru kita Dr. H. Kholilurrohman, MA (Abou Fateh) dan channel-channel YouTube lainnya yang berisi konten-konten Aqidah Tauhid Ahlussunnah Wal jama’ah yang benar >>> _*Allah Maha Suci Dari Segala Bentuk Dan Sifat Benda Atau Makhluk-Nya. Apapun Yang Terlintas Dalam Benakmu Tentang Allah Maka Allah Tidak Seperti Demikian Itu. Allah Ada Tanpa Tempat Dan Tanpa Arah*_
*Klik Link di bawah :*
*Abou Fateh YouTube Channel :*
https://m.youtube.com/c/aboufateh?sub_confirmation=1
*Klik subscribe/berlangganan!*
*Klik like/suka!*
*Berkomentar dan Sebarkan video yang bermanfaat!*
========================
Pondok Pesantren Nurul Hikmah Untuk Menghafal al-Qur'an Dan Kajian Ilmu Agama Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Fiqh Syafi'iyyah Diampu oleh Ustadz Dr. H. Kholilurrohman, MA
Informasi lebih lanjut kunjungi :
https://nurulhikmah.ponpes.id
Facebook Page :
https://facebook.com/nurulhikmah.ponpes.id
YouTube
Abou Fateh
Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Fiqh Syafi'iyyah